Perbedaan Infaq, Shodaqoh dan Zakat menurut Al Jurjani

Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
Maka hibah, hadiah, wasiat, wakaf, nazar (untuk membelanjakan harta), nafkah kepada keluarga, kaffarah (berupa harta) –karena melanggar sumpah, melakukan zhihar, membunuh dengan sengaja, dan jima’ di siang hari bulan Ramadhan–, adalah termasuk infaq. Bahkan zakat itu sendiri juga termasuk salah satu kegiatan infak. Sebab semua itu merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan pihak pemberi maupun pihak penerima.
Dengan kata lain, infaq merupakan kegiatan penggunaan harta secara konsumtif –yakni pembelanjaan atau pengeluaran harta untuk memenuhi kebutuhan– bukan secara produktif, yaitu penggunaan harta untuk dikembangkan dan diputar lebih lanjut secara ekonomis (tanmiyatul maal).
Al Jurjani dalam kitabnya At Ta’rifaat menjelaskan bahwa infaq adalah penggunaan harta untuk memenuhi kebutuhan (sharful maal ilal haajah) (Al Jurjani, tt : 39). Dengan demikian, infaq mempunyai cakupan yang lebih luas dibanding zakat. Dalam kategorisasinya, infak dapat diumpamakan dengan “alat transportasi” –yang mencakup kereta api, mobil, bus, kapal, dan lain-lain– sedang zakat dapat diumpamakan dengan “mobil”, sebagai salah satu alat transportasi.
“Al wasilatu ilal haram haram”
“Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.
Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :
“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”
“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”
Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.

Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat (Zallum, 1983 : 148). Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)
Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :
“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.
Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah –dalam konteks ayat atau hadits tertentu– artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.
Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.
Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.
Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda :
“Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).
Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.
Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.
Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya (An Nawawi, 1981 : 91).
Walhasil, sebagaimana halnya makna shadaqah yang kedua, makna shadaqah yang ketiga ini pun bersifat tidak mutlak. Maksudnya, jika dalam sebuah ayat atau hadits terdapat kata “shadaqah”, tak otomatis dia bermakna segala sesuatu yang ma’ruf, kecuali jika terdapat qarinah yang menunjukkannya. Sebab sudah menjadi hal yang lazim dan masyhur dalam ilmu ushul fiqih, bahwa suatu lafazh pada awalnya harus diartikan sesuai makna hakikinya. Tidaklah dialihkan maknanya menjadi makna majazi, kecuali jika terdapat qarinah. Sebagaimana diungkapkan oleh An Nabhani dan para ulama lain, terdapat sebuah kaidah ushul menyebutkan :
“Al Ashlu fil kalaam al haqiqah.”
“Pada asalnya suatu kata harus dirtikan secara hakiki (makna aslinya).” (Usman, 1996 : 181, An Nabhani, 1953 : 135, Az Zaibari : 151)
Namun demikian, bisa saja lafazh “shadaqah” dalam satu nash bisa memiliki lebih dari satu makna, tergantung dari qarinah yang menunjukkannya. Maka bisa saja, “shadaqah” dalam satu nash berarti zakat sekaligus berarti shadaqah sunnah. Misalnya firman Allah :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (At Taubah : 103)
Kata “shadaqah” pada ayat di atas dapat diartikan “zakat”, karena kalimat sesudahnya “kamu membersihkan dan mensucikan mereka” menunjukkan makna bahasa dari zakat yaitu “that-hiir” (mensucikan). Dapat pula diartikan sebagai “shadaqah” (yang sunnah), karena sababun nuzulnya berkaitan dengan harta shadaqah, bukan zakat. Menurut Ibnu Katsir (1989 : 400-401) ayat ini turun sehubungan dengan beberapa orang yang tertinggal dari Perang Tabuk, lalu bertobat seraya berusaha menginfakkan hartanya. Jadi penginfakan harta mereka, lebih bermakna sebagai “penebus” dosa daripada zakat.
Karena itu, Ibnu Katsir berpendapat bahwa kata “shadaqah” dalam ayat di atas bermakna umum, bisa shadaqah wajib (zakat) atau shadaqah sunnah (Ibnu Katsir, 1989 : 400). As Sayyid As Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah Juz I (1992 : 277) juga menyatakan, “shadaqah” dalam ayat di atas dapat bermakna zakat yang wajib, maupun shadaqah tathawwu’.
Pendapat lain tentang Infaq
Kata infaq dalam al-Quran memang mendapat tempat istimewa. Dalam al-Baqarah (2): 261 di atas, misalnya, frasa al-ladzîna yunfiqûn (orang yang ber-infaq) segera diikuti dengan sederetan kalimat yang menggambarkan berlipat-lipatnya pahala, lalu dilanjutkan dengan kalimat wallâhu yudlâ’ifu liman yasyâ’ (Allah melipatgandakan [pahala] untuk orang yang Dia kehendaki), dan diakhiri dengan wallahu wâsi’un ‘alîm (Dan Allah Mahaluas [karunia-Nya] dan Maha Mengetahui). Betapa istimewanya: lafal infaq diletakkan di antara “samudera karunia” yang tak terjangkau luasnya.
Pada al-Baqarah (2): 265 juga demikian. Frasa al-ladzîna yunfiqûn segera disusul dengan kalimat perumpamaan yang indah: kamatsali jannatin bi rabwatin ashâbahâ wâbilun fa âtat ukulahâ dhi’fayn (seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi, yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat). Sebuah kebun yang tak hanya indah, tapi juga lebat buah-buahannya, produktif. Begitu produktifnya, sehingga disusul lagi dengan kalimat fa in lam yushibhâ wâbilun fathall (kalaupun hujan lebat tak mengguyur maka gerimis [pun cukup melebatkan buah]).
Posisi infaq yang demikian dalam al-Quran juga bisa dijumpai pada ayat-ayat lain. Kata infaq diiringi dengan kalimat-kalimat indah nan menyejukkan. Ada ajruhum ‘inda rabbihim (pahala di sisi Rabb), yang menunjukkan “intim”-nya hubungan antara infaq dan pahala. Ada Allâhu yuhibbul muhsinîn (Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsân), yang menandakan bahwa infâq begitu dekat dengan ihsân, yang kemudian sangat dekat dengan cinta Allah. Ada juga ‘uqba al-dâr (akhir yang baik), atau—seperti yang sering kita dengar—tijâratan lan tabûr (perniagaan yang tak bakal merugi), yang mengekspresikan kaitan yang hampir tak terpisahkan antara infaq dengan karunia yang tiada habis, dunia dan akhirat.
Namun, dari itu semua, apa sebenarnya yang dimaksudkan al-Quran dengan kata infaq itu sendiri?
Menarik satu pengertian dari kata infaq tak semudah yang kita bayangkan. Pernah, para penafsir di era Sahabat memperdebatkan makna kata infaq dalam satu ayat wa mimmâ razaqnâhum yunfiqûn (dan dari rezeki yang Aku [Allah] berikan kepada mereka, mereka ber-infaq). Ibnu Abbâs mengatakan, yang dimaksud dengan infaq di situ adalah zakat, zakat wajib. Alasannya, kata yunfiqûn di situ “sepaket” dengan kata yuqîmûn al-shalâh, mendirikan salat. Salat adalah ibadah wajib, maka urut-urutannya kemudian, ya, zakat wajib, yang diungkapkan dengan kata infaq itu.
Ibnu Mas’ûd tidak demikian. Infaq di situ adalah infaq seorang lelaki kepada keluarganya, nafkah keluarga. Argumen Ibnu Mas’ud, infaq dalam pengertian ini adalah infaq yang paling utama sebagaimana disebutkan Rasulullah. Lain lagi pendapat al-Dhahhâk. Menurut dia, yang dimaksud adalah sedekah sunah, shadaqat al-tathawwu’. Al-Dhahhâk punya logika begini. Kalau yang dimaksud zakat, tentu akan dipakai lafaz yang tegas, yaitu al-zakâh. Dan, jika yang digunakan lafaz selain al-zakât, kata al-shadaqah misalnya, maknanya bisa dua: wajib (zakat) dan sunah (sedekah). Lalu, kalau dipakai lafaz al-infâq maka maknanya tak lain adalah shadaqat al-tathawwu’, sedekah sunah.
Bisa kita lihat, dari perdebatan para Sahabat tersebut, kata infaq bisa dipakai untuk menunjuk berbagai pengertian. Bisa zakat, nafkah keluarga, atau sedekah sunah.
Lagi pula, kata infaq pun tak hanya digunakan untuk merepresentasikan “kebajikan” semata. Kalau kita telusuri lagi, kata infaq juga digunakan untuk menunjuk segala model pembelanjaan kekayaan. Surah al-Anfâl (8): 36, misalnya, menggunakannya dalam konteks orang kafir membelanjakan kekayaan untuk menggencet umat mukmin. Artinya, kata infaq juga dipakai untuk menunjuk pengertian “pembelanjaan harta demi sebuah kejahatan”.
Para Sahabat penafsir pun menggunakan kata infaq untuk menerangkan makna “menghambur-hamburkan harta” (al-tabdzîr). Ibnu ‘Abbâs, Ibnu Mas’ûd, Mujâhid, maupun Qatâdah (penafsir-penasfir besar era Sahabat), saat memberi tafsir wa lâ tubadzdzir tabdzîrâ (jangan kau hambur-hamburkan hartamu), mengatakan, al-tabdzîr infâqu l-mâl fi ghairi haqqihi (al-tabdzîr ‘menghamburkan harta’ adalah meng-infaq-kan harta untuk hal yang tak semestinya). Ini artinya, mengeluarkan harta untuk foya-foya pun bisa disebut infâq.
Tapi, tentu bukan ini makna infaq yang dimaksud dalam kemasan produk-produk “islami” di atas. Kita percaya, pengertian al-Dhahhâk di ataslah yang paling mendekati, yakni sedekah sunah. Hanya saja, sedekah sunah memang bisa ditujukan ke berbagai sasaran kebajikan: pembangunan masjid, pendirian madrasah, maupun untuk mereka yang kesusahan semacam fakir miskin, anak telantar, korban penggusuran, korban bencana alam, anak putus sekolah.
Konsekuensinya, substansi infaq pun sebenarnya juga masuk dalam produk yang tidak memakai label infaq tapi istilah lain yang mungkin “sekuler”. Jadi, itu juga akan dibalas 700 kali lipat sebagaimana dijanjikan Allah. Lalu, apa yang berbeda

