Shalat adalah doa si hamba kepada Khaliq-nya, yakni Allah SWT. Shalat berarti juga pertemuan antara hamba dengan Tuhan. Tempat pertemuan itu ada di dalam hati. Jika hati tertutup, tidak mengindahkan dan tidak peduli, ataupun mati, maka shalat yang dilakukan tidak memberi manfaat kepada dirinya. Shalat yang tidak khusyuk itu tidak mendatangkan faedah kepada diri jasmani, karena hati adalah Zat untuk badan. Anggota badan lainnya yang bertindak dalam shalat itu bergantung kepadanya. Nabi SAW telah bersabda :
“Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging, apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua tubuh itu. Daging itu adalah hati.”
Jelaslah, jika hati seseorang sedang sakit, yakni rusak, maka akan rusaklah seluruh anggota yang lain. Bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa shalat seseorang itu baik, jika hatinya tidak baik, yakni rusak ?
Shalat yang zahir dilakukan pada waktu-waktu tertentu, lima kali sehari-semalam. Tempat paling baik untuk melakukan shalat ialah di masjid, dan dilakukan dengan berjamaah, karena shalat berjamaah banyak manfaatnya. Allah memberikan pahala yang berlipat ganda untuk mereka yang mengerjakan shalat berjamaah. Selain itu, dia dapat berdoa bersama-sama, yang rahasianya sangat nyata bagi orang yang mengerti.
Tetapi banyak orang tidak memperhatikan masalah shalat berjamaah ini, padahal dia dapat melakukannya. Seolah-olah dia tidak mementingkan janji Allah yang akan memberikan pahalanya berlipat ganda; seolah-olah dia tidak mengutamakan anjuran Allah supaya berdo’a dengan berjamaah; seolah-olah dia tidak mengindahkan perintah syariat supaya selalu mendirikan shalat dengan berjamaah. Jika dia mengingkari perintah ini, berdosalah dia, karena itu sama artinya dengan seperti dia mengingkari perintah Tuhan. Orang yang jahil mungkin dimaafkan, tetapi hati-hatilah dari perintah shalat berjamaah ini ! Berilah perhatian kepadanya, moga-moga Allah merahmati kita !
Shalat Dari Segi Ruhaniyah
Shalat dari segi ruhaniah atau shalat dari kacamata ruhani tidak terbatas dan tidak dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara ruhaniah tidak terikat oleh ruang dan waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk shalat secara ruhaniah terletak di dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya ruhaniah yang berzikir dan membaca Asma’ullah (nama-nama Allah) dalam bahasa alam ruhaniah (alam batin). Imam dalam shalat ini adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat dan kiblatnya adalah Allah.
Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur dan tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang hayat untuk ibadah.
Inilah ibadah orang yang sudah mencapai puncak ma’rifah dengan Allah SWT, tempat penyucian tertinggi. Di tempat itu, ia ada tanpa dirinya, karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh dan suci tercurah hanya kepada Allah. Ini berlaku sesudah semua shalat-shalatnya yang fardhu dan sunnah sudah sempurna dijalankannya. Jangan diartikan apabila mereka berada dalam keadaan seperti ini, mereka tidak perlu shalat lagi seperti orang lain. Malah kadang-kadang dalam shalat itulah mereka ber-fana’ dalam munajatnya sehingga mengambil masa yang panjang.
Pada tingkatan itu tidak ada lagi bacaan di mulut, tidak ada lagi gerakan berdiri, rukuk, sujud, duduk antara dua sujud, dan sebagainya. Si hamba berbincang-bincang dengan Allah, sesuai dengan firman-Nya :
“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Q.S. Al-Fatihah: 5)
Firman Allah itu ditafsirkan sebagai tanda tingginya kesadaran “Insan Kamil”, yaitu mereka yang telah melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman ruhani sehingga tenggelam dalam lautan Tauhid atau Keesaan Allah dan ‘berpadu’ dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang telah mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan itu. Namun, mereka pun sering tutup mulut, tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang disimpan di lubuk hatinya oleh Allah SWT.
