Semua bangsa berusaha keras untuk melestarikan warisan pemikiran dan sendi-sendi kebudayaannya, demikian juga umat Islam amat memperhatikan kelestarian risalah Muhammad yang memuliakan semua umat manusia. Itu disebabkan risalah Muhammad bukan sekedar risalah ilmu dan pembaharuan yang hanya diperhatikan sepanjang diterima akal dan mendapat respons manusia; tetapi diatas itu semua, ia agama yang melekat pada akal dan terpateri dalam hati. Oleh sebab itu kita dapati para pengemban petunjuk yang terdiri atas para sahabat, tabi`in dan generasi sesudahnya menelitu dengan cermat tempat turunya Quran ayat demi ayat, baik mengenai waktu maupun tempatnya. Penelitian ini merupakan pilar kuat dalam sejarah perundang-undangan yang menjadi landasan bagi para peneliti untuk mengetahui metode dakwah, macam-macam seruan dan tahapan dalam penetapan hukum dan perintah, mengenai hal ini antara lain seperti dikatakan oleh Ibn Mas`ud r.a :
` Demi Allah yang tiada Tuhan selain Dia, setiap surah Quran kuketahui diman surah itu diturunkan, dan tiada satu ayat pun dari kitab Allah kecuali pasti kuketahui mengenai apa ayat itu diturunkan. Sekiranya aku tahu ada seseorang yang lebih tahu dari padaku mengenai kitab Allah, dan dapat kujangkau orang itu dengan untaku, pasti kupacu untaku kepadanya`.
Dakwah menuju jalan Allah itu memerlukan metode tertentu dalam menghadpi segala kerusakan akidah, perundang-undangan dan perilaku. Beban dakwah itu baru diwajibkan setelah benih subur tersedia baginya dan pondasi kuat telah dipersiapkan untuk membawanya. Dan asas-asas perundang-undangan dan aturan sosialnya juga baru digariskan setelah hati manusia dibersihkan dan tujuannya ditentukan sehingga kehidupan yang teratur dapat terbentuk atas dasar bimbingan dari Allah.
Orang yang membaca Al-Quran Al-Karim akan melihat bahwa ayat-ayat makkiyah mengandung karakteristik yang tidak ada dalam ayat-ayat madaniyah, baik dalam irama mauoun maknanya; sekalipun yang kedua ini didasarkan pada yang pertama dalam hukum-hukum dan perundang-undangannya.
Pada zaman jahiliyah masyarakat sedang dalam keadaan buta dan tuli, menyembah berhala, mempersekutukan Allah, mengingkari wahyu, mendustakan hari akhir, dan mereka mengatakan :
`Apakah apabila kami telah mati dan telah menjadi tanah serta menjadi tulang belulang, apakah benar-benar kami akan dibangkitkan?` ( as-Shaffat : 16 ).
`Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa`,( al-Jatsiyah : 24 ).
Mereka ahli bertengkar yang sengit sekali, tukang berdebat dengan kata-kata pedas, dan retorika luar biasa, sehingga wahyu Makki ( yang turun di mekkah ) juga berupa goncangan-goncangan yang mencekam, menyala-nyala seperti api yang memberi tanda bahaya disertai argumentasi yang kuat dan tegas, semua ini dapat menghancurkan keyakinan mereka pada berhala, kemudian mengajak mereka kepada agama tauhid. Dengan demikian tabir kebobrokan mereka berhasil dirobek-robek, begitu juga segala impian mereka dapat dilenyapkan dengan memberikan contoh-contoh kehidupan akhirat, surga dan neraka yang ada di dalamnya. Mereka yang begitu fasih berbahasa dengan kebiasaan retorika tinggi, ditantang agar membuat seperti apa yang ada di dalam Qur`an, dengan mengemukakan kisah-kisah para pendusta terdahulu sebagai peringatan dan pelajaran.
Demikianlah akan kita lihat Qur`an surah makkiyah itu penuh dengan ungkapan-ungkapan yang kedengarannya sangat keras ditelinga, huruf-hurufnya seolah melontarkan api ancaman dan siksaan, masing-masing sebagai penahan dan pencegah, sebagai suara pembawa malapetaka, seperti dalam surah Qari`ah, Ghasyiah dan Waqi`ah, dengan huruf-huruf hijaiyah pada permulaan surah, dan ayat-ayat berisi tantangan di dalamnya, nasib umat-umat terdahulu, bukti-bukti alamiyah dan yang dapat diterima akal. Semua ini menjadi ciri-ciri Qur`an surah makkiah.
Setelah terbentuk jamaah yang beriman kepada Allah, malaikat, kitab dan rasulnya, kepada hari akhir dan qadar, baik dan buruknya, serta akidahnya telah diuji dengan berbagai ujian dari orang musyrik dan ternyata dapat bertahan, dan dengan agamanya itu mereka berhijrah karena lebih mengutamakan apa yang ada disisih Allah dari pada kesenangan hidup duniawi- maka disaat itu kita melihat ayat-ayat madinah yang panjang-panjang yang menbicarakan hukum-hukum Islam serta ketentuan-ketentuannya, mengajak berjihad dan berkorban dijalan Allah kemudian menjelaskan dasar-dasar dan perundang-undangan, meletakkan kaiah kemasyarakatan, menentukan hubungan pribadi, hubungan ienternasional antar bangsa. Juga menyingkap aib dan isi hati orang-orang munafik , berdialog dengan ahli kitab dan membungkam mulut meraka. Inilah ciri-ciri umum Qur`an yang Madani.
I. Perhatian Para Ulama terhadap Surah Makki dan Madani serta Contoh dan Faedahnya
Para ulama begitu tertarik untuk menyelidiki surah-surah makki dan madani. Mereka meneliti Qyr`an ayat demi ayat dan surah-demi surah untuk ditertibkan, sesuai dengan nuzulnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Bahkan lebih dari itu, mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan pada peneliti obyektif, gambaran mengenai penyelidikan, ilmiah tentang ilmu makki dan madani. Dan itu pula sikap ulama kita dalam melakukan pembahasan-pembahasan terhadap aspek kajian Qur`an lainnya.
Memang suatu usaha besar bila seorang peneliti meneliti turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mempelajari ayat-ayat Qur`an sehingga dapat meentukan wahyu dan tempat turunnya, serta dengan bantuan tema surah atau ayat, merumuskan kaidah-kaidah analogis unutuk menentukan apakah sebuah seruan itu termasuk makki atau madani, ataukah ia merupakan tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di mekkah atau dimadinah. Apa bila sesuatu masalah masih belum jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak alasan yang berbeda-beda, maka ia kumpulkan, perbandingan dan mengklasifikasikannya, mana yang serupa dan mana yang turun di mekkah dan mana pula yang serupa dengan yang turun di madinah.
Apa bila ayat-ayat itu turun disuatu tempat, kemusian oleh seorang sahabat dibawa segara setalah diturunkan untuk disampaikan di tempat lain, maka para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka berkata : ` apa yang dibawa dari mekkah ke madinah, dan ayat yang dibawa dari madinah ke mekkah.`
Abul Qasim al- Hasan bin Muhammad bin Habib an- Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya at-Tanbih `ala Fadli `Ulumil Qur`an : ` Diantara ilmu-ilmu Qur`an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Quran dan daerahnya, urutannya turunnya di mekkah dan madinah, tenntang yang diturunkan di mekkah tapi hukumnya madani dan sebaliknya, yang diturnkan di mekkah mengenai penduduk madinah dam sebaliknya. Yang serupa dengan yang diturunkan di mekkah ( makki ) tetapi termasuk madani dan sebaliknya, dan tentang yang diturunkan di Juhfah, di baitul Maqdis, di Thaif atau di Hudaibiah. Demikian juga yang diturunkan tentang yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang. Diturunkan secara bersama-sama,2 atau yang diturunkan secara tersendiri, ayat-ayat madaniah dan surat-surat makiah, ayat-ayat makkiah dari surat madaniah; yang dibawa dari mekkah dari madinah dan yang dibawa dari madinah ke mekkah, yang dibawa dari mekkah ke Abisini, yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah di jelaskan, serta yang di perselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan madani dan sebagian lain mengatakan makki. Itu semua ada dua puluh lima macam. Orang yang tidal mengetahuinya dan tak dapat mebeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Qur`an.`
Para ulama sangat memperhatika Qur`an dengan cermat. Mereka menerbitkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya, mereka mengatakan misalnya : ` surah ini diturunkan setelah surah itu` dan bahkan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan dimalam hari dengan yang diturunkan disiang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan yang diturunkan di musim dingin, dan antara yang diturunkan diwaktu sedang berada dirumah dengan yang diturunkan disaat bepergian.
II. Yang terpenting dipelajari para ulama dalam pembahasan ini adalah :
1. Yang diturunkan di mekkah,
2. Yang diturunkan di madinah,
3. Yang diperselisihkan,
4. Ayat-ayat makiah dalam surah-surah madaniah,
5. Ayat-ayat madinah dlam surat makkiah,
6. Yang diturunkan di mekkah sedang hukumnya madani,
7. Yang diturunkan di mekkah sedang hukumnya madani,
8. Yang serupa dengan yang diturunkan di mekkah ( makki ) dalam kelompok madani,
9. Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah ( madani ) dalam kelompok makki;
10. Yang dibawa dari mekkah ke madinah,
11. Yang dibawa dari madinah ke mekkah,
12. Yang turun di waktu malam dan siang,
13. Yang turun dimusim panas dan dingin,
14. Yang turun diwaktu menetap dan dalam perjalanan.
Inilah macam-macam ilmu Qur`an yang pokok, berkisar disekitar makki dan madani, oleh karena dinamakan ` ilmul makki dan madani` .
Beberapa contoh :
1 dan 2. Yang diturunkan di mekkah atau Madinah
Pendapat yang paing mendekati kebenaran tentang bilangan surah-surah makkiah dan madinah ialah bahwa madaniah ada dua puluh surah; 1) al-baqarah, 2) Ali- Imran, 3) an-Nisa`, 4) al- Maidah, 5) al-Anfal, 6) at-Taubah, 7) an-Nur, al-Ahzab, 9) Muhammad, 10) al-Fath, 11) al-Hujurat, 12) al-Hadid, 13) al-Mujadalah, 14) al-Hasyr, 15) al- Mumtahanah, 16) al-Jumu`ah, 17) al-Munafiquun, 18) al-Talaq, 19) at-Tahrim, 20) an-Nasr.
3. Yang diperselisihkan
Sedang yang diperselisihkan ada dua belas surah 1) al-Ftihah, 2) ar-Ra`ad, 3) ar-Rahman, 4) as-Shaf, 5) at-Taghabun, 6) at-Tatfif, 7) al Qadar, al-Bayinah, 9) az-Zalzalah, 10) al-Ikhlas, 11) al-Falaq, 12) an-Nas.
Selain yang disebutkan diatas adalah surat makki, yaitu delapan puluh surah, maka jumlah surah-surah Qur`an itu semuanya seratus empat belas surah.
4. Ayat-ayat makiah dalam surat madaniah.
Dengan menamakan sebuah surat itu makkiah atau madaniah tidak berarti bahwa surat tersebut seluruhnya makkiah atau madaniah. Sebab didalam surat makkiah terkadang terdapat ayat-ayat madaniah, dan didalam surat madaniah pun kadang juga terdapat ayat-ayat makkiah. Dengan demikian penamaan surat itu makkiah atau madaniah adalah menurut sebagian besar ayat-ayat yang terkandung didalamnya. Karena itu dalam penamaan surat sering disebutkan bahwa surah itu makkiah kecuali ayat `anu` adalah madaniah. Dan surah ini madaniah kecuali ayat `anu` adalah makkiah. Demikianlah kita jumpai didalam mushaf-mushaf Quran.
Disekian contoh ayat-ayat makkiah dalam surah madaniah ialah surat al-nfal itu madaniah tetapi banyak ulama mengecualikan ayat : `Dan , ketika orang-orang kafir memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.( al-Anfal : 30 ).
Mengenai ayat ini Muqatil mengatakan : ` ayat ini di turunkan di mekkah, dan memang pada lahirnya memang demikian, sebab ia mengandung apa yang dilakukan orang musyrik di Darun Nadwah ketika mereka merencanakan tipu daya terhadap Rasulullah SAW sebelum hijrah`. Sebagian para ulama mengecualikan pula ayat : ` Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu menjadi penolongmu`. (al-Anfal 84 ). Mengingat hadis yang dikrluarkan oleh al-Bazar dari Ibn Abbas, bahwa ayat itu diturunkan ketika Umar bin Khatab masuk Islam.
5. Ayat-ayat madaniah dalam surah makkiah,
Misalnya surah al-An`am. Ibn Abbas berkata : ` Surah ini diturunkan sekaligus di mekkah, maka ia makkiah, kecuali tiga ayat diturunkan di madinah yaitu ayat : ` Katakanlah : marilah aku bacakan�` sampai dengan ayat ketiga itu selesai ( al-An`am 151-153 ). Dan surah al-Hajj adalah makkiah kecuali tiga ayat diturunkan di madinah, dari awal firman Allah: `Inilah dua golongan yang bertengkar mengenai Tuhan mereka�.`(al-Hajj: 19-21 ).
6.Ayat yang diturunkan di mekkah sedang hukumnya madani.
Mereka memberi contoh dengan firman Allah : `Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(al-Hujurat: 13 ).
Ayat ini diturunkan di mekkah pada hari pertama penaklukan kota mekkah. Tetapi sebenarnya madaniah karena diturunkan sesudah hijrah; di samping itu seruannya pun bersifat umum. Ayat seperti ini oleh para ulama tidak dinamakan makki dan tidak pula dinamakan madani, secara pasti tetapi mereka katakan `Ayat yang diturunkan di mekkah sedang hukumnyamadani`.
7.Ayat yang diturunkan di madinah sedang hukumnya makkah.
Mereka memberi contoh dengan surah al-Mumtahanah, surah ini diturunkan di madinah dilihat dari segi turunnya. Tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik penduduk mekkah.
8.Ayat yang serupa dengan yang diturunkan di mekkah ( makki ) dalam madani.
Yang dimaksud para ulama ialah ayat-ayat yang pada surah madaniah tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum surah makiah. Contohnya firman Allah dalam surah al-Anfal yang madaniah : `Dan , ketika mereka berkata : `Ya Allah, jika betul ini, dialah yang benar dari sisi Engkau, maka hujanilah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami azab yang pedih`.(al-Anfal :32 ) ini mengingat permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan azab itu adalah di mekkah.
9.Yang serupa dengan yang diturunkan di madinah ( madani ) dalam makki.
Yang dimaksud oleh para ulama ialah kebalikan dari yang sebelumnya ( no.8 ) mereka memberi contoh dengan firman Allah dalam surah an-Najm : `orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil.` ( an-Najm :32 )
As-Suyuti mengatakan ` perbuatan keji adalah setiap dosa yang ada sanksinya. Dosa-dosa besar adalah setiap dosa yang mengakibatkan neraka. Dan kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat diantara kedua batas dosa-dosa diatas. Sedang di mekkah belum ada sanksi dan yang serupa dengnnya.` 4
10.Ayat yang dibawa dari mekkah ke madinah.
Contohnya ialah surah al-A`la. Diwiwayatkan oleh Bukhari dari al-Barra bin `Azib yang mengatakan : ` Orang yang pertama kali datang kepada kami dari para sahabat Nabi adlah Mus`ab bin Umair dan Ibn Ummi Maktum. Keduanya membacakan Qur`an kepada kami. Sesudah itu datanglah Amar, bilal dan Sa`ad. Kemudian datang pula Umar bin Khatab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk madinah bergembira setelah aku membacakan sabbihisma rabbikal a`la dari antar surah yang semisal dengannya.` Pengertian ini cocok denga Quran yang dibawa oleh golongan Muhajirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum anshar.
11.Yang dibawa dari madinah ke mekkah.
Contohnya ialah awal surah al-Bara`ah, yaitu ketika Rasulullah SAW memerintahkan kepada Abu Bakar untuk berhaji pada tahun kesembilan. Ketika awal surah al-Bara`ah turun, Rasulullah SAW memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk membawa ayat tersebut kepada Abu Bakar agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka Abu Bakar membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa setelah tahun ini tidak seorang musyrik pun diperbolehkan berhaji.
12. Ayat yang turun dimalam hari dan pada siang hari.
Kebanyakan ayat Quran itu turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib an-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh diantaranya: bagian-bagian akhir surah al-Imran. Ibn Hibban dlaam kitab sahihnya, Ibnul Mundzir, Ibn Mardawaih, dan Ibn Abud Dunya, meriwayatkan dari Aisyah r.a : Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahukan waktu shalat subuh; tetapi ia melihat Nabi sedang menangis. Ia bertanya; ` Rasulullah apa yang menyebabkan engkau menangis ?` Nabi menjawab : `Bagaimana saya tidak menagis padahal tadi malam diturunkan kepadaku : `Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,` (al-Imran: 190 ).` Kemudian katanya ` Celakalah orangvyang membacanya, tetapi tidak memikikannya.`
Contoh lain ialah tiga orang yang tidak ikut berperang. Terdapat dalam Sahih Bukahri dan Muslim. Hadis Ka`ab : Allah menerima taubat kami pada sepertiga malam yang terakhir.`
Contoh lainnya ialah awal surat al-Fath, terdapat dalam sahih Bukhari dari hadis Umar : ` Telah diturunkan kepadaku pada malam ini sebuah surah yang lebih aku sukai dari apa yan telah disinari oleh matahari.` Kemudian beliau membacakan ` Sesungguhnya kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.`
13.Yang turun dimusim panas dan dingin.
Para ulama memberi contoh ayat yang turun dimusim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat di akhir surah an-Nisa`. Dalam sahih Muslim dari Umar : `Tidak ada yang sering kutanyakan kepada Rasulullah SAW tentang sesuatu seperti pertannyaanku tentang kalalah. Dan Ia pun tidak pernah bersikap kasar tentang suatu uruan seperti sikapnya kepadaku mengenai kalalah itu. Sampai-sampai ia menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata : ` Umar belum cukupkah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat diakhir surah an-Nisa` ?`
contoh lain ialah ayat yang turun dalam perang Tabuk. Pernag tabuk itu terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti dinyatakan dalam Qur`an .
sedang yang turun dimusim dingin mereka contohkan dengan ayat-ayat yang mengenai ` tuduhan bohong` yang terdapat dalam surat an-Nur ; `Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari segolongan kamu juga �.sampai dengan ` bagi mereka ampuna dan rezeki yang mulia.` ( an-Nur : 11-26 )
dalam hadis sahih dari Aisyah r.a : Ayat-ayat itu turun pada hari yang dingin`. Contoh laibn adalah ayat-ayat yang turun mengenai perang Khandaq, dari surah al-Ahzab ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin.
Diriwayatkan oleh Baihaqi dlam Dala`ilun Nubuwah, dari Huzaifah yang menyatakan : ` Oranorang meninggalkan Rasulullah SAW pada malam peristiwa Ahzab, kecuali dua belas orang lelaki. Lalu Rasulullah SAW datang kepadaku, dan berkata : ` bangkit dan berangkatlah ke medan perang Ahzab !`. aku menjawab : ` Ya Rasulullah demi yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu, sebab hari dingin sekali,` lalu turun wahyu Allah; `Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya . Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan.` ( al-Ahzab : 9 ).
14. Yang turun diwaktu menetap dan yang turun di waktu perjalanan.
Kebanyakan dari ur`an itu turun diwaktu menetap. Tetapi peri kehidupan Rasulullah SAW penuh dengan jihad dan peperangan dijalan Allah. Sehingga wahyu pun turun diperjalanan tersebut. Suyuuti sebutkan sebanyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan, diantaranya ialah awal suraha al-Anfal yang turun dibadar setelah selesai perang, sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sa`ad bin Abi Waqqas. Dan ayat : ` Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya di jalan Allah�` ( at-Taubah : 34 ).
Diriwayatkan oleh Ahmad melalui Sauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah SAW dlam salah satu perjalanan. Juga awal surah al-Hajj. Tirmizi dan Hakim meriwayatkan melalui `imran bin Husain yang mengatakan : ` ketika turub kepada Nabi ayat : `Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar . pada hari kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.` ( al-Hajj : 1-2 ).
Ayat ini diturunkan kepada Nabi sewaktu dala perjalanan, begitu juga surah al-Fath. Diriwayatkan oleh Hakim dan yang lain, melalui Al-Miswar bin Makhramah dan Marwn bin Al-Hakam, keduanya berkata : ` Surah al-Fath dari awal sampai akhir, turun diantara mekkah dan madinah mengenai soal Hudaibiyah.`
III. Faedah Mengetahui Makki dan Madani
Pengetahuan tentang makkia dan madani banyak faedahnya diantaranya:
1. Pertama
Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur`an, sebab pengetahuan mengenai tempat turun ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menmafsirkannya dengan tafsiran yang benar. Sekalipun yangmenjadi pegangan adalah pengertian umum lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang mansukh, bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh yang tedahulu.
2 Kedua
Meresapi gaya bahasa Quran dan memanfaatkannya dalam metode dakwah menuju jalan Allah. Sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi merupakan arti peling khusus dlam retorika.
Karakteristik gaya bahasa makki dan madani dalam Quran pun memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai denag kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaaannya serta menguasai apa yang ada dalam dirinya dengan penuh kebijaksanaan.
Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda-beda. Sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur`an menyeru berbagai golongan; orang yang beriman, yang musyrik, yang munafik dan ahli kitab.
3. Ketiga
Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat-ayat Qur`an. Sebab turunnya wahyu kepada Rasulullah SAW sejalan dengan sejarah dakwah dengan segala peristiwanya, baik dalam periode mekkah maupun madinah. Sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur`an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulullah SAW, peri hidup beliau yang diriwayatka ahlli sejarah harus sesuai denga Quran; dan Qur`an pun memberikan kata putus terhadapa perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.
IV. Pengetahuan tentang Makki dan Madani serta Perbedaannya
Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani para ulama bersandar pada dua cara utama : sima`i naqli ( pendengaran seperti apa adanya ) dan qiyasi ijtihadi ( kias hasil ijtihad ). Cara pertama didasrkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu. Atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian bear penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara pertama. Dan cotoh-contoh diatas adalah bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bil ma`tsur. Kitab asbabun Nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu-ilmu Qur`an. Namun demikian tentang hal tersebut tudak terdapat keterangan sedikit pun dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban , kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh. Qadi Abu bakar Ibnut Tayyib al-Baqalani dalam al-Intisaar menegaskan : ` pengetahuan tentang makki dan madani itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi`in. tidak ada suatu keteranganpun yang datang dari Rasulullah SAW mengenai hal itu, sebab ia tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan mengenai hal itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuan dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu. Tetapi pengetahuan tersebut tidak harus di peroleh melalui nash dari Rasulullah SAW`.
Cara qiysi ijtihadi didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apa bila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani. Dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Juga sebaliknya. Inilah yang disebut qiyas ijtihadi.
Oleh karena itu para ahli mengatakan ;` Setiap surah yang didalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah madani. Dan begitu seterusnya.` . ja`bari mengatakan: ` Untuk mengetahui makki dan madani ada dua cara : sima`i ( pendengaran ) dan qiyasi ( kias )` sudah tentu sima`i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyasi berpegang pada penalaran, baik berita pendengaran atau penalaran keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metode penelitian ilmiah.
V. Perbedaan Makki dan Madani
Untuk membedakan makki dan madani, para ulama mempunyai tiga cara pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.
1 Pertama:
Dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan dimekkah. Madani adalah yang turun sesudah hijrah meskipun bukan di madinah. Yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun dimekkah atau Arafah. Adalah madani seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makkah misalnya firman Allah: `Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak�` ( an-Nisa` : 58 ).
Ayat ini diturunkan di mekkah dalam ka`bah pada tahun penaklukan mekkah. Atau yang diturunkan pada haji Wada`, seperti firman Allah : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.` ( al-Maidah : 3 ).10
Pendapat ini lebih baik dari kedua pendapat berikut. Karena ia lenih memberikan kepastian dan konsisten.
2. Kedua :
Dari segi tempat turunnya. Makki adalah yang turun di mekkah dan sekitarnya. Seperti Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani ialah yang turun di madinah dan sekitarnya. Seperti Uhud, Quba` dan Sil`. Pendapat ini mengakibatkn tidak adanya pembagian secar konkrit yang mendua. Sebab yang turun dalam perjalanan, di Tabukh atau di Baitul Maqdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya, 11 sehingga ia tidak dinamakan makki ataupun madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan dimakkah sesudah hijrah disebut makki.
3 Ketiga :
Dari segi sasarannya. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk mekkah dan madani ditujukan kepada penduduk madinah. Berdasrkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Qur`an yang mengandung seruan yaa ayyuhannas ( wahai manusia ) adalah makki, sedang ayat yang mengandung seruan yaa ayyu halladziina aamanuu ( wahai orang-orang yang beriman ) adalah madani.
Namun melalui pengamatan cermat, nampak bagi kita bahwa kebanyakan surah Qur`an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu, dan ketentuan demikianpun tidak konsisten. Misalnya surah baqarah itu madani, tetapi didalamnya terdapat ayat :
`Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,`( al-Baqarah : 21 )
`Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.`( al-Baqarah : 168 )
dan surah an-Nisa` itu madani, tetapi permulannya ` yaa ayyuhan nas,` surah al-Hajj, makki tetapi didalamnya terdapat juga :
`Hai orang-orang yang beriman, ruku`lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.` ( al-Hajj : 77 )
Al-Quran Al-Karim adalah seruan ilahi terhadap semua mahluk. Ia dapat saja menyeru kepada orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapat dperintah untuk beribadah, sebagaiman orang yang beriman diperintahkan konsisten dan manambah ibadanya.
VI. Ciri-ciri khas Makki dan Madani
Para ulama telag meneliti surah-surah makki dam madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakannya. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.
1. Ketentuan Makki dan Ciri khas Temanya .
• Setiap surah yang didalamnya mengandung `sajdah` maka surah itu makki.
• Setiap surah yang mengandung lafal ` kalla` berarti makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Qur`an dan di sebutkan sebanyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.
• Setiap surah yang mengandung yaa ayyuhan naas dan tidak mengandung yaa ayyuhal ladzinaa amanuu, berarti makki. Kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat ayat yaa ayyuhal ladziina amanuur ka`u wasjudu. Namaun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah makki.
• Setiap surah yang menngandung kisah para nabi umat terdahulu adalah makki, kecuali surah baqarah.
• setiap surah yang mengandung kisah Adam dan iblis adalah makki, kecuali surat baqarah. .
• setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan seperti alif lam mim, alif lam ra, ha mim dll, adalah makki. Kecuali surah baqarah dan ali-imran, sedang surah Ra`ad masih diperselisihkan.
2. Dari segi ciri tema dan gaya bahasa dapatlahdiringkas sebagai berikut :
• Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengenai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kengeriannya, neraka dan siksanya, surga dan nikmatnya, argumentasi dengan orang musyrik dengan menggunkan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniah.
• Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan ahlak mulia yang menjadi dasar terbentuknya suatu masyarakat, dan penyingkapan dosa orang musyrik dalam penumpahan darah, memakan harta anak yatim secara dzalim. Penguburan hidup-hidup bayi perempuan dn tradisi buruk lainnya.
• Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelaran bagi mereka sehingga megetahui nasib orang yang mendustakan sebelum mereka, dan sebagai hiburan buat Rasulullah SAW sehingga ia tabah dalam mengadapi gangguan dari mereka dan yakin akan menang.
• Suku katanya pendek-pendek disertai kata-kata yang mengesankan sekali, pernyataannya singkat, ditelinga terasa menembus dan terdengar sangat keras. Menggetarkan hati, dan maknanya pun meyakinkan dengan diperkuat lafal-lafal sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek . dan perkecualiannya hanyasedikit.
3. Ketentuan Madani dan Ciri Khas Temanya
• Setiap surah yang berisi kewajiban atai had ( sanksi ) adalah madani.
• Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah madani, kecuali surah al-ankabut adalah makki.
• Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani.
4. Dari segi ciri khas, tema dan gaya bahasa dapatlah diringkaskan sebagai berikut :
• Menjelaskan ibadah, muamalah, had, kekluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasiaonal baik diwaktu damai maupun perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.
• Seruan terhadap ahli kitab, dari kalangan yahudi dn nasrani. Dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka, terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka terhadap kebenaran, dan perselisihan mereka setelah ilmu datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.
• Menyingkap perilaku orang munafik, menganalisi kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.
• Suku kata dan ayat-ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan sasarannya.
→ Leave a comment
Posted in Ulumul Qur'an
Asbabbun Nuzul
Asbabbun Nuzul
Qur�an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta-serta berita-berita yang akan datang. Sebagian besar Qur�an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah SAW telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur�an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal sepeti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
I. Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul
Para penyelidik ilmu-ilmu Qur�an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur�an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri mengenai pembahasan dalam bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Madini, Guru Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbabun Nuzul, kemudian al-Ja�bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu.
Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai Asbabun Nuzul. Satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh As-Suyuti. yang mengatakan tentang dirinya : ` Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum aad satu kitab pun menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.
II. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat ( ra�y ), tetapi ia mempunyai hukum marfu� (disandarkan pada Rasulullah).
Al- Wahidi mengatakan : ` Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sunggguh dalam mencarinya.` Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.
Muhammad bin Sirin mengatakan : ` Ketika kutanyakan kepada �Ubaidah mengenai satu ayat Qur�an, dijawabnya : Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. 0rang-orang yang megetahui mengenai apa Qur�an itu diturunkan telah meninggal.` Maksudnya para sahabat. Apa bila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh Tabi�in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan , orang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat-ucapan ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asababun nuzul. As- Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi�in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi�in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti mujahid, Ikrimah dan Said bin Jubair, serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Al-Wahidi telah menantang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat dengan mengatakan : ` Sekarang setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta, ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancam,an berat bagi orang yang tidaki mengetahui sebab turunnya ayat.`
III. Definisi Sebab Nuzul
Setelah diselidiki sebab turunnya sesuatu ayat itu berkissar pada dua hal:
1. Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur�an mengenai peristiwa itu.
Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan : ` ketika turun,; dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat, nabi pergi dan naik ke bukit safa , lalu berseru : ` Wahai kaumku ! maka mereka berkumpul mendekat ke nabi. Ia berkata lagi : ` bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung itu ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa ya g aku katakan ? mere ka menjawab : : kami belum pernah melihat engkau berdusta.` Dan nabi melanjutkan: �aku memperingatkanmu tentang siksa yang pedih,� ketika itu Abu Lahab berkata : `celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini ?� lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini : celakalah kedua tangan Abu lahab`.
2. Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka tutunlah ayat Quran menerangkan tentang hukumnya.
Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa�labah dikenakan Zihar oleh suaminya Aus bin Samit.lalu ia datang kepada Rasulullah SAW mengadukan hal itu. Aisyah berkata : �Maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya` aku menden gar ucapan Khaulah binti Sa�labah itu, sekalipun tidak seluruhnya, ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW , katanya : Rasulullah SAW suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua, dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepdaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu` Aisyah berkata : ` tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya yakni aus bin samit.`
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap oranag harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak setiap Quran diturunkan karena timbul sutu peristiwa dan kejadian. Atau karena suatu pertanyaan.
Tetapi ada diantara ayat Qur�an diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Ja�bari menyebutkan : � Qur�an diturunkan dalam dua kategori; yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena peristiwa atau pertanyaan.` oleh sebab itu asbabun nuzul didefisinikan sebagai ` sesuatu hal yang karenanya Qur�an diturunkan untuk menerangkan status ( hukumnya ), pada masa hal itu terjadi baik berupa peristiwa ataupun pertanyaan.`
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asababun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayt-ayat itu tidak turun disaat-saat terjadinya sebab, ia mengatakan yang demikian itu karena hendak mengkritik atau membatalkan apa yang dikatakan oleh Al-Wahidi dalam menafsirkan surah al-Fil, bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datangnya orang-orang Habsyah, kisah ini sebenarnya sedikitpun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul. Melainkan termasuk kedalam kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum nabi Nuh, kaum �Ad , kaum Samud, pembangunan ka�bah dan lain-lain yang serupa dengan itu. Demikian pula mengenai ayat dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk kedalam asbabun nuzul.
IV. Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuann mengenai sababun nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
1. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara� terhadap kepentingan umum dalam mengahadapi segala peristiwa karena sayangnya terhadap umat.
2. Mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi. Bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa ` yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum.` Masalah ini sebenarnya adalah masalah khilafiah, yang akan kami jelaskan nanti. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini firman Allah :
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.` (al-Imran : 188 ).
Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya ` pergilah, hai Rafi�, kepada Ibn Abbas dan katakan kepadanya : sekiranya setiap orang diantar kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakn dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya iti akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.` Ibn Abbas menjawab : ` mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ni ? ayat ini turun berkenan dengan ahli kitab.` Kemudian ia membaca ayat: Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dan orang-orang yang telah diberi Kitab�(al-Imran : 187 ) Kata Ibn Abbas : ` Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya , lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, meganggap bahwa mereke telag memberitahukan kepada Rasulullah yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu,`
3. Apa bila lafal yang diturunkan itu lafa; yang umum dan terdapat dalil pengkhususannyam maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhusussan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan ( dari cakupan lafal yang umum itu ). Karena masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat�i ( pasti ), maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni ( dugaan ). Pendapat ini dijadikan pegangan ulam umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya:
`Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari , lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan .( an-Nur : 23-25 ).
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Aisyah secara khusus; atau dengan Aisyah dan isteri-isterinya Nabi lainnya, diriwayatkan dari Ibn Abbas, firman Allah : `Sesungguhnya orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik.` Itu turun berkenaan dengan Aisyah secar khusus.
Dari Ibn Abbas pula dan masih mengenai ayat tersebut ; ` Ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan isteri-isteri Nabi, Allah tidak akan menerima taubat yang melakukan hal itu ( menuduh mereka berzina ), dan menerima tobat orang yang menuduh seorang perempyuan diantar perempaun-perempuan beriman selain isteri-isteri Nabi,` kemudian Ibn Abbas membacakan : `Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik�.` Sampai dengan `�.kecuali orang-orang yang bertaubat�..` (an-Nur : 4-5 ).
Atas dasar ini, maka penerimaan tobat orang yang menuduh zina ( sebagaiman dinyatakan dalam surah an-nur : 4-5 ) ini, merupakan pengkhususan keumuman firman Allah: ` Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempaun baik-baik yang lengah lagi beriman`. Tidaklah mencakup- dengan pengkhususan ini- orang yang menuduh Aisyah dan isteri-isteri Nabi yang lain. Karena yang terakhir ini tidak ada tobatnya, mengingat masuknya sebab ( yakni orang yang menuduh Aisyah dan isteri-isteri Nabi ) kedalam cakupan makna lafal yang umum itu bersifat qat�i ( pasti ).
4. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Quran Al-Karim menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan : ` Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.` Ibn Daqiqil �Id berpendapat: `Keterangan tentang sebab nuzul adalah cara yang kuat ( tepat ) untuk memahami makna Qur�an. Ibn Taimiah mengatkan : ` Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan mengenai musabab ( akibat ).
Contohnya antara lain, kesulitan Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat yang baru disebutkan tadi:
`Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.` ( al-Imran : 188 ).
Sampai Ibn Abbas menjelaskan kepadanya sebab nuzul ayat itu. Contoh lain ialah ayat:
`Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi`ar Allah . Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.` ( al-Baqarah : 158 ).
Lafal ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa�i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakan hal itu menunjukkan `kebolehan` dan bukannya ` kewajiban` sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang kepada arti tekstual ayat itu.
Aisyah telah menolak pemahaman �Urwah Ibn Zubair seperti itu, dengan nuzul ayat tersebut, yaitu bahwa para sahabat merasa keberatan bersa�i antara safa dan marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Disafa terdapat `Isaf` dan di marwa terdapat ` Na�ilah` keduanya adalah berhala yang biasa diusap orang jahiliah ketika mengerjakan sa�i. Sumber dari Aisyah menyebutkan bahwa �Urwah berkata kepadanya: ` Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah `Sesungguhnya safa dan marwa merupakan sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa�i diantara keduanya.?� Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila ia tidak melakukan sa�i itu !` Aisyah mejawab: ` Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudaraku, sekiranya maksud ayat itu seperti yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi �Tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa�i� tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam biasa mendatangi �manat� yang zalim itu dan menyembahnya. Orang yang dulubmenyembahnya tetntu keberatan untuk bersa�i diantara safa dan marwa. Maka Allah menurunkan` Sesungguhnya safa dan marwa�.` . kata Aisyah: �selain iti, Rasulullah pun telah menjelaskan sa�i diantara keduanya. Maka tak seorang pun dapat meninggalkannya sa�i diantara keduanya.`
5. Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan mengenai firman Allah:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: `Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan:
`Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar`. Lalu dia berkata: `Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka.(al-Ahqaf : 46).
Mu�awiyyah bermaksud mengangkat Yazid menjadi khalifah, ia mengirim surat kepada Marwan, gubernurnya di madinah, mengenai hal itu. Karena itu Marwan lalu mengumpulkan rakyat kemudian berpidato dan mengajak mereka membaiat Yazid. Tetapi Abdurrahman Bin Abu Bakar tidak mau membaiatnya. Maka hampir saja Marwan melakukan hal tidak terpuji kepada Abdurrahman bin Abu Bakar, sekiranya ia tidak segera masuk kerumah Aisyah. Marwan berkata: ` Orang inilah yang di maksud ayat: `Dan orang yaNg berkata kepada ibu bapaknya:�cis bagi kamu berdua, apakah kamu berdua memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkann, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?` Aisyah menolak/membantah pendapat Marwan tersebut dan menjelaskan maksud turunnya. Riwayat Yusuf bin Mahik, menyebutkan : ` Marwan berada di Hijaz, ia telah diangkat menjadi gubernur oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, lalu berpidatolah ia. Dalam pidatonya itu ia menyebutkan nama Yazid bin Muawiyah agar dibaiat sesudah ayahnya. Ketika itu Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu. Lalu kata Marwan : `tanglaplah dia`. Kemudian Abdurrahman masuk kerumah Aisyah sehingga mereka tidak bisa menangkapnya. Kata Marwan: �Itulah orang yang menjdi kasus sehingga Allah menurunkan ayat: (Dan orang ya g berkata kepada ibu bapaknya�cis bagi kamu berdua �..). maka kata Aisyah: �Allah tidak pernah menurunkan sesuatu ayat Qur�an mengenai kasus seseorang diantar kami kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat.�
Dan dalam beberapa riwayat dinyatakan:� Bahwa ketika Marwan meminta agar Yazid di baiat, ia berkata: �( pembaiatan ini adalah ) tradisi Abu Bakar dan Umar.� Abdurrahman berkata: �Tradisi Hercules dan kaisar�. Maka kata Marwan; Inilah orang yang dikatakan Allah dalam Qur�an. Dan orang yang berkata kepada ibu bapaknya: cis bagi kamu berdua�.Kemudian perkataan Marwan yang demikian itu sampai kepada Aisyah, maka kata Aisyah: �Marwan telah berdusta.demi Allah, maksud ayat itu tidaklah demikian, sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.`
Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus Apa bila ayat diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan sebab secara khusus, maka yang umum (�am ) diterapkan pada keumumannya dan yangv khusus ( khass ) pada kekhususannya.