ADAB ADAB YANG DI SUNNAHKAN DALAM SHALAT

Shalat Mempunyai Beberapa Sunnat Yang Di Anjurkan Benar Kita Memeliharanya, Antara Lain Ialah:

1. Mengangkat Kedua Tangan
di Anjurkan Kita Mengangkat Kedua Tangan Pada Empat Tempat, Yaitu:

A. Ketika Takbiratul Ikhram
Banyak Hadits yang meriwayatkan tentang hal ini, salah satunya hadits Abu Humaid R.A yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan di Shahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, Yaitu:

KANAN NABIYYU SAW, IDZA WAMA ILASH SHALATIGH TADALA QA IMAN WARAFA’A YADAYHI, TSUMMA QALA ALLAHU AKBAR
Artinya: “Adalah Nabi Saw, Apabila Telah Berdiri Untuk Bershalat, Beliau Berdiri Lurus Dan Mengangkat Tangannya, Kemudian Mengucapkan Allahu Akbar” (Al-Muntaqa 1:360)

Sifat Mengankat Tangan, Dalam beberapa riwayat di jelaskan: Mengangkat kedua tangan setentang pundak, sedang ujung-unjung jari menentangi telinga, dua ibu jari menentangi anting-anting telinga, dan mengulurkan jari-jari di waktu mengangkat tangan itu

B. Ketika akan Rukuk

Beberapa sahabat menerangkan, bahwasanya Nabi Muhammad SAW mengangkat tangan ketika rukuk, bedasarkan dari hadits Abdullah bin Umar R.A:

KANA RASULULLAH SAW, IDZA QAMA LISHSHALATI RAFA’A YADAYHI HATTA TAKUNA HADZWA MAN KABIHI TSUMMA KABRA FA IDZA ARADA AN YAR KA’A FA’ALA MITSLA
Artinya: “Aku Melihat Rasulullah Saw, Jika Beliau Hendak Shalat, Maka Beliau Mengangkat Tangannya, Hingga Sejajar Dengan Kedua Pundaknya, Lalu Bertakbir, Jika Hendak Rukuk Beliau Melakukan Hal Itu Juga (H.R Muttafaq’alaihi No. 703 dan 390)

C. Ketika I’tidal

Ketika bangkit dari rukuk, beliau juga mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya, berdasarkan hadits yang diriwayatkan sahabat Ibnu Umar R.A, telah menceritakan hadits berikut:

FA ALA MITSLAHU WA IDZA QALA SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, Apabila Ia Mengucapkan “Sami’allahuliman Hamidah” (Semoga Allah Memperkenankan Orang Yang Memujinya) Hal Yang Serupa Dilakukannya Pula, Yakni Mengangkat Tangannya.
D. Ketika Berdiri di Raka’at Ketiga

di Riwayatkan oleh Al-Bukhari, Abu Daud dan An-Nasa’i dari Ibnu Umar R.A, bahwasanya Nabi SAW, mengangkat tangannya apabila bangun dari raka’at yang kedua ke raka’at yang ketiga. Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar R.A, disebutkan: Apabila beliau SAW bangkit dari dua raka’at, (yakni berdiri), maka ia mengangkat kedua tangannya, tetapi ia tidak melakukan hal tersebut sewaktu bersujud, dan tidak pula sewaktu mengangkat kepalanya dari sujud. (H.R Khamsah)

Asy Syaukany menegaskan: “Sunnah ini bersekutu padanya lelaki dan wanita. Tak ada hal yang membedakan antara lelaki dan wanita dalam hal mengangkat tangan.”