Setelah ibadah shalat secara lahir dan batin berpadu, berharmoni dan berdekatan, maka sempurnalah shalat seorang hamba dan ganjarannya sangat besar. Hati dan ruh seperti yang digambarkan diatas, membawa seorang dekat dan masuk ke Hadhirat Allah SWT. Hatinya ‘berpadu’ dengan Allah, dan jasmaninya atau keduniaannya mencapai tingkat tertinggi. Dalam alam nyata ia menjadi manusia atau hamba Allah yang wara’ dan alim. Dalam alam ruhani ia jadi ahli Ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal Allah SWT.
Jika ibadah zahir tidak bersatu atau tidak sejiwa dengan ibadah batin, maka ibadah tersebut belum sempurna dan baik. Bila ibadah zahir yang dilakukan seseorang baik, ibadah itu sebenarnya hanya mengalami kemajuan dalam kacamata dunia, yaitu dari segi pandangan manusia. Ganjaran dunia itu tidak akan membawa seseorang dekat dengan Allah dan ‘berpadu’ dengan-Nya, wallahu-a’lam.
Shalat Adalah Perjalanan Menuju Allah Yang Maha Tinggi
Ketika kita mendirikan shalat berarti kita sedang menuju ke pintu Allah. Shalat diibaratkan sebagai suatu perjalanan ruhani, karena semua gerak-gerik kita di dalam shalat dikontrol oleh niat kita yang dilafalkan ketika memulai shalat. Karena itu, kita tidak boleh melakukan suatu gerakan atau ingatan lain selain apa yang kita ucapkan di dalam shalat itu. Itulah dasar shalat. Shalat harus dilakukan dengan khusyuk, tenang, dan menghadirkan hati dan pikiran. Akan tetapi, kebanyakan orang dalam melakukan shalat, hanya jasadnya saja yang berdiri tegak, rukuk, dan bersujud, sedang hatinya lalai dan pikirannya bercabang-cabang. Apakah itu dapat disebut shalat ? Cobalah cari jawabannya sendiri !
Dengan mendirikan shalat, kita telah menempuh setengah perjalanan menuju Allah. Dan ditambah dengan puasa, maka kita telah sampai di pintu Allah. Apabila dilengkapi dengan sedekah, maka kita telah memasuki rumah-Nya.
Dalam perjalanan kita menuju Allah dengan shalat, puasa, sedekah, dan amalan lainnya, hendaknya kita memohon bantuan kepada Allah agar Dia mengaruniakan kesabaran dan kekuatan, karena beribadah kepada Allah merupakan ujian yang berat, meskipun secara sepintas tampak mudah.
Mendirikan shalat juga berarti suatu menjalin hubungan atau silah dengan Allah. Orang yang menghadapkan wajahnya kepada Allah di dalam shalat, harus berkonsentrasi penuh kepada-Nya. Dia harus melepas seluruh ruh dan jiwanya dari gayrullah, yakni selain Allah. Dalam shalat menghadap Allah, pikirannya tidak boleh terbagi-bagi kepada hal-hal lain selain Allah, yakni kepada makhluk dan kepada Khaliq. Dia harus menghilangkan segala pikiran tentang makhluk, yakni infisal, dan memusatkan pikirannya kepada Khaliq, yakni ittisal. Inilah shalat yang dilakukan oleh golongan ahlullah.
Adapun shalat yang dilakukan oleh orang-orang awam, dirumuskan oleh mereka sebagai surga di hati sebelah kanan dan neraka di sebelah kiri, sedangkan sirat (titian) berada di depan, dan Allah sedang memperhatikan semua gerak-gerik hati dan anggota badan. Bila kita merasakan hal itu, apakah mungkin kita menyia-nyiakan shalat dengan hati yang lalai dan pikiran yang menerawang ?!
Shalat seorang pecinta (Muhibb) ialah dengan melepaskan diri dan hatinya dari makhluk seraya bersatu dengan Khaliq. Itulah shalat yang sebenar-benarnya shalat.
Wabillahi Taufik Wal Hidayah Wal’Inayah Wassallamualaikum Warahmatullahi Wa’baraakatu