Contoh yang pertama ialah firman Allah
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.`( al-Baqarah : 222 )
Anas berkata: Bila isteri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan didalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah SAW ditanya tentang haid itu, maka Allah menurunkan: ` mereka bertanya kepadmu tentang haid�kemudian kata Rasulullah SAW :Bersama-samalah dengan mereka dirumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya,`
Contoh kedua adalah firman Allah:
`Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.` ( al-Lail : 17-21 )
Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tsyrif terbentuk af�al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-�adiyah ( kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia dikususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang al menunjukkan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung ( isim mausul ) atau mu�arifah ( berfungsi mema�rifatkan ) bagi kata jamak. Menurut pendapat yang kuat.
Sedang al dalam kata al-atqa bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak di rangkaikan dengan bentuk ssuperlatif; lagi pula al atqa bukan kata jamak. Melainkan kata tunggal. Al-�ahdu atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, disamping bentuk siperlatif af�al itu kusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata; �al-atqa adalah Abu Bakar as-Sidiq menurut pendapat para ahli tafsir.� Menurut �Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah;Bilal, Amir bin Fuhaorah, Nahdiyah, dan anak perempuannya, Umm �Isa dan budak perempuan Bani Mu�ail. Untuk itu turunlah ayat `Dan tidak akan dijauhkan orang yang paing taqwa itu dari neraka.` Samapai dengan akhir surah.
Jika sebab itu kusus, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para ahli usul berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan adalah lafal yang umum ataukah sebab yang kusus ?
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang kusus, hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat Li�an yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya : ` Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi. Maka Nabi berkata; � Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.� Hilal berkata : �Wahai Rasulullah , apa bilamsalah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti ` Rasulullah menjawab: �Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang didera.� Hilal berkata; � Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.� Maka turunlah jibril dan menurunkan kepada Nabi :
Dan orang-orang yang menuduh isterinya sampai dengan jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS. An-Nur : 6-9 ).`
Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini ( dan orang-orang yang menuduh isterinya ) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.
Ibn Taimiah mengatakan : ` Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk kedalam bab ini adalah ucapan mereka : ayat ini diturubnkan dalam hal seperti ini; khususnya apa bila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: Ayat zihar itu turun mengenai isteri Aus bin Samit; dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin Abdullah; dan firman-Nya ( dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka . ( al-Ma�idah : 49 ) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadir.
Begitu pula mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musrikin mekkah, atau kaum yahudi dan nasrani atau kaum yang beriman. Pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat-ayat tersebut hanya berlaku khusus berlaku bagi orang-orang itu dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal demikian sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang muslim atau orang yag berakal. Sebab sekalipun mereka ( para ulama ) berselisih pendapat tentang lafal umum yang turun berdasarkan sesuatu sebab, adakah lafal umum itu hanya berlaku khusus bagi sebab turunnya itu ? tetapi tak seorang pun diantara mereka yang megatakan bahwa keumuman kitab dan sunnah itu dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Yang mereka katakan ialah : ayat yang umum itu khusus mengenai ` jenis` perkara orang tersebut.
Sehingga berlaku umum bagi kasus yang serupa dengan nya. Keumuman ayat tidak hanya didasarkan pada keumuman lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, bila berupa perintah atau larangan , berlaku bagi ( orang ) itu dan orang lain yang kedudukannya sama dengannya. Apa bila ayat itu berisi pujian atau celaan, maka pujian dan celaan itu ditujukan kepada orang tersebut dan orang lain yang sama kedudukannya.`
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa yag menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
V. Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.
1. Bentuk pertama
Adalah jika perawi mengatkan : ` Sebab nuzul ayat ini adalah begini.` Atau menggunakan fa ta�qibiyah ( kira-kira sepeerti `maka` yang menunjukkan urutan peristiwa ) yag dirangkaikan dengan kata ` turunkan ayat` , sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan misalnya , ia mengatakan; `Telah terjadi peristiwa begini` atau ` Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.`
Dengan demikian, kedua bentuk diatas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab, contoh-contoh untuk kadua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.` Bentuk kedua yaitu, redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan ` Ayat ini turun mengenai ini`. Yang dimaksud dengan ungkapan ( redaksi ) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan` Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini` atau ` Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini` dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan hal lain.
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan : ` Ayat ( isteri-isteri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam) ( al-Baqarah: 223 ) turun ber hubungan dengan masalah menggauli isteri dari belakang.`
2. Bentuk Kedua
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugtan kepada seorang laki-laki dari kaum anhsar yang pernah ikut dalam perang Badar bersama Nabi, dihadapan Rasulullah SAW tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kuma masing-masing dari situ. Orang anshar berkata: ` Biarkan airnya mengalir` tetapi Zubair menolak, maka kara Rasulullah SAW : ` Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir kekebun tetanggamu.` Orang Anshar itu marah katanya : ` Rasulullah apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian ?` wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata : �Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir kekebun tetanggamu.� Rasulullah SAW dengan keputusan ini telah memnuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran keduanya. Ketika Rasulullah SAW marah kepada orang anshar , ia memnuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: �Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut:
`Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.` ( an-nisa� : 65 ).
Ibn Taimiah mengatakan ` Ucapan mereka bahwa �ayat turun mengenai urusan ini� terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan ityubtermasuk dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya, para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan sahabat: �ayat ini turun mengenai urusan ini�; apakah ucapan itu berlaku sebagai hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari sahabat itu sendiri dan bukan musnad ? Bukhari memasukannya kedalam katergori hadis musnad. Sedang yang lain tidak memasukannya. Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini. Seperti musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila para sahabat menyebutkan satu sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat, bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan sepeti ini kedalam hadis musnad.`
Zarkasyi dalam al-Burhan menyebutkan : ` Telah diketahui dari kebiasaan para sahabat dan Tabi�in bahwa apa bila salah seorang dari mereka berkata : �Ayat ini turun mengenai urusan ini�. Maka yang dimaksud ialah bahwa ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukannya urusan itu sebagai sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini termasuk dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi,`
VI. Beberapa Riwayat Mengenai Sebab Nuzul
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian , sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut :
1. Apa bila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: �Ayat ini turun mengenai urusan ini�, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu; sebab meksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat dan disimpulkan darinya. Bukan menyebutkan sebab nuzul. Kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya ialah penjelasan sebab nuzul.
2. Apa bila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya `Ayat ini turun mengenai urusan ini`, sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan menyebutkan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah: `Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.` ( al-Baqarah : 223 )
Dari Nafi� disebutkan : `
Pada suatu hari aku membaca ( isteri-isterimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam ), maka kata Ibn Umar : � Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun ? Aku menjawab : �Tidak� Ia berkata : ` Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi isteri dari belakang.` bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunujukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas mnyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan; �Orang-orang yahudi berkata: ` Apa bila seorang laki-laki mendatangi isterinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat ( isteri-isterimu itu adalah ibarat tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu sebagaiman saja kamu kehendaki )`. Maka Jbir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah demikian, karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apa bila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang sahih. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadis lainnya.
Dari Jundub al-Bajali : `Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam, tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: `Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini, sudah tidak mendekatimu lagi.` Maka Allah menurunkan firman ini ( Demi waktu Dhuha, dan demi malam apa bila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidak benci kepadamu )`.
Sementara itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan: dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu Rasulullah : `Bahwa seekor anak anjing telah masuk kedalam rumah Nabi, lalu masuk kekolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata ; �Khaulah apa yang telah terjadi diruamah Rasulullah ini ? sehingga jibril tidak datang kepadaku ! Dalam hati aku berkata: �Alangkah baiknya andai kata aku membenahi rumah ini dan menyapunya�. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak annjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya bergetar. Apa bila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan ( Demi waktu Dhuha ) sampai dengan ( lalu hatimu menjadi puas ).� Ibn Hajar dalam syarah Bukahri berkata: `Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyhur, tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil ( gharib ). Dalam isnad hadis itu terdapat orang yang tidak dikenal, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalan sahih Bukhari dan Muslim.
4.Apa bila riwayat-riwayat itu sama-sama sahiih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya. Sepertikehadiran perawi dalam kisah tersebut. Atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih. Maka riwyat yang ebih kauat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukahari dari Ibn Mas�ud yang mengatakan: `Aku berjalan dengan Nabi dimadinah, ia berpegang pada tongkat dari pohon kurma, dan ketika melewati serombongan orang-orang yahudi, seseorang diantara mereka berkata: �coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya,� lalu mereka menanyakan: �ceritaka kepada kami tentang roh,�Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu telah turun kepadanya, wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (`Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: `Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit`.) ( al-Israa: 85 ).
Diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang mengatakan: `Orang Quraisy berkata kepada orang yahudi; berilah kami suatu persoalan untuk kami tenyakan kepada orang ini ( Muhammad ).�mereka menjawab: �Tanyakan nkepadanya tentang roh.� Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: ( Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhanku.`).
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat itu turun di mekkah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun dimadinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibn Mas�ud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Disamping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadis sahii Bukhari dan memandangnya labih kuat dari hadis sahih yang dinyatakan oleh yang lainnya. Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk kedalam bab ` banyak dan berulangnya nuzul`dengan demikian. Ayat diatas tuun dua kali, sekali dimakkah dan sekali di madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surah � subhana� atau al-isra� adalah makki menurut kesepakatan.
Kami sendiri berpendapat, kalaupun surah itu makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apa bila satu ayat atau lebih dari surat tersebut itu madani. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibn Mas�ud tersebut menunjukkan bahwa ayat ini ( Katakanlah: Roh itu termasuk ursan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit) adalah madani. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan ( tarjih ) riwayat Ibnu Mas�ud atas riwayat tirmizi dan Ibn Abba, lebih baik dari pada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul.
Sekiranya benar bahwa ayat tersebut makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yangt sama dimadinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula. Sekali lagi. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah SAW menjawabnya dengan jawaban yang telah urun sebelumnya.
5. Apa bila riwayat-riwayat tersebut sama kuat. Maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatkan bahwa ayat tersebut turb sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat li�an ` Dan orang yang menuduh isterinya berbuat zina �.� ( an-nur 6-9 ).
Bukhari Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan, dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah berbuat serong dengan Suraik bin Sahma. Dihadapan Nabi. Seperti telah kami sebutkan diatas.Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa�ad; Uwaimir datang kepada �Asim bin �Adi lalu berkata: � Tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang mendapatkan isterinya dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan�?` kedua riwayat ini bisa dipadukan, yaitu ketika perostiwa Hilal terjadi labih dahulu, dan kebetulan pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka tutun ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi dua peristiwa tersebut. Ibn Hajar berkata: �banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal�.
6 .Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan. Maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak atau berulangnya nuzul. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan al-Musayyab; ia berkata: `Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah SAW menemuinya. Dan disebelahnya ( Abu Thalib ) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah. Maka kata Nabi: ` Pamanda, ucapkanlah lailahaillallah. Karena dengan kalimat itu aku kelak aku dapat memintkan keringanan bagi paman disiss Allah. Abu jahal dan Abdullah berkata� Abu Thalib apakah engkau sudah tidak menyukai agama Ab dul Muthalib?� kedua orang itu terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mangatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muthalib. Maka kata Nabi: �Aku akan tetap memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian�. Maka tuunlah ayat: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik�.( at-Taubah: 113 ).
Tirmizi meriwayatkan dari Ali yang mengatakan` aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: �Apakah engakau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik..? ia menjawab: � Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik,� lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW , maka turunlah ayat tadi, diriwayatkan olah Hakim dan yang lain,dari Ibn Mas�ud, yang mengatakan: �Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kekuburan, lalu duduk didekat salah satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya: ` Makam ini dimana aku duduk disisihnya adalah makam ibuku, aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku `(Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakn ampun kepada Allah bagi orang musyrik.)`. Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan ( dinyatakan sebagai ) berulang kalinya nuzul ( maksudnya kita memandang bahwa ayat itu Qur�an [9] : 13 diturunkan berulang kali. Peny. )
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri disisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi: ` Aakan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu`. Maka jibril turtun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi sementara ia dalam keadaan berdiri: ( Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpahkan kepadamu�.) ( an-Nahl : 126-128 )sampai akhir surah, riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat diatas turun diwaktu perang uhud.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota makkah . Padahal surah tersebut adalah makki. Maka pengompromian antar riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat turun dimekkah sebelum Hijrah, lalu diuhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan kota mekkah. Tidak da salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambanya dengan adanya syariat.az-Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: �Terkadang sesuatu ayat turun dua kali sebagi penghormatan kebesaran dan peringatan yang menyebabkan nya, khawatir dan terlupakan. Sebagaiman terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali. Sekali di mekkah dan sekali di madinah.` Demikianlah pendapat dan sikap para ulama ahli dalam bidang ini menge nai riwayat-riwayat sebab nuzul suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali.
Tetapi menurut hemat kami pendapat tersebut ti dak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulang kalinya turun sesuatu ayat itu tidak begitu nampak dengan jelas. Pendapat kami mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam mengenai sebab nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat di tarjihkan ( dikuatkan ) salah satunya. Misalnya riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: `Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik,` (atTaubah: 113 ).
Riwayat pertama kali dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya. Sebab ia terdapat dalam kitab sahih Bukahri Muslim. Sedang riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadis ini cukup kuat untuk dijadikan pegangan, maka pendapat yang kuat ialah bahwa ayat itu turun bekenaan dengan Abu Thalib. Begitu pula halnya dengan riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya, makamengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik dari pada menyatakan, ayat itu diturunkan beberapa kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas. Dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Apa bila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat. Apa bila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yag tegas. Apa bila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih, apa bila salah satunya sahih dan yang lainnya tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan. Apa bila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin degan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu, diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir ini, terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.
VII. Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu,dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur, Abdurrazaq, Tirmizi, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Tabarani dan Hatim mengatakan sahih, dari Ummu Salamah ia berkata: `Rasulullah aku tidak mendengar Allah tidak menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: `Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya :
`Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.` ( Ali-Imran : 195 ).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad,Nasa�i ,Ibnu Jarir,Ibn Munzir, Tabarani dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan : `Aku telah bertanya: Rasulullah , mengapa kami tidak disebutkan dalam Qur�an seperti kaum laki-laki ? maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah diatas mimbar. Ia membacakan: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim��sampai akhir ayat 35 surah al-Ahzab`.
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: ` Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian ? maka Allah menurunkan ayat : `Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,` (an-Nisa� : 32 ) Dan ayat : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim�..` Ketiga ayat tersebut turun karena sebab.
VIII. Penurunan Ayat Lebih Dahulu daripada Hukumnya
Az-Zarkasyi mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab nuzul yang dinamakan ` penurunan ayat lebih dahuku dari pada hukumnya (maksudnya)`. Contoh yang diberikannya dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu. Kemudian pengemalannya datang sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu ditutrunkan dengan lafal mujmal ( global ) yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian penafsirannya dihubungkan dengan salah satu arti tersebut. Sehingga ayat tadi mengacu kepada hukum yang datang kemudian. Didalam al-Burhan disebutkan: ` Ketahuilah bahwa nuzul atau penurunan sesuatu ayat itu terkadang mendahului hukum. Misalnya firman Allah: `
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihakan diri ( dengan beriman ) ( al-A�la : 14 ).
Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat ramadhan ( zakat fitrah ); kemudian dengan isnad yang marfu�. Baihaqi meriwayatkan pula dengan keterangan yang sama. Sebagain dari mereka berkata: `aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu makki, sedang di makkah belum ada idul fitri dan zakat`. Didalam menafsirkan ayat tersebut, Bagawi menjawab bahwa nuzul itu boleh saja mendahului hukumnya. Seperti firman Allah :
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini, dan kamu ( Muhammad ) bertempat dikota ini. ( al-Balad : 1-2 ).
Surah ini makki dan bertempatnya dimekkah ini baru terealisir sesudah penaklukan kota mekkah, sehingga Rasulullah berkata : `Aku menempatinya pada siang hari` Demikian pula ayat yang turun dikota mekkah, yakni : Golongam itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur kebelakang ( al-Qamar: 45 ). Umar bin Khatab mengatakan: �Aku tidakmengerti golongan manakah yang akan dikalahkan dalam peperangan itu, namun ketika terjadi perang badar, Aku melihat Rasulullah SAW berkata: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan pasti akan mundur kebelakang`. Kita melihat pada apa yang dikemukakan pengarang al-Burhan bahwa bentuk redaksi sebab nuzul itu mungkin menunjukkan sebab dan mungkin pula menunjukkan hukum-hukum yang dikandung oleh ayat: �Telah diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar bahwa ayat diatas tadi turun mengenai zakat ramadhan.` Dan ayat-ayat yang disebutkannya itu bersifat mujmal, mengandung lebih dari satu makna, atau dengan bantuk peribahasa pemberitahuan tentang apa yang akan terjadi dimasa akan datang, golongan itu pasti akan dikalahkan dan mundur kebelakang.
IX. Beberapa Ayat Turun Mengenai Satu Orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dalam Qur�an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu banyak ayat yang turun mengenainya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab: `al-�adabul mufrad` tentang berbakti kepada orang tua. Dari Sa�ad bin Abi Waqash yang mengatakan: `Ada empat ayat Quran turun berkenaan denganku.
Pertama ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad; lalu Allah menurunkan: `Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.` ( Luqman : 15 ).
Kedua ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya; maka aku berkata kepada Rasulullah SAW ,Rasulullah berikanlah kepadaku pedang ini; maka turunlah; mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang� (al-Anfal ; 1 ).
Ketiga ketiak aku sedang sakit Rasulullah SAW menjengukku; aku bertanya kepadanya: Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya ? ia menjawab; tidak. Aku bertanya: � bagaiman kalau sepertiga ? Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sertiga harta itu dibolehkan. keempat, ketika aku sedang minum-minuman keras ( khamer ) bersama kaum anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah SWT menurunkan larangan minum khamr. Dan termasuk kedalam kategori ini, yakni, banyaknya ayat yang mengenai satu orang-ialah mufaqah atau kebersesuaian kehendak/sikap umar dengan wahyu. Dalam hal ini telah turun wahyu yang sesuai dalam pendapatnya dalam banyak ayat.
X. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul dalam Lapangan Pendidikan dan Pengajaran
Dalam dunia pendidikan, para pendidik banyak mengalmi kesulitan dlam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mengikuti dan mendengarkan pelajaran.
Tahap pendahuluan dari suatu pelajaran memerlukan kecerdasan brilian, yang dapat menolong guru dlam menarik minat anak didik terhadap pelajarannya dengan berbagai media yang sesuai; serta memerlukan latihan dan pengalaman cukup lama yang dapat memberinya kebijakan dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan sejalan dengan tingkat pengetahuan anak didik tanpa kekerasan atau dipaksakan.
Disamping tahap pendahuluan itu bertujuan membangkitkan perhatian dan menarik minat, juga bertujuan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai tema pelajaran, agar guru dapat dengan mudak membawa anak didiknya dari hal-hal yang sifatnya umum kepada yang khusus. Sehingga semua materi pelajaran yang telah ditargetkan dapat dikuasai dengan mendetail sesudah anak didik itu memahaminya secara umum ( garis besarnya ).
Dan pengetahuan tentang asababun nuzul merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan diatas dalam mempelajari Al-Quran Al-Karim baik bacaan maupun tafsirnya. Asbabun nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum suatu masalah. Sehingga Al-Quran Al-Karim turun sesudah peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat pengantar peljarandengan sesuatu yang baru dan dipilihnya. Sebab bila ia menyampaikan sebab nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, menraik minat, meningkatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbabun nuzul karena didalamnya terdapat unsur kisah yang menarik. Dengan demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang diturunkan sesuai dengan sebab nuzul itu serta rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamya. Yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejalan kehidupan yang lurus, jalan menuju kekuatan, kemuliaan dan kebahagiaan. Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran dibangku-bangku sekolah ataupun pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan dan penyuluhannya perlu memanfaatkan konteks asbabun nuzul, untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikan merupakan cara yang bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan menggunakan metode pemberian pengertian paling menarik dan bentuk paling tinggi.
XI. Korelasi antara Ayat dengan Ayat dan Surah dengan Surah
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat dan surah dengan surah juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama mengkhususkan diri untuk menulis buku mengenai hal ini.
Munasabah ( korelasi ) dalam arti bahasa berarti kedekatan, dikatakan ` si munasabah dengan si fulan` berarti ia mendekati dan menyerupai sifulan itu. Dan diantar pengertian ini ialah munasabah �illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum. Yang dimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antar satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.
suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,` (Huud : 1 ). Az-Zarkasyi menyebutkan: ` Manfaatnya ialah menjadikan sebagian pembicaraab berkaitan dengan yang lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan berkesesuaian bagian-bagainnya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh` Qadi Abu Bakar Ibnul �Arabi menjelaskan: ` Mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat satu dengan yang lainnya sehingga semuanya menjadi seperti satu kata. Yang maknanya serasi dan susunanya teratur merupakan ilmu yang besar.` Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antar ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi ( tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan rasul ), tetapi didasarkan dengan ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur�an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Apa bila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. Hal yang demikian ini tidak berarti bahwa seorang mufasir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Quran Al-Karim turun secara bertahap sesuai degan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufasir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang pula tidak. Oleh sebab itu ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksanya juga, maka kesesuaian itu hanya dibuat-buat dan hal ini tidak disukai.
Syaikh �Izz bin Abdus Salam mengatakan: Munasabah ( korelasi ) adalah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal awal engan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang dalam hal yang mempunyai beberapa sebab berlainan, tidak diisyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain.`
Selanjutnya ia mengatakan: ` Orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti ia telah memaksakan diri dlam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara sangat lemah yang tidak diterapkan pada kata-kata yang baik, apa lagi yang lebih baik. Itu semua mengingat Al-Quran Al-Karim diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun. Mengenai berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.`
Sebagian mufasir telah menruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antar kalimat dengan kalimat, ayat dengan ayat atau surah dengan surah dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat. Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat sebelumnya, sebagai penjelasan,tafsiran atau sebagai komentar akhir. Yang demikian ini banyak contohnya. Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antar sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antar ancaman dengan janji utuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam�..dst.
Terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah: `Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?` ( al-Ghasiyah: 17-20 ) Penggabungan antara unta, langit dan gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yang tinggal dipadang pasir. Dimana kehidupan mereka bergantung kepada unta sehingga mereka amat memperhatikannya.
Namun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air, yang dapat menumbuhkan rumput ditempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah kelangit. Kemudian juga mereka memerlukan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik kecuali gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun didaerah lain. Dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apa bila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka. Terkadang munasabah terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya pembukaan surah al-An�am dengan al-Hamdu.
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang,` ( al-An�am : 1 ). Ini sesuai dengan penutup surah al-Maidah yang menerangkan keputusan diantara para hamba berikut alasannya: `Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana���.` ( al-Maidah : 118-120 ) Hal ini seperti difirmankan Allah: `Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: `Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam`.( az-Zumar : 75 ). Demikian pula pembukaan surah al-Hadid yang dibuka dengan tasbih: `Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah . Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.` ( al-Hadid : 1 )
Pembukaan ini sesuai dengan akhir surah al Waqi�ah yang memerintahkan bertasbih: ` Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha besar ( al Waqi�ah : 96 ) Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi Quraisy dengan surah al fiil. Ini karena kebinasaan ` tentara gajah` mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga al- Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah itu termasuk hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah : `Maka dipungutlah ia ( Musa ) oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.` ( al Qasas : 8 ) Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah al-Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya.
Kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan kedua orang laki-laki sedang berkelahi. Allah mengisahkan do�a Musa: `Musa berkata: `Ya Tuhanku, demi ni`mat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa`.( al �Qasas: 17 ) Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasulullah SAW bahwa ia akan keluar dari mekkah dan dijanjikan akan kembali lagi kemekkah serta melarangnya menjadi penolong terutama bagi orang-orang kafir:
`Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu Al Qur`an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali . Katakanlah: `Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata`. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Qur`an diturunkan kepadamu, tetapi ia karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu , sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.` ( al-Qasas: 85-86 ). Orang yang membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian ( munasabah ) tersebut.
Qur�an diturunkan untuk memberi petunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan keimanan kepada Allah dan risalah-Nya. Juga memberitahukan hal yang telah lalu, kejadian-kejadian yang sekarang serta-serta berita-berita yang akan datang. Sebagian besar Qur�an pada mulanya diturunkan untuk tujuan umum ini, tetapi kehidupan para sahabat bersama Rasulullah SAW telah menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan terjadi diantara mereka peristiwa khusus yang memerlukan penjelasan hukum Allah atau masih kabur bagi mereka. Kemudian mereka bertanya kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum Islam mengenai hal itu. Maka Qur�an turun untuk peristiwa khusus tadi atau untuk pertanyaan yang muncul itu. Hal sepeti itulah yang dinamakan Asbabun Nuzul.
I. Perhatian Para Ulama terhadap Asbabun Nuzul
Para penyelidik ilmu-ilmu Qur�an menaruh perhatian besar terhadap pengetahuan tentang Asbabun Nuzul. Untuk menafsirkan Qur�an ilmu ini diperlukan sekali, sehingga ada pihak yang mengkhususkan diri mengenai pembahasan dalam bidang itu. Yang terkenal diantaranya ialah Ali bin Madini, Guru Bukhari, kemudian al-Wahidi dalam kitabnya Asbabun Nuzul, kemudian al-Ja�bari yang meringkaskan kitab al-Wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa menambahkan sesuatu.
Menyusul Syaikhul Islam Ibn Hajar yang mengarang satu kitab mengenai Asbabun Nuzul. Satu juz dari naskah kitab ini didapatkan oleh As-Suyuti. yang mengatakan tentang dirinya : ` Dalam hal ini, aku telah mengarang satu kitab lengkap, singkat dan sangat baik serta dalam bidang ilmu ini belum aad satu kitab pun menyamainya. Kitab itu aku namakan Lubabul Manqul fi Asbabin Nuzul.
II. Pedoman Mengetahui Asbabun Nuzul
Pedoman dasar para ulama dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat sahih yang berasal dari Rasulullah SAW atau dari sahabat. Itu disebabkan pemberitahuan seorang sahabat mengenai hal seperti ini, bila jelas, maka hal itu bukan sekedar pendapat ( ra�y ), tetapi ia mempunyai hukum marfu� (disandarkan pada Rasulullah).
Al- Wahidi mengatakan : ` Tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar secara langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya, mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertiannya serta bersungguh-sunggguh dalam mencarinya.` Inilah jalan yang ditempuh oleh ulama salaf. Mereka amat berhati-hati untuk mengatakan sesuatu mengenai asbabun nuzul tanpa pengetahuan yang jelas.
Muhammad bin Sirin mengatakan : ` Ketika kutanyakan kepada �Ubaidah mengenai satu ayat Qur�an, dijawabnya : Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar. 0rang-orang yang megetahui mengenai apa Qur�an itu diturunkan telah meninggal.` Maksudnya para sahabat. Apa bila seorang tokoh ulama semacam Ibn Sirin, yang termasuk tokoh Tabi�in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan , orang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh karena itu, yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat-ucapan ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asababun nuzul. As- Suyuti berpendapat bahwa bila ucapan seorang tabi�in secara jelas menunjukkan asbabun nuzul, maka ucapan itu dapat diterima. Dan mempunyai kedudukan mursal bila penyandaran kepada tabi�in itu benar dan ia termasuk salah seorang imam tafsir yang mengambil ilmunya dari para sahabat, seperti mujahid, Ikrimah dan Said bin Jubair, serta didukung oleh hadis mursal yang lain.
Al-Wahidi telah menantang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul. Bahkan ia menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat dengan mengatakan : ` Sekarang setiap orang suka mengada-ada dan berbuat dusta, ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancam,an berat bagi orang yang tidaki mengetahui sebab turunnya ayat.`
III. Definisi Sebab Nuzul
Setelah diselidiki sebab turunnya sesuatu ayat itu berkissar pada dua hal:
1. Bila terjadi suatu peristiwa, maka turunlah ayat Qur�an mengenai peristiwa itu.
Hal itu seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan : ` ketika turun,; dan peringatkanlah kerabat-kerabatmu yang terdekat, nabi pergi dan naik ke bukit safa , lalu berseru : ` Wahai kaumku ! maka mereka berkumpul mendekat ke nabi. Ia berkata lagi : ` bagaimana pendapatmu bila aku beritahukan kepadamu bahwa dibalik gunung itu ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu, percayakah kamu apa ya g aku katakan ? mere ka menjawab : : kami belum pernah melihat engkau berdusta.` Dan nabi melanjutkan: �aku memperingatkanmu tentang siksa yang pedih,� ketika itu Abu Lahab berkata : `celakalah engkau; apakah engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini ?� lalu ia berdiri. Maka turunlah surah ini : celakalah kedua tangan Abu lahab`.
2. Bila Rasulullah ditanya tentang sesuatu hal, maka tutunlah ayat Quran menerangkan tentang hukumnya.
Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa�labah dikenakan Zihar oleh suaminya Aus bin Samit.lalu ia datang kepada Rasulullah SAW mengadukan hal itu. Aisyah berkata : �Maha suci Allah yang pendengarannya meliputi segalanya` aku menden gar ucapan Khaulah binti Sa�labah itu, sekalipun tidak seluruhnya, ia mengadukan suaminya kepada Rasulullah SAW , katanya : Rasulullah SAW suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua, dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepdaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepada-Mu` Aisyah berkata : ` tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya yakni aus bin samit.`
Tetapi hal itu tidak berarti bahwa setiap oranag harus mencari sebab turun setiap ayat, karena tidak setiap Quran diturunkan karena timbul sutu peristiwa dan kejadian. Atau karena suatu pertanyaan.
Tetapi ada diantara ayat Qur�an diturunkan sebagai permulaan, tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban Islam dan syariat Allah dalam kehidupan pribadi dan sosial.
Al-Ja�bari menyebutkan : � Qur�an diturunkan dalam dua kategori; yang turun tanpa sebab, dan yang turun karena peristiwa atau pertanyaan.` oleh sebab itu asbabun nuzul didefisinikan sebagai ` sesuatu hal yang karenanya Qur�an diturunkan untuk menerangkan status ( hukumnya ), pada masa hal itu terjadi baik berupa peristiwa ataupun pertanyaan.`
Rasanya suatu hal yang berlebihan bila kita memperluas pengertian asababun nuzul dengan membentuknya dari berita-berita tentang generasi terdahulu dan peristiwa-peristiwa masa lalu. As-Suyuti dan orang-orang yang banyak memperhatikan asbabun nuzul mengatakan bahwa ayt-ayat itu tidak turun disaat-saat terjadinya sebab, ia mengatakan yang demikian itu karena hendak mengkritik atau membatalkan apa yang dikatakan oleh Al-Wahidi dalam menafsirkan surah al-Fil, bahwa sebab turun surah tersebut adalah kisah datangnya orang-orang Habsyah, kisah ini sebenarnya sedikitpun tidak termasuk ke dalam asbabun nuzul. Melainkan termasuk kedalam kategori berita peristiwa masa lalu, seperti halnya kisah kaum nabi Nuh, kaum �Ad , kaum Samud, pembangunan ka�bah dan lain-lain yang serupa dengan itu. Demikian pula mengenai ayat dan Allah telah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya asbabun nuzulnya adalah karena Ibrahim dijadikan kesayangan Allah. Seperti sudah diketahui, hal itu sedikit pun tidak termasuk kedalam asbabun nuzul.
IV. Perlunya Mengetahui Asbabun Nuzul
Pengetahuann mengenai sababun nuzul mempunyai banyak faedah yang terpenting diantaranya :
1. Mengetahui hikmah diundangkannya suatu hukum dan perhatian syara� terhadap kepentingan umum dalam mengahadapi segala peristiwa karena sayangnya terhadap umat.
2. Mengkhususkan ( membatasi ) hukum yang diturunkan dengan sebab yang terjadi. Bila hukum itu dinyatakan dalam bentuk umum. Ini bagi mereka yang berpendapat bahwa ` yang menjadi pegangan adalah sebab yang khusus dan bukannya lafal yang umum.` Masalah ini sebenarnya adalah masalah khilafiah, yang akan kami jelaskan nanti. Sebagai contoh dapat dikemukakan disini firman Allah :
Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.` (al-Imran : 188 ).
Diriwayatkan bahwa Marwan berkata kepada penjaga pintunya ` pergilah, hai Rafi�, kepada Ibn Abbas dan katakan kepadanya : sekiranya setiap orang diantar kita yang bergembira dengan apa yang telah dikerjakn dan ingin dipuji dengan perbuatan yang belum dikerjakannya iti akan disiksa, tentulah kita semua akan disiksa.` Ibn Abbas menjawab : ` mengapa kamu berpendapat demikian mengenai ayat ni ? ayat ini turun berkenan dengan ahli kitab.` Kemudian ia membaca ayat: Dan ingatlah ketika Allah mengambil janji dan orang-orang yang telah diberi Kitab�(al-Imran : 187 ) Kata Ibn Abbas : ` Rasulullah menanyakan kepada mereka tentang sesuatu, mereka menyembunyikannya , lalu mengambil persoalan lain dan itu yang mereka tunjukkan kepadanya. Setelah itu mereka pergi, meganggap bahwa mereke telag memberitahukan kepada Rasulullah yang ditanyakannya kepada mereka. Dengan perbuatan itu mereka ingin dipuji oleh Rasulullah dan mereka bergembira dengan apa yang telah mereka kerjakan, yaitu menyembunyikan apa yang ditanyakan kepada mereka itu,`
3. Apa bila lafal yang diturunkan itu lafa; yang umum dan terdapat dalil pengkhususannyam maka pengetahuan mengenai asbabun nuzul membatasi pengkhusussan itu hanya terhadap yang selain bentuk sebab. Dan bentuk sebab ini tidak dapat dikeluarkan ( dari cakupan lafal yang umum itu ). Karena masuknya bentuk sebab kedalam lafal yang umum itu bersifat qat�i ( pasti ), maka ia tidak boleh dikeluarkan melalui ijtihad, karena ijtihad itu bersifat zanni ( dugaan ). Pendapat ini dijadikan pegangan ulam umumnya. Contoh yang demikian digambarkan dalam firman-Nya:
`Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar, pada hari , lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. Di hari itu, Allah akan memberi mereka balasan yag setimpal menurut semestinya, dan tahulah mereka bahwa Allah-lah yang Benar, lagi Yang menjelaskan .( an-Nur : 23-25 ).
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan Aisyah secara khusus; atau dengan Aisyah dan isteri-isterinya Nabi lainnya, diriwayatkan dari Ibn Abbas, firman Allah : `Sesungguhnya orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik-baik.` Itu turun berkenaan dengan Aisyah secar khusus.
Dari Ibn Abbas pula dan masih mengenai ayat tersebut ; ` Ayat itu berkenaan dengan Aisyah dan isteri-isteri Nabi, Allah tidak akan menerima taubat yang melakukan hal itu ( menuduh mereka berzina ), dan menerima tobat orang yang menuduh seorang perempyuan diantar perempaun-perempuan beriman selain isteri-isteri Nabi,` kemudian Ibn Abbas membacakan : `Dan orang-orang yang menuduh perempuan yang baik-baik�.` Sampai dengan `�.kecuali orang-orang yang bertaubat�..` (an-Nur : 4-5 ).
Atas dasar ini, maka penerimaan tobat orang yang menuduh zina ( sebagaiman dinyatakan dalam surah an-nur : 4-5 ) ini, merupakan pengkhususan keumuman firman Allah: ` Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempaun baik-baik yang lengah lagi beriman`. Tidaklah mencakup- dengan pengkhususan ini- orang yang menuduh Aisyah dan isteri-isteri Nabi yang lain. Karena yang terakhir ini tidak ada tobatnya, mengingat masuknya sebab ( yakni orang yang menuduh Aisyah dan isteri-isteri Nabi ) kedalam cakupan makna lafal yang umum itu bersifat qat�i ( pasti ).
4. Mengetahui sebab nuzul adalah cara terbaik untuk memahami makna Al-Quran Al-Karim menyingkap kesamaran yang tersembunyi dalam ayat-ayat yang tidak dapat ditafsirkan tanpa mengetahui sebab nuzulnya. Al-Wahidi menjelaskan : ` Tidaklah mungkin mengetahui tafsir ayat tanpa mengetahui sejarah dan penjelasan sebab turunnya.` Ibn Daqiqil �Id berpendapat: `Keterangan tentang sebab nuzul adalah cara yang kuat ( tepat ) untuk memahami makna Qur�an. Ibn Taimiah mengatkan : ` Mengetahui sebab nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena mengetahui sebab menimbulkan pengetahuan mengenai musabab ( akibat ).
Contohnya antara lain, kesulitan Marwan bin al-Hakam dalam memahami ayat yang baru disebutkan tadi:
`Janganlah sekali-kali kamu menyangka, hahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.` ( al-Imran : 188 ).
Sampai Ibn Abbas menjelaskan kepadanya sebab nuzul ayat itu. Contoh lain ialah ayat:
`Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi`ar Allah . Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-`umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa`i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui.` ( al-Baqarah : 158 ).
Lafal ini secara tekstual tidak menunjukkan bahwa sa�i itu wajib, sebab ketiadaan dosa untuk mengerjakan hal itu menunjukkan `kebolehan` dan bukannya ` kewajiban` sebagian ulama juga berpendapat demikian, karena berpegang kepada arti tekstual ayat itu.