2. Meletakkan Tangan atas Tangan Kiri

A. Di Dalam Berdiri Shalat
di Sunnahkan kita meletakan tangan kanan atas tangan kiri didalam setiap berdiri Shalat, dalam hal ini, telah diriwayatkan 20 Hadits dari 18 sahabat.

Adapun tempat meletakkannya, menurut kebanyakan riwayat yang banyak, adalah diatas dada, sebagai yang diriwaytakan oleh Ahmad dari Hulb Ath Taiy dan oleh Ibnu Khuzaimah dari Wa Il Ubnu Hujr, Ujarnya:

SHALLAYTU MA ‘AN NABIYYI SAW, FAWADHA’A YADA HUL YUMNA ‘ALA YADIHIL YUSRA ‘ALA SHADRHI
Artinya: “Saya Bershalat Beserta Nabi Saw, Maka Beliau Meletakkan Tangan Kanannya Atas Tangan Kirinya, Atas Dadanya” (Bulughul Maram 43)




B. di Ketika Berdiri dari Rukuk (I’tidal)

di anjurkan juga melakukan hal yang sama, yakni meletakan kedua tangannya, di atas dadanya, (H.R Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, Ahmad dari Wa Il Ibnu Hujr)

di dalam hal ini Imam Masjidil Haram seorang ulama besar, yaitu Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz R.H menyebutkan dalam bukunya, Sifatul Shalatan Nabi SAW yang teksnya sebagai berikut: “di Sunnahkan Bagi setiap orang yang shalat untuk meletakan kedua tangannya di atas dada, seperti yang dilakukannya saat berdiri sebelum rukuk, berdasarkan hadits Shahih dari Nabi SAW yang diriwayat dari Sahl bin Sa’d R.A dia berkata:

‘AN SAHL IBNI SA’D R.A. QALA: KANANNASU YU’MARUNA ‘AN YADHA’A ARRAJULU ALYADA AL YUMNA ‘ALA DZIRA ‘IHI ALYUSRA FISHSHALATI
Artinya: Diriwayatkan Dari Sahl Bin Sa’d R.A Dia Berkata: Didalam Shalat Orang-Orang Diperintahkan Meletakan Tangan Kanan Atas Hasta Kiri (H.R Bukhari No. 740)

Menyedekapkan tangan di dada adalah perbuatan yang benar menurut sunnah berdasarkan hadits:

Cara-cara yang sesuai sunnah ini dilakukan oleh Imam Ishaq bin Rahawaih. Imam Mawarzi dalam Kitab Masa'il, halaman 222 berkata: "Imam Ishaq meriwayatkan hadits secara mutawatir kepada kami, Beliau mengangkat kedua tangannya ketika berdo'a qunut dan melakukan qunut sebelum merukuk. Beliau menyedekapkan tangannya berdekatan dengan teteknya." Pendapat yang semacam ini juga dikemukakan oleh Qadhi 'Iyadh al Maliki dalam bab Mustahabatu ash Sholat pada Kitab Al I'lam, beliau berkata: "Dia meletakkan tangan kanan pada punggung tangan kiri di dada."

Hadits yang diriwayatkan wa Il bin Hujr R.A:

RA AYTU RASULULLAHI SAW YUSHALLI FA WADHA’A YADAIHI ‘ALA SHADRIHI IHDAHUMA ‘ALAL AKHRA
“Aku Melihat Rasulullah SAWw Shalat, Lalu Beliau Meletakan Kedua Tangannya Didada Yang Satu Diatas Yang Lain” (H.R Ibnu Khuzaimah No. 479)

Ibnu Abdul Al-Barr (Az-zarqani) dalam Syarh ‘ala Al-Muwaththa’ 1/454, mengatakan: “Tiada riwayat dari Nabi SAW yang menerangkan selain hal ini”

Ibnu Hajr dalam Fath Al-Bari 2/224, mengatakan: “Para Ulama mengatakan bahwa Hikmah dari posisi ini adalah menyimbulkan posisi peminta-minta yang hina. Selain itu, posisi ini mencegah sikap main-main dan menambah ke Khusyukan”

3. Melihat Ke Tempat Sujud

Orang yang shalat haruslah melihat ketempat sujudnya, karena hal ini lebih menambah kekhusyukan, berdasarkan Riwayat ‘Aisyah R.A:

DA KHALA RASULULLAHI SAW ALKA’BATA MAKHALAFA BASHARUHU MAU DHI’A SUJUDIHI
“Rasulullah Saw Masuk Ke Kakbah Dan Mata Beliau Tidak Pernah Meninggalkan Tempat Sujudnya, Sampai Beliau Keluar” (H.R Ibnu Khuzaimah No. 3012 dan hakimNo. 1761)


4. Membaca Do’a Tawajjuh atau Iftatah

di Sunnahkan membaca do’a iftitah shalat, (H.R Muslim) ada beberapa do’a yang di ajarkan kepada para sahabatnya, salah satu do’a atau bentuk pujian  diantaranya:

SUBHANAKALLAHUMMA WABIHAMDIKA WA TABARA KAS MUKA WATA’ALA JADDUKA WALA ILAHA GHAIRUKA
“Ya Allah, Engkau Maha Suci, Segala Puji Hanya Bagimu, Namamu Penuh Berkah, Upayamu Maha Luhur, Tiada Tuhan Selain Engkau” (H.R Ahmad 3/50 Abu Daud No. 775, At Thurmudzi No. 242, An-Nasa’I, Al-Mujtaba No. 899 dan Al Hakim)

Sahabat Abu Sa’id R.A telah menceritakan hadits berikut:
“Rasulullah SAW apabila berdiri untuk shalat dimalam hari, maka ia bertakbir, kemudian mengucapkan maha suci engkau ya Allah dengan memuji kepadaMu, Maha suci AsmaMu dan Maha tinggi Ke Agunganmu dan Tiada Tuhan selain engkau” (H.R Ash-Habus Sunan)

5. Isti’adzah

Membaca Ta’awwudz atau memohon perlindungan Kepada Allah SWT dari gangguan setan yang terkutuk, merupakan hal yang dianjurkan dalam shalat untuk mencegah godaannya. Membaca Ta’awwudz di dalam Raka’at pertama saja dengan suara perlahan (sirr).