Aisyah telah menolak pemahaman �Urwah Ibn Zubair seperti itu, dengan nuzul ayat tersebut, yaitu bahwa para sahabat merasa keberatan bersa�i antara safa dan marwa karena perbuatan itu berasal dari perbuatan jahiliyah. Disafa terdapat `Isaf` dan di marwa terdapat ` Na�ilah` keduanya adalah berhala yang biasa diusap orang jahiliah ketika mengerjakan sa�i. Sumber dari Aisyah menyebutkan bahwa �Urwah berkata kepadanya: ` Bagaimana pendapatmu mengenai firman Allah `Sesungguhnya safa dan marwa merupakan sebagian dari syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya untuk mengerjakan sa�i diantara keduanya.?� Aku sendiri tidak berpendapat bahwa seseorang itu berdosa bila ia tidak melakukan sa�i itu !` Aisyah mejawab: ` Alangkah buruknya pendapatmu itu, wahai anak saudaraku, sekiranya maksud ayat itu seperti yang engkau takwilkan, niscaya ayat itu berbunyi �Tidak ada dosa bagi orang yang tidak melakukan sa�i� tetapi ayat itu turun karena orang-orang Anshar sebelum masuk Islam biasa mendatangi �manat� yang zalim itu dan menyembahnya. Orang yang dulubmenyembahnya tetntu keberatan untuk bersa�i diantara safa dan marwa. Maka Allah menurunkan` Sesungguhnya safa dan marwa�.` . kata Aisyah: �selain iti, Rasulullah pun telah menjelaskan sa�i diantara keduanya. Maka tak seorang pun dapat meninggalkannya sa�i diantara keduanya.`
5. Sebab nuzul dapat menerangkan tentang siapa ayat itu diturunkan sehingga ayat tersebut tidak diterapkan kepada orang lain karena dorongan permusuhan dan perselisihan. Seperti disebutkan mengenai firman Allah:
Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: `Cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku? lalu kedua ibu bapaknya itu memohon pertolongan kepada Allah seraya mengatakan:
`Celaka kamu, berimanlah! Sesungguhnya janji Allah adalah benar`. Lalu dia berkata: `Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu belaka.(al-Ahqaf : 46).
Mu�awiyyah bermaksud mengangkat Yazid menjadi khalifah, ia mengirim surat kepada Marwan, gubernurnya di madinah, mengenai hal itu. Karena itu Marwan lalu mengumpulkan rakyat kemudian berpidato dan mengajak mereka membaiat Yazid. Tetapi Abdurrahman Bin Abu Bakar tidak mau membaiatnya. Maka hampir saja Marwan melakukan hal tidak terpuji kepada Abdurrahman bin Abu Bakar, sekiranya ia tidak segera masuk kerumah Aisyah. Marwan berkata: ` Orang inilah yang di maksud ayat: `Dan orang yaNg berkata kepada ibu bapaknya:�cis bagi kamu berdua, apakah kamu berdua memperingatkan aku bahwa aku akan dibangkitkann, padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?` Aisyah menolak/membantah pendapat Marwan tersebut dan menjelaskan maksud turunnya. Riwayat Yusuf bin Mahik, menyebutkan : ` Marwan berada di Hijaz, ia telah diangkat menjadi gubernur oleh Muawiyah bin Abu Sufyan, lalu berpidatolah ia. Dalam pidatonya itu ia menyebutkan nama Yazid bin Muawiyah agar dibaiat sesudah ayahnya. Ketika itu Abdurrahman bin Abu Bakar mengatakan sesuatu. Lalu kata Marwan : `tanglaplah dia`. Kemudian Abdurrahman masuk kerumah Aisyah sehingga mereka tidak bisa menangkapnya. Kata Marwan: �Itulah orang yang menjdi kasus sehingga Allah menurunkan ayat: (Dan orang ya g berkata kepada ibu bapaknya�cis bagi kamu berdua �..). maka kata Aisyah: �Allah tidak pernah menurunkan sesuatu ayat Qur�an mengenai kasus seseorang diantar kami kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat.�
Dan dalam beberapa riwayat dinyatakan:� Bahwa ketika Marwan meminta agar Yazid di baiat, ia berkata: �( pembaiatan ini adalah ) tradisi Abu Bakar dan Umar.� Abdurrahman berkata: �Tradisi Hercules dan kaisar�. Maka kata Marwan; Inilah orang yang dikatakan Allah dalam Qur�an. Dan orang yang berkata kepada ibu bapaknya: cis bagi kamu berdua�.Kemudian perkataan Marwan yang demikian itu sampai kepada Aisyah, maka kata Aisyah: �Marwan telah berdusta.demi Allah, maksud ayat itu tidaklah demikian, sekiranya aku mau menyebutkan mengenai siapa ayat itu turun, tentulah aku sudah menyebutkannya.`
Yang Menjadi Pegangan Adalah Lafal yang Umum, Bukan Sebab yang Khusus Apa bila ayat diturunkan sesuai dengan sebab secara umum, atau sesuai dengan sebab secara khusus, maka yang umum (�am ) diterapkan pada keumumannya dan yangv khusus ( khass ) pada kekhususannya.
Contoh yang pertama ialah firman Allah
`Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: `Haidh itu adalah suatu kotoran`. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.`( al-Baqarah : 222 )
Anas berkata: Bila isteri orang-orang yahudi haid, mereka dikeluarkan dari rumah, tidak diberi makan dan minum, dan didalam rumah tidak boleh bersama-sama. Lalu Rasulullah SAW ditanya tentang haid itu, maka Allah menurunkan: ` mereka bertanya kepadmu tentang haid�kemudian kata Rasulullah SAW :Bersama-samalah dengan mereka dirumah, dan perbuatlah segala sesuatu kecuali menggaulinya,`
Contoh kedua adalah firman Allah:
`Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu ni`mat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi karena mencari keridhaan Tuhannya yang Maha TInggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.` ( al-Lail : 17-21 )
Ayat-ayat diatas diturunkan mengenai Abu Bakar. Kata al-atqa ( orang yang paling taqwa ) menurut tsyrif terbentuk af�al untuk menunjukkan arti superlatif, tafdil yang disertai al-�adiyah ( kata sandang yang menunjukkan bahwa kata yang dimasukinya itu telah diketahui maksudnya ), sehingga ia dikususkan bagi orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Kata sandang al menunjukkan arti umum bila ia berfungsi sebagai kata ganti penghubung ( isim mausul ) atau mu�arifah ( berfungsi mema�rifatkan ) bagi kata jamak. Menurut pendapat yang kuat.
Sedang al dalam kata al-atqa bukan kata ganti penghubung, sebab kata ganti penghubung tidak di rangkaikan dengan bentuk ssuperlatif; lagi pula al atqa bukan kata jamak. Melainkan kata tunggal. Al-�ahdu atau apa yang telah diketahui itu sendiri sudah ada, disamping bentuk siperlatif af�al itu kusus menunjukkan yang membedakan. Dengan demikian, hal ini telah cukup untuk membatasi makna ayat pada orang yang karenanya ayat itu diturunkan. Oleh sebab itu, al-Wahidi berkata; �al-atqa adalah Abu Bakar as-Sidiq menurut pendapat para ahli tafsir.� Menurut �Urwah, Abu Bakar telah memerdekakan tujuh orang budak yang disiksa karena membela agama Allah;Bilal, Amir bin Fuhaorah, Nahdiyah, dan anak perempuannya, Umm �Isa dan budak perempuan Bani Mu�ail. Untuk itu turunlah ayat `Dan tidak akan dijauhkan orang yang paing taqwa itu dari neraka.` Samapai dengan akhir surah.
Jika sebab itu kusus, sedang ayat yang turun berbentuk umum, maka para ahli usul berselisih pendapat: yang dijadikan pegangan adalah lafal yang umum ataukah sebab yang kusus ?
1. Jumhur ulama berpendapat bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab yang kusus, hukum yang diambil dari lafal yang umum itu melampaui bentuk sebab yang khusus sampai pada hal-hal yang serupa dengan itu. Misalnya ayat Li�an yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada isterinya : ` Dari Ibn Abbas, Hilal bin Umayah menuduh isterinya telah berbuat zina dengan Syuraik bin Sahma dihadapan Nabi. Maka Nabi berkata; � Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu yang didera.� Hilal berkata : �Wahai Rasulullah , apa bilamsalah seorang diantara kami melihat seorang laki-laki mendatangi isterinya; apakah ia harus mencari bukti ` Rasulullah menjawab: �Harus ada bukti, bila tidak maka punggungmu akan yang didera.� Hilal berkata; � Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sesungguhya perkataanku itu benar dan Allah benar-benar akan menurunkan apa yang membebaskan punggungku dari dera.� Maka turunlah jibril dan menurunkan kepada Nabi :
Dan orang-orang yang menuduh isterinya sampai dengan jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. (QS. An-Nur : 6-9 ).`
Hukum yang diambil dari lafal yang umum ini ( dan orang-orang yang menuduh isterinya ) tidak hanya mengenai peristiwa Hilal, tetapi diterapkan pula pada kasus yang serupa lainnya tanpa memerlukan dalil lain. Inilah pendapat yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas ) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu kepada peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda-beda. Berdalil dengan keumuman redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer dikalangan ahli.
Ibn Taimiah mengatakan : ` Hal yang demikian ini sering kali terjadi. Dan termasuk kedalam bab ini adalah ucapan mereka : ayat ini diturubnkan dalam hal seperti ini; khususnya apa bila yang disebutkan itu orang tertentu. Seperti ucapan mereka: Ayat zihar itu turun mengenai isteri Aus bin Samit; dan ayat kalalah turun mengenai Jabir bin Abdullah; dan firman-Nya ( dan hendaklah kamu memutuskan perkara diantara mereka . ( al-Ma�idah : 49 ) turun mengenai Bani Quraizah dan Bani Nadir.
Begitu pula mereka menyebutkan bahwa ayat ini turun mengenai kaum musrikin mekkah, atau kaum yahudi dan nasrani atau kaum yang beriman. Pernyataan ini tidak dimaksudkan bahwa hukum ayat-ayat tersebut hanya berlaku khusus berlaku bagi orang-orang itu dan tidak berlaku bagi orang lain. Hal demikian sama sekali tidak akan dikatakan oleh seorang muslim atau orang yag berakal. Sebab sekalipun mereka ( para ulama ) berselisih pendapat tentang lafal umum yang turun berdasarkan sesuatu sebab, adakah lafal umum itu hanya berlaku khusus bagi sebab turunnya itu ? tetapi tak seorang pun diantara mereka yang megatakan bahwa keumuman kitab dan sunnah itu dikhususkan kepada orang-orang tertentu. Yang mereka katakan ialah : ayat yang umum itu khusus mengenai ` jenis` perkara orang tersebut.
Sehingga berlaku umum bagi kasus yang serupa dengan nya. Keumuman ayat tidak hanya didasarkan pada keumuman lafal. Ayat yang mempunyai sebab tertentu, bila berupa perintah atau larangan , berlaku bagi ( orang ) itu dan orang lain yang kedudukannya sama dengannya. Apa bila ayat itu berisi pujian atau celaan, maka pujian dan celaan itu ditujukan kepada orang tersebut dan orang lain yang sama kedudukannya.`
2. Segolongan ulama berpendapat bahwa yag menjadi pegangan adalah sebab yang khusus, bukan lafal yang umum, karena lafal yang umum itu menunjukkan bentuk sebab yang khusus. Oleh karena itu untuk dapat diberlakukan kepada kasus selain sebab diperlukan dalil lain seperti kias dan sebagainya, sehingga pemindahan riwayat sebab yang khusus itu mengandung faedah; dan sebab tersebut sesuai dengan musababnya seperti halnya pertanyaan dengan jawabannya.
V. Redaksi Sebab Nuzul
Bentuk redaksi yang menerangkan sebab nuzul itu terkadang berupa pernyataan tegas mengenai sebab dan terkadang pula pernyataan yang hanya mengandung kemungkinan mengenainya.
1. Bentuk pertama
Adalah jika perawi mengatkan : ` Sebab nuzul ayat ini adalah begini.` Atau menggunakan fa ta�qibiyah ( kira-kira sepeerti `maka` yang menunjukkan urutan peristiwa ) yag dirangkaikan dengan kata ` turunkan ayat` , sesudah ia menyebutkan peristiwa atau pertanyaan misalnya , ia mengatakan; `Telah terjadi peristiwa begini` atau ` Rasulullah ditanya tentang hal begini, maka turunlah ayat ini.`
Dengan demikian, kedua bentuk diatas merupakan pernyataan yang jelas tentang sebab, contoh-contoh untuk kadua hal ini akan kami jelaskan lebih lanjut.` Bentuk kedua yaitu, redaksi yang boleh jadi menerangkan sebab nuzul atau hanya sekedar menjelaskan kandungan hukum ayat ialah bila perawi mengatakan ` Ayat ini turun mengenai ini`. Yang dimaksud dengan ungkapan ( redaksi ) ini terkadang sebab nuzul ayat dan terkadang pula kandungan hukum ayat tersebut. Demikian juga bila ia mengatakan` Aku mengira ayat ini turun mengenai soal begini` atau ` Aku tidak mengira ayat ini turun kecuali mengenai hal yang begini` dengan bentuk redaksi demikian ini, perawi tidak memastikan sebab nuzul. Kedua bentuk redaksi tersebut mungkin menunjukkan sebab nuzul dan mungkin pula menunjukkan hal lain.
Contoh pertama ialah apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar, yang mengatakan : ` Ayat ( isteri-isteri kamu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam) ( al-Baqarah: 223 ) turun ber hubungan dengan masalah menggauli isteri dari belakang.`
2. Bentuk Kedua
Contoh kedua ialah apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Zubair, bahwa Zubair mengajukan gugtan kepada seorang laki-laki dari kaum anhsar yang pernah ikut dalam perang Badar bersama Nabi, dihadapan Rasulullah SAW tentang saluran air yang mengalir dari tempat yang tinggi; keduanya mengairi kebun kuma masing-masing dari situ. Orang anshar berkata: ` Biarkan airnya mengalir` tetapi Zubair menolak, maka kara Rasulullah SAW : ` Airi kebunmu itu Zubair, kemudian biarkan air itu mengalir kekebun tetanggamu.` Orang Anshar itu marah katanya : ` Rasulullah apa sudah waktunya anak bibimu itu berbuat demikian ?` wajah Rasulullah menjadi merah. Kemudian ia berkata : �Airi kebunmu Zubair, kemudian tahanlah air itu hingga memenuhi pematang; lalu biarkan ia mengalir kekebun tetanggamu.� Rasulullah SAW dengan keputusan ini telah memnuhi hak Zubair, padahal sebelum itu ia mengisyaratkan keputusan yang memberikan kelonggaran keduanya. Ketika Rasulullah SAW marah kepada orang anshar , ia memnuhi hak Zubair secara nyata. Maka kata Zubair: �Aku tidak mengira ayat berikut ini turun kecuali mengenai urusan tersebut:
`Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.` ( an-nisa� : 65 ).
Ibn Taimiah mengatakan ` Ucapan mereka bahwa �ayat turun mengenai urusan ini� terkadang dimaksudkan sebagai penjelasan mengenai sebab nuzul, dan terkadang dimaksudkan bahwa urusan ityubtermasuk dalam cakupan ayat walaupun tidak ada sebab nuzulnya, para ulama berselisih pendapat mengenai ucapan sahabat: �ayat ini turun mengenai urusan ini�; apakah ucapan itu berlaku sebagai hadis musnad seperti kalau dia menyebutkan sesuatu sebab yang karenanya ayat diturunkan ataukah berlaku sebagai tafsir dari sahabat itu sendiri dan bukan musnad ? Bukhari memasukannya kedalam katergori hadis musnad. Sedang yang lain tidak memasukannya. Dan sebagian besar hadis musnad itu menurut istilah atau pengertian ini. Seperti musnad Ahmad dan lain-lain. Berbeda halnya bila para sahabat menyebutkan satu sesuatu sebab yang sesudahnya diturunkan ayat, bila demikian, maka mereka semua memasukkan pernyataan sepeti ini kedalam hadis musnad.`
Zarkasyi dalam al-Burhan menyebutkan : ` Telah diketahui dari kebiasaan para sahabat dan Tabi�in bahwa apa bila salah seorang dari mereka berkata : �Ayat ini turun mengenai urusan ini�. Maka yang dimaksud ialah bahwa ayat itu mengandung hukum urusan tersebut; bukannya urusan itu sebagai sebab penurunan ayat. Pendapat sahabat ini termasuk dalam jenis penyimpulan hukum dengan ayat, bukan jenis pemberitaan mengenai suatu kenyataan yang terjadi,`
VI. Beberapa Riwayat Mengenai Sebab Nuzul
Terkadang terdapat banyak riwayat mengenai sebab nuzul suatu ayat. Dalam keadaan demikian , sikap seorang mufasir kepadanya sebagai berikut :
1. Apa bila bentuk-bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, seperti: �Ayat ini turun mengenai urusan ini�, maka dalam hal ini tidak ada kontradiksi diantara riwayat-riwayat itu; sebab meksud riwayat-riwayat tersebut adalah penafsiran dan penjelasan bahwa hal itu termasuk kedalam makna ayat dan disimpulkan darinya. Bukan menyebutkan sebab nuzul. Kecuali bila ada karinah atau indikasi pada salah satu riwayat bahwa maksudnya ialah penjelasan sebab nuzul.
2. Apa bila salah satu bentuk redaksi riwayat itu tidak tegas, misalnya `Ayat ini turun mengenai urusan ini`, sedang riwayat yang lain menyebutkan sebab nuzul dengan tegas yang berbeda dengan menyebutkan riwayat pertama, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang menyebutkan sebab nuzul secara tegas, dan riwayat yang lain dipandang termasuk didalam hukum ayat. Contohnya ialah riwayat tentang sebab nuzul firman Allah: `Isteri-isterimu adalah tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.` ( al-Baqarah : 223 )
Dari Nafi� disebutkan : `
Pada suatu hari aku membaca ( isteri-isterimu adalah ibarat tanah tempat kamu bercocok tanam ), maka kata Ibn Umar : � Tahukah engkau mengenai apa ayat ini turun ? Aku menjawab : �Tidak� Ia berkata : ` Ayat ini turun mengenai persoalan mendatangi isteri dari belakang.` bentuk redaksi riwayat dari Ibn Umar ini tidak dengan tegas menunujukkan sebab nuzul. Sementara itu terdapat riwayat yang secara tegas mnyebutkan sebab nuzul yang bertentangan dengan riwayat tersebut. Melalui Jabir dikatakan; �Orang-orang yahudi berkata: ` Apa bila seorang laki-laki mendatangi isterinya dari belakang, maka anaknya nanti akan bermata juling, maka turunlah ayat ( isteri-isterimu itu adalah ibarat tanah kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat kamu bercocok tanammu itu sebagaiman saja kamu kehendaki )`. Maka Jbir inilah yang dijadikan pegangan, karena ucapannya merupakan pernyataan tegas tentang sebab nuzul. Sedang ucapan Ibn Umar, tidaklah demikian, karena itulah ia dipandang sebagai kesimpulan atau penafsiran.
3. Apa bila riwayat itu banyak dan semuanya menegaskan sebab nuzul, sedang salah satu riwayat diantaranya itu sahih, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat yang sahih. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan ahli hadis lainnya.
Dari Jundub al-Bajali : `Nabi menderita sakit hingga dua atau tiga malam, tidak bangun malam. Kemudian datanglah seorang perempuan kepadanya dan berkata: `Muhammad, kurasa setanmu sudah meninggalkanmu, selama dua tiga malam ini, sudah tidak mendekatimu lagi.` Maka Allah menurunkan firman ini ( Demi waktu Dhuha, dan demi malam apa bila telah sunyi; Tuhanmu tiada meninggalkanmu dan tidak benci kepadamu )`.
Sementara itu Tabarani dan Ibn Syaibah meriwayatkan: dari Hafs bin Maisarah, dari ibunya, dari budak perempuannya pembantu Rasulullah : `Bahwa seekor anak anjing telah masuk kedalam rumah Nabi, lalu masuk kekolong tempat tidur dan mati. Karenanya selama empat hari tidak turun wahyu kepadanya. Nabi berkata ; �Khaulah apa yang telah terjadi diruamah Rasulullah ini ? sehingga jibril tidak datang kepadaku ! Dalam hati aku berkata: �Alangkah baiknya andai kata aku membenahi rumah ini dan menyapunya�. Lalu aku menyapu kolong tempat tidurnya, maka kukeluarkan seekor anak annjing. Lalu datanglah Nabi sedang janggutnya bergetar. Apa bila turun wahyu kepadanya ia tergetar. Maka Allah menurunkan ( Demi waktu Dhuha ) sampai dengan ( lalu hatimu menjadi puas ).� Ibn Hajar dalam syarah Bukahri berkata: `Kisah terlambatnya Jibril karena adanya anak anjing itu cukup masyhur, tetapi bahwa kisah itu dijadikan sebab turun ayat adalah suatu hal yang ganjil ( gharib ). Dalam isnad hadis itu terdapat orang yang tidak dikenal, maka yang menjadi pegangan adalah riwayat dalan sahih Bukhari dan Muslim.
4.Apa bila riwayat-riwayat itu sama-sama sahiih namun terdapat segi yang memperkuat salah satunya. Sepertikehadiran perawi dalam kisah tersebut. Atau salah satu dari riwayat-riwayat itu lebih sahih. Maka riwyat yang ebih kauat itulah yang didahulukan. Contohnya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Bukahari dari Ibn Mas�ud yang mengatakan: `Aku berjalan dengan Nabi dimadinah, ia berpegang pada tongkat dari pohon kurma, dan ketika melewati serombongan orang-orang yahudi, seseorang diantara mereka berkata: �coba kamu tanyakan sesuatu kepadanya,� lalu mereka menanyakan: �ceritaka kepada kami tentang roh,�Nabi berdiri sejenak dan mengangkat kepala. Aku tahu bahwa wahyu telah turun kepadanya, wahyu itu turun hingga selesai. Kemudian ia berkata: (`Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: `Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit`.) ( al-Israa: 85 ).
Diriwayatkan dan disahihkan oleh Tirmizi, dari Ibn Abbas yang mengatakan: `Orang Quraisy berkata kepada orang yahudi; berilah kami suatu persoalan untuk kami tenyakan kepada orang ini ( Muhammad ).�mereka menjawab: �Tanyakan nkepadanya tentang roh.� Lalu mereka tanyakan kepada Nabi. Maka Allah menurunkan: ( Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah roh itu termasuk urusan Tuhanku.`).
Riwayat ini memberi kesan bahwa ayat itu turun di mekkah, tempat adanya kaum Quraisy. Sedang riwayat pertama memberi kesan turun dimadinah. Riwayat pertama dikukuhkan karena Ibn Mas�ud hadir dalam atau menyaksikan kisah tersebut. Disamping itu umat juga telah terbiasa untuk lebih menerima hadis sahii Bukhari dan memandangnya labih kuat dari hadis sahih yang dinyatakan oleh yang lainnya. Zarkasyi berpendapat, contoh seperti ini termasuk kedalam bab ` banyak dan berulangnya nuzul`dengan demikian. Ayat diatas tuun dua kali, sekali dimakkah dan sekali di madinah. Dan yang menjadi sandaran untuk hal itu ialah bahwa surah � subhana� atau al-isra� adalah makki menurut kesepakatan.
Kami sendiri berpendapat, kalaupun surah itu makki sifatnya, namun tidak dapat ditolak apa bila satu ayat atau lebih dari surat tersebut itu madani. Apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibn Mas�ud tersebut menunjukkan bahwa ayat ini ( Katakanlah: Roh itu termasuk ursan Tuhanku; dan kamu tidak diberi pengetahuan melainkan sedikit) adalah madani. Karena itu pendapat yang kami pilih, yaitu menguatkan ( tarjih ) riwayat Ibnu Mas�ud atas riwayat tirmizi dan Ibn Abba, lebih baik dari pada memvonis ayat tersebut dengan banyak dan berulangnya nuzul.
Sekiranya benar bahwa ayat tersebut makki dan diturunkan sebagai jawaban atas suatu pertanyaan, maka pengulangan pertanyaan yangt sama dimadinah tidak menuntut penurunan wahyu dengan jawaban yang sama pula. Sekali lagi. Tetapi yang dituntut adalah agar Rasulullah SAW menjawabnya dengan jawaban yang telah urun sebelumnya.
5. Apa bila riwayat-riwayat tersebut sama kuat. Maka riwayat-riwayat itu dipadukan atau dikompromikan bila mungkin; hingga dinyatkan bahwa ayat tersebut turb sesudah terjadi dua buah sebab atau lebih karena jarak waktu diantara sebab-sebab itu berdekatan. Misalnya, ayat li�an ` Dan orang yang menuduh isterinya berbuat zina �.� ( an-nur 6-9 ).
Bukhari Tirmizi dan Ibn Majah meriwayatkan, dari Ibn Abbas bahwa ayat tersebut turun mengenai Hilal bin Umayah yang menuduh isterinya telah berbuat serong dengan Suraik bin Sahma. Dihadapan Nabi. Seperti telah kami sebutkan diatas.Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lain, dari Sahl bin Sa�ad; Uwaimir datang kepada �Asim bin �Adi lalu berkata: � Tanyakan kepada Rasulullah SAW tentang laki-laki yang mendapatkan isterinya dengan laki-laki lain; apakah ia harus membunuhnya sehingga ia diqisas atau apakah yang harus ia lakukan�?` kedua riwayat ini bisa dipadukan, yaitu ketika perostiwa Hilal terjadi labih dahulu, dan kebetulan pula Uwaimir mengalami kejadian serupa, maka tutun ayat yang berkenaan dengan urusan kedua orang itu sesudah terjadi dua peristiwa tersebut. Ibn Hajar berkata: �banyaknya sebab nuzul itu tidak menjadi soal�.
6 .Bila riwayat-riwayat itu tidak bisa dikompromikan karena jarak waktu antara sebab-sebab tersebut berjauhan. Maka hal yang demikian dibawa kepada atau dipandang sebagai banyak atau berulangnya nuzul. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dan al-Musayyab; ia berkata: `Ketika Abu Thalib dalam keadaan sekarat, Rasulullah SAW menemuinya. Dan disebelahnya ( Abu Thalib ) ada Abu Jahal dan Abdullah bin Abu Umayah. Maka kata Nabi: ` Pamanda, ucapkanlah lailahaillallah. Karena dengan kalimat itu aku kelak aku dapat memintkan keringanan bagi paman disiss Allah. Abu jahal dan Abdullah berkata� Abu Thalib apakah engkau sudah tidak menyukai agama Ab dul Muthalib?� kedua orang itu terus berbicara kepada Abu Thalib sehingga masing-masing mangatakan bahwa ia tetap dalam agama Abdul Muthalib. Maka kata Nabi: �Aku akan tetap memintakan ampunan bagimu selama aku tidak dilarang berbuat demikian�. Maka tuunlah ayat: Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakan ampun kepada Allah bagi orang musyrik�.( at-Taubah: 113 ).
Tirmizi meriwayatkan dari Ali yang mengatakan` aku mendengar seorang laki-laki meminta ampunan untuk kedua orang tuanya, sedang keduanya itu musyrik. Lalu aku katakan kepadanya: �Apakah engakau memintakan ampunan untuk kedua orang tuamu, sedang mereka itu musyrik..? ia menjawab: � Ibrahim telah memintakan ampunan untuk ayahnya, sedang ayahnya juga musyrik,� lalu aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah SAW , maka turunlah ayat tadi, diriwayatkan olah Hakim dan yang lain,dari Ibn Mas�ud, yang mengatakan: �Pada suatu hari Rasulullah SAW pergi kekuburan, lalu duduk didekat salah satu makam. Ia bermunajat cukup lama, lalu menangis. Katanya: ` Makam ini dimana aku duduk disisihnya adalah makam ibuku, aku telah meminta izin kepada Tuhanku untuk mendoakannya, tetapi Dia tidak mengizinkan, lalu diturunkan wahyu kepadaku `(Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang yang beriman memintakn ampun kepada Allah bagi orang musyrik.)`. Riwayat-riwayat ini dapat dikompromikan dengan ( dinyatakan sebagai ) berulang kalinya nuzul ( maksudnya kita memandang bahwa ayat itu Qur�an [9] : 13 diturunkan berulang kali. Peny. )
Contoh lain ialah apa yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi berdiri disisi jenazah Hamzah yang mati syahid dengan dianiaya. Maka kata Nabi: ` Aakan kuaniaya tujuh puluh orang dari mereka sebagai balasan untukmu`. Maka jibril turtun dengan membawa akhir surah an-Nahl kepada Nabi sementara ia dalam keadaan berdiri: ( Jika kamu mengadakan pembalasan, maka balaslah dengan pembalasan yang sama dengan siksaan yang ditimpahkan kepadamu�.) ( an-Nahl : 126-128 )sampai akhir surah, riwayat ini menunjukkan bahwa ayat-ayat diatas turun diwaktu perang uhud.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ayat-ayat tersebut turun pada waktu penaklukan kota makkah . Padahal surah tersebut adalah makki. Maka pengompromian antar riwayat-riwayat itu ialah dengan menyatakan bahwa ayat-ayat turun dimekkah sebelum Hijrah, lalu diuhud dan kemudian turun lagi saat penaklukan kota mekkah. Tidak da salahnya bagi hal yang demikian mengingat dalam ayat-ayat tersebut terdapat peringatan akan nikmat Allah kepada hamba-hambanya dengan adanya syariat.az-Zarkasyi dalam al-Burhan mengatakan: �Terkadang sesuatu ayat turun dua kali sebagi penghormatan kebesaran dan peringatan yang menyebabkan nya, khawatir dan terlupakan. Sebagaiman terjadi pada surah Fatihah yang turun dua kali. Sekali di mekkah dan sekali di madinah.` Demikianlah pendapat dan sikap para ulama ahli dalam bidang ini menge nai riwayat-riwayat sebab nuzul suatu ayat, bahwa ayat itu diturunkan beberapa kali.
Tetapi menurut hemat kami pendapat tersebut ti dak atau kurang memiliki nilai positif mengingat hikmah berulang kalinya turun sesuatu ayat itu tidak begitu nampak dengan jelas. Pendapat kami mengenai permasalahan ini ialah bahwa riwayat yang bermacam-macam mengenai sebab nuzul dan tidak mungkin dipadukan itu sebenarnya dapat di tarjihkan ( dikuatkan ) salah satunya. Misalnya riwayat-riwayat yang berkenaan dengan sebab nuzul firman Allah: `Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun bagi orang-orang musyrik,` (atTaubah: 113 ).
Riwayat pertama kali dinilai lebih kuat dari kedua riwayat lainnya. Sebab ia terdapat dalam kitab sahih Bukahri Muslim. Sedang riwayat lainnya tidak. Dan periwayatan kedua tokoh hadis ini cukup kuat untuk dijadikan pegangan, maka pendapat yang kuat ialah bahwa ayat itu turun bekenaan dengan Abu Thalib. Begitu pula halnya dengan riwayat-riwayat sebab nuzul akhir surah an-Nahl. Riwayat-riwayat itu tidak sama derajatnya, makamengambil riwayat paling kuat adalah lebih baik dari pada menyatakan, ayat itu diturunkan beberapa kali.
Ringkasnya, bila sebab nuzul sesuatu ayat itu banyak, maka terkadang semuanya tidak tegas, terkadang pula semuanya tegas. Dan terkadang sebagiannya tidak tegas sedang sebagian lainnya tegas dalam menunjukkan sebab. Apa bila semuanya tidak tegas dalam menunjukkan sebab, maka tidak ada salahnya untuk membawanya kepada atau dipandang sebagai tafsir dan kandungan ayat. Apa bila sebagian tidak tegas dan sebagian lain tegas maka yang menjadi pegangan adalah yag tegas. Apa bila semuanya tegas, maka tidak terlepas dari kemungkinan bahwa salah satunya sahih atau semuanya sahih, apa bila salah satunya sahih dan yang lainnya tidak, maka yang sahih itulah yang menjadi pegangan. Apa bila semuanya sahih, maka dilakukan pentarjihan bila mungkin. Bila tidak mungkin degan pilihan demikian, maka dipadukan bila mungkin. Bila tidak mungkin dipadukan, maka dipandanglah ayat itu, diturunkan beberapa kali dan berulang. Dalam bagian yang terakhir ini, terdapat pembahasan; karena dalam setiap riwayat terdapat keterangan.
VII. Banyaknya Nuzul dengan Satu Sebab
Terkadang banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu,dalam hal ini tidak ada permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur, Abdurrazaq, Tirmizi, Ibn Jarir, Ibn Mundzir, Ibn Abi Hatim, Tabarani dan Hatim mengatakan sahih, dari Ummu Salamah ia berkata: `Rasulullah aku tidak mendengar Allah tidak menyebutkan kaum perempuan sedikitpun mengenai hijrah. Maka Allah menurunkan: `Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya :
`Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.` ( Ali-Imran : 195 ).
Diriwayatkan pula oleh Ahmad,Nasa�i ,Ibnu Jarir,Ibn Munzir, Tabarani dan Ibn Mardawaih dari Ummu Salamah yang mengatakan : `Aku telah bertanya: Rasulullah , mengapa kami tidak disebutkan dalam Qur�an seperti kaum laki-laki ? maka pada suatu hari aku dikejutkan oleh seruan Rasulullah diatas mimbar. Ia membacakan: Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim��sampai akhir ayat 35 surah al-Ahzab`.
Diriwayatkan pula oleh Hakim dari Ummu Salamah yang mengatakan: ` Kaum laki-laki berperang sedang perempuan tidak. Disamping itu kami hanya memperoleh warisan setengah bagian ? maka Allah menurunkan ayat : `Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan,` (an-Nisa� : 32 ) Dan ayat : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim�..` Ketiga ayat tersebut turun karena sebab.
VIII. Penurunan Ayat Lebih Dahulu daripada Hukumnya
Az-Zarkasyi mengemukakan satu macam pembahasan yang berhubungan dengan sebab nuzul yang dinamakan ` penurunan ayat lebih dahuku dari pada hukumnya (maksudnya)`. Contoh yang diberikannya dalam hal ini tidaklah menunjukkan bahwa ayat itu turun mengenai hukum tertentu. Kemudian pengemalannya datang sesudahnya. Tetapi hal tersebut menunjukkan bahwa ayat itu ditutrunkan dengan lafal mujmal ( global ) yang mengandung arti lebih dari satu, kemudian penafsirannya dihubungkan dengan salah satu arti tersebut. Sehingga ayat tadi mengacu kepada hukum yang datang kemudian. Didalam al-Burhan disebutkan: ` Ketahuilah bahwa nuzul atau penurunan sesuatu ayat itu terkadang mendahului hukum. Misalnya firman Allah: `
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihakan diri ( dengan beriman ) ( al-A�la : 14 ).
Ayat tersebut dijadikan dalil untuk zakat fitrah. Diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan zakat ramadhan ( zakat fitrah ); kemudian dengan isnad yang marfu�. Baihaqi meriwayatkan pula dengan keterangan yang sama. Sebagain dari mereka berkata: `aku tidak mengerti maksud pentakwilan yang seperti ini, sebab surah itu makki, sedang di makkah belum ada idul fitri dan zakat`. Didalam menafsirkan ayat tersebut, Bagawi menjawab bahwa nuzul itu boleh saja mendahului hukumnya. Seperti firman Allah :
Aku benar-benar bersumpah dengan kota ini, dan kamu ( Muhammad ) bertempat dikota ini. ( al-Balad : 1-2 ).
Surah ini makki dan bertempatnya dimekkah ini baru terealisir sesudah penaklukan kota mekkah, sehingga Rasulullah berkata : `Aku menempatinya pada siang hari` Demikian pula ayat yang turun dikota mekkah, yakni : Golongam itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur kebelakang ( al-Qamar: 45 ). Umar bin Khatab mengatakan: �Aku tidakmengerti golongan manakah yang akan dikalahkan dalam peperangan itu, namun ketika terjadi perang badar, Aku melihat Rasulullah SAW berkata: Golongan itu pasti akan dikalahkan dan pasti akan mundur kebelakang`. Kita melihat pada apa yang dikemukakan pengarang al-Burhan bahwa bentuk redaksi sebab nuzul itu mungkin menunjukkan sebab dan mungkin pula menunjukkan hukum-hukum yang dikandung oleh ayat: �Telah diriwayatkan oleh Baihaqi dengan diisnadkan kepada Ibn Umar bahwa ayat diatas tadi turun mengenai zakat ramadhan.` Dan ayat-ayat yang disebutkannya itu bersifat mujmal, mengandung lebih dari satu makna, atau dengan bantuk peribahasa pemberitahuan tentang apa yang akan terjadi dimasa akan datang, golongan itu pasti akan dikalahkan dan mundur kebelakang.
IX. Beberapa Ayat Turun Mengenai Satu Orang
Terkadang seorang sahabat mengalami peristiwa lebih dari satu kali, dalam Qur�an pun turun mengenai setiap peristiwanya. Karena itu banyak ayat yang turun mengenainya sesuai dengan banyaknya peristiwa yang terjadi. Misalnya apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab: `al-�adabul mufrad` tentang berbakti kepada orang tua. Dari Sa�ad bin Abi Waqash yang mengatakan: `Ada empat ayat Quran turun berkenaan denganku.
Pertama ketika ibuku bersumpah bahwa ia tidak akan makan dan minum sebelum aku meninggalkan Muhammad; lalu Allah menurunkan: `Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.` ( Luqman : 15 ).
Kedua ketika aku mengambil sebilah pedang dan mengaguminya; maka aku berkata kepada Rasulullah SAW ,Rasulullah berikanlah kepadaku pedang ini; maka turunlah; mereka bertanya kepadamu tentang pembagian harta rampasan perang� (al-Anfal ; 1 ).
Ketiga ketiak aku sedang sakit Rasulullah SAW menjengukku; aku bertanya kepadanya: Rasulullah, aku ingin membagikan hartaku, bolehkah aku mewasiatkan separuhnya ? ia menjawab; tidak. Aku bertanya: � bagaiman kalau sepertiga ? Rasulullah diam. Maka wasiat dengan sertiga harta itu dibolehkan. keempat, ketika aku sedang minum-minuman keras ( khamer ) bersama kaum anshar, seorang dari mereka memukul hidungku dengan tulang rahang unta, lalu aku datang kepada Rasulullah, maka Allah SWT menurunkan larangan minum khamr. Dan termasuk kedalam kategori ini, yakni, banyaknya ayat yang mengenai satu orang-ialah mufaqah atau kebersesuaian kehendak/sikap umar dengan wahyu. Dalam hal ini telah turun wahyu yang sesuai dalam pendapatnya dalam banyak ayat.
X. Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul dalam Lapangan Pendidikan dan Pengajaran
Dalam dunia pendidikan, para pendidik banyak mengalmi kesulitan dlam penggunaan media pendidikan yang dapat membangkitkan perhatian anak didik supaya jiwa mereka siap menerima pelajaran dengan penuh minat dan seluruh potensi intelektualnya terdorong untuk mengikuti dan mendengarkan pelajaran.
Tahap pendahuluan dari suatu pelajaran memerlukan kecerdasan brilian, yang dapat menolong guru dlam menarik minat anak didik terhadap pelajarannya dengan berbagai media yang sesuai; serta memerlukan latihan dan pengalaman cukup lama yang dapat memberinya kebijakan dalam memilih metode pengajaran yang efektif dan sejalan dengan tingkat pengetahuan anak didik tanpa kekerasan atau dipaksakan.
Disamping tahap pendahuluan itu bertujuan membangkitkan perhatian dan menarik minat, juga bertujuan memberikan konsepsi menyeluruh mengenai tema pelajaran, agar guru dapat dengan mudak membawa anak didiknya dari hal-hal yang sifatnya umum kepada yang khusus. Sehingga semua materi pelajaran yang telah ditargetkan dapat dikuasai dengan mendetail sesudah anak didik itu memahaminya secara umum ( garis besarnya ).
Dan pengetahuan tentang asababun nuzul merupakan media paling baik untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan diatas dalam mempelajari Al-Quran Al-Karim baik bacaan maupun tafsirnya. Asbabun nuzul adakalanya berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang disampaikan kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui hukum suatu masalah. Sehingga Al-Quran Al-Karim turun sesudah peristiwa atau pertanyaan tersebut. Seorang guru sebenarnya tidak perlu membuat pengantar peljarandengan sesuatu yang baru dan dipilihnya. Sebab bila ia menyampaikan sebab nuzul, maka kisahnya itu sudah cukup untuk membangkitkan perhatian, menraik minat, meningkatkan potensi intelektual dan menyiapkan jiwa anak didik untuk menerima pelajaran, serta mendorong mereka untuk mendengarkan dan memperhatikannya.
Mereka segera dapat memahami pelajaran itu secara umum dengan mengetahui asbabun nuzul karena didalamnya terdapat unsur kisah yang menarik. Dengan demikian jiwa mereka terdorong untuk mengetahui ayat apa yang diturunkan sesuai dengan sebab nuzul itu serta rahasia-rahasia perundangan dan hukum-hukum yang terkandung didalamya. Yang kesemua ini memberi petunjuk kepada manusia kejalan kehidupan yang lurus, jalan menuju kekuatan, kemuliaan dan kebahagiaan. Para pendidik dalam dunia pendidikan dan pengajaran dibangku-bangku sekolah ataupun pendidikan umum, dalam memberikan bimbingan dan penyuluhannya perlu memanfaatkan konteks asbabun nuzul, untuk memberikan rangsangan kepada anak didik yang tengah belajar dan masyarakat umum yang dibimbing. Cara demikan merupakan cara yang bermanfaat dan efektif untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan tersebut dengan menggunakan metode pemberian pengertian paling menarik dan bentuk paling tinggi.
XI. Korelasi antara Ayat dengan Ayat dan Surah dengan Surah
Seperti halnya pengetahuan tentang asbabun nuzul yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antara ayat dengan ayat dan surah dengan surah juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama mengkhususkan diri untuk menulis buku mengenai hal ini.
Munasabah ( korelasi ) dalam arti bahasa berarti kedekatan, dikatakan ` si munasabah dengan si fulan` berarti ia mendekati dan menyerupai sifulan itu. Dan diantar pengertian ini ialah munasabah �illat hukum dalam bab kias, yakni sifat yang berdekatan dengan hukum. Yang dimaksud dengan munasabah disini ialah segi-segi hubungan antara satu kalimat dengan kalimat lain dalam satu ayat, antar satu ayat dengan ayat lain dalam banyak ayat, atau antara satu surah dengan surah yang lain. Pengetahuan tentang munasabah ini sangat bermanfaat dalam memahami keserasian antar makna, keteraturan susunan kalimatnya dan keindahan gaya bahasanya.
suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,` (Huud : 1 ). Az-Zarkasyi menyebutkan: ` Manfaatnya ialah menjadikan sebagian pembicaraab berkaitan dengan yang lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan berkesesuaian bagian-bagainnya laksana sebuah bangunan yang amat kokoh` Qadi Abu Bakar Ibnul �Arabi menjelaskan: ` Mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat-ayat satu dengan yang lainnya sehingga semuanya menjadi seperti satu kata. Yang maknanya serasi dan susunanya teratur merupakan ilmu yang besar.` Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antar ayat-ayat itu bukanlah hal yang tauqifi ( tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan rasul ), tetapi didasarkan dengan ijtihad seorang mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur�an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.
Apa bila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. Hal yang demikian ini tidak berarti bahwa seorang mufasir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Quran Al-Karim turun secara bertahap sesuai degan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufasir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang pula tidak. Oleh sebab itu ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalau memaksanya juga, maka kesesuaian itu hanya dibuat-buat dan hal ini tidak disukai.
Syaikh �Izz bin Abdus Salam mengatakan: Munasabah ( korelasi ) adalah ilmu yang baik, tetapi dalam menetapkan keterkaitan antar kata secara baik itu disyaratkan hanya dalam hal awal engan akhirnya memang bersatu dan berkaitan. Sedang dalam hal yang mempunyai beberapa sebab berlainan, tidak diisyaratkan adanya hubungan antara yang satu dengan yang lain.`
Selanjutnya ia mengatakan: ` Orang yang menghubung-hubungkan hal demikian berarti ia telah memaksakan diri dlam hal yang sebenarnya tidak dapat dihubung-hubungkan kecuali dengan cara sangat lemah yang tidak diterapkan pada kata-kata yang baik, apa lagi yang lebih baik. Itu semua mengingat Al-Quran Al-Karim diturunkan dalam waktu lebih dari dua puluh tahun. Mengenai berbagai hukum dan karena sebab yang berbeda-beda. Oleh karena itu tidak mudah menghubungkan sebagiannya dengan sebagian yang lain.`
Sebagian mufasir telah menruh perhatian besar untuk menjelaskan korelasi antar kalimat dengan kalimat, ayat dengan ayat atau surah dengan surah dan mereka telah menyimpulkan segi-segi kesesuaian yang cermat. Hal itu disebabkan karena sebuah kalimat terkadang merupakan penguat terhadap kalimat sebelumnya, sebagai penjelasan,tafsiran atau sebagai komentar akhir. Yang demikian ini banyak contohnya. Setiap ayat mempunyai aspek hubungan dengan ayat sebelumnya dalam arti hubungan yang menyatukan, seperti perbandingan atau perimbangan antar sifat orang mukmin dengan sifat orang musyrik, antar ancaman dengan janji utuk mereka, penyebutan ayat-ayat rahmat sesudah ayat-ayat azab, ayat-ayat berisi anjuran sesudah ayat-ayat berisi ancaman, ayat-ayat tauhid dan kemahasucian Tuhan sesudah ayat-ayat tentang alam�..dst.
Terkadang munasabah itu terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah: `Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, Dan langit, bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?` ( al-Ghasiyah: 17-20 ) Penggabungan antara unta, langit dan gunung-gunung ini karena memperhatikan adat dan kebiasaan yang berlaku dikalangan lawan bicara yang tinggal dipadang pasir. Dimana kehidupan mereka bergantung kepada unta sehingga mereka amat memperhatikannya.
Namun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air, yang dapat menumbuhkan rumput ditempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun. Dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah kelangit. Kemudian juga mereka memerlukan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik kecuali gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun didaerah lain. Dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apa bila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka. Terkadang munasabah terjadi antara satu surah dengan surah yang lain, misalnya pembukaan surah al-An�am dengan al-Hamdu.
Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang,` ( al-An�am : 1 ). Ini sesuai dengan penutup surah al-Maidah yang menerangkan keputusan diantara para hamba berikut alasannya: `Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana���.` ( al-Maidah : 118-120 ) Hal ini seperti difirmankan Allah: `Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan: `Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam`.( az-Zumar : 75 ). Demikian pula pembukaan surah al-Hadid yang dibuka dengan tasbih: `Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah . Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.` ( al-Hadid : 1 )
Pembukaan ini sesuai dengan akhir surah al Waqi�ah yang memerintahkan bertasbih: ` Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha besar ( al Waqi�ah : 96 ) Begitu juga hubungan antara surah Li ilafi Quraisy dengan surah al fiil. Ini karena kebinasaan ` tentara gajah` mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga al- Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surah itu termasuk hubungan sebab akibat seperti dalam firman Allah : `Maka dipungutlah ia ( Musa ) oleh keluarga Firaun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka.` ( al Qasas : 8 ) Munasabah terjadi pula antara awal surah dengan akhir surah. Contohnya ialah apa yang terdapat dalam surah al-Qasas. Surah ini dimulai dengan menceritakan Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya.
Kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan kedua orang laki-laki sedang berkelahi. Allah mengisahkan do�a Musa: `Musa berkata: `Ya Tuhanku, demi ni`mat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa`.( al �Qasas: 17 ) Kemudian surah ini diakhiri dengan menghibur Rasulullah SAW bahwa ia akan keluar dari mekkah dan dijanjikan akan kembali lagi kemekkah serta melarangnya menjadi penolong terutama bagi orang-orang kafir:
`Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu Al Qur`an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali . Katakanlah: `Tuhanku mengetahui orang yang membawa petunjuk dan orang yang dalam kesesatan yang nyata`. Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al Qur`an diturunkan kepadamu, tetapi ia karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu , sebab itu janganlah sekali-kali kamu menjadi penolong bagi orang-orang kafir.` ( al-Qasas: 85-86 ). Orang yang membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan menemukan berbagai segi kesesuaian ( munasabah ) tersebut.
Posted in Ulumul Qur'an
Ulumul Quran dan Perkembangannya
Ulumul Quran dan Perkembangannya
Al-qur’anul Karim adalah mu’jizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya-orang-orang arab asli- sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apa bila mereka mengalami ketidak jelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW .
Bukhari dan Muslim serta yang lainnya meriwayatkan, dari Ibnu mas’ud, dengan menyatakan : “Ketika ayat ini diturunkan, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” ( Al-An’am:82 ), banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW , ya Rasulullah siapkah diantara kita yang tidak berbuat kedzaliman terhadap dirinya ? Nabi menjawab : kedzaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh sesunnguhnya kemuysrikan adalah benar-benar kedzaliman yang besar ( Luqman : 13 ) jadi yang dimaksud kedzaliman disini adalah kemusyrikan.”
Rasulullah SAW menafsirkan kepada mereka beberapa ayat seperti yang diriwayatkan oleh muslim dan yang lain, yang bersumber dari Uqbah bin Amir ia berkata : ” aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, “dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal :60 ), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah”
Para sahabat sangat antusias untuk menerima qur’an dari Rasulullah SAW menghafalnya da memahaminya. Hal itu merupakan siatu kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Anas Ra ” seseorang diantara kami bila telah membaca surah Baqarah dan Ali Imran orang itu menjadi besar menurrt pandangan kami.” Begitu juga mereka selalu berusaha mengamalkan qur’an dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : ” mereka yang membacakan qur’an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka berkata ‘kami mempelajari qur’an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.’”
Rasulullah SAW tidak mengizinkan meraka menuliskan sesuatu dari dia selain qur’an, karena kuatir qur’an akan bercampur dengan yang lain.
“Muslim meriwayatkan dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu Rasulullah SAW mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan qur’an tetap didasarkan kepada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah SAW , dimasa kekhalifhan Abu Bakar dan Umar Ra.
Kemudian datang masa kekahalifahan Usman Ra, dan keadaan menghendaki-seperti yang akan kami jelaskan nanti -untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur’an.
Kamudian datang masa kekalifahan Ali Ra, dan atas perintahnya Abu ‘aswad Ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur’an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur’an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh murid-murid mereka , yaitu para tabi’in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah: empat orang khalifah, kemudian Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubai bin Kaab, Zaid bin sabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir Quran yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid Ibnu Abbas dimekah ya ng terkenal ialah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘iKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan ‘Ata’ bin abu Rabah.
Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Kaab, di madinah, Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’b al Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, ‘Amir as Sya’bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin Di’amah as Sadusi.
Ibnu Timiyah berkata; “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang peling tahu adalah penduduk mekkah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, ‘Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibn Abbas dan para sahabat Ibn Abbas lainnya, seperti Tawu, Abusyi Sya’sa’ Said bin Jubair dan lainnya. Begitu juga penduduk Kuffah dari sahabat-sahabat Ibnu Masud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ilmu tafsir yang lain. Ulama’ penduduk medinah dalam ilmu tafsir diantaranya ialah, Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya, Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya.” .
Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur’an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Wakki Wal madani dan imu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan ( tadwin ) yang dumulai dengan pembukuan hadist denga segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan denag tafsir. Maka sebagian ulama membukuka tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari para sahabat ataudari para tabi’in.
Diantara mereka yang terkenal adalah, Yazid bin Harun as Sulami, ( wafat 117 H ), Syu’bah bin Hajjaj ( wafat 160 H ), Waqi’ bin Jarrah ( wafat 197 H ), Sufyan bin ‘uyainah ( wafat 198 H), dan Aburrazaq bin Hammam ( wafat 112 H ).
Mereka semua adalah para ahli hadis. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namum tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan kita.
Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh para ulama’. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at Tabari ( wafat 310 H ).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukil ( dipindahkan ) melalui penerimaan ( dari muluit kemulut ) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at Tafsir bil Ma’sur ( berdasarkan riwayat ), lalu diikuti oleh at Tafsir bir Ra’yi ( berdasarkan penalaran ).
Disamping ilmu tafsir lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan quran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Ali bin al Madini ( wafat 234 H ) guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbabun nuzul, Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam ( wafat 224 H ) menulis tentang Nasikh Mansukh dan qira’at.
Ibn Qutaibah ( wafat 276 H ) menyusun tentang problematika Quran ( musykilatul quran ).
Mereka semua termasuk ulama abad ketiga Hijri.
Muhammad bin Khalaf bin Marzaban ( wafat 309 H ) menyusun al- Hawi fa ‘Ulumil Qur’an.
Abu muhammad bin Qasim al Anbari ( wafat 751 H ) juga menulis tentamh ilmu-ilmu qur’an.
Abu Bakar As Sijistani ( wafat 330 H ) menyusun Garibul Qur’an.
Muhammad bin Ali bin al-Adfawi ( wafat 388 H ) menyusun al Istigna’ fi ‘Ulumil Qur’an.
Mereka ini adalah ulama-ulama abad keempat Hijri.
Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu-ilmu qur’an tetap berlangsung sesudah itu.
Abu Bakar al Baqalani ( wafat 403 H ) menyusun I’jazul Qur’an, dan Ali bin Ibrahim bin Sa’id al Hufi ( wafat 430 H )menulis mengenai I’rabul Qur’an. Al Mawardi ( wafat 450 H ) menegenai tamsil-tamsil dalam Qur’an ( ‘Amsalul Qur’an ). Al Izz bin Abdussalam ( wafat 660 H ) tentang majaz dalam Qur’an.’alamuddin Askhawi ( wafat 643 H ) menulis mengenai ilmu Qira’at ( cara membaca Qur’an ) dan Aqsamul Qur’an. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu qur’an.
Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Quran semua atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka syaikh Muhammada ‘Abdul ‘azim az-Zarqani menyebutkan didalam kitabnya Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an bahwa ia telah menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya al- Burhan fi ‘Ulumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid. Dari ketiga puluh jilid itu terdapat lima belas jilid yang tidak berurutan dan tidak tersusun. Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf, dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri. Masing-masing diberi judul sendiri pula. Dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan al Qaul fi Qaulihi ‘Azza wajalla ( pendapat mengenai firman Allah Azza wa jalla ), lalu disebutnya ayat itu, kemudian dibawah judul itu dicantumkan al Qaul fil I’rab ( pendapat mengenai morfologi ) dibagian ini ia membicarakan ayat dari segi nahwu dan bahasa. Selanjutnya Al Qaul fil Ma’na wat Tafsir ( pendapat mengenai makna dan tafsirannya ) disini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat ( hadis ) dan penalaran. Setelah itu al Qaul fil Waqfi wat Tamam ( pendapat mengenai tanda berhenti dabn tidak) disini ia menjelaskan mengenai waqf ( berhenti ) yang diperbolehkan dan yang tidak. Terkadang qira’at diletakkan dalam judul tersendiri. Yang disebutnya dengan al Qaul fil Qira’at ( pendapat mengenai qira’at ) terkadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat itu dibacakan.
Dengan metode seperti ini, al Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an, ilmu-ilmu Qur’an, meskipun pmebukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebutka tadi. Ia wafat pada tahun 330 H.
Kemudian Ibnul Jauzi ( wafat 597 H ) mengikutinya denga menulis sebuah kitab berjudul fununul Afnan fi ‘Aja’ibi ‘ulumil Qur’an.
Lalu tampil Badruddin az-Zarkasyi ( wafat 794 H ) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul Al-Burhan fii ulumilQur`an .
Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi`ul u`luum min mawaaqi`innujuum. Jalaluddin As-Suyuti ( wafat 911 H ) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal Al-Itqaan fii u`luumil qur`an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebamgkitan modern tidaklah lebih kecil dari pada nasib ilmu-ilmu yang lain.Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam mmembahas kandungan Qur`an dengan metode baru pula,seperti kitab i`jaazul quran yang ditulis oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi`i, kitab At-Tashwirul fanni fiil qu`an dan masyaahidul qiyaamah fil qur`an oleh Sayyid Qutb, tarjamatul qur`an oleh syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-hatib, masalatu tarjamatil qur`an Musthafa Sabri, An-naba`ul adziim oleh DR Muhammad Abdullah Daraz dan muqaddimah tafsir Mahaasilu ta`wil oleh Jamaluddin Al-qasimi.
Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan judul At-tibyaan fii u`luumil qur`an. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul furqan fii u`luumil qur`an yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakultas ushuluddin di Mesir dengan spesialisasi da`wah dan bimbingan masyarakat dan diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul a`dzim az-zarqani yang menyusun manaahilul i`rfaan fii u`lumil qur`an. Kemudian Syaikh Ahmad Ali menulis muzakkiraat u`lumil qur`an yang disampaikan kepada mahasiswanya di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bumbingan masyarakan.
Akhirnya muncul mahaabisu fii u`lumil qur`an oleh DR Subhi As-Shalih.Juga ustadz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah “ma`idah” dalam Qur`an.
Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan u`luumul qur`an, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
Kata u`lum jamak dari kata i`lmu.i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai).Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan u`luumul qu`ran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbaabu nuzuul.”sebab-sebab turunnya al-qur`an”,pengumpulan dan penertiban Qur`an.pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah,An-Nasikh wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an terkadang ilmu dinamakan juga ushuulu ttafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an .
Al-qur’anul Karim adalah mu’jizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka kejalan yang lurus. Rasulullah SAW menyampaikan wahyu itu kepada para sahabatnya-orang-orang arab asli- sehingga mereka dapat memahaminya berdasarkan naluri mereka. Apa bila mereka mengalami ketidak jelasan dalam memahami suatu ayat, mereka menanyakannya kepada Rasulullah SAW .
Bukhari dan Muslim serta yang lainnya meriwayatkan, dari Ibnu mas’ud, dengan menyatakan : “Ketika ayat ini diturunkan, Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman” ( Al-An’am:82 ), banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah SAW , ya Rasulullah siapkah diantara kita yang tidak berbuat kedzaliman terhadap dirinya ? Nabi menjawab : kedzaliman disini bukan seperti yang kamu pahami. Tidakkah kamu pernah mendengar apa yang dikatakan oleh seorang hamba Allah yang saleh sesunnguhnya kemuysrikan adalah benar-benar kedzaliman yang besar ( Luqman : 13 ) jadi yang dimaksud kedzaliman disini adalah kemusyrikan.”
Rasulullah SAW menafsirkan kepada mereka beberapa ayat seperti yang diriwayatkan oleh muslim dan yang lain, yang bersumber dari Uqbah bin Amir ia berkata : ” aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, “dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal :60 ), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah”
Para sahabat sangat antusias untuk menerima qur’an dari Rasulullah SAW menghafalnya da memahaminya. Hal itu merupakan siatu kehormatan bagi mereka. Dikatakan oleh Anas Ra ” seseorang diantara kami bila telah membaca surah Baqarah dan Ali Imran orang itu menjadi besar menurrt pandangan kami.” Begitu juga mereka selalu berusaha mengamalkan qur’an dan memahami hukum-hukumnya.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : ” mereka yang membacakan qur’an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas’ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka berkata ‘kami mempelajari qur’an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.’”
Rasulullah SAW tidak mengizinkan meraka menuliskan sesuatu dari dia selain qur’an, karena kuatir qur’an akan bercampur dengan yang lain.
“Muslim meriwayatkan dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur’an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka.”
Sekalipun sesudah itu Rasulullah SAW mengizinkan kepada sebagian sahabat untuk menulis hadits, tetapi hal yang berhubungan dengan qur’an tetap didasarkan kepada riwayat yang melalui petunjuk di zaman Rasulullah SAW , dimasa kekhalifhan Abu Bakar dan Umar Ra.
Kemudian datang masa kekahalifahan Usman Ra, dan keadaan menghendaki-seperti yang akan kami jelaskan nanti -untuk menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul ‘Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur’an.
Kamudian datang masa kekalifahan Ali Ra, dan atas perintahnya Abu ‘aswad Ad-Du’ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur’an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu I’rabil Qur’an.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur’an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh murid-murid mereka , yaitu para tabi’in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah: empat orang khalifah, kemudian Ibnu Masud, Ibnu Abbas, Ubai bin Kaab, Zaid bin sabit, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir Quran yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global. Mengenai para tabi’in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat.
Diantara murid Ibnu Abbas dimekah ya ng terkenal ialah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, ‘iKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan ‘Ata’ bin abu Rabah.
Dan terkenal pula diantara murid-murid Ubai bin Kaab, di madinah, Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka’b al Qurazi.
Dari murid-murid Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal ‘Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, ‘Amir as Sya’bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin Di’amah as Sadusi.
Ibnu Timiyah berkata; “Adapun mengenai ilmu tafsir, orang yang peling tahu adalah penduduk mekkah, karena mereka sahabat Ibnu Abbas, seperti Mujahid, ‘Ata’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maula Ibn Abbas dan para sahabat Ibn Abbas lainnya, seperti Tawu, Abusyi Sya’sa’ Said bin Jubair dan lainnya. Begitu juga penduduk Kuffah dari sahabat-sahabat Ibnu Masud, dan mereka itu mempunyai kelebihan dari ilmu tafsir yang lain. Ulama’ penduduk medinah dalam ilmu tafsir diantaranya ialah, Zubair bin Aslam, Malik dan anaknya, Abdurrahman serta Abdullah bin Wahb, mereka berguru kepadanya.” .
Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur’an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Wakki Wal madani dan imu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan ( tadwin ) yang dumulai dengan pembukuan hadist denga segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan denag tafsir. Maka sebagian ulama membukuka tafsir Qur’an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari para sahabat ataudari para tabi’in.
Diantara mereka yang terkenal adalah, Yazid bin Harun as Sulami, ( wafat 117 H ), Syu’bah bin Hajjaj ( wafat 160 H ), Waqi’ bin Jarrah ( wafat 197 H ), Sufyan bin ‘uyainah ( wafat 198 H), dan Aburrazaq bin Hammam ( wafat 112 H ).
Mereka semua adalah para ahli hadis. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namum tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan kita.
Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh para ulama’. Mereka menyusun tafsir Qur’an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at Tabari ( wafat 310 H ).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukil ( dipindahkan ) melalui penerimaan ( dari muluit kemulut ) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at Tafsir bil Ma’sur ( berdasarkan riwayat ), lalu diikuti oleh at Tafsir bir Ra’yi ( berdasarkan penalaran ).
Disamping ilmu tafsir lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan quran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir.
Ali bin al Madini ( wafat 234 H ) guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbabun nuzul, Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam ( wafat 224 H ) menulis tentang Nasikh Mansukh dan qira’at.
Ibn Qutaibah ( wafat 276 H ) menyusun tentang problematika Quran ( musykilatul quran ).
Mereka semua termasuk ulama abad ketiga Hijri.
Muhammad bin Khalaf bin Marzaban ( wafat 309 H ) menyusun al- Hawi fa ‘Ulumil Qur’an.
Abu muhammad bin Qasim al Anbari ( wafat 751 H ) juga menulis tentamh ilmu-ilmu qur’an.
Abu Bakar As Sijistani ( wafat 330 H ) menyusun Garibul Qur’an.
Muhammad bin Ali bin al-Adfawi ( wafat 388 H ) menyusun al Istigna’ fi ‘Ulumil Qur’an.
Mereka ini adalah ulama-ulama abad keempat Hijri.
Kemudian kegiatan karang mengarang dalam hal ilmu-ilmu qur’an tetap berlangsung sesudah itu.
Abu Bakar al Baqalani ( wafat 403 H ) menyusun I’jazul Qur’an, dan Ali bin Ibrahim bin Sa’id al Hufi ( wafat 430 H )menulis mengenai I’rabul Qur’an. Al Mawardi ( wafat 450 H ) menegenai tamsil-tamsil dalam Qur’an ( ‘Amsalul Qur’an ). Al Izz bin Abdussalam ( wafat 660 H ) tentang majaz dalam Qur’an.’alamuddin Askhawi ( wafat 643 H ) menulis mengenai ilmu Qira’at ( cara membaca Qur’an ) dan Aqsamul Qur’an. Setiap penulis dalam karangannya itu menulis bidang dan pembahasan tertentu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu qur’an.
Sedang pengumpulan hasil pembahasan dan bidang-bidang tersebut mengenai ilmu-ilmu Quran semua atau sebagian besarnya dalam satu karangan, maka syaikh Muhammada ‘Abdul ‘azim az-Zarqani menyebutkan didalam kitabnya Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an bahwa ia telah menemukan didalam perpustakaan Mesir sebuah kitab yang ditulis oleh Ali bin Ibrahim bin Sa’id yang terkenal dengan Al-Hufi, judulnya al- Burhan fi ‘Ulumil Qur’an yang terdiri atas tiga puluh jilid. Dari ketiga puluh jilid itu terdapat lima belas jilid yang tidak berurutan dan tidak tersusun. Pengarang membicarakan ayat-ayat Qur’an menurut tertib mushaf, dia membicarakan ilmu-ilmu Qur’an yang dikandung ayat itu secara tersendiri. Masing-masing diberi judul sendiri pula. Dan judul yang umum disebutkan dalam ayat, dengan menuliskan al Qaul fi Qaulihi ‘Azza wajalla ( pendapat mengenai firman Allah Azza wa jalla ), lalu disebutnya ayat itu, kemudian dibawah judul itu dicantumkan al Qaul fil I’rab ( pendapat mengenai morfologi ) dibagian ini ia membicarakan ayat dari segi nahwu dan bahasa. Selanjutnya Al Qaul fil Ma’na wat Tafsir ( pendapat mengenai makna dan tafsirannya ) disini ia jelaskan ayat itu berdasarkan riwayat ( hadis ) dan penalaran. Setelah itu al Qaul fil Waqfi wat Tamam ( pendapat mengenai tanda berhenti dabn tidak) disini ia menjelaskan mengenai waqf ( berhenti ) yang diperbolehkan dan yang tidak. Terkadang qira’at diletakkan dalam judul tersendiri. Yang disebutnya dengan al Qaul fil Qira’at ( pendapat mengenai qira’at ) terkadang ia berbicara tentang hukum-hukum yang diambil dari ayat ketika ayat itu dibacakan.
Dengan metode seperti ini, al Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan ‘Ulumul Qur’an, ilmu-ilmu Qur’an, meskipun pmebukuannya memakai cara tertentu seperti yang disebutka tadi. Ia wafat pada tahun 330 H.
Kemudian Ibnul Jauzi ( wafat 597 H ) mengikutinya denga menulis sebuah kitab berjudul fununul Afnan fi ‘Aja’ibi ‘ulumil Qur’an.
Lalu tampil Badruddin az-Zarkasyi ( wafat 794 H ) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul Al-Burhan fii ulumilQur`an .
Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi`ul u`luum min mawaaqi`innujuum. Jalaluddin As-Suyuti ( wafat 911 H ) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal Al-Itqaan fii u`luumil qur`an.
Kepustakaan ilmu-ilmu Quran pada masa kebamgkitan modern tidaklah lebih kecil dari pada nasib ilmu-ilmu yang lain.Orang-orang yang menghubungkan diri dengan gerakan pemikiran Islam telah mengambil langkah yang positif dalam mmembahas kandungan Qur`an dengan metode baru pula,seperti kitab i`jaazul quran yang ditulis oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi`i, kitab At-Tashwirul fanni fiil qu`an dan masyaahidul qiyaamah fil qur`an oleh Sayyid Qutb, tarjamatul qur`an oleh syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-hatib, masalatu tarjamatil qur`an Musthafa Sabri, An-naba`ul adziim oleh DR Muhammad Abdullah Daraz dan muqaddimah tafsir Mahaasilu ta`wil oleh Jamaluddin Al-qasimi.
Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan judul At-tibyaan fii u`luumil qur`an. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul furqan fii u`luumil qur`an yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakultas ushuluddin di Mesir dengan spesialisasi da`wah dan bimbingan masyarakat dan diikuti oleh muridnya, Muhammad Abdul a`dzim az-zarqani yang menyusun manaahilul i`rfaan fii u`lumil qur`an. Kemudian Syaikh Ahmad Ali menulis muzakkiraat u`lumil qur`an yang disampaikan kepada mahasiswanya di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bumbingan masyarakan.
Akhirnya muncul mahaabisu fii u`lumil qur`an oleh DR Subhi As-Shalih.Juga ustadz Ahmad Muhammad Jamal menulis beberapa studi sekitar masalah “ma`idah” dalam Qur`an.
Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan u`luumul qur`an, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
Kata u`lum jamak dari kata i`lmu.i`lmu berarti al-fahmu wal idraak (faham dan menguasai).Kemudian arti kata ini berubah menjadi masalah-masalah yang beraneka ragam yang disusun secara ilmiah.
Jadi, yang dimaksud dengan u`luumul qu`ran ialah ilmu yang membahas masalah-masalah yang berhubungan dengan Al-Quran dari segi asbaabu nuzuul.”sebab-sebab turunnya al-qur`an”,pengumpulan dan penertiban Qur`an.pengetahuan tentang surah-surah Mekah dan Madinah,An-Nasikh wal mansukh, Al-Muhkam wal Mutasyaabih dan lain sebagainya yang berhubungan dengan Qur`an terkadang ilmu dinamakan juga ushuulu ttafsir (dasar-dasar tafsir) karena yang dibahas berkaitan dengan beberapa masalah yang harus diketahui oleh seorang Mufassir sebagai sandaran dalam menafsirkan Qur`an .
Posted in Ulumul Qur'an
Turunnya Al-Quran Dengan 7 Huruf
Turunnya Al-Quran
Allah menurunkan Qur`an kepada Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya Qur`an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.
Turunnya Qur`an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.
Turunnya Qur`an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Sangat menggetarkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia himah Ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah SAW tidak menerima risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Oleh karena pun wahyu turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasulullah SAW dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatn-Nya.
I. Turunnya Qur`an Sekaligus
Allah berfirman dalam kitabnya yang mulia:
`Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil.`( al-Baqarah: 185 ).
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ( Quran ) pada malam lailatul qadar.` ( al-Qadr : 1 )
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ( Qur`an ) pada malam yang diberkahi.` ( ad-Dhukan: 3 ).
Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir ( zahir ) ayat-ayat itu bertentangan dengan kehidupan nyata Rasulullah SAW , dimana Qur`an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Dlam hal ini para ulama mempunyai dua madzab pokok :
1. Madzab pertama yaitu, pendapat Ibn Abbas dan sejumlah ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya para ulama.
Yang dimaksud dengan turunnya Qur`an dalam ketiga ayat diatas adalah turunnya Qur`an sekaligus di Baitul `Izzah dilangit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Qur`an diturunkan kepada rasul kita Muhammad saw. Secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak dia diutus sampai wafatnya. Ia tinggal di mekkah sejak diutus selama tiga belas tahun dan sesudah hijrah tinggal di madinah selama supuluh tahun. Ia tinggal di mekkah selama tiga belas tahun dan selama itu wahyu turun kepadanya, ia wafat dalm usia enam puluh tiga tahun pendapat ini didasarkan pada berita-berita yang sahih dari Ibn Abbas dalam beberapa riwayat. Antara lain:
a. Ibn Abbas berkata: ` Qur`an sekaligus diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun.` Lalu ia membacakan:
`Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya .`( al-Furqan : 33 ).
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra` : 106 ).
b. Ibn Abbas r.a berkata: ` Qur`an itu dipisahkan dari az-Zikr, lalu diletakkan dai baitul Izzah di langit dunia. Maka jibril mulai menurunkannya kapada Nabi saw.`
c. Ibn Abbas r.a mengatakan : ` Allah menurunkan Qur`an sekaligus kelangit dunia , temmpay turunnya secara beransur-ansur. Lali Dia menurunkannya kepada Rasulnya bagian demi bagian.`
d. Ibn Abas r.a berkata : `Qur`an diturunkan pada malam lailatul qadar, pada bulan ramadhan ke langit dunia sekaligus; lali ia diturunkan secara berangsur-angsur.`
2. Madzab kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh as-Sya`bi .
Bahwa yang dimaksud dengan turunnya Quran dalam ketiga ayat diatas adalah permulaan turunnya Qur`an pada Rasulullah SAW permulaan turunnya Quran itu di mulai pada malam lailatul qadar di bulan ramadhan, yangv merupakan mala yang di berkahi. Kemudian turunnya berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selam kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian Qur`an hanya satu macama cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah SAW seba yang demikian inilah yang dinyatakan dalam Qur`an :
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra`: 106 )
orang musyrik yang diberi tahu bahwa kitab-kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan agar Qur`an diturunkan sekaligus:
`Berkatalah orang-orang yang kafir: `Mengapa Al Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?`; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil . Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya .` ( al-Furqan : 32-33 )
Dan keistimewaan bulan ramadhan dan malam lailatul qadar yang merupakan malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apa bila yang dimaksudkan dari ketiga ayat diatas adalah turunnya Qur`an kepada Rasulullah SAW yang demikian ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam friman Allah mengenai perang badar: `jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan , yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.( al-Anfal : 41 ).
Perang badar terjadi pada bulan ramadan. Dan yang demikian ini diperkuat pula oleh hadis yang dijadikan pegangan para penyelidik hadis permulaan wahyu. Aisyah berkata: `Wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah mimpi yang benar diwaktu tidur. Setiap kali bermimpi ia melihat ada yang datang bagaikan cahaya yang terang dipagi hari. Kemudian ia lebih suka menyendiri. Ia pergi ke gua hira untuk bertahanus beberapa malam, dan untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia kembali kerumah Khadijah, dan Khadijahpun membekali seperti itu biasanya. Sehingga datanglah `kebenaran` kepadanya seaktu ia berada di gua hira`. Malaikat datang kepadanya dan berkata ` bacalah` Rasulullah SAW berkata ` aku tidak panai membaca` lalu malaikat merangkulnya sampai kepayahan. Kemudian ia melepaskan aku, lalu katanya ` bacalah` aku menjawab ` aku tidak pandai membaca` lalu ia merangkulku lagi sampai aku kepayahan. Lalu ia lepaskan aku. Lalu katanya ` bacalah` aku menjawab aku tidak pandai membaca. Lalu ia merangkulku untuk ketiga kalinya, sampai aku kepayahan, lalu ia lepaskan aku lalu katanya ` Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sampai dengan apa yang belum diketahuianya.`
Para penyelidik menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pada mulanya diberi tahu dengan mimpi di bulan kelahirannya, yaitu bulan Rabi`ul awal. Pemberitahuan dengan mimpi itu lamanya enam bulan. Kemudian ia diberi wahyu dengan keadaan sadar ( tidak dalam keadaan tidur ) pada bula ramadan dengan Iqra`. Dengan demikian maka nas-nas yang terdahuklu itu menunjukkan pada satu pengertian.
3. Madzab ketiga
Bahwa Qur`an diturunkan kelangit dunia selama dua puluh tiga malam lalilatul qadar yang pada setiap malamnya selama malam-malam lailatul qadar itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyuj yang diturunkan kelangit dunia pada malam lailatul qadar , untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW sepanjang tahun. Madzab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufasir.. pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Adapun madzab kedua yang diriwayatkan dari as-Sya`bi , dengan dali-dalil yang sahih dan dapat diterima,tidaklah bertentang dengan madzab yang pertama yang diriwayatkan dari Ibn Abbas.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa Al-Quran Al-Karim itu dua kali diturunkan:
Pertama: diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar ke baitul Izzah di langit dunia.
Kedua: Dditurunkan kelangit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan ( ijma`) bahwa turunnya Qur`an sekaligus dari lauhul mahfuz ke baitul izzah di langit dunia. Ibn Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ke tiga ayat diatas yang berkenaan dengan turunnya Qur`an dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah SAW bahwa Qur`an itu turun selam dua puluh tiga tahun yang bukan bulan ramadan. Dari Ibn Abbas disebutkan bahwa ia ditanya olah `Atiyah bin al-Aswad, katanya ` dalam hatiku terjadi keraguan tentang firman Allah, bulan ramadan itulah bulan yang didalamnya diturunkan Qur`an, dan firman Allah SWT, Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam lailatul Qadar, pada hal Qur`an itu ada yang diturunkan pada bulan syawal, Zulkaidah , Zulhijjah, Muharram , Saffar dan Rabi`ul awwal; Ibvn Abbas menjawab ` Qur`an diturunkan berangsur-angsur, sedikit- demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan disepanjang bulan dan hari.`
Para ulama mengisyaratkan bahwa hikmah dari hal itu ialah menyatakan kebesaran Qur`an dan kemuliaan orang kepadanya Quran diturunkan. As-Suyuti mengatkan : ` Dikatakan bahwa rahasia diturunkan Quran sekaligus ke langit dunia ialah untuk memuliakannya dan memuliakan orang yang kepada Qur`an diturtunkan. Yaitu dengan memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahwa Qur`an adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir dan umat yang paling mulia. Kitab itu kini telah diambang pintu dan akan segera diturunkan kepada mereka. Seandainya tidak ada hikmah Ilahi yang menghenndaki disampaikannya Qur`an kepada meraka secara bertahap sesuai dengan peristiwa-perostiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan kebumi. Sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Tetapi Allah membedakannya dari kitabv-kitab yang sebelumnya. Maka dijadikanlah dua ciri tersendiri: diturunkan secara sekaligus , kemudian diturunkan se cara bertahap, untuk menghormati orang yang menerimanya.` As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul Qurra ` Turunnya Qur`an kelangit dunia sekaligus itu menunjukkan suatu penghormatan kepada yang keturunan Adam dihadapan para malaikat. Serta pemberitahuan kepada malaikat akan perhatian Allah dan rahmat-Nya kepada mereka. Dan dalam pengertian inilah Allah memerintahkan tujuh puluh ribu malaikat untuk mengawal surah Al-ana`m, dan dalam pengertian ini pula Allah memerintahkan Jibril agar mengimlakannya kepada para malaikat pencatat yang mulia, menuliskan dan membacakan kepadanya.`
Dan firman Allah:
`Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin , ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.` (as Syuara`: 192-195 ).