Ibnu Mundzir berkata: “di Peroleh keterangan bahwa Nabi SAW membaca Sebelum membaca Al-Fatihah”

A’UDZUBILLAHI MINASYSYAITHANIRRAJIM
“Saya Berlindung dengan Allah dari syaithan yang dirajam (yang dilempar dengan Batu)” (Q.S An-Nahl 16:98)

6. Membaca Amiin

di Sunnahkan Bagi Setiap orang yang shalat, baik menjadi Imam maupun Makmum, atau shalat sendirian. Membaca Amiin sesudah membaca Al-Fatihah, Menurut Riwayat hadits Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasa’i disebutkan:

IDZA QALA A HADUKUM AAMIINA WAQALATIL MALA IKATU FISSAMA I AAMIINA FAWA FAQAT IH DAHUMAL UKHRA GHUFIRALAHU MATAQADDAMA MIN DZANBIH
“Apabila seseorang di antara kalian membaca Aamiin dan para malaikat yang dilangit membaca Aamiin pula, lalu ucapan satu pihak bersamaan dengan pihak  yang lain, maka niscaya dosa-dosanya yang terdahulu di ampuni”
Dalam Hadits ini terkandung pengertian, bahwa malaikat dilangit membaca Aamiin bersamaan dengan setiap orang yang shalat.

7. Membaca Surat atau Ayat Al-Qur’an

Sunnahnya adalah membaca apa yang mudah dari Al-Qur’an, pada dua raka’at pertama setelah Al-Fatihah, Karena Nabi SAW juga membacanya demikian, Nabi SAW kadang kala memanjangkan bacaan surat, kadang kala memendekkannya, karena adanya sesuatu halangan, seperti sedang berpergian, ada orang yang sudah tua dalam jama’ah shalat, ada anak kecil yang menangis dan lain-lainnya.

Sahabat Abu Hurairah R.A telah menceritakan bahwa Nabi SAW pernah Bersabda yang Artinya: “Apakah seseorang di antara kalian suka apabila kembali kepada keluarganya, maka ia akan menjumpai pada keluarganya tiga ekor unta bunting Yang besar lagi gemuk?” Kami menjawab, “Ya”, Rasulullah SAW bersabda: “Maka tiga ayat yang dibaca oleh seseorang di antara kalian dalam shalatnya adalah lebih baik baginya daripada tiga ekor unta bunting Yang besar-besar lagi gemuk” (H.R Muslim)

8. Takbir-Takbir Intiqal

Takbir Intiqal adalah takbir yang kita baca sewaktu berpindah dari rukun kerukun, kecuali waktu bangkit dari Rukuk, disitu disunnahkan membaca Tasmi’. Dalilnya, Sahabat Ibnu Umar R.A telah menceritakan hadits berikut:

Aku Pernah Melihat Nabi Saw Memulai Takbir Untuk Shalatnya, Maka Ia Mengangkat Kedua Tangannya Sewaktu Bertakbir Sehingga Kedua Telapak Tangannya Menyamai Kedua Pundaknya. Apabila Ia bertakbir Untuk Rukuk, Hal Yang Sama Dilakukannya Pula. Apabila Ia Mengucapkan “Sami’allahu Liman Hmidah” (Semoga Allah Memperkenankan Orang Yang Memuji-Nya). Hal Yang Serupa Dilakukannya Pula, Lalu Ia Mengucapkan “Rabbana Lakal Hamdu” (Wahai Rabb, Bagi Engkau Segala Puji).

9. Kelakuan Rukuk

Sunnah Nabi SAW mengenai Rukuk, ialah: meluruskan kepala dengan pinggang, memegangi dua lutut, serta merenggangkan kedua tangan dari dua lambung, merenggangkan anak-anak jari atas lutut, selanjutnya kita membaca di dalam rukuk, Dzikir atau tasbih do’a yang dituntunkan oleh Nabi SAW. Sahabat Ali R.A telah menceritakan hadits berikut:

KANAN NABIYYU S.A.W. IDZA RAKA’A QALA: ALLAHUMMA LAKA RAKA’TU WABIKA AMANTU WALAKA ASLAMTU KHASYA’A LAKA SAM’I WABASHARI WA MUKHI WA ‘AZHMI WA’ASHABI

“Nabi SAW apabila rukuk, maka ia mengucapkan ya Allah, hanya kepada Engkaulah aku rukuk, hanya kepada Engkaulah aku beriman, dan hanya kepadaEngkaulah Aku berserah diri. Pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulangku dan syarafku semuanya Khusyuk kepadaMu”

10. Bangkit dari Rukuk (I’tidal)

Bilamana Nabi SAW telah mengucapkan do’a Sami’allahulimanhamidah, maka Ia mengucapkan “Rabbana walakal hamdu” (Ya Rabb Kami, bagi Engkau segala puji). (H.R Bukhari)

di Antara ajaran beliau SAW adalah tuma’minah, sa’at bangkit dari rukuk (H.R Muslim dan Ahmad)



11. Mengenai Gerakan Sujud

Beliau SAW tidak mengangkat kadua tangannya, sebagaimana yang dilakukannya saat mengangkat badan dari posisi berdiri untuk rukuk, tetapi beliau SAW hanya mengucapkan “Allahu Akbar” Kemudian bersujud, kemudian meletakan Jari-jari tangannya dan menghadapkan semua ujung jari-jari tangannya kearah kiblat. Beliau juga biasa merapatkan kedua tumitnya, menegakan kedua kakinya (jari-jari kakinya). Dan beliau SAW memerintahkan hal itu untuk dilakukan, beliau SAW juga bersabda:

AMIRTU AN ASJUDA ALA SAB’ATI A’ZHUMIN: ‘ALAL JUBHATI WA ASYARA BIYADIHI ‘ALA ANFIH, WAL YADAINI, WARRUKBATAINI, WA ATHRAFILQADA MAINI, WALA TAKFITATSTSI YABA WASYSYA’ARA
Artinya: “Aku diperintahkan untuk bersujud diatas tujuh tulang, yakni pada kening, dan beliau menunjuk dengan tangannya kehidungnya, dua tangan, dua lutut, dan semua jari-jari telapak kaki, kami tidak mengumpulkan pakaian dan rambut” (H.R bukhari 812-809, Muslim 940)

12. Do’a Do’a Sujud

Beliau SAW dalam sujudnya, biasa membaca:

SUBHANA RABBIYAL A’LA
Maha Suci Rabbku Yang Maha Tinggi (H.R Muslim 772, Abu Daud 869)
Membacanya berulang-ulang tiga kali, sampai 10 kali. Beliau juga bersabda:

AQRABU MAYA KUNUL MAR-U MIN RABBIHI WAHUA SAJIDUN FA AKTSIRUL FIHI MINAD DU’A-I
Saat yang paling dekat seseorang hamba kepada Rabnya adalah ketika bersujud, oleh sebab itu perbanyaklah do’a didalam sujud” (H.R Muslim 482, Abu Daud 870)

13. Duduk di Antara Dua Sujud

di Antara Sunnah yang di Ajarkan oleh beliau SAW adalah, beliau biasa menegakkan kaki kanannya dan menghadapkan jari-jari kaki kanan kea rah kiblat, serta menghamparkan kaki kirinya, lalu duduk di atasnya dengan tuma’minah,

di Sunnahkan meletakan tangan kanan di atas paha kanan, sementara tangan kiri di letakan di atas paha kiri, tidak membuka jari-jari tangan, namun di arahkan ke kiblat hingga batas akhir kedua lutut.