Dan firman-Nya:
Katakanlah: `Ruhul Qudus menurunkan Al Qur`an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri `.( an-Nahl: 102 ).
Dan firman-Nya:
`Kitab ini diturunkan Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Bijaksana.` (al-Jasiyah : 2 )
Dan firman-Nya:
`Dan jika kamu dalam keraguan tentang Al Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami , buatlah satu surat yang semisal Al Qur`an itu.` ( al-Baqarah : 23 )
Dan firman-Nya:
`Katakanlah: `Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.` (al-Baqarah: 97 )
Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah dengan lafalnya dengan bahasa arab, dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah SAW dan bahwa turunnya itu bukanlah turunnya yang pertama kali kelngit dunia. Tetapi yang dimaksudkan ialah turunnya Qur`an secara bertahap. Ungkapan (untuk arti menurunkan ) dalam ayat-ayat diatas menggunakan kata tanzil bukan inzal. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan kata tanzil dan inzal. Tanzil berarti turun secara berangsur-angsur, sedang inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Quran turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, tiga belas tahun di mekkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di madinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dlam firman Allah : `Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.`(al-Isra: 106 )
Maksudnya : Kami telah menjadikan turunnya Qur`an itu turun secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa dan kejadian-kejadian.
Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti taurat, injil, dan zabur, turunnya sekaligus. Tidak turun secara berangsur. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya: `Berkatalah orang-orang yang kafir: `Mengapa Al Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?`; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.` ( al-Furqan : 32 ).
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang dahulu itu turun sekaligus. Dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Seandainya kitab-kitab yang terdahulu itu turun secara berangsur.. tentulah orang kafir tidak merasa heran terhadap Qur`an yang turun secara berangsur. Makna kata-kata mereka ` Mengapa Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja` seperti halnya kitab-kitab yang lain. Mengapa ia diturunkan secara bertahap ? mengapa ia diturunkan secara berangsur ? Allah tidak menjawab mereka bahwa ini adalah sunnah-Nya didalam menurunkan kitab samawi sebagaimana Dia menjawab kata-kata mereka:
`Dan mereka berkata: `Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?` (al-Furqan : 7 )
`Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.` (al-Furqan : 20 ), dan seperti Dia menjawab ucapan mereka:
`Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi Rasul ?` ( al-Isra`: 94 ) dengan jawaban: `Katakanlah: `Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul`.( al-Isra`: 95 ) dan dengan firman-Nya: `Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu , melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka,` ( al-Anbiya`: 27 ).
Tetapi Allah menjawab mereka dengan menjelaskan hikmah mengapa Qur`an diturunkan secara bertahap dengan firman-Nya, ` Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu,` maksudnya ialah; demikianlah Kami menurunkan Qur`an secara bertahap dan terpisah-pisah karena suatu hikmah, yaitu untuk memperkuat hati Rasulullah SAW . ` Dan Kami membacakanya kelompok-demi kelompok,` maksudnya : Kami menentukannya seayat- demi seayat atau bagian demi bagian, atau Kami menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya. Karena turunnya yang bertahap sesuai dengan hal itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan salah satu penyebab kemantapan ( didalam hati )
Penelitian terhadap hadis-hadis sahih menyatakan bahwa Qur`an turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, terkadang sepuluh ayat, terlebih lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. Terdapat hadis sahih yang menjelaskan sepuluh ayat telah turun sekaligus berkenaan dengan berita bohong tentang Aisyah. Dan telah turun pula sepuluh ayat dalam permulaan surah Mukminun secara sekaligus dan telah turun pula�..yang tidak mempunyai alasan ( gairu ulid darari ) saja yang merupakan bagian dari satu ayat.
II. Hikmah Turunnya Qur`an Secara Bertahap
Kita dapat menyimpulkan hikmah turunnya Qur`an secara bertahap dari nash-nash yang berkenaan dengan hal itu. Dan kami meringkaskannya sebagai berikut : 1.
1. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah SAW .
Rasulullah SAW telah menyampaikan dakwahnya kepada menusia, tetapi ia menhgadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam gangguan dan ancaman kepada Rasul. Pada dengan hati tulus ia ingin menyampaikan segala yang baik kepada mereka, sehingga dalam hal ini Allah mengatakan:
`Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini.` (al-Kahfi: 6 ).
Wahyu turun kepada Rasulullah SAW dari waktu kewaktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kaki dijalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang dihadapinya dari masyarakatnya sendiri, karena yang demikian itu hanyalah kabut dimusim panas yang segera akan berakhir.
Allah menjelaskan kepada rasul akan sunnah-sunnah-Nya yang berkenaan dengan para Nabi terdahulu yang didustakan dan dianiaya oleh kaum mereka; tetapi mereka tetap bersabar sehingga datang pertolongan dari Allah. Dijelaskan pula bahwa kaum Rasulullah SAW mendustakannya hanya karena kecongkakan dan kesombongan mereka, sehingga ia akan menemukan `Sunnah Ilahi` dalam iring-iringan para nabi sepanjang sejarah. Yang demikian ini dapat menjadikan hiburan dan penerang baginya dalam mengahadapi gangguan dan cobaan dari kaumnya dan dalam menhadapi sikap mereka yang selalu mendustakan dan menolaknya.
`Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, , karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah . Dan sesungguhnya telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.` (al-Anam: 33-34 ).
`Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah didustakan , mereka membawa mu`jizat-mu`jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.`(Ali-Imran: 184 ).
Qur`an juga memerintahkan Rasul bersabar sebagaimana Rasul-rasul sebelumnya:
`Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar.` (al-Ahqaf : 35 )
Jiwa rasul menjadi tentang karena Allah menjamin akan melindunginya dari gangguan orang yang mendustakan, firman-Nya:
`Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.`(al-Muzammil:10-11 )
Demikianlah hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi yang terdapay dalam Qur`an: `Dan kisah rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami terguhkan hatimu.` (Hud : 120 )
Setiap kali penderitaan Rasulullah SAW bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan merasa sedih karena penganiayaan mereka, maka Qur`an turun untuk melepaskan derita dan menghiburnya serta mengancam orang-orang yang mendustakan bahwa Allah mengetahui hal ihwal mereka dan akan membalas apa yang melakukan hal itu.
`Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.` (yaasin: 73)
`Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maba Mengetahui.`(Yunus: 65 )
Demikianlah pula Allah menyampaikan berita gembiara kepadanya dengan ayat-ayat ( yang isinya menjanjikan ) perlindungan, kemengan dan pertolongan:
`Allah memelihara kamu dari gangguan mereka.`(al-Maidah: 67 )
`Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.`(al-Fath: 3 )
`Allah telah menetapkan: `Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang`. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.` (al-Mujadalah: 21 ).
Demikianlah ayat-ayat Qur`an itu turun kepada Rasulullah SAW secara berkesinambungan sebagai penghibur dan pendukung sehingga ia tidak dirundung kesedihan dan dihinggapi rasa putus asa. Didalam kisah para nabi itu terdapat teladan baginya. Dalam nasib yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan terdapat hiburan baginya. Dan dalam janji akan memperoleh pertolongan Allah terdapat berita gembira baginya. Setiap kali ia merasa sedih sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia ayat-ayat penghiburpun datang berulang kali sehingga ia berketetapan hati untuk melanjutkan dakwah dan merasa tenteram dengan pertolongan Allah.
Dengan hikmah demikianlah Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir mengapa Qyr`an diturunkan secara bertahap , dengan firman-Nya: `Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil .` (al-Furqan: 32 )
Abu Syamah berkata: ` Apa bila ditanya, apakah rahasia Qur`an diturunkan secara bertahap dan mengapakah ia tidak diturunkan sekaligus ssperti halnya kitab-kitab yang lain ? Kami menjawab : pertanyaan yang demikian ini sudah di jawab oleh Allah. Allah berfirman ` Dan orang-orang kafir berkata: mengapa Qur`an diturunkan kepadanya tidak sekaligus saja ? . mereka bermaksud, mengapa Qur`an tidak diturunkan kepadanya seperti halnya kitab-kitab lain yang diturunkan kepada para rasul sebelum dia. Maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya : ` demikianlah ( Kami menurunkannya secara berangsur, untuk memperkuat hatimu dengannya). Sebab apa bila wahyuselalu baru dalam setiap peristiwa, maka pengaruhnya dalam hati menjadi lebih kuat, dan orang yang menerimanya mendapat perhatian. Hal yang demikian menghendakinya seringnya malaikat turun kepadanya. Pembaharuan dan situasi yang dibawanya dari sisi Allah yang Maha Perkasa. Hal ini menimbulkan kegembiraan dihati Rasulullah SAW yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . itulah sebabnya, Rasulullah SAW sangat bermurah hati di bulan-bulan ramadan karena dalam bulan ini jibril sering menemuinya.` 2.
2. Ttantangan dan Mukjizat.
Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mangajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menentang. Untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya hal-hal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat :
Mereka menanyakan kepadamu tentang hari kiamat ( al-Araf : 187 ).
Dan minta disegerakannya azab :
Dan mereka itu meminta kepadamu untuk disegerakan azab (al-Hajj: 47 ).
Maka turunlah Qur`an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya firman Allah :
`Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya , yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak suatu kemanfaatanpun dan tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak membangkitkan.` ( al-Furqan : 3 ).
Maksud ayat tersebut ialah ` Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan padamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya dari semua pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesia-siaan saja.`
Disaat mereka keheran-heranan dengan turunnya Qur`an secara berangsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka dengan Qur`an yang diturunkan secara berangsur sedangkan mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya. Akan lbih melihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya dari pada kalau Quran diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya. Oleh sebab itu ayat diatas datang sesudah pertanyaan mereka. Mengapa Qur`an itu tidak diturunkan kepaanya sekali turun saja ? maksudnya ialah: Setiap mereka datang keadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka minta seperti turunnya Al-Quran Al-Karim ur`an sekaligus, Kami berikan kepadamu menurut kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yag lebih jelas maknanya dalam melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya Al-Quran Al-Karim secara berangsur. Hikmah yang demikian juga telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dlam beberapa riwayat dalam hadis Ibn Abbas mengenai turunnya Qur`an : `Apa bila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.`
3. Mempermudah Hafalan dan Pemahamannya.
Al-Quran Al-Karim turun ditengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis, catatan mereka adalah daya hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal an memehaminya.
`Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah . Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,` (al-Jumuah : 2 )
…( Yaitu ) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi�( al-araf :157 ).
Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Qur`an apa bila Al-Quran Al-Karim diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya serta memikirkan ayat-ayatnya, jelasnya bahwa Al-Quran Al-Karim secara berangsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun satu atau beberapa ayat, para sahabat segara menghafalkannya. Memikirkan maknanya dan memahami hukum-hukumnya. Tradisi demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para Tabi`in.
Abu Nadrah berkata,`Abu Saad al-Khudri mengajar kan Qur`an kepada kami, lima ayat diwaktu pagi, dan lima ayat di waktu petang. Dia memberitahukan bahwa jibril menurunkan Al-Quran Al-Karim lima ayat-lima ayat.`
Dari Khalid bin Dinar dikatakan, `Abul `Aliyah berkata kepada kami `Pelajarilah Qur`an itu lima ayat demi lima ayat; karena Nabi saw mengambil dari jibril lima ayat demi lima ayat.`
Umar berkata, `Pelajarilah Quran itu lima ayat demi lima ayat, karena jibril menurunkan Quran kepada Nabi saw. Lima ayat demi lima ayat.`
4. Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa Pentahapan dalam Penetapan Hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang bau ini seandainya Al-Quran Al-Karim tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksanadan memeberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa, diantara mereka , maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang menjelaskan statusnya dan penunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya Quran meletakkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-nya, dan hari kiamat, serta apa yang ada dalam hari kiamat itu. Seperti kebangkitan, hisab, balasan, surga dan neraka. Untuk itu,Al-Quran Al-Karim menegakkan bukti-bukti dan alasaan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang-orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya akidah Islam.
Al-Quran Al-Karim mengajarkan ahlak mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Sehingga dapat terikikir habis akar kejahatan dan keburukan. Ia menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang-tiangnya dalam hal makanan, minuman,harta benda, kehormatan dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit-penyakit sosial yang mudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan rukun-rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya meyembah kepada-Nya serta tidak menyekutukan-Nya.
Demikian pula Al-Quran Al-Karim turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi bagi kaum muslimin dalam perjuangan mereka yang panjang untuk meninggikan kalimah Allah. Hal-hal tersebut diatas, semuanya mempunyai dalil-dalil berupa nas-nas Al-Quran Al-Karim bila kita meneliti ayat-ayat makki dan madaninya serta kaidah-kaidah perundang-undangannya. Sebagai contoh di mekkah disyariatkan salat; dan prinsip mengenai zakat yang diperbandingkan dengan riba :
`Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan . Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan.`( ar-Rum : 38-39 ).
Surah al-an`am yang makki itu turun untuk menjelaskan pokok keimanan dan dalil-dalil tauhid, menghancurkan kemusyrikan, menerangkan tentang makanan yang halal yang haram serta ajakan untuk menjaga kemuliaan harta benda, darah dan kehormatan.
Allah berfirman : `
Katakanlah: `Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu yang benar `. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat , dan penuhilah janji Allah . Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.`(al-an`am:151-152 ).
Kemudian setelah itu turunlah perincian hukum-hukum ini. Pokok-pokok hukum perdata (terutama hukum benda) tutrun di mekkah tetapi perincian hukumnya di madinah, seperti ayat tentang utang piutang dan ayat-ayat mengharamkan riba. Asas-asas hubungan kekeluargaan iu turun di mekkah, tetapi penjelasan mengenai hak suami isteri dan kewajiban hidup berumah tangga serta hal-hal yang bertalian dengannya seperti keberlangsungan terus rumah tangga tadi atau keterputusannya dengan perceraian atau dengan kematian, kemudian bagaimana warisannya, maka penjelassan mengenai hal itu semua diterangkan dalam perundang-undangan yang madani. Sedang mengenai zina dasarnya sudah diharamkan di mekkah :
`Dan janganlah kamu mendekati zina; zina itu suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.` (al-Isra: 32 ).
Tetapi hukuman-hukuman yang diakibatkan oleh zina itu turun di medinah. Adapun mengenai pembunuhan dasarnya juga sudah turun di mekkah :
`Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.` (al-Isra:33 ).
Tetapi perincian hukuman tentang pelanggaran terhadap jiwa dan anggota badan itu turun di mekkah. Contoh yang paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah diharamkannya minuman keras, mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman :
`Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang memikirkan.`(an-Nahl: 67).
Ayat ini menyebutkan tentang karunia Allah apa bila yang di maksud dengan `sakar` ialah khamr atau minuman keras dan yang dimaksud dengan `rezeki` ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis-dan inilah pendapat jumhur ulama- maka pemberian predikat `baik` kepada rezeki sementara sakar tidaj diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pijian Allah hanya ditujukan kepada rezeki dan bukan kepada sakar, kemudian turun firman Allah:
`Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: `Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya`.(al-Baqarah:219).
Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras (khamr) yang timbul sesudah memminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena memperdagangkannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta dan membangkitkan dorongan-dorongan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkan khamr dengan cara menonjolkan segi bahayanya dari pada manfaatnya, kemudian turun firman Allah: `Wahai orang-orang yang beriman , janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk.`(an-Nisa`: 43 ).
Ayat ini menunjukkan larangan minuman khamr pada waktu-waktu tertentu bila pengaruh minuman itu akan sampai kewaktu salat, ini mengingat adanya larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk, samppai pengaruh minuman itu hilang dan mereka mengetahui apa yang mereka baca dalam salatnya, selanjutnya firman Allah:
`Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu.`(al-Maidah:90-91)
Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap minuman dalam segala waktu. Hikmah penetapan hukum dengan sistem bertahap ini lebih lanjut diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a ketika mengatakan :
`Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Qur`an ilah surah Mufassal yang didalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah berlari kepada Islam, maka turunlah hukum haram dan halal. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah `jJanganlah kamu meminum khamr` tentu meraka akan menjawab: ` Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.` Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun ialah ; janganlah kamu berzina, tentau mereka akan menjawab: `Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.`
Demikianlah pentahapan dalam mendidik umat ini sesuai degan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat tersebut. Rasulullah SAW pernah meminta pertimbangan para sahabatnya mengenai tawanan perang badar. Maka Umar berkata: `Potong saja leher mereka` sedang Abu Bakar berkata: `Menurut pandangan kami, sebaiknya Anda memaafkan mereka dan meminta tebusan dari mereka` dan Rasulullah SAW pun mengambil pendapat Abu Bakar. Maka turunlah Firman Allah :
`Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.`(al-Anfal: 67-68 ).
Kaum mualimin merasa kagum atas besarnya jumlah pasukan mereka pada perang Hunain, sehingga seseorang diantara mereka berkata :
`Kami pasti tidak akan dikalahkan oleh pasukan kecil.` Mereka pun menerima pelajaran yang berat dalam hal itu, dan turunlah firman Allah: `Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di medan peperangan yang banyak, dan peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah , maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa`at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.`(at-Taubah: 25-27).
Ketika Abdullah bin Ubai pemimpin orang-orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW diundang untuk menyembahyangkannya. Ia pun memenuhinya, namun ketika ia berdiri, Umar berkata ` apakah engakau hendak melakukan salat atas Abdullah bin Ubai, musuh Allah yang mengatakan begini begitu ?` Umar menyebutkan peristiwa-peristiwa yang dilakukan Abdullah, sedang Rasulullah SAW tersenyum saja. Kemudian ia berkata kepada Umar, ` Sebenarnya dalam hal ini saya sudah diberi kebebasan unutuk memilih. Sebab telah dikatakan kepadaku, :` Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka . Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.(at-Taubah:80), sekiranya aku tahu bahwa jika aku memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, tentu aku akan memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali; kemudian Rasulullah SAW menyembahkannya juga, dan berjalan bersama Umar dan ia berdiri diatas kuburannya hingg selesai penguburan. Umar berkata ` Aku heran terhadap diriku dan keberanianku kepada Rasulullah SAW padahal Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Demi Allah tidak lama kemudian turunlah kedua ayat ini: `Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya�..(at-Taubah: 84 ). Maka sejak itu Rasulullah SAW tidak lagi melakukan salat atas seorang munafik pun sampai ia di penggil Allah Azza Wajalla.`
Ketika beberapa orang diantara kaum mukminin yang sejati tidak ikut dalam perang Tabuk dan mereka tetap tinggal di madinah, sedang Rasulullah SAW tidak mendapatkan alasan bagi ketidak ikutan mereka, beliau menjauhi dan mengucilkan mereka sehingga mereka merasa hidupnya menjadi sempit. Kemudian turunlah ayat-ayat Qur`an untuk menerima tobat mereka:
`Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.`(at-Taubah: 117-118).
Yang demikian ini juga diisyaratkan oleh keterangan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas mengenai turunnya Qur`an : `Qur`an diturunkan jibril dengan membawa jawaban atas pertanyaan para hamba dan perbuatam mereka.`
5. Bukti Yang Pasti Bahwa Al-Quran Al-Karim Diturunkan Dari Sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Qur`an yang turun secara berangsur kepada Rasulullah SAW dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayat-ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama ini orang membacanya an mengkajinya surah demi surah. Ketika ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikkan untaian mutiara yang indah yang belum ada bandigannya dalam perkataan manusia :
`Alif laam raa, suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,` (Hud: 1 ).
Seandainya Qur`an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah didalamnya terjadi ketidak serasian dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.
`Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.`(an-Nisa`:82 ).
Hadis-hadis Rasulullah SAW sendiri yang merupakan puncak kefasihan yang paling bersastra sesudah Quran tidaklah tersusun dalam sebuah buku dengan ungkapan yang lancar serta satu dengan yang lain saling berkait dalam satu kesatuan dan ikatan seperti halnya Al-Quran Al-Karim atau dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni yang mendekatinya sekalipun, apalagi ucapandan perkataan manusia lainnya.
`Katakanlah: `Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain`.(al-Isra: 80 )
III. Faedah Turunnya Qur`an secara Berangsur-angsur dalam Pendidikan dan Pengajaran
Proses belajar mengajar itu berlandaskan dua asas; perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa dan pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaninya dengan apa yang dapat membawanya kearah kebaikan dan kebenaran.
Dalam hikmah turunnya Qur`an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut seperti yang kami sebutkan tadi, sebab turunnya Qur`an it telah meningkatkan pendidikan umat Islam secara bertahap dan bersifat alami untuk memperbaiki jiwa manusia , meluruskan perilakunya, membentuk kepribadian dan menyempurnakan existensinya sehingga jiwa itu tumbuh dengan tegak diatas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Tuhan.
Pentahapan turunnya Al-Quran Al-Karim itumerupakan bantuan yang paling baik bagi jiwa manusia dalam rangka menghafal , memehami, mempelajari, memikirkan makna-maknanya dan mengemalkan apa yang dikandungnya.
Diantara celah-celah turunnya Al-Quran Al-Karim yang pertama kali didapatkan perintah untuk belajar dengan alat tulis:
`Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam.`(al-Alaq:1-5)
Demikian pula dengan turunnya ayat-ayat tentang riba dan warisan dalam sistem harta kekayaan, atau turunnya ayat-ayat tentang peperangan untuk membedakan secara tegas antara Islam dengan kemusyrikan. Diantara itu semua terdapat pentahapan pendidikan yang mempunyai berbagai cara dan sesuai engan tingkat perkembangan masyarakat Islam yang sedang dan senantiasa berkembang, dari lemah menjadi kuat dan tangguh.
Sistem belajar mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam tahap-tahap pengajaran, bentuk bagian-bagaian ilmu diatas yang bersifat menyeluruh serta perpindahannya dari yang umum ke yang khusus; atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual, rohani dan jasmani, maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal yang tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambah kebekuan dan kemunduran.
Guru yang tidak memeberikan kepada para siswanya porsi materi ilmiah yang tidak sesuai, yang hanya menambah beban kepada mereka diluar kesanggupannya untuk menghafal dan memahami, atau berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang tidak dapat mereka jangkau, atau dengan mereka sesuatu yang tidak memeprhatika keadaan mereka dalam menghadapi keganjilan perilaku atau kebiasaan buruk mereka sehingga dia berlaku kasar dan keras. Serta menangani urusan tersebut dengan tergesa-gesa dan gugup, tidak bertahap dan tidak bijaksana- maka guru yang berlaku demikian in adalah guru yang gagal pula. Dia telah mengubah proses belajar mengajar menjadi kesesatan yang mengerikan dan menjadikan ruang belajar menjadi ruang yang tidak disenangi.
Begitu pula dengan buku pelajaran, buku yang tidak tersusun judul-judul dan fasal-fasalnya serta tidak bertahap penyajian pengetahuannya dari yang mudah ke yang sukar, juga bagian-bagiannya tidak tersusun secara baik dan serasi, dan gaya bahasanya pun tidak jelas dalam menyampaikan apa yang dimaksud- maka buku yang demikian ini tidak akan dibaca dan dimanfaatkan oleh siswa.
Petunjuk Ilahi tentang turunnya Al-Quran Al-Karim secara bertahap merupakan contoh yang baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode yang baik dan menyusun buku pelajaran.
Allah menurunkan Qur`an kepada Muhammad untuk memberi petunjuk kepada manusia. Turunnya Qur`an merupakan peristiwa besar yang sekaligus menyatakan kedudukannya bagi penghuni langit dan bumi.
Turunnya Qur`an yang pertama kali pada malam lailatul qadar merupakan pemberitahuan kepada alam tingkat tinggi terdiri dari malaikat-malaikat akan kemuliaan umat Muhammad. Umat ini telah dimuliakan oleh Allah dengan risalah baru agar menjadi umat paling baik yang dikeluarkan bagi manusia.
Turunnya Qur`an yang kedua kali secara bertahap, berbeda dengan kitab-kitab sebelumnya. Sangat menggetarkan orang dan menimbulkan keraguan terhadapnya sebelum jelas bagi mereka rahasia himah Ilahi yang ada dibalik itu. Rasulullah SAW tidak menerima risalah tersebut karena kesombongan dan permusuhan mereka. Oleh karena pun wahyu turun secara berangsur-angsur untuk menguatkan hati Rasulullah SAW dan menghiburnya serta mengikuti peristiwa dan kejadian-kejadian sampai Allah menyempurnakan agama ini dan mencukupkan nikmatn-Nya.
I. Turunnya Qur`an Sekaligus
Allah berfirman dalam kitabnya yang mulia:
`Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur`an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda antara yang haq dan yang batil.`( al-Baqarah: 185 ).
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ( Quran ) pada malam lailatul qadar.` ( al-Qadr : 1 )
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya ( Qur`an ) pada malam yang diberkahi.` ( ad-Dhukan: 3 ).
Ketiga ayat diatas tidak bertentangan, karena malam yang diberkahi adalah malam lailatul qadar dalam bulan ramadhan. Tetapi lahir ( zahir ) ayat-ayat itu bertentangan dengan kehidupan nyata Rasulullah SAW , dimana Qur`an turun kepadanya selama dua puluh tiga tahun. Dlam hal ini para ulama mempunyai dua madzab pokok :
1. Madzab pertama yaitu, pendapat Ibn Abbas dan sejumlah ulama serta yang dijadikan pegangan oleh umumnya para ulama.
Yang dimaksud dengan turunnya Qur`an dalam ketiga ayat diatas adalah turunnya Qur`an sekaligus di Baitul `Izzah dilangit dunia agar para malaikat menghormati kebesarannya. Kemudian sesudah itu Qur`an diturunkan kepada rasul kita Muhammad saw. Secara bertahap selama dua puluh tiga tahun. sesuai dengan peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian sejak dia diutus sampai wafatnya. Ia tinggal di mekkah sejak diutus selama tiga belas tahun dan sesudah hijrah tinggal di madinah selama supuluh tahun. Ia tinggal di mekkah selama tiga belas tahun dan selama itu wahyu turun kepadanya, ia wafat dalm usia enam puluh tiga tahun pendapat ini didasarkan pada berita-berita yang sahih dari Ibn Abbas dalam beberapa riwayat. Antara lain:
a. Ibn Abbas berkata: ` Qur`an sekaligus diturunkan ke langit dunia pada malam lailatul qadar, kemudian setelah itu ia diturunkan selama dua puluh tahun.` Lalu ia membacakan:
`Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya .`( al-Furqan : 33 ).
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra` : 106 ).
b. Ibn Abbas r.a berkata: ` Qur`an itu dipisahkan dari az-Zikr, lalu diletakkan dai baitul Izzah di langit dunia. Maka jibril mulai menurunkannya kapada Nabi saw.`
c. Ibn Abbas r.a mengatakan : ` Allah menurunkan Qur`an sekaligus kelangit dunia , temmpay turunnya secara beransur-ansur. Lali Dia menurunkannya kepada Rasulnya bagian demi bagian.`
d. Ibn Abas r.a berkata : `Qur`an diturunkan pada malam lailatul qadar, pada bulan ramadhan ke langit dunia sekaligus; lali ia diturunkan secara berangsur-angsur.`
2. Madzab kedua, yaitu yang diriwayatkan oleh as-Sya`bi .
Bahwa yang dimaksud dengan turunnya Quran dalam ketiga ayat diatas adalah permulaan turunnya Qur`an pada Rasulullah SAW permulaan turunnya Quran itu di mulai pada malam lailatul qadar di bulan ramadhan, yangv merupakan mala yang di berkahi. Kemudian turunnya berlanjut sesudah itu secara bertahap sesuai dengan kejadian dan peristiwa-peristiwa selam kurang lebih dua puluh tiga tahun. Dengan demikian Qur`an hanya satu macama cara turun, yaitu turun secara bertahap kepada Rasulullah SAW seba yang demikian inilah yang dinyatakan dalam Qur`an :
`Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.` (al-Isra`: 106 )
orang musyrik yang diberi tahu bahwa kitab-kitab samawi terdahulu turun sekaligus, menginginkan agar Qur`an diturunkan sekaligus:
`Berkatalah orang-orang yang kafir: `Mengapa Al Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?`; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil . Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya .` ( al-Furqan : 32-33 )
Dan keistimewaan bulan ramadhan dan malam lailatul qadar yang merupakan malam yang diberkahi itu tidak akan kelihatan oleh manusia kecuali apa bila yang dimaksudkan dari ketiga ayat diatas adalah turunnya Qur`an kepada Rasulullah SAW yang demikian ini sesuai dengan apa yang terdapat dalam friman Allah mengenai perang badar: `jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami di hari Furqaan , yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.( al-Anfal : 41 ).
Perang badar terjadi pada bulan ramadan. Dan yang demikian ini diperkuat pula oleh hadis yang dijadikan pegangan para penyelidik hadis permulaan wahyu. Aisyah berkata: `Wahyu yang mula-mula diturunkan kepada Rasulullah SAW ialah mimpi yang benar diwaktu tidur. Setiap kali bermimpi ia melihat ada yang datang bagaikan cahaya yang terang dipagi hari. Kemudian ia lebih suka menyendiri. Ia pergi ke gua hira untuk bertahanus beberapa malam, dan untuk itu ia membawa bekal. Kemudian ia kembali kerumah Khadijah, dan Khadijahpun membekali seperti itu biasanya. Sehingga datanglah `kebenaran` kepadanya seaktu ia berada di gua hira`. Malaikat datang kepadanya dan berkata ` bacalah` Rasulullah SAW berkata ` aku tidak panai membaca` lalu malaikat merangkulnya sampai kepayahan. Kemudian ia melepaskan aku, lalu katanya ` bacalah` aku menjawab ` aku tidak pandai membaca` lalu ia merangkulku lagi sampai aku kepayahan. Lalu ia lepaskan aku. Lalu katanya ` bacalah` aku menjawab aku tidak pandai membaca. Lalu ia merangkulku untuk ketiga kalinya, sampai aku kepayahan, lalu ia lepaskan aku lalu katanya ` Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan sampai dengan apa yang belum diketahuianya.`
Para penyelidik menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pada mulanya diberi tahu dengan mimpi di bulan kelahirannya, yaitu bulan Rabi`ul awal. Pemberitahuan dengan mimpi itu lamanya enam bulan. Kemudian ia diberi wahyu dengan keadaan sadar ( tidak dalam keadaan tidur ) pada bula ramadan dengan Iqra`. Dengan demikian maka nas-nas yang terdahuklu itu menunjukkan pada satu pengertian.
3. Madzab ketiga
Bahwa Qur`an diturunkan kelangit dunia selama dua puluh tiga malam lalilatul qadar yang pada setiap malamnya selama malam-malam lailatul qadar itu ada yang ditentukan Allah untuk diturunkan pada setiap tahunnya. Dan jumlah wahyuj yang diturunkan kelangit dunia pada malam lailatul qadar , untuk masa satu tahun penuh itu kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah SAW sepanjang tahun. Madzab ini adalah hasil ijtihad sebagian mufasir.. pendapat ini tidak mempunyai dalil.
Adapun madzab kedua yang diriwayatkan dari as-Sya`bi , dengan dali-dalil yang sahih dan dapat diterima,tidaklah bertentang dengan madzab yang pertama yang diriwayatkan dari Ibn Abbas.
Dengan demikian maka pendapat yang kuat ialah bahwa Al-Quran Al-Karim itu dua kali diturunkan:
Pertama: diturunkan secara sekaligus pada malam lailatul qadar ke baitul Izzah di langit dunia.
Kedua: Dditurunkan kelangit dunia ke bumi secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun.
Al-Qurtubi telah menukil dari Muqatil bin Hayyan riwayat tentang kesepakatan ( ijma`) bahwa turunnya Qur`an sekaligus dari lauhul mahfuz ke baitul izzah di langit dunia. Ibn Abbas memandang tidak ada pertentangan antara ke tiga ayat diatas yang berkenaan dengan turunnya Qur`an dengan kejadian nyata dalam kehidupan Rasulullah SAW bahwa Qur`an itu turun selam dua puluh tiga tahun yang bukan bulan ramadan. Dari Ibn Abbas disebutkan bahwa ia ditanya olah `Atiyah bin al-Aswad, katanya ` dalam hatiku terjadi keraguan tentang firman Allah, bulan ramadan itulah bulan yang didalamnya diturunkan Qur`an, dan firman Allah SWT, Sesungguhnya Kami menurunkannya pada malam lailatul Qadar, pada hal Qur`an itu ada yang diturunkan pada bulan syawal, Zulkaidah , Zulhijjah, Muharram , Saffar dan Rabi`ul awwal; Ibvn Abbas menjawab ` Qur`an diturunkan berangsur-angsur, sedikit- demi sedikit dan terpisah-pisah serta perlahan-lahan disepanjang bulan dan hari.`
Para ulama mengisyaratkan bahwa hikmah dari hal itu ialah menyatakan kebesaran Qur`an dan kemuliaan orang kepadanya Quran diturunkan. As-Suyuti mengatkan : ` Dikatakan bahwa rahasia diturunkan Quran sekaligus ke langit dunia ialah untuk memuliakannya dan memuliakan orang yang kepada Qur`an diturtunkan. Yaitu dengan memberitahukan kepada penghuni tujuh langit bahwa Qur`an adalah kitab terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir dan umat yang paling mulia. Kitab itu kini telah diambang pintu dan akan segera diturunkan kepada mereka. Seandainya tidak ada hikmah Ilahi yang menghenndaki disampaikannya Qur`an kepada meraka secara bertahap sesuai dengan peristiwa-perostiwa yang terjadi, tentulah ia diturunkan kebumi. Sekaligus seperti halnya kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya.
Tetapi Allah membedakannya dari kitabv-kitab yang sebelumnya. Maka dijadikanlah dua ciri tersendiri: diturunkan secara sekaligus , kemudian diturunkan se cara bertahap, untuk menghormati orang yang menerimanya.` As-Sakhawi mengatakan dalam Jamalul Qurra ` Turunnya Qur`an kelangit dunia sekaligus itu menunjukkan suatu penghormatan kepada yang keturunan Adam dihadapan para malaikat. Serta pemberitahuan kepada malaikat akan perhatian Allah dan rahmat-Nya kepada mereka. Dan dalam pengertian inilah Allah memerintahkan tujuh puluh ribu malaikat untuk mengawal surah Al-ana`m, dan dalam pengertian ini pula Allah memerintahkan Jibril agar mengimlakannya kepada para malaikat pencatat yang mulia, menuliskan dan membacakan kepadanya.`
Dan firman Allah:
`Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin , ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.` (as Syuara`: 192-195 ).
Dan firman-Nya:
Katakanlah: `Ruhul Qudus menurunkan Al Qur`an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri `.( an-Nahl: 102 ).
Dan firman-Nya:
`Kitab ini diturunkan Allah Yang Mahaperkasa dan Maha Bijaksana.` (al-Jasiyah : 2 )
Dan firman-Nya:
`Dan jika kamu dalam keraguan tentang Al Qur`an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami , buatlah satu surat yang semisal Al Qur`an itu.` ( al-Baqarah : 23 )
Dan firman-Nya:
`Katakanlah: `Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.` (al-Baqarah: 97 )
Ayat-ayat diatas menyatakan bahwa Al-Quran Al-Karim adalah kalam Allah dengan lafalnya dengan bahasa arab, dan bahwa Jibril telah menurunkannya ke dalam hati Rasulullah SAW dan bahwa turunnya itu bukanlah turunnya yang pertama kali kelngit dunia. Tetapi yang dimaksudkan ialah turunnya Qur`an secara bertahap. Ungkapan (untuk arti menurunkan ) dalam ayat-ayat diatas menggunakan kata tanzil bukan inzal. Ini menunjukkan bahwa turunnya itu secara bertahap dan berangsur-angsur. Ulama bahasa membedakan kata tanzil dan inzal. Tanzil berarti turun secara berangsur-angsur, sedang inzal hanya menunjukkan turun atau menurunkan dalam arti umum.
Quran turun secara berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, tiga belas tahun di mekkah menurut pendapat yang kuat, dan sepuluh tahun di madinah. Penjelasan tentang turunnya secara berangsur itu terdapat dlam firman Allah : `Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.`(al-Isra: 106 )
Maksudnya : Kami telah menjadikan turunnya Qur`an itu turun secara berangsur agar kamu membacakannya kepada manusia secara perlahan dan teliti dan Kami menurunkannya bagian demi bagian sesuai dengan peristiwa dan kejadian-kejadian.
Adapun kitab-kitab samawi yang lain, seperti taurat, injil, dan zabur, turunnya sekaligus. Tidak turun secara berangsur. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya: `Berkatalah orang-orang yang kafir: `Mengapa Al Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?`; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil.` ( al-Furqan : 32 ).
Ayat ini menunjukkan bahwa kitab-kitab samawi yang dahulu itu turun sekaligus. Dan inilah pendapat yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama. Seandainya kitab-kitab yang terdahulu itu turun secara berangsur.. tentulah orang kafir tidak merasa heran terhadap Qur`an yang turun secara berangsur. Makna kata-kata mereka ` Mengapa Qur`an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja` seperti halnya kitab-kitab yang lain. Mengapa ia diturunkan secara bertahap ? mengapa ia diturunkan secara berangsur ? Allah tidak menjawab mereka bahwa ini adalah sunnah-Nya didalam menurunkan kitab samawi sebagaimana Dia menjawab kata-kata mereka:
`Dan mereka berkata: `Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?` (al-Furqan : 7 )
`Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.` (al-Furqan : 20 ), dan seperti Dia menjawab ucapan mereka:
`Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi Rasul ?` ( al-Isra`: 94 ) dengan jawaban: `Katakanlah: `Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul`.( al-Isra`: 95 ) dan dengan firman-Nya: `Kami tiada mengutus rasul rasul sebelum kamu , melainkan beberapa orang-laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka,` ( al-Anbiya`: 27 ).
Tetapi Allah menjawab mereka dengan menjelaskan hikmah mengapa Qur`an diturunkan secara bertahap dengan firman-Nya, ` Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu,` maksudnya ialah; demikianlah Kami menurunkan Qur`an secara bertahap dan terpisah-pisah karena suatu hikmah, yaitu untuk memperkuat hati Rasulullah SAW . ` Dan Kami membacakanya kelompok-demi kelompok,` maksudnya : Kami menentukannya seayat- demi seayat atau bagian demi bagian, atau Kami menjelaskannya dengan sejelas-jelasnya. Karena turunnya yang bertahap sesuai dengan hal itu lebih dapat memudahkan hafalan dan pemahaman yang merupakan salah satu penyebab kemantapan ( didalam hati )
Penelitian terhadap hadis-hadis sahih menyatakan bahwa Qur`an turun menurut keperluan, terkadang turun lima ayat, terkadang sepuluh ayat, terlebih lebih banyak dari itu atau lebih sedikit. Terdapat hadis sahih yang menjelaskan sepuluh ayat telah turun sekaligus berkenaan dengan berita bohong tentang Aisyah. Dan telah turun pula sepuluh ayat dalam permulaan surah Mukminun secara sekaligus dan telah turun pula�..yang tidak mempunyai alasan ( gairu ulid darari ) saja yang merupakan bagian dari satu ayat.
II. Hikmah Turunnya Qur`an Secara Bertahap
Kita dapat menyimpulkan hikmah turunnya Qur`an secara bertahap dari nash-nash yang berkenaan dengan hal itu. Dan kami meringkaskannya sebagai berikut : 1.
1. Menguatkan atau meneguhkan hati Rasulullah SAW .
Rasulullah SAW telah menyampaikan dakwahnya kepada menusia, tetapi ia menhgadapi sikap mereka yang membangkang dan watak yang begitu keras. Ia ditantang oleh orang-orang yang berhati batu, berperangai kasar dan keras kepala. Mereka senantiasa melemparkan berbagai macam gangguan dan ancaman kepada Rasul. Pada dengan hati tulus ia ingin menyampaikan segala yang baik kepada mereka, sehingga dalam hal ini Allah mengatakan:
`Maka barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini.` (al-Kahfi: 6 ).
Wahyu turun kepada Rasulullah SAW dari waktu kewaktu sehingga dapat meneguhkan hatinya atas dasar kebenaran dan memperkuat kemauannya untuk tetap melangkahkan kaki dijalan dakwah tanpa menghiraukan perlakuan jahil yang dihadapinya dari masyarakatnya sendiri, karena yang demikian itu hanyalah kabut dimusim panas yang segera akan berakhir.
Allah menjelaskan kepada rasul akan sunnah-sunnah-Nya yang berkenaan dengan para Nabi terdahulu yang didustakan dan dianiaya oleh kaum mereka; tetapi mereka tetap bersabar sehingga datang pertolongan dari Allah. Dijelaskan pula bahwa kaum Rasulullah SAW mendustakannya hanya karena kecongkakan dan kesombongan mereka, sehingga ia akan menemukan `Sunnah Ilahi` dalam iring-iringan para nabi sepanjang sejarah. Yang demikian ini dapat menjadikan hiburan dan penerang baginya dalam mengahadapi gangguan dan cobaan dari kaumnya dan dalam menhadapi sikap mereka yang selalu mendustakan dan menolaknya.
`Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, , karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah . Dan sesungguhnya telah didustakan rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita rasul-rasul itu.` (al-Anam: 33-34 ).
`Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah didustakan , mereka membawa mu`jizat-mu`jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang memberi penjelasan yang sempurna.`(Ali-Imran: 184 ).
Qur`an juga memerintahkan Rasul bersabar sebagaimana Rasul-rasul sebelumnya:
`Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar.` (al-Ahqaf : 35 )
Jiwa rasul menjadi tentang karena Allah menjamin akan melindunginya dari gangguan orang yang mendustakan, firman-Nya:
`Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik. Dan biarkanlah Aku bertindak terhadap orang-orang yang mendustakan itu, orang-orang yang mempunyai kemewahan dan beri tangguhlah mereka barang sebentar.`(al-Muzammil:10-11 )
Demikianlah hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi yang terdapay dalam Qur`an: `Dan kisah rasul-rasul kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami terguhkan hatimu.` (Hud : 120 )
Setiap kali penderitaan Rasulullah SAW bertambah karena didustakan oleh kaumnya dan merasa sedih karena penganiayaan mereka, maka Qur`an turun untuk melepaskan derita dan menghiburnya serta mengancam orang-orang yang mendustakan bahwa Allah mengetahui hal ihwal mereka dan akan membalas apa yang melakukan hal itu.
`Maka janganlah ucapan mereka menyedihkan kamu. Sesungguhnya Kami mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka nyatakan.` (yaasin: 73)
`Janganlah kamu sedih oleh perkataan mereka. Sesungguhnya kekuasaan itu seluruhnya adalah kepunyaan Allah. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maba Mengetahui.`(Yunus: 65 )
Demikianlah pula Allah menyampaikan berita gembiara kepadanya dengan ayat-ayat ( yang isinya menjanjikan ) perlindungan, kemengan dan pertolongan:
`Allah memelihara kamu dari gangguan mereka.`(al-Maidah: 67 )
`Dan supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat.`(al-Fath: 3 )
`Allah telah menetapkan: `Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang`. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.` (al-Mujadalah: 21 ).
Demikianlah ayat-ayat Qur`an itu turun kepada Rasulullah SAW secara berkesinambungan sebagai penghibur dan pendukung sehingga ia tidak dirundung kesedihan dan dihinggapi rasa putus asa. Didalam kisah para nabi itu terdapat teladan baginya. Dalam nasib yang akan menimpa orang-orang yang mendustakan terdapat hiburan baginya. Dan dalam janji akan memperoleh pertolongan Allah terdapat berita gembira baginya. Setiap kali ia merasa sedih sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia ayat-ayat penghiburpun datang berulang kali sehingga ia berketetapan hati untuk melanjutkan dakwah dan merasa tenteram dengan pertolongan Allah.
Dengan hikmah demikianlah Allah menjawab pertanyaan orang-orang kafir mengapa Qyr`an diturunkan secara bertahap , dengan firman-Nya: `Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacanya secara tartil .` (al-Furqan: 32 )
Abu Syamah berkata: ` Apa bila ditanya, apakah rahasia Qur`an diturunkan secara bertahap dan mengapakah ia tidak diturunkan sekaligus ssperti halnya kitab-kitab yang lain ? Kami menjawab : pertanyaan yang demikian ini sudah di jawab oleh Allah. Allah berfirman ` Dan orang-orang kafir berkata: mengapa Qur`an diturunkan kepadanya tidak sekaligus saja ? . mereka bermaksud, mengapa Qur`an tidak diturunkan kepadanya seperti halnya kitab-kitab lain yang diturunkan kepada para rasul sebelum dia. Maka Allah menjawab pertanyaan mereka dengan firman-Nya : ` demikianlah ( Kami menurunkannya secara berangsur, untuk memperkuat hatimu dengannya). Sebab apa bila wahyuselalu baru dalam setiap peristiwa, maka pengaruhnya dalam hati menjadi lebih kuat, dan orang yang menerimanya mendapat perhatian. Hal yang demikian menghendakinya seringnya malaikat turun kepadanya. Pembaharuan dan situasi yang dibawanya dari sisi Allah yang Maha Perkasa. Hal ini menimbulkan kegembiraan dihati Rasulullah SAW yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata . itulah sebabnya, Rasulullah SAW sangat bermurah hati di bulan-bulan ramadan karena dalam bulan ini jibril sering menemuinya.` 2.
2. Ttantangan dan Mukjizat.
Orang-orang musyrik senantiasa berkubang dalam kesesatan dan kesombongan hingga melampaui batas. Mereka sering mangajukan pertanyaan-pertanyaan dengan maksud melemahkan dan menentang. Untuk menguji kenabian Rasulullah. Mereka juga sering menyampaikan kepadanya hal-hal batil yang tak masuk akal, seperti menanyakan tentang hari kiamat :
Mereka menanyakan kepadamu tentang hari kiamat ( al-Araf : 187 ).
Dan minta disegerakannya azab :
Dan mereka itu meminta kepadamu untuk disegerakan azab (al-Hajj: 47 ).
Maka turunlah Qur`an dengan ayat yang menjelaskan kepada mereka segi kebenaran dan memberikan jawaban yang amat jelas atas pertanyaan mereka, misalnya firman Allah :
`Kemudian mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya , yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apapun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak suatu kemanfaatanpun dan tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak membangkitkan.` ( al-Furqan : 3 ).
Maksud ayat tersebut ialah ` Setiap mereka datang kepadamu dengan pertanyaan yang aneh-aneh dari sekian pertanyaan yang sia-sia, Kami datangkan padamu jawaban yang benar dan sesuatu yang lebih baik maknanya dari semua pertanyaan-pertanyaan yang hanya merupakan contoh kesia-siaan saja.`
Disaat mereka keheran-heranan dengan turunnya Qur`an secara berangsur, maka Allah menjelaskan kepada mereka dengan Qur`an yang diturunkan secara berangsur sedangkan mereka tidak sanggup untuk membuat yang serupa dengannya. Akan lbih melihatkan kemukjizatannya dan lebih efektif pembuktiannya dari pada kalau Quran diturunkan sekaligus lalu mereka diminta membuat yang serupa dengannya. Oleh sebab itu ayat diatas datang sesudah pertanyaan mereka. Mengapa Qur`an itu tidak diturunkan kepaanya sekali turun saja ? maksudnya ialah: Setiap mereka datang keadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil yang mereka minta seperti turunnya Al-Quran Al-Karim ur`an sekaligus, Kami berikan kepadamu menurut kebijaksanaan Kami membenarkanmu dan apa yag lebih jelas maknanya dalam melemahkan mereka, yaitu dengan turunnya Al-Quran Al-Karim secara berangsur. Hikmah yang demikian juga telah diisyaratkan oleh keterangan yang terdapat dlam beberapa riwayat dalam hadis Ibn Abbas mengenai turunnya Qur`an : `Apa bila orang-orang musyrik mengadakan sesuatu, maka Allah pun mengadakan jawabannya atas mereka.`
3. Mempermudah Hafalan dan Pemahamannya.
Al-Quran Al-Karim turun ditengah-tengah umat yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis, catatan mereka adalah daya hafalan dan daya ingatan. Mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tata cara penulisan dan pembukuan yang dapat memungkinkan mereka menuliskan dan membukukannya, kemudian menghafal an memehaminya.
`Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah . Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,` (al-Jumuah : 2 )
…( Yaitu ) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi�( al-araf :157 ).
Umat yang buta huruf itu tidaklah mudah untuk menghafal seluruh Qur`an apa bila Al-Quran Al-Karim diturunkan sekaligus, dan tidak mudah pula bagi mereka untuk memahami maknanya serta memikirkan ayat-ayatnya, jelasnya bahwa Al-Quran Al-Karim secara berangsur itu merupakan bantuan terbaik bagi mereka untuk menghafal dan memahami ayat-ayatnya. Setiap kali turun satu atau beberapa ayat, para sahabat segara menghafalkannya. Memikirkan maknanya dan memahami hukum-hukumnya. Tradisi demikian ini menjadi suatu metode pengajaran dalam kehidupan para Tabi`in.
Abu Nadrah berkata,`Abu Saad al-Khudri mengajar kan Qur`an kepada kami, lima ayat diwaktu pagi, dan lima ayat di waktu petang. Dia memberitahukan bahwa jibril menurunkan Al-Quran Al-Karim lima ayat-lima ayat.`
Dari Khalid bin Dinar dikatakan, `Abul `Aliyah berkata kepada kami `Pelajarilah Qur`an itu lima ayat demi lima ayat; karena Nabi saw mengambil dari jibril lima ayat demi lima ayat.`
Umar berkata, `Pelajarilah Quran itu lima ayat demi lima ayat, karena jibril menurunkan Quran kepada Nabi saw. Lima ayat demi lima ayat.`
4. Kesesuaian dengan Peristiwa-peristiwa Pentahapan dalam Penetapan Hukum.
Manusia tidak akan mudah mengikuti dan tunduk kepada agama yang bau ini seandainya Al-Quran Al-Karim tidak menghadapi mereka dengan cara yang bijaksanadan memeberikan kepada mereka beberapa obat penawar yang ampuh yang dapat menyembuhkan mereka dari kerusakan dan kerendahan martabat. Setiap kali terjadi suatu peristiwa, diantara mereka , maka turunlah hukum mengenai peristiwa itu yang menjelaskan statusnya dan penunjuk serta meletakkan dasar-dasar perundang-undangan bagi mereka, sesuai dengan situasi dan kondisi, satu demi satu. Dan cara ini menjadi obat bagi hati mereka.
Pada mulanya Quran meletakkan dasar-dasar keimanan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-nya, dan hari kiamat, serta apa yang ada dalam hari kiamat itu. Seperti kebangkitan, hisab, balasan, surga dan neraka. Untuk itu,Al-Quran Al-Karim menegakkan bukti-bukti dan alasaan sehingga kepercayaan kepada berhala tercabut dari jiwa orang-orang musyrik dan tumbuh sebagai gantinya akidah Islam.
Al-Quran Al-Karim mengajarkan ahlak mulia yang dapat membersihkan jiwa dan meluruskan kebengkokannya dan mencegah perbuatan yang keji dan munkar. Sehingga dapat terikikir habis akar kejahatan dan keburukan. Ia menjelaskan kaidah-kaidah halal dan haram yang menjadi dasar agama dan menancapkan tiang-tiangnya dalam hal makanan, minuman,harta benda, kehormatan dan nyawa.
Kemudian penetapan hukum bagi umat ini meningkat kepada penanganan penyakit-penyakit sosial yang mudah mendarah daging dalam jiwa mereka sesudah digariskan kepada mereka kewajiban-kewajiban agama dan rukun-rukun Islam yang menjadikan hati mereka penuh dengan iman, ikhlas kepada Allah dan hanya meyembah kepada-Nya serta tidak menyekutukan-Nya.
Demikian pula Al-Quran Al-Karim turun sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi bagi kaum muslimin dalam perjuangan mereka yang panjang untuk meninggikan kalimah Allah. Hal-hal tersebut diatas, semuanya mempunyai dalil-dalil berupa nas-nas Al-Quran Al-Karim bila kita meneliti ayat-ayat makki dan madaninya serta kaidah-kaidah perundang-undangannya. Sebagai contoh di mekkah disyariatkan salat; dan prinsip mengenai zakat yang diperbandingkan dengan riba :
`Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan . Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah; dan mereka itulah orang-orang beruntung. Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipat gandakan.`( ar-Rum : 38-39 ).
Surah al-an`am yang makki itu turun untuk menjelaskan pokok keimanan dan dalil-dalil tauhid, menghancurkan kemusyrikan, menerangkan tentang makanan yang halal yang haram serta ajakan untuk menjaga kemuliaan harta benda, darah dan kehormatan.
Allah berfirman : `
Katakanlah: `Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu yang benar `. Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami. Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat , dan penuhilah janji Allah . Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat.`(al-an`am:151-152 ).
Kemudian setelah itu turunlah perincian hukum-hukum ini. Pokok-pokok hukum perdata (terutama hukum benda) tutrun di mekkah tetapi perincian hukumnya di madinah, seperti ayat tentang utang piutang dan ayat-ayat mengharamkan riba. Asas-asas hubungan kekeluargaan iu turun di mekkah, tetapi penjelasan mengenai hak suami isteri dan kewajiban hidup berumah tangga serta hal-hal yang bertalian dengannya seperti keberlangsungan terus rumah tangga tadi atau keterputusannya dengan perceraian atau dengan kematian, kemudian bagaimana warisannya, maka penjelassan mengenai hal itu semua diterangkan dalam perundang-undangan yang madani. Sedang mengenai zina dasarnya sudah diharamkan di mekkah :
`Dan janganlah kamu mendekati zina; zina itu suatu perbuatan keji dan jalan yang buruk.` (al-Isra: 32 ).
Tetapi hukuman-hukuman yang diakibatkan oleh zina itu turun di medinah. Adapun mengenai pembunuhan dasarnya juga sudah turun di mekkah :
`Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.` (al-Isra:33 ).
Tetapi perincian hukuman tentang pelanggaran terhadap jiwa dan anggota badan itu turun di mekkah. Contoh yang paling jelas mengenai penetapan hukum yang berangsur-angsur itu ialah diharamkannya minuman keras, mengenai hal ini pertama-tama Allah berfirman :
`Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki yang baik. Sesunggguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda bagi orang yang memikirkan.`(an-Nahl: 67).
Ayat ini menyebutkan tentang karunia Allah apa bila yang di maksud dengan `sakar` ialah khamr atau minuman keras dan yang dimaksud dengan `rezeki` ialah segala yang dimakan dari kedua pohon tersebut seperti kurma dan kismis-dan inilah pendapat jumhur ulama- maka pemberian predikat `baik` kepada rezeki sementara sakar tidaj diberinya, merupakan indikasi bahwa dalam hal ini pijian Allah hanya ditujukan kepada rezeki dan bukan kepada sakar, kemudian turun firman Allah:
`Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: `Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfa`at bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa`atnya`.(al-Baqarah:219).
Ayat ini membandingkan antara manfaat minuman keras (khamr) yang timbul sesudah memminumnya seperti kesenangan dan kegairahan atau keuntungan karena memperdagangkannya, dengan bahaya yang diakibatkannya seperti dosa, bahaya bagi kesehatan tubuh, merusak akal, menghabiskan harta dan membangkitkan dorongan-dorongan untuk berbuat kenistaan dan durhaka. Ayat tersebut menjauhkan khamr dengan cara menonjolkan segi bahayanya dari pada manfaatnya, kemudian turun firman Allah: `Wahai orang-orang yang beriman , janganlah kamu salat sedang kamu dalam keadaan mabuk.`(an-Nisa`: 43 ).
Ayat ini menunjukkan larangan minuman khamr pada waktu-waktu tertentu bila pengaruh minuman itu akan sampai kewaktu salat, ini mengingat adanya larangan mendekati salat dalam keadaan mabuk, samppai pengaruh minuman itu hilang dan mereka mengetahui apa yang mereka baca dalam salatnya, selanjutnya firman Allah:
`Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, berhala, mengundi nasib dengan panah , adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu.`(al-Maidah:90-91)
Ini merupakan pengharaman secara pasti dan tegas terhadap minuman dalam segala waktu. Hikmah penetapan hukum dengan sistem bertahap ini lebih lanjut diungkapkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a ketika mengatakan :
`Sesungguhnya yang pertama kali turun dari Qur`an ilah surah Mufassal yang didalamnya disebutkan surga dan neraka, sehingga ketika manusia telah berlari kepada Islam, maka turunlah hukum haram dan halal. Kalau sekiranya yang turun pertama kali adalah `jJanganlah kamu meminum khamr` tentu meraka akan menjawab: ` Kami tidak akan meninggalkan khamr selamanya.` Dan kalau sekiranya yang pertama kali turun ialah ; janganlah kamu berzina, tentau mereka akan menjawab: `Kami tidak akan meninggalkan zina selamanya.`
Demikianlah pentahapan dalam mendidik umat ini sesuai degan peristiwa-peristiwa yang dialami oleh umat tersebut. Rasulullah SAW pernah meminta pertimbangan para sahabatnya mengenai tawanan perang badar. Maka Umar berkata: `Potong saja leher mereka` sedang Abu Bakar berkata: `Menurut pandangan kami, sebaiknya Anda memaafkan mereka dan meminta tebusan dari mereka` dan Rasulullah SAW pun mengambil pendapat Abu Bakar. Maka turunlah Firman Allah :
`Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.`(al-Anfal: 67-68 ).
Kaum mualimin merasa kagum atas besarnya jumlah pasukan mereka pada perang Hunain, sehingga seseorang diantara mereka berkata :
`Kami pasti tidak akan dikalahkan oleh pasukan kecil.` Mereka pun menerima pelajaran yang berat dalam hal itu, dan turunlah firman Allah: `Sesungguhnya Allah telah menolong kamu di medan peperangan yang banyak, dan peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah , maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa`at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.`(at-Taubah: 25-27).
Ketika Abdullah bin Ubai pemimpin orang-orang munafik meninggal dunia, Rasulullah SAW diundang untuk menyembahyangkannya. Ia pun memenuhinya, namun ketika ia berdiri, Umar berkata ` apakah engakau hendak melakukan salat atas Abdullah bin Ubai, musuh Allah yang mengatakan begini begitu ?` Umar menyebutkan peristiwa-peristiwa yang dilakukan Abdullah, sedang Rasulullah SAW tersenyum saja. Kemudian ia berkata kepada Umar, ` Sebenarnya dalam hal ini saya sudah diberi kebebasan unutuk memilih. Sebab telah dikatakan kepadaku, :` Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka . Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.(at-Taubah:80), sekiranya aku tahu bahwa jika aku memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali dia diampuni, tentu aku akan memohonkan ampun lebih dari tujuh puluh kali; kemudian Rasulullah SAW menyembahkannya juga, dan berjalan bersama Umar dan ia berdiri diatas kuburannya hingg selesai penguburan. Umar berkata ` Aku heran terhadap diriku dan keberanianku kepada Rasulullah SAW padahal Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Demi Allah tidak lama kemudian turunlah kedua ayat ini: `Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya�..(at-Taubah: 84 ). Maka sejak itu Rasulullah SAW tidak lagi melakukan salat atas seorang munafik pun sampai ia di penggil Allah Azza Wajalla.`
Ketika beberapa orang diantara kaum mukminin yang sejati tidak ikut dalam perang Tabuk dan mereka tetap tinggal di madinah, sedang Rasulullah SAW tidak mendapatkan alasan bagi ketidak ikutan mereka, beliau menjauhi dan mengucilkan mereka sehingga mereka merasa hidupnya menjadi sempit. Kemudian turunlah ayat-ayat Qur`an untuk menerima tobat mereka:
`Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.`(at-Taubah: 117-118).
Yang demikian ini juga diisyaratkan oleh keterangan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas mengenai turunnya Qur`an : `Qur`an diturunkan jibril dengan membawa jawaban atas pertanyaan para hamba dan perbuatam mereka.`
5. Bukti Yang Pasti Bahwa Al-Quran Al-Karim Diturunkan Dari Sisi Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji.
Qur`an yang turun secara berangsur kepada Rasulullah SAW dalam waktu lebih dari dua puluh tahun ini ayat-ayatnya turun dalam selang waktu tertentu, dan selama ini orang membacanya an mengkajinya surah demi surah. Ketika ia melihat rangkaiannya begitu padat, tersusun cermat sekali dengan makna yang saling bertaut, dengan gaya yang begitu kuat, serta ayat demi ayat dan surah demi surah saling terjalin bagaikkan untaian mutiara yang indah yang belum ada bandigannya dalam perkataan manusia :
`Alif laam raa, suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,` (Hud: 1 ).
Seandainya Qur`an ini perkataan manusia yang disampaikan dalam berbagai situasi, peristiwa dan kejadian, tentulah didalamnya terjadi ketidak serasian dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya, serta sulit terjadi keseimbangan.
`Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur`an ? Kalau kiranya Al Qur`an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.`(an-Nisa`:82 ).
Hadis-hadis Rasulullah SAW sendiri yang merupakan puncak kefasihan yang paling bersastra sesudah Quran tidaklah tersusun dalam sebuah buku dengan ungkapan yang lancar serta satu dengan yang lain saling berkait dalam satu kesatuan dan ikatan seperti halnya Al-Quran Al-Karim atau dalam bentuk susunan yang serasi dan harmoni yang mendekatinya sekalipun, apalagi ucapandan perkataan manusia lainnya.
`Katakanlah: `Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al Qur`an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain`.(al-Isra: 80 )
III. Faedah Turunnya Qur`an secara Berangsur-angsur dalam Pendidikan dan Pengajaran
Proses belajar mengajar itu berlandaskan dua asas; perhatian terhadap tingkat pemikiran siswa dan pengembangan potensi akal, jiwa dan jasmaninya dengan apa yang dapat membawanya kearah kebaikan dan kebenaran.
Dalam hikmah turunnya Qur`an secara bertahap itu kita melihat adanya suatu metode yang berfaedah bagi kita dalam mengaplikasikan kedua asas tersebut seperti yang kami sebutkan tadi, sebab turunnya Qur`an it telah meningkatkan pendidikan umat Islam secara bertahap dan bersifat alami untuk memperbaiki jiwa manusia , meluruskan perilakunya, membentuk kepribadian dan menyempurnakan existensinya sehingga jiwa itu tumbuh dengan tegak diatas pilar-pilar yang kokoh dan mendatangkan buah yang baik bagi kebaikan umat manusia seluruhnya dengan izin Tuhan.
Pentahapan turunnya Al-Quran Al-Karim itumerupakan bantuan yang paling baik bagi jiwa manusia dalam rangka menghafal , memehami, mempelajari, memikirkan makna-maknanya dan mengemalkan apa yang dikandungnya.
Diantara celah-celah turunnya Al-Quran Al-Karim yang pertama kali didapatkan perintah untuk belajar dengan alat tulis:
`Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar dengan perantaran kalam.`(al-Alaq:1-5)
Demikian pula dengan turunnya ayat-ayat tentang riba dan warisan dalam sistem harta kekayaan, atau turunnya ayat-ayat tentang peperangan untuk membedakan secara tegas antara Islam dengan kemusyrikan. Diantara itu semua terdapat pentahapan pendidikan yang mempunyai berbagai cara dan sesuai engan tingkat perkembangan masyarakat Islam yang sedang dan senantiasa berkembang, dari lemah menjadi kuat dan tangguh.
Sistem belajar mengajar yang tidak memperhatikan tingkat pemikiran siswa dalam tahap-tahap pengajaran, bentuk bagian-bagaian ilmu diatas yang bersifat menyeluruh serta perpindahannya dari yang umum ke yang khusus; atau tidak memperhatikan pertumbuhan aspek-aspek kepribadian yang bersifat intelektual, rohani dan jasmani, maka ia adalah sistem pendidikan yang gagal yang tidak akan memberi hasil ilmu pengetahuan kepada umat, selain hanya menambah kebekuan dan kemunduran.
Guru yang tidak memeberikan kepada para siswanya porsi materi ilmiah yang tidak sesuai, yang hanya menambah beban kepada mereka diluar kesanggupannya untuk menghafal dan memahami, atau berbicara kepada mereka dengan sesuatu yang tidak dapat mereka jangkau, atau dengan mereka sesuatu yang tidak memeprhatika keadaan mereka dalam menghadapi keganjilan perilaku atau kebiasaan buruk mereka sehingga dia berlaku kasar dan keras. Serta menangani urusan tersebut dengan tergesa-gesa dan gugup, tidak bertahap dan tidak bijaksana- maka guru yang berlaku demikian in adalah guru yang gagal pula. Dia telah mengubah proses belajar mengajar menjadi kesesatan yang mengerikan dan menjadikan ruang belajar menjadi ruang yang tidak disenangi.
Begitu pula dengan buku pelajaran, buku yang tidak tersusun judul-judul dan fasal-fasalnya serta tidak bertahap penyajian pengetahuannya dari yang mudah ke yang sukar, juga bagian-bagiannya tidak tersusun secara baik dan serasi, dan gaya bahasanya pun tidak jelas dalam menyampaikan apa yang dimaksud- maka buku yang demikian ini tidak akan dibaca dan dimanfaatkan oleh siswa.
Petunjuk Ilahi tentang turunnya Al-Quran Al-Karim secara bertahap merupakan contoh yang baik dalam menyusun kurikulum pengajaran, memilih metode yang baik dan menyusun buku pelajaran.
Posted in Ulumul Qur'an
Turunnya Al-Quran Dengan 7 Huruf
Turunnya Al-Quran Dengan 7 Huruf
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama sendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain. Namun kaum quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mereka lebih unggul diantara cabang-cabang bahasa arab lainnya. Antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jema’ah haji, memakmurkan masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, semua suku bangsa arab menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karak teristik-karakteristik tersebut. Dengan demikian wajarlah jika Qur’an diturunkan dalam logat quraisy, kepada Rasul yang quraisy pula untuk mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan kemukjizatan Qur’an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang seperti Qur’an.
Apa bila orang arab berbeda lahjah (dialek) dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Qur’an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Nash-nash sunah cukup banyak mengemukakan hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibn Abbas, ia berkata : “Rasulullah berkata: ‘Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”
Dari Ubai bin Ka’ab: “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghafar, ia didatangi jibril seraya berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan sau huruf’ . Dia menjawab : ‘Aku mohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf,’ Nabi menjawab : ‘Aku memohonkan kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf,’ jawab Nabi : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan Maghfirh-Nya, sebab umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya seraya berkata : ‘ Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf,’ dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.”‘
Dari Umar bin Khatab ia berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membacakan surah al Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Raulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat dia salat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya : “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu?. Dia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau ! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang kau dengar tadi engkau membacanya ( tapi tidak seperti bacaannu).’ Kemudian aku bawa dia ke hadapan Rasulullah, dan aku menceritakan kepadanya bahwa ‘ Aku telah mendengar orang ini membaca surah al Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata : ‘ Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam, Hisyam pun membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasululah: ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Ia berkata lagi : ‘Bacalah wahai Umar, lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah; begitulah surah itu diturunkan.’ Dan katanya lagi : ‘Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu, diantaranya.’”
Hadis-hadis yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir didalam pengantar tafsirnya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan Pendapat Tentang Pengertian Tujuh Huruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan : ‘Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Disini kami akan kemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Haazin, dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain.”
2. Pendapat Kedua
Suatu hukum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih diantara kalangan bangsa arab. Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin , Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin ,Yaman dan lain-lain.” Dan katanya pula : ‘Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur’an.”
3. Pendapat Ketiga
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram,muhkam, mutasyabih dan amtsal.
“Dari Ibn Masu’ud Nabi berkata : “Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu : zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.”
4. Pendapat Keempat
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah : tujuh macam hal yang diantaranya terjadi ihtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Ihtilaful asma’(perbedaan kata benda):
Yaitu dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta’nis. Misalnya firman Allah وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (al-Mukminun:8) dibaca (وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ) dengan bentu mufrad dan dibaca pula (وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ) dengan bentuk jamak. Sedangkan rasamnya dalam bentuk mushaf adalah : لأمَانَتِهِمْ yang memungkinkan kedua qiraat itu karena tidak adanya alif yang disukun. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istigraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan bentuk mufrad, dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak. Yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
2. Perbedaan dalam segi I’rab (harakat akhir kata),
Seperti firman Allah : ماهذا بشرا (Yusuf :31). Jumhur membacanya dengan nasab (accusative), dengan alasan bahwa kata (ما) berfungsi seperti kata (ليس) dan ini adalah bahasa penduduk hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan, sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (nominatif) (ماهذا بشرُ) sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan (ما) seperti (ليس) . juga seperti firman-nya: (فتلقى آدم من ربه كلمات) (al-Baqarah:37) ayat ini dibaca dengan menasabkan (آدمَ) dan merafa’kan (كلماتُ) فتلقى آدم من ربه كلماتُ
3. Perbedaan dalam tasrif
Seperti firmanNya : ربنا باعد بين أسفارنا (Saba’: 19), dibaca dengan menasabkan ربُّنا karena menjadi munada’ mudhaf dan باعِد dibaca dengan bentuk perintah (fi’il amar). Lafaz dibaca pula dengan rafa’ sebagai mubtada’ dan باعَدَ dengan membaca fatah huruf ‘ain sebagai fi’il madi yang kedudukannya menjadi khabar atau sebutan, juga dibaca بعَّدَ dengan membaca fathah dan mentasdjidkan huruf ‘ain dan merafa’kan lafaz ربُّنا.
4. perbedaan dalam taqdhim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan)
Baik terjadi pada huruf seperti firmanNya : “Afalam baias” (ar Ra’d:31) yang dibaca juga “Afalam yakyas” maupun didalam kata seperti firmanNya: “Fayaqtuluna wayuqtalun” (at Taubah:111) dimana yang pertama “Fayaqtuluna” dimabni failkan (dibaca dalam bentuk aktif) dan yang kedua “Wayuqtaluna” dimabni maf’ulkan (dibaca dalam bentuk pasif) disamping dibaca pula dengan sebaliknya. Yaitu yang pertama dimabni maf’ulkan dan yang kedua di mabni fa’ilkan. Adapun qiraat “Wajaat sakratul haqqi bilmaut” (Qaf: 19) sebagai ganti dari firmanNya: “Wajaat sakratul mauti bil haqqi” adalah qiraat ahad dan syaz yang tidak mencapai derajat mutawatir.
5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)
Baik penggantian huruf dengan huruf, seperti “Wandzur ilal ‘idzami kaifa nunsyizuha” (al Baqarah : 259) yang dibaca dengan huruf za dan mendamahkan nun, disamping dibaca pula dengan huruf ra dan memfatahkan nun, maupun penggantian lafaz dengan lafaz, seperti firmanNya: “Kal’ihnil manfus” (al Qari;ah: 5) yang dibaca oleh Ibn Masud dan lain-lain dengan “Kasshufil manfus”. Terkadang pula penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan mahraj atau tempat keluar huruf. Seperti firmanNya: ” Thalhin mandhudin” (al Waqi’ah: 29) yang dibaca dengan “thal ‘in” karena mehraj ha’ dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
6. Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan.
Ihtilaf dengan penambahan (ziyadah) misalnya firman Allah: “Wa ‘aaddalahum jannatin tajri tahtahal anhar” (at Taubah:100) yang dibaca juga “Min tahtihal anhar” dengan tambahan “Min” , keduanya merupakan qiraat yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqs) seperti dalam firmanNya: “Qaalut takhadallahu waladan” (al Baqarah:116) tanpa huruf wawu sedang para jumhur ulama membacanya ” Waqaalut takhadallahu waladan” dengan wawu. Perbedaan dengan adanya penambahan dalam qiraat ahad (orang perorangan) dapat diwakili dalam qiraat Abbas “Wakaana amaamahum malikun ya khudzu kulla safiinatin shaalihatin ghadban” (al Kahfi: 79) dengan penambahan “shaalihatin” dan penggantian kata “amaa ma” dari kata “wara a” , sedang qiraat jumhur ialah “Wakaa na wara a ahum malikun ya khudzu kulli safiinatin ghadban”, demikian pula perbedaan karena pengurangan dapat diberi contoh dengan qiraat “Wadzdzakara wal untsa” sebagai ganti ayat yang lazim dibaca ” Wamaa khalaqadz dzakara wal untsa” (al Lail:3)
7. Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah , idzhar dan idgham, hamzah dan tashil, isyman dll.
Seperti membaca imalah dan tidak imalah dalam firmanNya: “Hal ataaka hadiitsu muusa” (Ta ha:9) yang dibaca dengan mengimalahkan kata “ataa” dan “muusa” , membaca tarqiq ra dalam firmanNya : “Khabiiran basyiran” , mentafkhimkan huruf lam dalam kata “Aththalaaq” mentashilkan hamzah dalam firmanNya “Qad aflaha” (al Mukminun: 1) dan mengisyamkan huruf gin dengan di dhamahkan bersama kasrah dalam firmanNya “Wagiidhal maa u” (Hud:44) dan seterusnya.
5.Pendapat Kelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafaz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan , seperti kata tujuh puluh’ dalam bilangan bilangan puluhan, dan ‘tujuh ratus’ dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6. Pendapat Keenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Tarjih dan Analisis
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut ialah pendapat pertama (A) yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama misalnya: aqbil, Ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Ppendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb, dan lainnya. Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadis Abu Bakrah berikut:
“Jibril mengatakan: ‘Wahai Muhammad, bacalah Qur’an dengan satu huruf .’ lalu Mikail mengatakan: ‘Tambahkanlah’ Jibril berkata lagi ;’ dengan dua huruf’ jibril terus menambahnya hingga sampai enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata ‘ Semua itu obet penawar yang memadai, selama ayat azab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat azab, seperti kata-kata halumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra’ dan ‘ajal.’”
Berkata Ibn ‘A bdil Barr : “Maksud hadis ini hanyalah sebagai contoh huruf-huruf yang dengannya qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satupun diantaranya yang mempunyai makna saling bermusuhan/berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan, seprti rahmat yang merupakan lawan dari azab.”
Pendapat pertama ini didukung pula oleh banyak hadis antara lain:
“Seorang laki-laki membaca Qur’an didekat Umar bin Khatab, umar marah kepadanya . orang itu berkata : ‘Sungguh aku telah membacanya dihadapan Rasulullah, tetapi ia tidak marah kepadaku,’ kata perawi: ‘Maka keduanya berselisih dihadapan Nabi. Orang itu berkata: ‘Wahai Rasulullah bukankah engkau membacakan kepadaku ayat itu begini dan begini ? Nabi menjawab : ‘Ya’ ! perawi menjelaskan ; dengan jawaban ini timbullah ketidak puasan dihati Umar, dan Nabi mengetahui hal itu dari wajahnya. Lalu beliau menepuk-nepuk dada Umar sambil berkata : ‘jauhilah syetan’ ucapan ini di ulanginya sampai tiga kali. Kemudian katanya pula: ‘Wahai Umar Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan azab atau ayat azab tidak dijadikan rahmat.’”
Dari Busyr bib Sa’ad; ” Abu Juhaim al Ansary mendapat berita bahwa dua orang lelaki berselisih tentang sesuatu ayat Qur’an. Yang satu mengatakan, ayat itu dirterima dariRasulullah, dan yang lain pun mengatakan demikian, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Maka kata Rasulullah : “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganklah kamu saling berdebat tentang Qur;an karena perdebatan mengenainya merupakan suatu kekafiran; sesungguhnya Allah telah menyuruh aku agar membaca Qur’an atas tujuh huruf
Dari A’masy ia berkata : “Anas membaca ayat ini Inna naasyiatal laili hiya asyaddu wath an waashwabu qiila (al Muzammil: 6) maka orang-orang pun mengatakan kepadanya : ‘Wahai Abu Hamzah, kalimat itu adalah : aqwamu. Ia menjawab : aqwamu, ashwabu, dan ahya u itu sama saja.”
Dari Muhamamad bin Sirin, ia berkata: “Saya mendapat berita bahwa jibril dan Mikail datang kepada Nabi. Jibril berkata : Bacalah Qur’an dengan dua huruf ! ‘ lalu Mikail berkata kepadanya : ‘Tambahkanlah.’ Kata perawi: permintaan itu terus diulangi hingga Qur’an boleh dibaca dengan tujuh huruf. Muhammad berkata : ‘Ketujuh huruf itu tidak berselisih mengenai halal dengan yang haram, dan tidak pula tentang perintah dengan larangan. Tetapi ia hanya seperti kata-katamu : Ta’ala, halumma dan aqbil.’ Selanjutnya ia jelaskan, menurut qiraat kami ayat ini dibaca : In kanat illa shai hatun wa hidatun ( Yasin : 29, 53) , tetapi dalam qiraat Ibn Masu’d dibaca : in kanat illa zaqyatan wahidatan.’”