Beliau SAW duduk diantara dua sujud biasa mengucapkan:
ALLAHUMMAGHFIRLI WARHAMNI WAHDINI WARZUQNI WAJBURNI
“Ya Allah Ampunilah Dosaku, Berikanlah Rahmat Kepadaku, Berilah Petunjuk Kepadaku, Berilah Rizqi Kepadaku,Cukupilah Kekuranganku” (H.R Abu Daud 845, Thurmudzi 284)

14. Duduk Istirahat

Yaitu duduk yang ringan, yang dilakukan setelah slesai dari sujud, yang kedua dari rakaat yang pertama, sebelum bangun ke rakaat yang kedua dan setelah selesai dari sujud yang kedua, dari rakaat yang ketiga, Sebelum bangun ke rakaat yang ke empat. Sebagian Ulama men-Sunnahkannya, sebagian ulama yang lain tidak. Hanya dilakukan apabila dipandang perlu untuk Istirahat.

         Adapun sebagian ulama yang lain, Hal ini merupakan sunnah, menurut Imam Syafi’I, Imam Ishaq dan Imam Ahmad. Tetapi selain mereka mengatakan bahwa hal ini bukan merupakan sunnah, karena hadits Abu Humaid tidak menyebutkan tentang hal ini.
        
Adapun dalil dari hadits yang men-Sunnahkan ialah dari Qilabah R.A telah menceritakan hadits berikut:
“Malik ibnul Huwairits shalat bersama dengan kami, seperti shalatnya Rasulullah SAW. Adalah Ia apabila mengangkat kepalanya dari sujud terakhir pada rakaat pertama, ia duduk terlebih dahulu, lalu berdiri. (H.R Khamsah Kecuali Muslim)

15. Adab Bangkit ke Raka’at Berikutnya

Orang yang shalat bangkit (untuk mengerjakan raka’at berikutnya) sambil bertakbi, kemudian baru membaca Al-Fatihah. Ia tidak boleh membaca doa Iftitah manapun sebagaimana raka’at pertama. Di Riwayatkan oleh Muslim dan yang lainnya, dari Abu Hurairah R.A, Ia berkata: “Apabila Rasulullah SAW bangkit dari raka’at kadua, maka beliau biasa memulai dengan bacaan Alhamdulillah dan tidak diam” (H.R Muslim 599)

         di Sunnahkan untuk lebih memanjangkan raka’at pertama, dan di Sunnahkan untuk lebih memanjangkan raka’at pertama daripada raka’at kedua, karena, beliau SAW dalam dua rak’at yang pertama biasa membaca Fatihatul Kitab dan dua surat. Sedangkan raka’at ke tiga dan ke empat cukup dengan membaca Fatihatul Kitab saja.

16. Sifat Duduk Tasyahud

Sebaiknya Kita Memelihara Sunnah-Sunnah Dalam Duduk Tasyahud.
Pertama: Kita Meletakkan Kedua Tangan Atas Salah Satu Sifat Ini:

  1. “Meletakan Tangan Kiri Atas Lutut Kiri, Tangan Kanan Atas Lutut Kanan, Dengan Menggenggam Anak-Anak Jari, Serta Menjadikan Ibu Jari Menggenggam Jari Tengah Dibawah Telunjuk, Serta Ber Isyarat Dengan Telunjuk Itu” (H.R Muslim dari Ibnu Umar R.A)

  1. “Meletakan Telapak Tangan Kiri Atas Paha Dan Lutut Kiri, Menjadikan Ujung Siku Yang Sebelah Kanan Atas Paha Kanan. Kemudian Menggenggam Anak-Anak Jari Kanan, Dengan Menggelung Ibu Jari Ke Jari Tengah Dan Ber Isyarat Dengan Telunjuk, Serta Menggerakkannya Di Tiap-Tiap Berdo’a”. (H.R Ahmad dari Wa il Ibnu Hujr)

  1. “Meletakan Tangan Kanan Atas Paha Kanan, Dan Tangan Kiri Atas Paha Kiri, Serta Ber Isyarat Dengan Telunjuk, Sedangkan Pandangan Mata Ditujukan Ke Telunjuk Itu”. (H.R Ahmad, Muslim dan An-Nasa’i)

Kedua: Hendaklah Kita Ber Isyarat Dengan Telunjuk Kanan Yang Sedikit Di Tundukan Sehingga Bersalam, Sebagaimana yang di Terangkan Oleh Hadits Ahmad, An-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan Sanad (Hasan)

Hendaklah Telunjuk itu di gerakan di tiap-tiap berdo’a sebagai tanda ke Ikhlasan atau tanda tadarru’.
         Ulama-ulama Syafi’iah hanya ber Isyarat dengan telunjuk, sekali saja. Yaitu tatkala mengucapkan “Illallah”.
Golongan Hanafiah mengangkat telunjuk tatkala membaca “La” dan menundukkan kembali tatkala membaca “Illallah”
         Golongan Malikiyah menggerak-gerakkan telunjuk kekanan dan ke kiri terus menerus sehingga selesai shalat.
         Golongan Hambaliyah ber Isyarat dengan telunjuk tiap-tiap menyebut nama Allah SWT untuk meng-Isyarat-kan kepada ke-Esa an-Nya, tidak digerak-gerakkannya terus menerus

Inilah sunnah-sunnah Rasul dalam meletakkan tangan di atas paha. Kami memilih cara yang di kemukakan Wa il Ibnu Hujr, semua cara boleh di amalkan, Bedasarkan dalil Hadits:

“Beliau SAW biasa meng Isyaratkan, dengan jari Telunjuknya ke arah Kiblat, sedangkan pandangan beliau tidak pernah melebihi isyaratnya, (yakni pandangan terfokus ke jari telunjuk).” (H.R Muslim 580 dan Lainnya.)

“di Riwayatkan dari Abdullah bin Umar R.A bahwa apabila Rasulullah SAW duduk Tasyahud dalam shalat, beliau meletakkan tangan kanan di atas paha kanan, kemudian meng Isyaratkan jari yang terletak dekat Ibu Jari (yakni jari telunjuk) Sebelah kanan. Lalu beliau berdo’a sambil meng Isyaratkannya. Dan tangan kiri beliau bentangkan di atas paha kiri” (H.R Muslim dalam Al-Masajid 985)

Ketiga: Hendaklah duduk secara Iftirasy dalam tasyahud yang pertama dan secara tawarru dalam tasyahud yang kedua.
Duduk tawarru, ialah: “Menegakkan kaki kanan dengan menghadapkan anak-anak jarinya kea rah kiblat, serta melipatkan kaki kiri ke bawah kaki kanan, dan meletakkan punggung (pantat) ketempat duduk”

17. Tasyahud Pertama (Awal)

At-Thurmudzi berkata: “duduk dalam tasyahud awal itu diringkaskan, beginilah yang diamalkan oleh Ahli Ilmu, mereka lebih suka agar seseorang jangan memanjangkan duduknya dalam tasyahud awal sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Apabila Beliau duduk didalam dua rakaat pertama, maka se akan-akan beliau duduk di atas batu yang dipanaskan.” (H.R At-Thurmudzi 336, An-Nasa’i 1176 dari Ibnu Mas’ud R.A)

Ini menunjukkan dari cara duduk yang ringan, tidak ada riwayat yang menjelaskan bahwa beliau pernah bershalawat untuk diri dan keluarganya atau memohon perlindungan dari azab kubur dan lain sebagainya.
Kata Ibnu Qayyum: “Tiadalah di nukilkan dari Nabi SAW bahwasanya beliau bershalawat dalam tasyahud pertama, dan tiada pula ber Isti’adzah”

Menurut Riwayat An-Nasa’i terkadang-kadang Nabi SAW membaca shalawat dalam tasyahud pertama, maka kalau kita membacanya, hendaklah membaca seringkasnya. Do’a shalawat itu boleh di baca dengan salah satu lafadh yang di tuntunkan Nabi SAW

18. Tasyahud Akhir

Bershalawat kepada Nabi SAW sebagaian ulama menetapkan hukumnya “mandubah” bedasarkan hadits yang diriwayatkan oleh At-Thurmudzi dan dishahihkan oleh Ahmad dan Abu Daud dari Fadlalah Ibn ‘Ubaid

Shahibul Muntaqa berkata “dalam hadits Fadlalah itu terdapat hujjah bagi yang tidak memandang bahwa shalawat itu fardhu, karena dalam hadits itu Rasulullah SAW tidak menyuruh orang yang tidak membacanya mengulangi shalat”

Kata Ash-Shan’any, Dalil-dalil yang diperoleh dalam masalah shalawat ini, menunjuk pula, bahwa shalawat kepada keluarga Nabi SAW juga wajib, Inilah pendapat Al-Hadi, Al-Qasim dan Ahmad Ibn Hambal

Di sebutkan dalam hadits Muttafaqun’alaih (Bukhari dan Muslim) Bahwa Para sahabat R.A pernah bertanya kepada Nabi SA, mereka mengatakan “Ya Rasulullah, Bagaimanakah kami bersahalawat kepadamu, beserta keluargamu, Karna sesungguhnya Allah telah mengajarkan kepada kami cara mengucapkan salam kepada engkau?” Beliau menjawab Ucapkanlah:

ALLAHUMMA SHALLI ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMAD KAMA SHALLAITA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM, INNAKA HAMIDUN MAJID. ALLAHUMMA BARIK ‘ALA MUHAMMAD WA ‘ALA ALI MUHAMMAD KAMA BARAKTA ‘ALA IBRAHIM WA ‘ALA ALI IBRAHIM, INNAKA HAMIDUN MAJID

Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi shalawat kepada Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah keberkahan kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi keberkahan kepada Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. (H.R Bukhari 3370, Muslim 406)


19. Do’a Setelah Tasyahud Akhir Sebelum Salam

Disunnahkan kita berdo’a sesudah tasyahud akhir sebelum salam, dengan do’a yang kita kehendaki, baik mengenai kebaikan dunia, maupun kebaikan akhirat.

Suunah Rasul juga menetapkan, ada do’a-do’a setelah tasyahud dan sebelum salam, diantara do’a-do’a ini adalah, do’a yang diriwayatkan dari Abu Hurairah R.A, bahwa beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda:

 “Apabila salah seorang diantara kamu selesai dari tasyahud akhir, maka ucapkanlah: Aku berlindung kepada Allah SWT dari empat hal; adzab jahannam, adzab kubur, fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah ad Dajjal” (H.R Muslim 588, Ahmad, Al-Musnad 2/237)

Seseorang diperbolehkan memilih do’a-do’a itu sekehendak hatinya, berdasarkan sabda Nabi SAW:
“Kemudian biarkanlah ia memilih do’a yang di sukainya, lalu berdo’alah dengannya” (H.R Al-Bukhari 835, Muslim 402)

Dalam hal ini terdapat banyak do’a matshur yang disebutkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sifati Shalatin Nabi SAW diantarnya ialah:

Rasulullah SAW bersanda:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab (siksa) kubur, dari siksa neraka, dari fitnah kehidupan dan kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal.” (H.R. Bukhari 1377, Muslim 588, Abu Daud 979)

20. Dzikir-Dzikir dan Do’a sesudah Salam
Menurut Ibnu Qayyim R.H. Dzikir yang di ucapkan akan sangat bermanfaat kepada lahir dan bathin kita. Akan membuat Allah SWT menjadi Redha. Menghilangkan kekundahan, mendatangkan kesenangan didalam hati, menguatkan hati dan badan, mebuat hati dan wajah menjadi berseri-seri. Melapangkan pintu rezeki.


  1. “Adalah Nabi SAW Jika Selesai Salam Dari Shalatnya Beliau SAW Membaca Istighfar 3 Kali” (HR Muslim 591, Abu Daud 1513, Tirmidzi 300, An-Nasa’i 3/68)



  1. Beliau Biasa mengucapkan Dzikir:

ALLAHUMMA ANTAS SALAM WA MINKAS SALAMU TABARAKTA YA DZAL JALALI WAL IKRAM
Artinya: “Ya Allah, Engkaulah Maha Sejahtera dan dari Engkaulah Segala kesejahteraan. Engkaulah yang Maha Mulia, Wahai Dzat yang penuh dengan ke Agungan dan Kemuliaan” (H.R Muslim 591)

  1. Beliau SAW sehabis shalat biasa mengucapkan Dzikir:

LA ILAHA ILLALLAH WAHDAHU LA SYARIKALAHU, LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALA KULLI SYAI’IN QADIR, ALLAHUMMA LA MANI’A LIMA A’THAITA WA MU’THIYA LIMA MANA’TA WALA YANFA’U DZAL JADDI MINKAL JADDU
Artinya: Tiada sesembahan selain Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nyalah segala kerajaan dan milik-Nyalah segala pujian, dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tiada yang bisa menghalangi apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Engkau cegah, dan tidak bermanfaat pemilik kekayaan, dan dari-Mulah segala kekayaan” (H.R. Bukhari 2/275, Muslim 593, Abu Daud 1515, An-Nasa’i 3/70)