Pendapat kedua (B) – yang menyatakan bahwa yang dimaksdu dengan tujuh huruf ialah macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan mana Qur’an diturunkan;” dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur;an telah mencakupnya- dapat dijawab bahwa bahasa arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim keduanya adalah Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda, dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya). Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz-lafaz mengenai makna yang sama. Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan;
Setelah mengemukakan dalih-dalih untuk membatalkan pendapat kedua ini Ibn Jarir at Tabari mengatakan: “Tujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek bahasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafal tetapi sama maknanya. Misalnya (هلم،أقبل ، تعال ، إليّ ، قصدي ، نحوي ، قربي) dan lain sebagainya yang lafal-lafalnya berbeda karena perbedaan ucapan tetapi maknanya sama, meskiopun lisan berlainan dalam menjelaskannya. Hal ini seperti yang kita riwayatkan tadi dari Rasulullah dan para sahabat, bahwa yang demikian itu seperti kata-kata : (هلم،أقبل ، تعال) atau seperti kata-kata ما ينظرون إلا زقية – إلا صيحة
Tabari akan menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul, ” Dimanakah kita jumpai didalam kitab Allah satu huruf yang dibaca dengan tujuh bahasa yang berbeda-beda lafaznya. Tetapi sama maknanya ?” dengan mengatakan : “Kami tidak mendakwakan hal itu, masih ada sekarang ini, ia juga menjawab pertanyaan yang diandaikan lainnya, “Mengapa pula huruf-huruf yang enam itu tidak ada ?” ia menerangkan” : ‘Umat islam disuruh untuk menghafalkan Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya salah satu dari ketujuh huruf itu sesuai dengan keinginanya sebagaimana diperintahkan. Namun pada masa Usman keadaan menuntut agar bacaan itu ditetapkan dengan satu huruf saja karena dikawatirkan akan timbul fitnah. Kemdian hal ini diterima secara bulat umat islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.”
Pendapat ketiga (C) – yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam hal (makna), yaitu : amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal-dijawab, bahwa dzahir hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal sesuatu yang satu, tidak mungkin dinyatakan halal dan haram didalam satu ayat, dan keleluasanpun tidak dapat direfleksikan dalam pengharaman yang halal. Penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Dalam hadis-hadis terdahulu ditegaskan bahwa para sahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi. Lalu setiap oranb diminta menyampaikan bacaannya masing-masing, kemudian Nabi membenarkan semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda dengan yang lain, sehingga keputusan Nabi ini menimbulkan keraguan disebagian mereka. Maka kepada mereka yang masih ragu terhadap keputusan itu Rasululah berkata :Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.”
Kita maklum, jika perselisihan dan sikap saling meragukan itu menyangkut tentang penghalalan,pengharaman, janji, ancaman, dan lain sebagainya. Yang ditunjuk oleh bacaan mereka, maka mustahil Rasulullah akan membenarkan semuanya dan memerintahkan setiap orang untuk pada bacaannya masing-masing sesuai dengan qiraat yang mereka bacakan itu. Sebab jika hal demikian dapat dibenarkan, berarti Allah yang maha terpuji telah memerintahkan dan memfardukan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan kefarduannya.” Melarang dan mencegah untuk melakukan sesuatu itu, dalam bacaan oranag yang bacaannyamenunjukkan larangan dan cegahan; serta membolehkan secara mutlak untuk melakukannya, dalam arti memberikan keleluasaan bagi siapa saja diantara hamba-hambanya untuk melakuakan atau meninggalkannya didalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan pilihan.
Pendapat demikain, jika memang ada berarti menetapkan apa yang telah ditiadakan Allah yang maha terpuji dari Qur’an dan hukum kitabnya. Allah berfirman :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Aqur’an ? kalau sekiranya Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak dijalannya (an Nisa’: 82)
Peniadaan hal tersebut (kontradiksi dalam Qur’an) oleh Allah yang maha terpuji dalam kitabNya yang muhkam merupakan bukti paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan kitabnya melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua mahluknya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka
Pendapat keempat (D)- yang vmenyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ihtilaf dijawab bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan diterima, tetapi tidak dapat tegak dihadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yangn menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafal yang mempunyai makna yang sama. Disamping itu disamping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan ayang meraka kemukakanpun hanya terdapat dalam qiraat-qiraat ahad. Pada hal tidak diperselisihkan lagi, bahwa segala sesuatu yang berupa Qur’an itu haruslah mutawatir. Begitu juga bagian besar dari perbedaan-perbedaan itu hanya mengacu pada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan lafal, seperti perbedaan dalam segi qiraat, tasrif, tathim, tarhib, fathah, imalah, idzhar, idgham dan isyman. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang bermacam-macam dalam lafal dan makna;” sebab cara-cara yang berbeda dalam mengucapkan suatu lafaz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafal yang satu.
Para pendukung pendapat keempat memandang bahwa mushaf-mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf tersebut seluruhnya. Dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan oleh bnetuk tulisannya. Misalnya ayat al mu’minun ayat 8. ayat ini dapat dibaca dengan bentuk jama’ dan mufrad. Dalam rasm Usmani ditulis Li amanatihim secara bersambung tetapi dengan menggunakan alif kecil (harakat berdiri). Begitu juga ayat Saba’ : 19, dalam rasm Usmani tertulis “Ba’da” secara bersambung dengan alif kecil diatasnya pula. Dan bagitu seterusnya?.
Apa yang mereka kemukakan sebagai salah satu macam ihtilaf ini tidak dapat dibenarkan.
Perbedaan karena penambahan dan pengurangan misalnya dalam firman-Nya surah Taubah :100 yang dibaca pula Min Tahtihal Anhaar dengan tambahan Min dan Firman Nya surah al Lail ayat 3 yang juga dibaca Wadzdzakaro Wal untsa dengan penambahan kata Maa halaq.
Perbedaan karena terdapat taqdim dan ta’khir misalnya dalam firmanNya (Qaf:19) yang dibaca juga dengan Wajaat sakratul haqqi bilmaut sedang perbedaan dengan sebab ibdal (pengertian) seperti dalam firmanNya Watakunuljibalukalihnil manfus yang dibaca Watakunul jibalu kassufil manfus.
Andaikata huruf-huruf ini masih terdapat dalam mushaf-mushaf Usmani tentulah mushaf tersebut tidak dapat meredam pertikaian dalam hal perbedaan bacaan. Sebab meredam pertikaian hanya dapat dicapai dengan cara mempersatukan umat pada satuhuruf dari ketujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Kalaulah tidak demikian , tentu perbedaan bacaan akan tetap ada dan juga tidak akan ada perbedaan antara motif pengumpulan mushaf yang dilakukan Usman dengan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar. Akan tetapi sebagai sumber menunjukkan bahwa pengumpulan Qur’an yang dilakukan Usman adalah penyalinan kembali Qur’an menurut satu huruf diantara ketujuh huruf itu untuk menyeragamkan kaum muslim pada satu mushaf. Usman berpendapat bahwa memebaca Qur’an dengan ketujuh huruf itu hanyalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dimasa-masa awal, dan kebutuhan akan hal itupun sudah berakhir. Maka kuatlah motifnya untuk menghilangkan segala unsur yang menjadi faktor perbedaan bacaan, dengan mengumpulkan dan menyeragamkan umat pada satu huruf saja. Dan kebijaksanaan Usman ini kemudian disepakati oleh para sahabat. Maka dengan adanya kesepakatan ini terjadilah ijma’. Pada masa Abu Bakar dan Umar para sahabat tidak memerlukan pembukuan Qur’an seperti yang dibukukan Usman sebab pada masa keduanya tidak terjadi perselisihan tentang Qur’an sperti yang terjadi pada masa Usman. Dengan demikian maka Usman telah melakukan suatu kebijaksanaan besar.” Menghilangkan perselisihan., mempersatulkan dan menetramkan umat.
Pendapat kelima (E) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas seperti jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah, dan iapun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf dan sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Qur’an dengan satu huruf. Lalu berulang-ulang aku meminta kepadanya untuk memberi kemudahan kepada umatku. Maka ia mengutusku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf jelaslah hadis-hadis ini menunjukkan hakikat bilangan tertentu tyang terbatas pada tujuh.
Pendapat keenam (F) yang menyatakan maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafal-lafal wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfif), memberatkan (tasqil) membaca panjang dan sebagainya. Berkata Abu Syamah: ‘Suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadis.” Asumsi ini sangat bertentangan kesepakatan ahli ilmu dan yang beranggapan ser[eti ini hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.
Lebih lanjut at Tabary mengatakan : “adapun perbedaan bacaan seperti merafa’kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan, dan memindahkannya ketempat lain dalam bentuk yang sama, semua itu tidak termasuk dalam pengertian ucapan Nabi, “Aku diperintah untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.’ Sebab sebagaimana diketahui tidak ada satu huruf pun dari huruf-huruf Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini, menyebabkan seseorang dipandang telah kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat salah seorang ulama-padahal mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran-itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat.’”
Nampaknya apa yang menyebabkan mereka terperosok kedalam kesalahan ini ialah adanya kesamaan “bilangan tujuh” (dalam hadis ini dengan qiraat yang populer), sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka; Ibn ‘Imar berkata: “Orang yang menginterprestasikan qiraat tujuh terhadap kata “sab’ah” dalam hadis ini telah melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan kepada setiap orang yang berwawasan sempit bahwa qiraat-qiraat itulah yang dimaksudkan oleh hadis. Alangkah baiknya andaikata qiraat yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.’”
Dengan pembicaraan ini , jelaslah bahwa pendapat pertama (A) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa orang arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih.
“Dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata: “Rasulullah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar membaca Qur’an dengan satu huruf, lalu aku berkata : ‘Wahai Tuhanku, berilah keringanan kepada umatku.’ Kemudian ia memerintahkanku dengan firmanNya, Bacalah dengan dua huruf. Kemudian aku berkata lagi: “Wahai Tuhanku ringankanlah umatku. Maka Ia pun memerintahkan kepadaku untuk membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga. Semuanya obet penawar dan memadai.’”
At Tabari berkata ” Yang dimaksud dengan tuuh huruf ialah tujuh macam bahasa, seprti yang telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah makna-makna yang terkandung didalamnya, yaitu : amr, nahyu,targib, tarhib, kisah dan masal, yang jika seseorang mengamalkannya sampai dengan batas-batasnya yang telah ditentukan, maka ia berhak masuk surga. Alhamdulillah, tidak ada satu pendapatpun dari orang-orang terdahulu yang bertentangan dengan apa yang kita katakan ini, sedikitpun juga. Sedangkan makna ‘semuanya syafin (obat penawar) dan kafin (memadai) adalah sebagaimana difirmankan Allah Yang Maha Terpuji tentang sifat-sifat Qur’an:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Yunus: 57) jadi , Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasehat-nasehatnya mereka sembuhkan segala penyakit yang menimpa hati mereka yaitu bisikan setan dan getaran-getarannya. Karena itulah maka Qur’an telah memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasehat yang lain, dengan penjelasan-penjelasan ayat-ayat Nya itu.”
Hikmah Turunnya Qur’an dengan Tujuh Huruf
Dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari’at, apa lagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadis antara lain dalam ungkapan berikut :
Ubai berkata : “Rasulullah bertemu dengan jibril di ahjarul Mira’, sebuah tempat di Kuba’, lalu berkata : ‘Aku ini diutus kepada umat yang ummi, diantara mereka ada anak-anak , pembantu, kakek-kakek tua dan nenek-nenek jompo.’ Maka kata jibril : ‘Hendaklah mereka membaca Qur’an dengan tujuh huruf.”
“Allah memerintahkan aku untuk membacakan Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf. Lalu aku mengatakan: ‘Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.”
“Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.”
2. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya bebagai hukum. Hal inilah yang mentebabkan Qyr’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensip dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama sendiri dalam mengucapkan kata-kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain. Namun kaum quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mereka lebih unggul diantara cabang-cabang bahasa arab lainnya. Antara lain karena tugas mereka menjaga Baitullah, menjamu para jema’ah haji, memakmurkan masjidil Haram dan menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, semua suku bangsa arab menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karak teristik-karakteristik tersebut. Dengan demikian wajarlah jika Qur’an diturunkan dalam logat quraisy, kepada Rasul yang quraisy pula untuk mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan kemukjizatan Qur’an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang seperti Qur’an.
Apa bila orang arab berbeda lahjah (dialek) dalam pengungkapan sesuatu makna dengan perbedaan tertentu, maka Qur’an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad , menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang memudahkan mereka untuk membaca, menghafal dan memahaminya.
Nash-nash sunah cukup banyak mengemukakan hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf, diantaranya :
Dari Ibn Abbas, ia berkata : “Rasulullah berkata: ‘Jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesak dan meminta agar huruf itu ditambah, dan ia pun menambahnya kepadaku sampai dengan tujuh huruf.”
Dari Ubai bin Ka’ab: “Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghafar, ia didatangi jibril seraya berkata: ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan sau huruf’ . Dia menjawab : ‘Aku mohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu’. Kemudian jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan dua huruf,’ Nabi menjawab : ‘Aku memohonkan kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan : ‘Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tiga huruf,’ jawab Nabi : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan Maghfirh-Nya, sebab umatku tidak kuat melaksanakannya.’ Kemudian jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya seraya berkata : ‘ Allah memerintahkanmu agar membacakan Qur’an kepada umatmu dengan tujuh huruf,’ dengan huruf mana saja mereka membaca, mereka tetap benar.”‘
Dari Umar bin Khatab ia berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membacakan surah al Furqan di masa hidup Rasulullah. Aku perhatikan bacaannya. Tiba-tiba ia membacanya dengan banyak huruf yang belum pernah dibacakan Raulullah kepadaku, sehingga hampir saja aku melabraknya di saat dia salat, tetapi aku berusaha sabar menunggunya sampai salam. Begitu salam, aku tarik selendangnya dan bertanya : “Siapakah yang membacakan (mengajarkan bacaan) surah itu kepadamu?. Dia menjawab: ‘Rasulullah yang membacakannya kepadaku.’ Lalu aku katakan kepadanya: ‘Dusta kau ! Demi Allah, Rasulullah telah membacakan juga kepadaku surah yang kau dengar tadi engkau membacanya ( tapi tidak seperti bacaannu).’ Kemudian aku bawa dia ke hadapan Rasulullah, dan aku menceritakan kepadanya bahwa ‘ Aku telah mendengar orang ini membaca surah al Furqan dengan huruf-huruf yang tidak pernah engkau bacakan kepadaku, padahal engkau sendiri telah membacakan surah al Furqan kepadaku.’ Maka Rasulullah berkata : ‘ Lepaskan dia, wahai Umar. Bacalah surah tadi, wahai Hisyam, Hisyam pun membacanya dengan bacaan seperti kudengar tadi. Maka kata Rasululah: ‘Begitulah surah itu diturunkan.’ Ia berkata lagi : ‘Bacalah wahai Umar, lalu aku membacanya dengan bacaan sebagaimana diajarkan Rasulullah kepadaku. Maka kata Rasulullah; begitulah surah itu diturunkan.’ Dan katanya lagi : ‘Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka bacalah dengan huruf yang mudah bagimu, diantaranya.’”
Hadis-hadis yang berkenaan dengan hal itu amat banyak jumlahnya dan sebagian besar telah diselidiki oleh Ibn Jarir didalam pengantar tafsirnya. As-Suyuti menyebutkan bahwa hadis-hadis tersebut diriwayatkan dari dua puluh orang sahabat. Abu ‘Ubaid al Qasim bin Salam menetapkan kemutawatiran hadis mengenai turunnya Qur’an dengan tujuh huruf.
Perbedaan Pendapat Tentang Pengertian Tujuh Huruf
Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan tujuh huruf ini dengan perbedaan yang bermacam-macam. Sehingga Ibn Hayyan mengatakan : ‘Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata tujuh huruf menjadi tiga puluh lima pendapat.” Namun kebanyakan pendapat itu bertumpang tindih. Disini kami akan kemukakan beberapa pendapat diantaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran.
1. Pendapat Pertama
Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna; dengan pengertian jika bahasa mereka berbeda-beda dalam mengungkapkan satu makna, maka Qur’an pun diturunkan dengan sejumlah lafal sesuai dengan ragam bahasa tersebut tentang makna yang satu itu. Dan jika tidak terdapat perbedaan, maka Qur’an hanya mendatangkan satu lafaz atau lebih saja.
Kemudian mereka berbeda pendapat juga dalam menentukan ketujuh bahasa itu. Dikatakan bahwa ketujuh bahasa itu adalah bahasa Quraisy, Huzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
Menurut Ibnu Hatim as-Sijistani, Qur’an diturunkan dalam bahasa Quraisy, Huzail, Tamim, Azad, Rabi’ah, Haazin, dan Sa’d bin Bakar. Dan diriwayatkan pula pendapat lain.”
2. Pendapat Kedua
Suatu hukum berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan nama Qur’an diturunkan, dengan pengertian bahwa kata-kata dalam Qur’an secara keseluruhan tidak keluar dari ketujuh macam bahasa tadi. Yaitu bahasa paling fasih diantara kalangan bangsa arab. Meskipun sebagian besarnya dalam bahasa Quraisy. Sedang sebagian yang lain dalam bahasa Huzail, Saqif, Hawazin , Kinanah, Tamim atau Yaman; karena itu maka secara keseluruhan Qur’an mencakup ketujuh macam bahasa tersebut.
Pendapat ini berbeda dengan pendapat sebelumnya, karena yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam pendapat ini adalah tujuh huruf yang bertebaran di berbagai surah Qur’an. Bukan tujuh bahasa yang berbeda dalam kata tetapi sama dalam makna.
Berkata Abu ‘Ubaid: “Yang dimaksud bukanlah setiap kata boleh dibaca dengan tujuh bahasa, tetapi tujuh bahasa yang bertebaran dalam Qur’an. Sebagiannya bahasa Quraisy, sebagian yang lain bahasa Huzail, Hawazin ,Yaman dan lain-lain.” Dan katanya pula : ‘Sebagian bahasa-bahasa itu lebih beruntung karena dominan dalam Qur’an.”
3. Pendapat Ketiga
Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah, yaitu: amr (perintah), nahyu (larangan), wa’d (janji), wa’id (ancaman), jadal (perdebatan), qasas (cerita), dan matsal (perumpamaan). Atau amr, nahyu, halal, haram,muhkam, mutasyabih dan amtsal.
“Dari Ibn Masu’ud Nabi berkata : “Kitab umat terdahulu diturunkan dari satu pintu dan dengan satu huruf. Sedang Qur’an diturunkan melalui tujuh pintu dengan tujuh huruf, yaitu : zajr (larangan), amr, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan amsal.”
4. Pendapat Keempat
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah : tujuh macam hal yang diantaranya terjadi ihtilaf (perbedaan), yaitu:
1. Ihtilaful asma’(perbedaan kata benda):
Yaitu dalam bentuk mufrad, muzakkar dan cabang-cabangnya, seperti tasniyah, jamak dan ta’nis. Misalnya firman Allah وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ (al-Mukminun:8) dibaca (وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ) dengan bentu mufrad dan dibaca pula (وَالَّذِينَ هُمْ لأمَانَاتِهِمْ وَعَهْدِهِمْ رَاعُونَ) dengan bentuk jamak. Sedangkan rasamnya dalam bentuk mushaf adalah : لأمَانَتِهِمْ yang memungkinkan kedua qiraat itu karena tidak adanya alif yang disukun. Tetapi kesimpulan akhir dari kedua macam qiraat itu adalah sama. Sebab bacaan dengan bentuk jamak dimaksudkan untuk arti istigraq (keseluruhan) yang menunjukkan jenis-jenisnya, sedang bacaan dengan bentuk mufrad, dimaksudkan untuk jenis yang menunjukkan makna banyak. Yaitu semua jenis amanat yang mengandung bermacam-macam amanat yang banyak jumlahnya.
2. Perbedaan dalam segi I’rab (harakat akhir kata),
Seperti firman Allah : ماهذا بشرا (Yusuf :31). Jumhur membacanya dengan nasab (accusative), dengan alasan bahwa kata (ما) berfungsi seperti kata (ليس) dan ini adalah bahasa penduduk hijaz yang dalam bahasa inilah Qur’an diturunkan, sedang Ibn Mas’ud membacanya dengan rafa’ (nominatif) (ماهذا بشرُ) sesuai dengan bahasa Bani Tamim, karena mereka tidak memfungsikan (ما) seperti (ليس) . juga seperti firman-nya: (فتلقى آدم من ربه كلمات) (al-Baqarah:37) ayat ini dibaca dengan menasabkan (آدمَ) dan merafa’kan (كلماتُ) فتلقى آدم من ربه كلماتُ
3. Perbedaan dalam tasrif
Seperti firmanNya : ربنا باعد بين أسفارنا (Saba’: 19), dibaca dengan menasabkan ربُّنا karena menjadi munada’ mudhaf dan باعِد dibaca dengan bentuk perintah (fi’il amar). Lafaz dibaca pula dengan rafa’ sebagai mubtada’ dan باعَدَ dengan membaca fatah huruf ‘ain sebagai fi’il madi yang kedudukannya menjadi khabar atau sebutan, juga dibaca بعَّدَ dengan membaca fathah dan mentasdjidkan huruf ‘ain dan merafa’kan lafaz ربُّنا.
4. perbedaan dalam taqdhim (mendahulukan) dan takhir (mengakhirkan)
Baik terjadi pada huruf seperti firmanNya : “Afalam baias” (ar Ra’d:31) yang dibaca juga “Afalam yakyas” maupun didalam kata seperti firmanNya: “Fayaqtuluna wayuqtalun” (at Taubah:111) dimana yang pertama “Fayaqtuluna” dimabni failkan (dibaca dalam bentuk aktif) dan yang kedua “Wayuqtaluna” dimabni maf’ulkan (dibaca dalam bentuk pasif) disamping dibaca pula dengan sebaliknya. Yaitu yang pertama dimabni maf’ulkan dan yang kedua di mabni fa’ilkan. Adapun qiraat “Wajaat sakratul haqqi bilmaut” (Qaf: 19) sebagai ganti dari firmanNya: “Wajaat sakratul mauti bil haqqi” adalah qiraat ahad dan syaz yang tidak mencapai derajat mutawatir.
5. Perbedaan dalam segi ibdal (penggantian)
Baik penggantian huruf dengan huruf, seperti “Wandzur ilal ‘idzami kaifa nunsyizuha” (al Baqarah : 259) yang dibaca dengan huruf za dan mendamahkan nun, disamping dibaca pula dengan huruf ra dan memfatahkan nun, maupun penggantian lafaz dengan lafaz, seperti firmanNya: “Kal’ihnil manfus” (al Qari;ah: 5) yang dibaca oleh Ibn Masud dan lain-lain dengan “Kasshufil manfus”. Terkadang pula penggantian ini terjadi pada sedikit perbedaan mahraj atau tempat keluar huruf. Seperti firmanNya: ” Thalhin mandhudin” (al Waqi’ah: 29) yang dibaca dengan “thal ‘in” karena mehraj ha’ dan ‘ain itu sama dan keduanya termasuk huruf halaq.
6. Perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan.
Ihtilaf dengan penambahan (ziyadah) misalnya firman Allah: “Wa ‘aaddalahum jannatin tajri tahtahal anhar” (at Taubah:100) yang dibaca juga “Min tahtihal anhar” dengan tambahan “Min” , keduanya merupakan qiraat yang mutawatir. Mengenai perbedaan karena adanya pengurangan (naqs) seperti dalam firmanNya: “Qaalut takhadallahu waladan” (al Baqarah:116) tanpa huruf wawu sedang para jumhur ulama membacanya ” Waqaalut takhadallahu waladan” dengan wawu. Perbedaan dengan adanya penambahan dalam qiraat ahad (orang perorangan) dapat diwakili dalam qiraat Abbas “Wakaana amaamahum malikun ya khudzu kulla safiinatin shaalihatin ghadban” (al Kahfi: 79) dengan penambahan “shaalihatin” dan penggantian kata “amaa ma” dari kata “wara a” , sedang qiraat jumhur ialah “Wakaa na wara a ahum malikun ya khudzu kulli safiinatin ghadban”, demikian pula perbedaan karena pengurangan dapat diberi contoh dengan qiraat “Wadzdzakara wal untsa” sebagai ganti ayat yang lazim dibaca ” Wamaa khalaqadz dzakara wal untsa” (al Lail:3)
7. Perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhim (menebalkan) dan tarqiq (menipiskan), fatah dan imalah , idzhar dan idgham, hamzah dan tashil, isyman dll.
Seperti membaca imalah dan tidak imalah dalam firmanNya: “Hal ataaka hadiitsu muusa” (Ta ha:9) yang dibaca dengan mengimalahkan kata “ataa” dan “muusa” , membaca tarqiq ra dalam firmanNya : “Khabiiran basyiran” , mentafkhimkan huruf lam dalam kata “Aththalaaq” mentashilkan hamzah dalam firmanNya “Qad aflaha” (al Mukminun: 1) dan mengisyamkan huruf gin dengan di dhamahkan bersama kasrah dalam firmanNya “Wagiidhal maa u” (Hud:44) dan seterusnya.
5.Pendapat Kelima
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah (maksudnya bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang arab. Dengan demikian, maka kata tujuh adalah isyarat bahwa bahasa dan susunan Qur’an merupakan batas dan sumber utama bagi perkataan semua orang arab yang telah mencapai puncak kesempurnaan tertinggi. Sebab lafaz sab’ah (tujuh) dipergunakan pula untuk menunjukkan jumlah banyak dan sempurna dalam bilangan satuan , seperti kata tujuh puluh’ dalam bilangan bilangan puluhan, dan ‘tujuh ratus’ dalam ratusan. Tetapi kata-kata itu tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bilangan tertentu.
6. Pendapat Keenam
Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qiraat tujuh.
Tarjih dan Analisis
Pendapat terkuat dari semua pendapat tersebut ialah pendapat pertama (A) yaitu bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dalam mengungkapkan satu makna yang sama misalnya: aqbil, Ta’ala, halumma, ‘ajal dan asra’. Lafaz-lafaz yang berbeda ini digunakan untuk menunjukkan satu makna yaitu perintah untuk menghadap. Ppendapat ini dipilih oleh Sufyan bin ‘Uyainah, Ibn Jarir, Ibn Wahb, dan lainnya. Ibn ‘Abdil Barr menisbahkan pendapat ini kepada sebagian besar ulama dan dalil bagi pendapat ini ialah apa yang terdapat dalam hadis Abu Bakrah berikut:
“Jibril mengatakan: ‘Wahai Muhammad, bacalah Qur’an dengan satu huruf .’ lalu Mikail mengatakan: ‘Tambahkanlah’ Jibril berkata lagi ;’ dengan dua huruf’ jibril terus menambahnya hingga sampai enam atau tujuh huruf. Lalu ia berkata ‘ Semua itu obet penawar yang memadai, selama ayat azab tidak ditutup dengan ayat rahmat, dan ayat rahmat tidak ditutup dengan ayat azab, seperti kata-kata halumma, ta’ala, aqbil, izhab, asra’ dan ‘ajal.’”
Berkata Ibn ‘A bdil Barr : “Maksud hadis ini hanyalah sebagai contoh huruf-huruf yang dengannya qur’an diturunkan. Ketujuh huruf itu mempunyai makna yang sama pengertiannya, tetapi berbeda bunyi ucapannya. Dan tidak satupun diantaranya yang mempunyai makna saling bermusuhan/berlawanan atau satu segi yang berbeda makna dengan segi lain secara kontradiktif dan berlawanan, seprti rahmat yang merupakan lawan dari azab.”
Pendapat pertama ini didukung pula oleh banyak hadis antara lain:
“Seorang laki-laki membaca Qur’an didekat Umar bin Khatab, umar marah kepadanya . orang itu berkata : ‘Sungguh aku telah membacanya dihadapan Rasulullah, tetapi ia tidak marah kepadaku,’ kata perawi: ‘Maka keduanya berselisih dihadapan Nabi. Orang itu berkata: ‘Wahai Rasulullah bukankah engkau membacakan kepadaku ayat itu begini dan begini ? Nabi menjawab : ‘Ya’ ! perawi menjelaskan ; dengan jawaban ini timbullah ketidak puasan dihati Umar, dan Nabi mengetahui hal itu dari wajahnya. Lalu beliau menepuk-nepuk dada Umar sambil berkata : ‘jauhilah syetan’ ucapan ini di ulanginya sampai tiga kali. Kemudian katanya pula: ‘Wahai Umar Qur’an itu seluruhnya adalah benar, selama ayat rahmat tidak dijadikan azab atau ayat azab tidak dijadikan rahmat.’”
Dari Busyr bib Sa’ad; ” Abu Juhaim al Ansary mendapat berita bahwa dua orang lelaki berselisih tentang sesuatu ayat Qur’an. Yang satu mengatakan, ayat itu dirterima dariRasulullah, dan yang lain pun mengatakan demikian, lalu keduanya menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah. Maka kata Rasulullah : “Sesungguhnya Qur’an itu diturunkan dengan tujuh huruf, maka janganklah kamu saling berdebat tentang Qur;an karena perdebatan mengenainya merupakan suatu kekafiran; sesungguhnya Allah telah menyuruh aku agar membaca Qur’an atas tujuh huruf
Dari A’masy ia berkata : “Anas membaca ayat ini Inna naasyiatal laili hiya asyaddu wath an waashwabu qiila (al Muzammil: 6) maka orang-orang pun mengatakan kepadanya : ‘Wahai Abu Hamzah, kalimat itu adalah : aqwamu. Ia menjawab : aqwamu, ashwabu, dan ahya u itu sama saja.”
Dari Muhamamad bin Sirin, ia berkata: “Saya mendapat berita bahwa jibril dan Mikail datang kepada Nabi. Jibril berkata : Bacalah Qur’an dengan dua huruf ! ‘ lalu Mikail berkata kepadanya : ‘Tambahkanlah.’ Kata perawi: permintaan itu terus diulangi hingga Qur’an boleh dibaca dengan tujuh huruf. Muhammad berkata : ‘Ketujuh huruf itu tidak berselisih mengenai halal dengan yang haram, dan tidak pula tentang perintah dengan larangan. Tetapi ia hanya seperti kata-katamu : Ta’ala, halumma dan aqbil.’ Selanjutnya ia jelaskan, menurut qiraat kami ayat ini dibaca : In kanat illa shai hatun wa hidatun ( Yasin : 29, 53) , tetapi dalam qiraat Ibn Masu’d dibaca : in kanat illa zaqyatan wahidatan.’”
Pendapat kedua (B) – yang menyatakan bahwa yang dimaksdu dengan tujuh huruf ialah macam bahasa dari bahasa-bahasa arab dengan mana Qur’an diturunkan;” dengan pengertian bahwa kalimat-kalimatnya secara keseluruhan tidak keluar dari tujuh bahasa tadi, karena itu maka himpunan Qur;an telah mencakupnya- dapat dijawab bahwa bahasa arab itu lebih banyak dari tujuh macam, disamping itu Umar bin Khattab dan Hisyam bin Hakim keduanya adalah Quraisy yang mempunyai bahasa yang sama dan kabilah yang sama pula, tetapi qiraat (bacaan) kedua orang itu berbeda, dan mustahil Umar mengingkari bahasa Hisyam (namun ternyata Umar mengingkarinya). Semua itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf bukanlah apa yang mereka kemukakan, tetapi hanyalah perbedaan lafaz-lafaz mengenai makna yang sama. Dan itulah pendapat yang kita kukuhkan;
Setelah mengemukakan dalih-dalih untuk membatalkan pendapat kedua ini Ibn Jarir at Tabari mengatakan: “Tujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan adalah tujuh dialek bahasa dalam satu huruf dan satu kata karena perbedaan lafal tetapi sama maknanya. Misalnya (هلم،أقبل ، تعال ، إليّ ، قصدي ، نحوي ، قربي) dan lain sebagainya yang lafal-lafalnya berbeda karena perbedaan ucapan tetapi maknanya sama, meskiopun lisan berlainan dalam menjelaskannya. Hal ini seperti yang kita riwayatkan tadi dari Rasulullah dan para sahabat, bahwa yang demikian itu seperti kata-kata : (هلم،أقبل ، تعال) atau seperti kata-kata ما ينظرون إلا زقية – إلا صيحة
Tabari akan menjawab pertanyaan yang mungkin akan muncul, ” Dimanakah kita jumpai didalam kitab Allah satu huruf yang dibaca dengan tujuh bahasa yang berbeda-beda lafaznya. Tetapi sama maknanya ?” dengan mengatakan : “Kami tidak mendakwakan hal itu, masih ada sekarang ini, ia juga menjawab pertanyaan yang diandaikan lainnya, “Mengapa pula huruf-huruf yang enam itu tidak ada ?” ia menerangkan” : ‘Umat islam disuruh untuk menghafalkan Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hafalannya salah satu dari ketujuh huruf itu sesuai dengan keinginanya sebagaimana diperintahkan. Namun pada masa Usman keadaan menuntut agar bacaan itu ditetapkan dengan satu huruf saja karena dikawatirkan akan timbul fitnah. Kemdian hal ini diterima secara bulat umat islam, suatu umat yang dijamin bebas dari kesesatan.”
Pendapat ketiga (C) – yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf ialah tujuh macam hal (makna), yaitu : amr, nahyu, halal, haram, muhkam, mutasyabih dan masal-dijawab, bahwa dzahir hadis-hadis tersebut menunjukkan tujuh huruf itu adalah suatu kata yang dapat dibaca dengan dua atau tiga hingga tujuh macam sebagai keleluasaan bagi umat; padahal sesuatu yang satu, tidak mungkin dinyatakan halal dan haram didalam satu ayat, dan keleluasanpun tidak dapat direfleksikan dalam pengharaman yang halal. Penghalalan yang haram atau pengubahan sesuatu makna dari makna-makna tersebut.
Dalam hadis-hadis terdahulu ditegaskan bahwa para sahabat yang berbeda bacaan itu meminta keputusan kepada Nabi. Lalu setiap oranb diminta menyampaikan bacaannya masing-masing, kemudian Nabi membenarkan semua bacaan mereka meskipun bacaan-bacaan itu berbeda dengan yang lain, sehingga keputusan Nabi ini menimbulkan keraguan disebagian mereka. Maka kepada mereka yang masih ragu terhadap keputusan itu Rasululah berkata :Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.”
Kita maklum, jika perselisihan dan sikap saling meragukan itu menyangkut tentang penghalalan,pengharaman, janji, ancaman, dan lain sebagainya. Yang ditunjuk oleh bacaan mereka, maka mustahil Rasulullah akan membenarkan semuanya dan memerintahkan setiap orang untuk pada bacaannya masing-masing sesuai dengan qiraat yang mereka bacakan itu. Sebab jika hal demikian dapat dibenarkan, berarti Allah yang maha terpuji telah memerintahkan dan memfardukan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan kefarduannya.” Melarang dan mencegah untuk melakukan sesuatu itu, dalam bacaan oranag yang bacaannyamenunjukkan larangan dan cegahan; serta membolehkan secara mutlak untuk melakukannya, dalam arti memberikan keleluasaan bagi siapa saja diantara hamba-hambanya untuk melakuakan atau meninggalkannya didalam bacaan orang yang bacaannya menunjukkan pilihan.
Pendapat demikain, jika memang ada berarti menetapkan apa yang telah ditiadakan Allah yang maha terpuji dari Qur’an dan hukum kitabnya. Allah berfirman :
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Aqur’an ? kalau sekiranya Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapati pertentangan yang banyak dijalannya (an Nisa’: 82)
Peniadaan hal tersebut (kontradiksi dalam Qur’an) oleh Allah yang maha terpuji dalam kitabNya yang muhkam merupakan bukti paling jelas bahwa Dia tidak menurunkan kitabnya melalui lisan Muhammad kecuali dengan satu hukum yang sama bagi semua mahluknya, bukan dengan hukum-hukum yang berbeda bagi mereka
Pendapat keempat (D)- yang vmenyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang didalamnya terjadi ihtilaf dijawab bahwa pendapat ini meskipun telah populer dan diterima, tetapi tidak dapat tegak dihadapan bukti-bukti dan argumentasi pendapat pertama yangn menyatakan dengan tegas sebagai perbedaan dalam beberapa lafal yang mempunyai makna yang sama. Disamping itu disamping itu sebagian dari perubahan atau perbedaan ayang meraka kemukakanpun hanya terdapat dalam qiraat-qiraat ahad. Pada hal tidak diperselisihkan lagi, bahwa segala sesuatu yang berupa Qur’an itu haruslah mutawatir. Begitu juga bagian besar dari perbedaan-perbedaan itu hanya mengacu pada bentuk kata atau cara pengucapannya yang tidak menimbulkan perbedaan lafal, seperti perbedaan dalam segi qiraat, tasrif, tathim, tarhib, fathah, imalah, idzhar, idgham dan isyman. Perbedaan semacam ini tidak termasuk perbedaan yang bermacam-macam dalam lafal dan makna;” sebab cara-cara yang berbeda dalam mengucapkan suatu lafaz tidak mengeluarkannya dari statusnya sebagai lafal yang satu.
Para pendukung pendapat keempat memandang bahwa mushaf-mushaf Usmani mencakup ketujuh huruf tersebut seluruhnya. Dengan pengertian bahwa mushaf-mushaf itu mengandung huruf-huruf yang dimungkinkan oleh bnetuk tulisannya. Misalnya ayat al mu’minun ayat 8. ayat ini dapat dibaca dengan bentuk jama’ dan mufrad. Dalam rasm Usmani ditulis Li amanatihim secara bersambung tetapi dengan menggunakan alif kecil (harakat berdiri). Begitu juga ayat Saba’ : 19, dalam rasm Usmani tertulis “Ba’da” secara bersambung dengan alif kecil diatasnya pula. Dan bagitu seterusnya?.
Apa yang mereka kemukakan sebagai salah satu macam ihtilaf ini tidak dapat dibenarkan.
Perbedaan karena penambahan dan pengurangan misalnya dalam firman-Nya surah Taubah :100 yang dibaca pula Min Tahtihal Anhaar dengan tambahan Min dan Firman Nya surah al Lail ayat 3 yang juga dibaca Wadzdzakaro Wal untsa dengan penambahan kata Maa halaq.
Perbedaan karena terdapat taqdim dan ta’khir misalnya dalam firmanNya (Qaf:19) yang dibaca juga dengan Wajaat sakratul haqqi bilmaut sedang perbedaan dengan sebab ibdal (pengertian) seperti dalam firmanNya Watakunuljibalukalihnil manfus yang dibaca Watakunul jibalu kassufil manfus.