  1. Rasulullah SAW bersabda:

“Barangsiapa yang bertasbih setelah melakukan sholat sebanyak 33 kali, bertahmid sebanyak 33 kali, dan bertakbir sebanyak 33 kali, maka hal itu berjumlah menjadi 99, dan untuk melengkapi jumlah 100, ia menucapkan, La Ilaha Illallah Wahdahu La Syarika Lahu, Lahul Mulku, Walahul Hamdu Wa Huwa ‘Ala Kulli Syai-in Qadir (Tidak Ada sesembahan yang berhak di ibadahi selain Allah semata, Tiada sekutu bagiNya. BagiNyalah segala kerajaan, puji-pujian dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu), Niscayakesalahan-kesalahannya diampuni walaupun sebanyak buih dilautan” (H.R Muslim 597 dan Lainnya)

  1. Rasulullah SAW bersabda

Wahai Mu’adz, aku wasiatkan kepadamu agar setiap selesai shalat jangan sekali-kali engkau tinggalkan Membaca Do’a
ALLAHUMMA A’INNII ‘ALA DZIKRIKA WA SYUKRIKA, WA HUSNI ‘IBAADATIK (Ya Allah, Bantulah Aku Untuk Mengingat-Mu Dan Bersyukur Kepada-Mu, Serta Agar Bisa Beribadah Dengan Baik Kepada-Mu). (H.R An-Nasa’I 1303 dan Lainnya)

  1. Rasulullah SAW bersabda:

MAN QARA A AYATUL KURSI DUBURA KULLI SHALATIN LAM YAMNA’HU DUKHULIL JANNATI ILLA AN YAMUT
“Barangsiapa membaca Ayat Kursi setiap selesai menunaikan shalat lima waktu, maka tidaklah ada yang menghalanginya untuk masuk ke dalam Al-Jannah (Surga) kecuali kematian.” (HR. An-Nasa’i dalam Sunan Al-Kubra no. 9928)

  1. Nabi SAW juga memerintahkan kita supaya membaca Al-Ikhlash dan Mu’awwidzatain (yakni surat Al-Falaq dan An-nas) Sehabis Setiap Shalat (H.R At-Tharmudzi 2903, An-Nasa’i 1336)

METODE MENGHASILKAN SHALAT KHUSYUK

            Shalat adalah hubungan makhluk dengan khaliqnya, shalat adalah penenang jiwa dan pembersih hati, shlat merupakan bentuk hubungan yang sebenarnya antara yang lemah dengan yang maha kuat. Untuk itu, kita perlu memahami bagaimana cara untuk berhubungan dengan Allah S.W.T dengan Keridhaannya. Dalam Al-Qur’an Allah S.W.T berfirman:
 
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya, (Q.S Al-Mu’minun 23:1-2)

            Disini kita dapat memahami, bahwa orang-orang yang beruntung didalam shalatnya ialah yang memahami akan maksud pelaksanaan shalat tersebut yakninya Khusyu’, untuk itu kita perlu mengetahui metodenya.

1. Cara mendapatkan khusyu’ dalam shalat.

Hendaklah kita merasa diri sedang berdiri di hadapan yang maha berkuasa, yang mengetahui segala rahasia. Dengan (Allahu Akbar yang maha besar) kekuasaan-Nya orang yang shalat bermunajat.

2. Hendaklah kita memahamkan makna apa yang di baca. Sebagaimana yang diperinthakan Allah S.W.T dalam Al-Quar’an dengan firmannya:
أَفَلا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Afala Yatadabbaruunal Qur’ana Am’ala Quluubin Aqfaluha.
Artinya: Maka apakah mereka tidak memahamkan Al-Qur’an? Ataukah hati-hati mereka terkunci? (Q.S 47:Muhammad Ayat 24)

3. Hendaklah kita memahamkan zikir-zikir yang dibaca, yakni memperhatikan maknanya dan tujuan maksudnya. Kata Imam Al-Ghazaly dalam Al-Arba’ien:

Hendaklah kamu membaca “Allahu Akbar” dengan mengingat bahwasanya tak ada yang besar dari pada Allah S.W.T dalam segala hal. Untuk itulah kita tundukkan hawa nafsu kita sesuai dengan kehendak Allah S.W.T.

 “Hendaklah kamu membaca “Wajahtu Wajhiya” dengan perasaan, bahwa kamu benar-benar menghadapkan jiwamu kepada Allah S.W.T dan berpaling dari selain-Nya” (dengan segala yang kita punyai kita hadapkan kepada-Nya).

Baik jabatan, kekayaan, ketampanan, aktifitas apapun yang kita lakukan, kita persembahkan hanya kepada Rabbul Alamin.

Hendaklah kamu membaca “Alhamdulillah” dengan penuh  rasa syukur kepada Allah S.W.T terhadap segala nikmat-Nya. Kesehatan, kesempatan, ilmu pengetahuan kesemuanya tidak dapat dihitung satu persatu.

Hendaklah kamu membaca “Iyyaka na’budu wa iyya ka nasta’in” dengan perasaan bahwa kamu sangat lemah dan bahwa segala urusan itu hanya dalam Qudrat-Nya.
                       
Dan hendaklah ditiap-tiap membaca zikir, kamu memahami maknanya, dan segala yang membimbangkan kamu dari memahami maknanya Qira’at (apa yang kamu baca) dipandang waswas.



4. Hendaklah kita memanjangkan rukuk dan sujud.
Muhammad Al-Bakry berkata: Bahwasanya di antara pekerjaan yang menghasilkan khusu’ ialah memanjangkan rukuk dan sujud.

5. Janganlah mempermai-mainkan anggota badan dengan gerakan tangan sebentar-sebentar menggaruk kepala dan sebentar-sebentar menggaruk yang lain dan janganlah berpaling-paling.

6. Hendaklah tetap memandang ketempat sujud, walaupun bermata buta, atau bershalat disisi Ka’bah sekalipun.


Kata Al-Ustadz Al-Imam Muhammad Abduh:

a. Hendaklah ketika mereka menyebut sesuatu lafadh, mengingat maknanya. Umpamanya, dikala membaca “Alhamdulillah” hendaklah mereka menghadirkan makna puji dan sebab-sebab segala rupa puji itu, kepunyaan Allah S.W.T. ;dikala membaca “Malikiyaumiddin” hendaklah mereka kenangkan hari pembalasan.

b. Hendaklah mereka berlaku sedemikian terus-menerus sehingga selesai shalat. Apabila seorang tetap memahami makna dari lafadh yang di ucapkan, barulah berarti ia mendirikan shalat.

Berfirman Allah S.W.T:
ﻴﺄﻴﻬﺎﺍﻟﺫ ﻳﻥﺀﺍﻤﻧﻮﺍﻻ ﭠﻘﺭﺒﻮﺍﺁﻠﺼﻠﻮﺓ ﻮﺃﻧﭠﻢ ﺴﮏﺭﺤﭠﻲﭡﻐﻠﻤﻮﺍﻤﺍﭠﻘﻮﻠﻮﻥ

Yaa Ayyuhalladzina a manu lataqrabush shalata wa antum sukaraa hatta ta’lamu mataquluun
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan (Q.S 4:An-Nisaa Ayat 43)

                  Perkataan sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, Memfaedahkan, bahwa mengetahui (memahami) apa yang di baca seseorang dalam sholatnya baik shalawat, maupun zikir adalah wajib atau syarat sah shalat.

Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Anas R.A. bahwasanya Nabi S.A.W bersabda:
Idza Na'isa Ahadukum Wahua Yushalli Fal Yan Sharif Falyanam Hatta Ya'lama Mayaqul

Artinya: Apabila sesorang kamu mengantuk padahal ia sedang bershalat, maka hendaklah ia berpaling dari shalatnya dan hendaklah ia tidur, sehingga ia mengetahui apa yang akan ia ucapkan”. (H.R Abu Daud, Al-Tarmidzi dari Aisyah dalam Tafsir Al-Manaar, Jilid I Hal. 115)
Arti mengetahui “memahamkan”

                  Ayat di atas, demikian juga hadits ini, menunjukan kepada wajib, mengetahui bahasa arab atas tiap-tiap muslim, untuk memahamkan apa yang dibaca dalam shalatnya, sekurang-kurangnya menghafal makna atau ucapan-ucapan dan zikir-zikir dalam shalat.

                  Adapun waswas yang hadir di kala kita bershalat penangkalnya ialah bersungguh-sungguh tidak mengikuti goresan hati tersebut, janganlah kita biasakan ia masuk kelubuk hati kita dan membawa kita melayang-layang dan terapung-apung di udara waswas. Dan ingatlah, kita sedang bermunajat dengan Allah S.W.T yang dapat melihat gerak-gerik kita, gerak-gerik anggota kita dan mendengar segala rupa gerak jiwa.

                  Perasaan waswas akan selalu merasuk kedalam hati orang-orang yang bershalat, karena gangguan dan bisikan-bisikan syetan, untuk itu kita mohon perlindungan kepada Allah S.W.T. sebelum kita bertakbiratul ikhram, kita disunnahkan membaca do’a yaitu, Rasullullah S.A.W bersabda:

Rabbi A’udzubika Min Hamazatisy Syayathin Wa A’udzubika Rabbi Min An-Yahdhurun

Artinya: Tuhanku, aku berlindung diri denganMu wahai Tuhanku, dari godaan-godaan syetan dan aku berlindung diri denganMu, Tuhanku dari kehadiran syetan-syetan itu

ADAB DI KALA BERTA’MIEN (MEMBACA AAMIIN)

Apabila telah selesai dari Al-Fatihah, maka hendaklah kita berdiam kadar senafas. Sesudah itu berta’mien-lah, yakni bacalah “Aamiin”
“Perkenankanlah Wahai Allah akan Permohonanku itu”.

Dengan merendahkan suara dan memanjangkannya, Jika bershalat sendiri, Walaupun Al-Fatihah di jaharkan. Dan dengan mengeraskan suara dan memanjangkannya jika shalat jama’ah, Jika Al-Fatihah di Jaharkan.
Dalam kitab shahih Bukhari Ke 50 di katakan dalam Hadits No. 780, Dari Abu Hurairah R.A, bahwa Nabi SAW bersabda:

“Jika imam membaca Aamiin, (perkenankanlah Ya Allah), maka jawablah, dan jika bersamaan bacaan Aamiin tersebut yang di baca malaikat maka ia akan di ampuni (oleh Allah) dosanya yang lalu, Berkata Ibn Syihab: Dan Rasulullah SAW membaca Aamiin (yang di baca sesudah Al-Fatihah)”

Keliru dalam mengucapkan Lafazh “Aamiin”

Syeikh Sa’ad Yusuf Abu Aziz dalam bukunya sunnah dan bid’ah menguraikan: Kebanyakan orang-orang yang shalat, memanjangkan Mad Badal dalam lafazh Aamiin menjadi Enam Hrakat (Aaaaaamiin), Padahal seperti yang sudah di ketahui, Mad Badal tidak boleh lebih dari Dua Harakat.


Sebagian penganut Mahzab tertentu, meninggalkan Bacaan Aamiin “Aamiin” di belakang Imam. Hal ini bertentangan dengan sunnah dan orang yang meninggalkan bacaan Aamiin tidak mendapatkan pahala yang besar dari bacaan itu.

Dalilnya dari hadits Abu Hurairah R.A, yang tertera di atas Hadits ini Adalah Hadits shahih, Hadits Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim.

Adapun Mahzab Imamiyah aliran Syi’ah, mengharamkan mengucapkan “Aamiin”, karena hal itu termasuk pembicaraan manusia.

di Sunnahkan bagi Imam, Makmum, dan yang shalat sendiri untuk membaca “Aamiin” dengan jahar keras dengan shalat yang di jaharkan dan membacanya dengan pelan, (siir), dalam shalat yang bacaannya (di Siirkan). Nabi SAW biasa mengucapkan kata “Aamiin”. Beliau memotivasi kita, supaya mengamalkan hal itu dengan sabdanya:

MA HASADAT KUMUL YAHUDU ‘ALA SYAI’IN MA HASADAT KUM ‘ALAS SALAMI WATTA’MIINI KHALFAL IMAMI
Artinya: “Tidak ada sesuatu yang membuat kedengkian orang-orang yahudi lebih dahsyat terhadap kalian daripada ucapan salam dan Aamiin di belakang Imam” (H.R Ibnu Majjah 756)

Beliau SAW Juga bersabda:

MAN WAFAQATA’MIYNUHU TA’MINAL MALA IKATI, GHUFIRA LAHU MA TAQADDAMA MIN DZANBIHI
Artinya: “Barang siapa mengucapkan Aamiin, bertepatan dengan ucapan Aamiin para malaikat, maka dosa-dosanya yang telah lampau akan di ampuni” (H.R Bukhari 780, Muslim 410 dan yang lainnya)

Sedangkan dalam riwayat bukhari, Nabi SAW bersabda:

IDZA QALAL IMAMU: GHAIRIL MAGHDHUBI’ALAIYHIM WALADH DHAALLIIN, FAQULU: AAMIIN
Artinya: “Apabila imam telah membaca Ghairil Maghdhubi’alaiyhim Waladh Dhaalliin, Maka Ucapkanlah Aamiin” (H.R Bukhari 780, Muslim 410 dan yang lainnya)

Jumhur ulama memaknai perintah dalam hadits ini bermakana, (sunnah mu’akad), yaitu sunnah yang di anjurkan sekali kita untuk membacanya.

di Saat kita membaca Aamiin, maka hendaklah kita penuhkan dada kita dengan mengharapkan semoga Allah SWT mengabulkan permohonan kita itu. Aamiin, Perkenankanlah Ya Allah akan permohonan ku itu dengan merendahkan suara dan memanjangkannya.