Andaikata huruf-huruf ini masih terdapat dalam mushaf-mushaf Usmani tentulah mushaf tersebut tidak dapat meredam pertikaian dalam hal perbedaan bacaan. Sebab meredam pertikaian hanya dapat dicapai dengan cara mempersatukan umat pada satuhuruf dari ketujuh huruf yang dengannya Qur’an diturunkan. Kalaulah tidak demikian , tentu perbedaan bacaan akan tetap ada dan juga tidak akan ada perbedaan antara motif pengumpulan mushaf yang dilakukan Usman dengan pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar. Akan tetapi sebagai sumber menunjukkan bahwa pengumpulan Qur’an yang dilakukan Usman adalah penyalinan kembali Qur’an menurut satu huruf diantara ketujuh huruf itu untuk menyeragamkan kaum muslim pada satu mushaf. Usman berpendapat bahwa memebaca Qur’an dengan ketujuh huruf itu hanyalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dimasa-masa awal, dan kebutuhan akan hal itupun sudah berakhir. Maka kuatlah motifnya untuk menghilangkan segala unsur yang menjadi faktor perbedaan bacaan, dengan mengumpulkan dan menyeragamkan umat pada satu huruf saja. Dan kebijaksanaan Usman ini kemudian disepakati oleh para sahabat. Maka dengan adanya kesepakatan ini terjadilah ijma’. Pada masa Abu Bakar dan Umar para sahabat tidak memerlukan pembukuan Qur’an seperti yang dibukukan Usman sebab pada masa keduanya tidak terjadi perselisihan tentang Qur’an sperti yang terjadi pada masa Usman. Dengan demikian maka Usman telah melakukan suatu kebijaksanaan besar.” Menghilangkan perselisihan., mempersatulkan dan menetramkan umat.
Pendapat kelima (E) yang menyatakan bilangan tujuh itu tidak diartikan secara harfiah, dapat dijawab, bahwa nas-nas hadis menunjukkan hakikat bilangan tersebut secara tegas seperti jibril membacakan (Qur’an) kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku mendesaknya agar huruf itu ditambah, dan iapun menambahkannya kepadaku sampai tujuh huruf dan sesungguhnya Tuhanku mengutusku untuk membaca Qur’an dengan satu huruf. Lalu berulang-ulang aku meminta kepadanya untuk memberi kemudahan kepada umatku. Maka ia mengutusku untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf jelaslah hadis-hadis ini menunjukkan hakikat bilangan tertentu tyang terbatas pada tujuh.
Pendapat keenam (F) yang menyatakan maksud tujuh huruf adalah tujuh qiraat, dapat dijawab bahwa Qur’an itu bukanlah qiraat. Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Muhammad sebagai bukti risalah dan mukjizat. Sedang qiraat adalah perbedaan dalam cara mengucapkan lafal-lafal wahyu tersebut, seperti meringankan (takhfif), memberatkan (tasqil) membaca panjang dan sebagainya. Berkata Abu Syamah: ‘Suatu kaum mengira bahwa qiraat tujuh yang ada sekarang ini itulah yang dimaksud dengan tujuh huruf dalam hadis.” Asumsi ini sangat bertentangan kesepakatan ahli ilmu dan yang beranggapan ser[eti ini hanyalah sebagian orang-orang bodoh saja.
Lebih lanjut at Tabary mengatakan : “adapun perbedaan bacaan seperti merafa’kan sesuatu huruf, menjarkan, menasabkan, mensukunkan, mengharakatkan, dan memindahkannya ketempat lain dalam bentuk yang sama, semua itu tidak termasuk dalam pengertian ucapan Nabi, “Aku diperintah untuk membaca Qur’an dengan tujuh huruf.’ Sebab sebagaimana diketahui tidak ada satu huruf pun dari huruf-huruf Qur’an yang perbedaan bacaannya, menurut pengertian ini, menyebabkan seseorang dipandang telah kafir karena meragukannya, berdasarkan pendapat salah seorang ulama-padahal mensinyalir keraguan tentang huruf itu sebagai suatu kekafiran-itu termasuk salah satu segi yang dipertentangkan oleh mereka yang berselisih seperti yang dijelaskan dalam banyak riwayat.’”
Nampaknya apa yang menyebabkan mereka terperosok kedalam kesalahan ini ialah adanya kesamaan “bilangan tujuh” (dalam hadis ini dengan qiraat yang populer), sehingga permasalahannya menjadi kabur bagi mereka; Ibn ‘Imar berkata: “Orang yang menginterprestasikan qiraat tujuh terhadap kata “sab’ah” dalam hadis ini telah melakukan apa yang tidak sepantasnya dilakukan dan membuat kesulitan bagi orang awam dengan mengesankan kepada setiap orang yang berwawasan sempit bahwa qiraat-qiraat itulah yang dimaksudkan oleh hadis. Alangkah baiknya andaikata qiraat yang masyhur itu kurang dari tujuh atau lebih, tentu kekaburan dan kesalahan ini tidak perlu terjadi.’”
Dengan pembicaraan ini , jelaslah bahwa pendapat pertama (A) yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh bahasa dari bahasa orang arab mengenai satu makna yang sama adalah pendapat yang sesuai dengan zahir nas-nas dan didukung oleh bukti-bukti yang sahih.
“Dari Ubai bin Ka’ab, ia berkata: “Rasulullah berkata kepadaku: ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan aku agar membaca Qur’an dengan satu huruf, lalu aku berkata : ‘Wahai Tuhanku, berilah keringanan kepada umatku.’ Kemudian ia memerintahkanku dengan firmanNya, Bacalah dengan dua huruf. Kemudian aku berkata lagi: “Wahai Tuhanku ringankanlah umatku. Maka Ia pun memerintahkan kepadaku untuk membacanya dengan tujuh huruf dari tujuh pintu surga. Semuanya obet penawar dan memadai.’”
At Tabari berkata ” Yang dimaksud dengan tuuh huruf ialah tujuh macam bahasa, seprti yang telah kita katakan, dan tujuh pintu surga adalah makna-makna yang terkandung didalamnya, yaitu : amr, nahyu,targib, tarhib, kisah dan masal, yang jika seseorang mengamalkannya sampai dengan batas-batasnya yang telah ditentukan, maka ia berhak masuk surga. Alhamdulillah, tidak ada satu pendapatpun dari orang-orang terdahulu yang bertentangan dengan apa yang kita katakan ini, sedikitpun juga. Sedangkan makna ‘semuanya syafin (obat penawar) dan kafin (memadai) adalah sebagaimana difirmankan Allah Yang Maha Terpuji tentang sifat-sifat Qur’an:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(Yunus: 57) jadi , Qur’an dijadikan oleh Allah sebagai obat penawar bagi orang-orang mukmin, yang dengan nasehat-nasehatnya mereka sembuhkan segala penyakit yang menimpa hati mereka yaitu bisikan setan dan getaran-getarannya. Karena itulah maka Qur’an telah memadai dan mereka tidak memerlukan lagi nasehat yang lain, dengan penjelasan-penjelasan ayat-ayat Nya itu.”
Hikmah Turunnya Qur’an dengan Tujuh Huruf
Dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Untuk memudahkan bacaan dan hafalan bagi bangsa yang ummi, tidak bisa baca tulis, yang setiap kabilahnya mempunyai dialek masing-masing, namun belum terbiasa menghafal syari’at, apa lagi mentradisikannya. Hikmah ini ditegaskan oleh beberapa hadis antara lain dalam ungkapan berikut :
Ubai berkata : “Rasulullah bertemu dengan jibril di ahjarul Mira’, sebuah tempat di Kuba’, lalu berkata : ‘Aku ini diutus kepada umat yang ummi, diantara mereka ada anak-anak , pembantu, kakek-kakek tua dan nenek-nenek jompo.’ Maka kata jibril : ‘Hendaklah mereka membaca Qur’an dengan tujuh huruf.”
“Allah memerintahkan aku untuk membacakan Qur’an bagi umatmu dengan satu huruf. Lalu aku mengatakan: ‘Wahai Tuhanku, berilah keringanan bagi umatku.”
“Allah memerintahkan engkau untuk membacakan Qur’an kepada umatmu dengan satu huruf. Nabi menjawab : ‘Aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirahNya, umatku tidak akan sanggup melakukan perintah itu.”
2. Bukti kemukjizatan Qur’an bagi naluri atau watak dasar kebahasan orang arab. Qur’an mempunyai banyak pola susunan bunyi yang sebanding dengan segala macam cabang dialek bahasa yang telah menjadi naluri bahasa orang-orang arab, sehingga setiap orang arab dapat mengalunkan huruf-huruf dan kata-katanya sesuai dengan irama yang telah menjadi watak dasar mereka dan lahjah kaumnya, dengan tetap keberadaan Qur’an sebagai mukjizat yang ditantangkan Rasulullah kepada mereka. Dan mereka tidak mampu menghadapi tantangan tersebut. Sekalipun demikian, kemukjizatan itu bukan terhadap bahasa melainkan terhadap naluri kebahasaan mereka itu sendiri.
3. Kemukjizatan Qur’an dalam aspek makna dan hukum-hukumnya. Sebab perubahan-perubahan bentuk lafaz pada sebagian huruf dan kata-kata memberikan peluang luas untuk dapat disimpulkan dari padanya bebagai hukum. Hal inilah yang mentebabkan Qyr’an relevan untuk setiap masa. Oleh karena itu, para fuqaha dalam istinbat (penyimpulan hukum) dan ijtihad berhujjah dengan qiraat bagi ketujuh huruf ini.
Posted in Ulumul Qur'an
Tentang Wahyu
Tentang Wahyu
I. Kemungkinan dan Terjadinya Wahyu.
Perkembangan ilmiyah telah maju dengan pesat, da cahayanya pun telah menyapu segala keraguan yang selama ini merayap pada diri manusia mengenai roh yang ada dibalik materi. Ilmu materialistis yang meletakkan sebagian besar dari apa yang ada dibawah percobaan dan experimen percaya terhadap alam gaib yang ada dibalik dunia nyata ini. Dan percaya pula bahwa alam gaib itu lebih rumit dan lebih dalam dari pada alam nyata. Dan bahwa sebagian besar penemuan modern yang membimbing pemikiran manusia menyembunyikan rahasia yang samar yang hakikatnya tidak bisa dipahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati. Hal yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara pengingkaran terhadap agama dengan keimanan. Dan itu sesuai denga firman Allah :
`Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quraan itu adalah benar.`( Fushilat :53 ). dan firman-Nya :
`Dan tidakkah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.` ( al-isra’: 85 ).
Pembahasan psiologik dan rohani kini mempunyai tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan. Dan hal itupun didukung dan diperkuat oleh perbedaan manusia dalam kecerdasan, kecenderungan dan naluri mereka. Diantara inteligensia itu ada yang istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala yang baru. Tetapi ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah sekalipun. Diantara dua posisi ini, terdapat sekian banyak tingkatan, demikian pula halnya dengan jiwa.ada yang jernih dan cemerlang. Dan ada pula yang kotor dan kelam.
Dibalik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Apa bila tubuh itu kehabisan tenaga dan jaringan-jaringan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya., maka demikian pula dengan roh. Ia memerlukan makanan yang dapat menimbulkan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Bagi Allah bukan hal yang jauh dalam memilih dari antara hamba-Nya sejumlah jiwa yang dasarnya begitu jernih dan kodarat yang lebih bersih yang siap menerima sinar Ilahi dan wahyu dari langit serta hubungan dengan mahluk yang lebih tinggi; agar kepadanya diberikan risalah Ilahi ya g dapat memenuhi keperluan manusia. Mereka mempunyai ketinggian rasa, keluhuran budi dan kejujuran dalam menjalankan hukum. Mereka itulah para Rasul dan Nabi Allah. Maka tidaklah aneh jika berhubungan dengan wahyu yang datang dari langit.
Manusia kini menyaksikan adanya hipnitisma yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi itu menimbulkan pengaruh. Ini mendekatkan orang kepada pemahaman tentang gejala wahyu. Orang yang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang kemauannya lemah. Sehingga yang lemah ini tertidur pulas dan ia dikemudikan menurut kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan, maka mengelirlah itu semua kedalam hati dan mulutnya. Apa bila ini yang diperbuat manusia terhadap sesama manusia, bagaimana dengan yang lebih kuat dari manusia itu ?
Sekarang orang dapat mendengar percakapan yang direkam dan dibawa ole gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, daratan dan lautan tanpa melihat sipembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang satu berada diujung timur dan yang lain diujung barat. Dan terkadang pula keduanya bisa saling melihat dalm percakapan itu, sementara orang-orang yang duduk disekitarnya tidak mendengar apa-apa selain dengingan yang seperti suara lebah, persis seperti dengingan diwaktu turun wahtyu.
Siapkah diantara kita yang tidak pernah mengalami percakapan dengan diri sendiri. Dalam keadaan sadar atau tidur yang terlintas dalam pikirannya tanpamelihat orang yang diajak bicara dihadapannya ?
Yang demikian ini serta contoh-contoh lain yang serupa cukup menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu.
Orang yang sezaman dengan wahyu itu menyaksikan wahyu dan menukilkannya secara mutawatir dengan segala persayaratannya yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat manusia pun menyaksikan pengaruhnya didalam kebudayaan bangsanya serta dalam kemampuan pengikutnya. Manusia akan tetap menjadi mulia selama tetap berpegang kepada keyakinan itu. Dan akan hancur dan hina apa bila mengabaikannya. Kemungkinan terjadinya wahyu serta kepastiannya sudah tidak diragukan lagi. Serta perlunya manusia kembali kepada petunjuk wahyu demi menyiram jiwa yang haus akan nilai-nilai luhur dan kesegaran rohani.
Rasul kita Muhammad saw. Bukanlah rasul pertama yang diberi wahyu. Allah juga telah memberikan wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu seperti yang diwahyukankepadanya:
`Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung`( an-nisaa :163-164 ).
Dengan demikian maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw itu bukanlah suatu hal yang menimbulkan rasa heran. Oleh sebab itu Allah mengingkari rasa heran itu bagi orang-orang yang berakal.
`Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: `Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka`. Orang-orang kafir berkata: `Sesungguhnya orang ini benar-benar adalah tukang sihir yang nyata`.( Yunus : 2).
II. Arti Wahyu
Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraa yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar ( infinitif ); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu ; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim maf`ul, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :
1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu nabi Musa :
`Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa `susuilah dia �( al-Qasas :7 ).
2. Ilham yang berupa naluri pada binatang seperti wahyu kepada lebah :
`Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: `Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia`( an-Nahl : 68 ).
3. Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Quran :
`Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang`.( Maryam : 11 ).
4. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dlam diri manusia.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu`.( al-An`am : 121 ).
`Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.`( al-An`am :112 ).
5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan :
`Ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : `Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman`.( al- Anfal : 12 ).
Sedang wahyu Allah kepada para Nabi-Nya secara syara` mereka definisikan sebagai ` kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi`. Definisi ini menggunakan pengertian maf`ul, yaitu al muha ( yang diwahyukan ). Ustadz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu didalam Risalatut tauhid sebagai ` pengetahuan yang didapati seseoranng dari dalam dirinya dengan disertai keinginan pengetahan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal sepeti itu serupa dengan rasa lapar, haus sedih da senang.`
Definisi diatas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau khasyaf. Tetapi penbedaannya dengan ilham diakhir definisi meniadakan hal ini.
III. Cara Wahyu Allah Turun Kepada Malaikat
1. Didalam Al- Quranul Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada para malaikatnya :
`Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: `Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.` Mereka berkata: `Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya .`( al-Baqarah : 30 ).
Juga terdapat nash tentang wahyu Allah kepada mereka :
`Ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : `Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman`.( al-Anfal : 12 ).
Disamping itu ada pula nash tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya.
`Demi malaikat yang mebagi-bagi urusan.`( ad-dzariyat : 4 ).
`Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.` ( an-Naziat : 5 ).
Nash-nash diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadis dari Nawas bin Sam`an r.a yang mengatakan : Rasulullah SAW berkata :
`apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu; maka langitpun tergetarlah dengan getaran- atau Dia mengatakan dengan goncangan-yang dahsyat karena takut kepada Allah Azza wa jalla. Apa bila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu, kepada jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian jibril berjalan melintasi para malikat, setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu; apa yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai jibril ? jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak. Dan Dialah yang maha tinggi lagi Maha Besar. Para malikatpun mengatakan seperti apa yang dikatakan jibril. Lalu jibril menyampaikan wahyu itu seperti apa yang diperintahkan Allah azza wajalla.`
hadis ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, dan para malikatnya mendengar-Nya. Dan pengaruh wahyu itupun sangat dahsyat; apa bila pada lahirnya- didalam perjalanan jibril untuk menyampaikan wahyu-hadis diatas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Quran, akan tetapi hadis tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok permasalahan itu terdapat didalam hadis sahih :
`Apa bila Allah memutuskan suatu perkara dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena pengaruh oleh firman-Nya, bagaikan mata rantai diatas batu yang licin.`
2.Telah nyata pula bahwa Quran telah dituliskan dilauhil mahfudz, berdasarkan firman Allah :
`Bahkan ia adalah Quran yang mulia yang tersimpan dilauhil mahfudz.` (al-Buruj : 21-22 ).
Demikian pula bahwa Quran itu diturunkan sekaligus ke baitul izzah yang berada dilangit dunia pada malam lailatul Qadar di bulan Ramadhan.
`Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada malam lailatul qadar.`(al-Qadar:1)
`Sesungguhnya Kami menurunkannya-Quran- pada suatu malam yang diberkahi.`(ad-Dukhan : 3 ).
`Bulan Ramadhan -bulan yang didalamnya diturunkan Quran.`( al-Baqarah : 185 ).
Didalam sunnah terdapat hal yang menjelaskan nuzul ( turunnya ) Quran yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukan lah nuzul kedalan hati Rasulullah SAW .
Dari Ibnu Abbas dengan hadis mauquf : ` Quran itu diturunkan sekaligus kelangit dunia pada mala lailatul Qadar. Kemudian setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun, lalu Ibnu Abbas membacakan: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.`(al-Furqan : 33). `Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.`( al-Israa: 106 ).
Dan dalam satu riwayat :
`Telah dipisahkan Quran dari az-Zikr lalu diletakkan dibaitul Izzah dilangit dunia; kemudian jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.`
Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Quran kepada jibril dengan beberapa pendapat :
• Bahwa Jibril menerimanya secara mendengar dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
• Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfudz.
• Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad saw.
Pendapat yang pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh ahlussunnah wal jama`ah. Serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam`an diatas.
Menisbahkan Quran kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat :
`Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quraan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui`.(an-Naml : 6 ).
`Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.`( at-Taubah : 6).
`Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: `Datangkanlah Al Qur`an yang lain dari ini atau gantilah dia `. Katakanlah: `Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.`(Yunus : 15 ).
Quran adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua diatas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Quran dilauhul mahfudz itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Quran.
Dan pendapat yang ketiga lebih sesuai denga hadis, sebab hadis itu wahyu Allah jepada Jibril, kemudian kepada Muhammad saw. Secara maknawi saja. Lalu ungkapan itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri.
`Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.`(an-Najm : 3-4 ).
Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadis menurut maknanya sedang Quran tidak. Demikianlah telah kami perbincangkan perbedaan Quran dengan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi.
Keistimewaan Quran: 1) Qur`an adalah mukjizat; 2) Kepastiannya mutlak; 3) membacanya dianggap ibadah; 4) wajib disampaikan dengan lafalnya. Sedang hadis kudsi, sekalipun ada yang berpendapat lafalnya juga diturunkan, tidaklah demikian halnya.
Hadis nabawi ada dua macam: pertama : yang merupakan ijtihad Rasulullah SAW. Ini bukanlah wahyu. Pengakuan wahyu terhadapnya dengan cara membiarkan, hanyalah bila ijtihad itu benar. Kedua : yang maknanya diwahyukan, sedang lafalnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadis kudis itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafalnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbatkan hadis kudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash syara` tentang itu, sedang hadis-hadis nabawi lainnya tidak.
IV. Cara Wahyu Allah Turun Kepada Para Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak.
Yang pertama : melalui Jibril malaikat pembawa wahyu, dan hal ini akan kami jelaskan nanti.
Yang kedua : tanpa melalui perantaraan. Diantaranya ialah; mimpi yang benar didalam tidur.
1. Mimpi yang benar didalam tidur.
`Dari Aisyah r.a dia berkata : sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur, beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya di waktu pagi hari.`
Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah SAW untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Didalam Quran wahyu diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah Kausar diturunkan melalui mimpi. Karena adanya satu hadis mengenai hal itu. Didalam sahih Muslim, dari Anas r.a ia berkata :
`Ketika Rasulullah SAW disuatu hari berada diantara kami didalam masjid, tiba-tiba ia mendekur, lalu mengengkat kepala beliau dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya : Apa yang menyebabkan Engkau tertawa wahai Rasulullah ? Ia menjawab : Tadi telah turun kepadaku sebuah surah; lalu ia membacakan : Bismillahirrahmanirrahim, inna a`taina kal kautsar fashalli lirabbika wanhar, inna syaa niaka huwal abtar.`
Mungkin keadaan mendengkur ini adalah keadaan yang dialaminya ketika wahyu turun.
Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.
`Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar . Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: `Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!` Ia menjawab: `Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar`. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis, . Dan Kami panggillah dia: `Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar . Kami abadikan untuk Ibrahim itu di kalangan orang-orang yang datang kemudian, `Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim`. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.`( as-Saffat : 101-112 ).
Mimpi yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja, mimpi yag demikian itu tetap ada pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu.hal itu seperti dikatakan oleh Rasulullah SAW :
`Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.`
Mimpi yang benar bagi para nabi diwaktu tidur itu merupakan bagian pertama dari sekian macam cara Allah berbicara seperti yang disebutkan didalam firman- Nya:
`Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.`(as-Syuraa : 51 ).
2. Yang lain ialah kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.
Yang demikian itu terjadi pada Nabi Musa a.s.
`Dan tatkala Musa datang untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: `Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau`.( al-Araaf : 143 ).
`Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.` ( al-Ma`idah : 164 )
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad saw. Pada malam isra` dan mi`raj. Yang demikian ini yang termasuk bagian kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat diatas ( atau dari balik tabir ). Dan didalam Quran macam wahyu ini tidak ada.
3. Cara Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat Kepada Rasul
Wahyu Allah kepada Nabinya itu ada kalanya tanpa perantaraan, seperti yang telah kami sebutkan diatas, misalnya mimpi yang benar diwaktu tidur, dan kalam ilahi dibalik tabir, dalan keadaan jaga yang disadari. Dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Wahyu dengan perantaraan malaiakat wahyu inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Quran diturunkan dengan wahyu macam ini.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul
Cara pertama : datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat bauat Rasul. Apa bila wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka ia mengumpulkan semua kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan mungkin suara itu sekali suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan didalam hadis :
`Apa Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai diatas batu-batu licin.` . Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu rasul baru mendengarnya untuk yang pertama kali.
Cara kedua : Malaikat menjelma kepada rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul meraa senang sekali mendengar dari utusan pembawa wahyu itu. Karena merasa seperti manusia yang berhadapan saudaranya sendiri.
Keadan jibril menempakkan diri sebagai seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia untuk melepaskan sifat kerohaniannya, dan tidak berarti pula bahwa dzatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk meyenangkan Rasulullah SAW sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama- tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng- tidak menyenangkan karena keadaan demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibn Khaldun : ` Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya, sedang dalam keadaan lain, sebaliknya, malaikat berubaha dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.`
Keduanya itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mu`minin r.a bahwa haris bin Hisyam r.a bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu dan jawab Nabi :
` Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akupun memahami apa yang ia katakan`.
Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah SAW berupa kepayahan , dia berkata :
`Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin, lalu malaikat itu pergi. Sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah`.
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan Ilahi yang didisyaratkan didalam ayat : `Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana`.(as-Syuraa : 51).
Mengenai hembusan didalam hati, telah disebutkan didalam hadis Rasulullah SAW :
`Roh kudus telah menghembuskan kedalanm hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.`
hadis ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri, hal ini mungkin dapat dikembalikkan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut didalan hadis Aisyah. Mungkin malaikat datang pada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa wahyu yang melalui hembusan itu adsalah wahyu selain Qur`an.
V. Keraguan Orang-orang yang Ingkar terhadap Wahyu.
Orang-orang jahiliyah baik yang lam atau yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak dapat diterima.
1. Pertama
Meraka mengira bahwa Qur`an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia pula yang menyusun ` bentuk gaya bahasanya` ; Qur`an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan yang batil. Apa bila Rasulullah SAW mengendaki kekuasaan atas dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu ia menisbahkan semua itu kepada pihak lain, dapat saja menisbahkan Qur`an kepada dirinya sendiri. Karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaannya. Karena dia juga salah seorang dari meraka yang dapat mendatangkan apa yang mereka tidak sanggupi.
Tidak pula dapat dikatakan bahwa dengan menisbahkan Qur`an pada wahyu Ilahi, ia menginginkan untuk menjadikan kata-katanya terhormat sehingga dengan itu ia dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-perintahnya. Sebab dia juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbahkan kepadanya pribadi, yaitu yang dinamakan hadis nabawi, yang juga wajkib ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikannya sebagai kalam Allah ta`ala.
Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah SAW termsuk pemimpin yang menempuh cara-cara bersdusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu ditolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah SAW , kejujuran dan perilakunya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
Orang-orang munafik menuduh isterinya, Aisyah dengan tuduha berita bohong, pada hal Aisyah isteri yang sangat dicintainya. Tuduhan yang demikian itu menyinggung kehormatan dan kemuliaannya. Sedang wahyupun datang terlambat, Rasulullah SAW dan para sahabat merasa sedih sekali. Beliau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan memusyawarahkannya. Dan satu bulan pun telah berlalu, akan tetapi akhirnya ia hanya dapat mengatakan kepadanya :
` Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apa bila engkau benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu, dan apa bila engkau telah berbuat dosa, mohon ampunlah engkau kepada Allah.`
Keadaan berlangsung secara demikian hinggga turunlah wahyu yang menyatakan kebersihan isterinya itu. Maka apakah yang menghalanginya untuk mengatakan kata-kata yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Qura`n kata-katanya sendiri. Tetapi dia tidak mau berdusta kepada manusia dan juga kepada Allah.
`Seandainya dia mengadakan sebagian perkataan atas Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya . Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi , dari pemotongan urat nadi itu.`( al-Haqqah : 44-47 ).
Ada segolongan orang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan alasan. Diantara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan mereka. Maka turunlah wahyu Allah yang mencela dan mempersalahkan tindakannya itu :
`Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka , sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?` ( at-Taubah :43).
Seandainya teguran ini datang dari perasaannya sendiri dengan menyatakan penyesalannya ketika ternyata pendapatnya itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu tidak aka di ungkapkannya.
Begitu pula teguran kepadanya karena ia menerima tebusan tawanan perang Badar. `Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.` (al-Anfal : 67-68 ).
Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum r.a yang buta. Karena menekuni salah seorang pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam.
`Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanyaTahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya , atau dia mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa`at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup , maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada atasmu kalau dia tidak membersihkan diri . Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera , sedang ia takut kepada , maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan ! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,`( `Abasa : 1-11 ).
Yang dikenal dlam peri kehidupan Rasulullah SAW bahwa dia sejak kecil merupakan teladan yang khas dlam hal budi pekerti yang baik, perilaku yang mulia ucapan yang benar dan kejujuran dalam kata dan perbuatan. Masyarakatnya sendiri pun telah menyaksikannya ketika mengajak mereka pada permulaan dakwah, ia berkata pada mereka : ` Bagaimana pendapatmu sikaranya aku beritahukan kepadamu bahwa pasukan berkuda dibalik lembah ini akan menyerangmu, percayakah kamu kepadaku ? mereka menjawab: `ya` kami tidak pernah melihat Engkau berdusta.`
Peri hidupnya yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk masuk Islam. Dari Abdullah bin Sallam r.a dia berkata : ` Ketika Rasulullah SAW datang kemadinah, orang-orang mengerumininya. Mereka mengatakan : `Rasulullah sudah datang,Rasulullah sudah datang.` Lalu aku datang dalam kerumunan orang banyak itu untuk melihatnya. Ketika aku melihat Rasulullah SAW tahulah aku bahwa wajahnya itu bukanlah wajah pendusta.`
Orang yang memiliki sifat-sifat agung yang dihiasi oleh tanda-tanda kejujuran tidak pantas diragukan ucapannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah yang membuat Qur`an
`Katakanlah: `Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.`( Yunus : 15 ).
2. Kedua
Orang-orang jahiliyah dahulu dan sekarag, menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui ilham ( inspirasi ), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf. Sehingga Qur`an itu tidak lain dari pada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retirikanya.
Apakah yang sebenarnya didasarkan pada kecerdasan, penalaran dan perasaan didalam Quran itu ?
Segi berita yang merupakan bagian terbesar dalam Quran tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya berdaarkan kepada penerimaan dan pengajaran. Qur`an telah menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu, golongan-golongan dan perisiwa sejarah dengan kejadian-kejadiannya yang benar dan cermat, seperti halnya yang disaksikan oleh saksi mata. Sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu sudah amat jauh. Bahkan sampai pada kejadian pertama alam semesta ini. Hal demikian tentu tidak dapat memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan firasat. Sedang Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwperistiwa diatas dengan segala macam kurun waktunya sehingga belaiu dapat menyaksikan kejadian-kejadian itu, dan menyampaikan beritanya. Demikian pula beliautidak mewarisi kitab-kitabnya untuk dipelajari secara perinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
`Dan tidaklah kamu berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul.`( al-Qashas:44-45 ).
`Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu ; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak kaummu sebelum ini.`( Hud :49 ).
`Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur`an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.`( Yusuf : 3).
Dan diantaranya ialah berita-berita yang cermat mengenai angka-angaka hitungan yang tidak diketahui kecuali oleh orang terpelajar yang sudah sangat luas pengetahuannya, didalam kisah Nabi Nuh : `Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.`(al-Ankabut : 29 ).
Hal ini sesuai denga apa yang terdapat dalam kitab Kejadian dalam Taurat. Dan dalam kisah Ashabul Kahfi ( penghuni Gua ) :
`Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi.` ( al-Kahfi : 25 ).
Hitungan itu menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari, sedang sembilan tahun yang disebutkan diatas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari dengan tahun bulan. Dari manakah Muhammada memperoleh angka-angka yang benar ini, seandainya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya, sebab ia adalah seorang buta huruf yang hidup dikalangan bangsa yang buta huruf pula. Tidak tahu tulis manulis dan berhitung ? orang-orang jahiliyah lebih pintar menentang Muhammad dari pada orang-orang jahiliyah modern. Sebab orang jahiliyah lama itu tidak mengatakan bahwa Muhammad mendapatkan berita ini dari kesadaran dirinya seperti dikataka orang-orang jahiliyah modern. Tetapi mereka mengatakan bahwa Muhammad mempelajri berita itu dan kemudian dituliskan :
`Dan mereka berkata: `Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.`(al-Furqaan : 5 ).
Muhammad tidak menerima pelajaran dari seorang guru pun-akan kami jelaskan nanti-jadi dari manakah berita-berita ini datang kepadanya secara seketika diwaktu usianya telah empat puluh tahun. `Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.` (an-Najm : 4 ).
Itulah mengenai segi berita dalam Quran, adapun ilmu-ilmu lain yang ada didalamnya, bagian akaid saja mengandung perkara-perkara yang begitu terperinci tentang permulaan mahluk dan kesudahannya. Kehidupan akhirat dan apa yang ada didalamnnya seperti surga dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala azabnya dan lain sebagainya. Seperti malaikat dengan segala sifat dan pekerjaannya. Pengetahuan ini tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.
`Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.` (al-Mudatsir : 31 ).
`Tidaklah mungkin Al Qur`an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya , tidak ada keraguan di dalamnya, dari Tuhan semesta alam.` ( Yunus : 37 ).
Begitu juga ketentuan-ketentuan yang memberi keputusan tentang berita-berita yang akan datang yang berlaku pada sunnatullah yang bersifat sosial mengenai kelemahan dan kekuatan, naik dan turun, mulia dan hina, bangun dan runtuh yang terdapat didalam Qur`an :
`Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.`(an-Nur : 55 ).
`Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.` (al-Hajj: 40-41 ).
`Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri,` (al-Anfal : 53 ).
Dapat ditambahkan pula bahwa AlQur`anul Karim telah menceritakan tentang Rasulullah bahwa dia hanyalah mengikuti wahyu :
`Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur`an kepada mereka, mereka berkata: `Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?` Katakanlah: `Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku`(al-A`raf : 203 ).
Dan bahwa ia adalah manusia yang tidak mengetahui perkara yang gaib dab tidak pulaberkuasa atas dirinya sedikitpun.
`Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: `Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa`.( al-Kahfi : 110 ).
`Katakanlah: `Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira `.(al-A`raf : 188 ).
Rasulullah SAW tidak sanggup memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang berselisih yang datang mengahdapnya untuk meminta keputusan, meskipun dia mendengarkan kata-kata mereka berdua. Maka tentu saja dia tidak sanggup untuk mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
` Rasulullah SAW telah mendengar suatu perselisihan yang terjadi didekat pintu kamar beliau. Ia mendatangi mereka dan berkata : ` Aku hanyalah seorang manusia; sedang kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu puhak dari kamu akan lebih baik dalam menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah yang benar, lalu aku memutuskan hal itu dengan memenangkannya. Yang kuputuskan dengan memberikan kemenangan kepadanya dari hak seorang muslim itu adalah sepotong api neraka. Dia boleh mengambilnya dan boleh pula meninggalkannya.`
Dr Muhammada Abdullah Daraz mengatakan : `Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang atheis masa kini dengan nama wahyu nafsi. Mereka mengira bahwa dengan nama ini mereka telah memberikan kepada kita pendapat ilmiyah yang baru. Tetapi hal itu sebenarnya tidak lah baru; ini adalh pendapat jahiliyah yang kuno; tidak berbeda sedikitpun baik dalam garis besarnya maupun dalam perinciannya. Mereka melukiskan Nabi saw. Sebagai seorang lelaki yang mempunyai imajinasi yang luas dan perasaa yang dalam, maka dari beliau adalah seorang penyair.
Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga ia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Apa yag dilihat dan didengarnya itu tidak lain dari pada gambaran khayal dan perasaannya sendiri saja. Yang demikian itu suatu kegilaan dan ilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan alsan-alasan ini, mereka terpaksa harus meninggalkan istilah ` gerak hati` ( al-wahyun-nafsi ), ketika mereka melihat bahwa didalam Quran terdapat segi berita, baik berita masa lalu maupun berita akan datang. Mereka mengatakan : mungkin berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika ia berdagang. Dengan demikian berati ia diajar oleh seorang manusia. Jadi manakah yang baru menurut pendapat ini semua ? bukankah hal itu hanyalah omongan biasayang menyerupai omongan kaum jahiliyah Quraisy ? demikianlah atheisme dalam pakaiannya yang baru itu mempunyai bentuk yang kotor, bahkan amat. Dan itulah yang menjadi sumber segala gagasan yang sudah `maju` dimasa kini. Padahal ia hanyalah sisa-sisa hidangan yang diwariskan oleh hati yang sudah membatu dimasa jahiliyah pertama.
`�Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa.` ( al-Baqarah : 118 ).
Namun demikian kalau ada orang heran, yang mengherankan lagi adalah kata-kata mereka yang menyebutkan bahwa dia ( Muhammad ) adalah orang yang jujur dan terpercaya. Dan bahwa dia beralasan menisbahkan apa yang dilihatnya sebagai wahyu ilahi. Sebab mimpi-mimpinya yang kuat itu menunjukkan sebagai wahyu ilahi. Dia tidak mau menjadi saksi kecuali apa yanh dilihatnya. Demikianlah Allah menceritakan kepada kita tentang pendahulu-pendahulu mereka. `karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah`.(al-An`am ; 33 ).
Apa bila ini alasan Rasulullah SAW dalam menyatakan apa yang dilihat dan didengar, maka alasannya dalam pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu. Sedang menurut sangkaan mereka dia telah mendengarnya sebelumnya ? dengan demikian, mereka hendak mengatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduham mereka itu sempurna. Tetapi mereka tidak mau menyatakan kata-kata itu, sebab meraka mendakwakan diri mereka sendiri sebagai orang yang subyektif dan bijaksana. Ingatlah sebenarnya mereka telah mengatakannya tetapi mereka sendiri tidak merasa.
3. Ketiga
Orang-orang jahiliyah dahulu dan modern menyangka bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Quran dari seorang guru. Yang demikian itu adalah benar, akan tetapi guru yang menyampaikan Quran itu adalah malaikat wahyu, dan bukan guru dari golongannya dan golongan lain.
Muhammada saw. Tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun diantara merak yang membawa simbol ilmu dan pengajaran, ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan. Bahwa dia mempunyai guru yang bukan dari masyarakatnya sendiri. Dalam sejarah tidaj ada kalangan peneliti yang dapat memberikan kata sepakat yang patut dijadikan saksi bahwa, Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarkan agama kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya. Memang benar bahwa dimasa kecil ia pernah bertemu dengan Bahira yang rahib itu, dipasar Busyra disyam. Dan di mekkah bertemu dengan Waraqah bin Naufal setelah wahyu pertama turun kepadanya. Dan setelah hijrahbia bertemu ulama-ulama yahudi dan nasrani. Tetapiyang pasti ia tidak pernah mengadakan pembicaraan dengan mereka, sebelum ia menjadi Nabi. Sedang setelah ia menjadi nabi, merekalah yan bertanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga mereka yang mengambil manfaat dan belajar kepadanya. Dan sekiranya Rasulullah SAW yang belajar sedikitpun dari salah seorang diantara mereka, sejarah tidak akan diam, sebab dia tidak ada perangainya yang buruk yang diremehkan orang, terutama oleh mereka yang yang memang menentang Islam. Dan apa yang disebutkan dalam sejarah mengenai rahib dari Syam atau Waraqah bin Naufal merupakan sambutan gembira tentang kenabiannya atau sebagai pengakuan
Orang dapat menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Muhammad saw diajar oleh seorang manusia: siapa nama gurunya itu ? ketika itu juga kita akan melihat jawaban yang kacau balau yang mereka-reka, bahwa gurunya itu seorang ` pandai besi Romawi` bagaiman dapat diterima akal bila ilmu-ilmu Al-Quran Al-Karim itu datangnya dari yang tidak dikenal oleh mekkah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab ? bahkan hanya seorang pandai besi yang sehari-harinya hanya menepuni palu dan landasan besi, orang awam denga lidah asing, yang dalam bacaanya dalam bahasa arab pun hanya mericau saja.
`Sesungguhnya Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya ( Muhammad ). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad belajar kepadanya bahsa asing, sedang Quran dalam bahasa arab yang jelas. ( an-Nahl : 103 )
Orang-orang arab sebenarnya ingin sekali menolak Quran karena dendam mereka kepada Muhammad tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka jadi sia-sia. Lalu kenapa orang-orang atheis kini mencar-cari jalan dalam bekas-bekas sejarah, sekalipun kegagaln itu telah berlalu 13 abad lebih ? dengan ini, jelasl;ah bahwa Quran tidak mengandung unsur manusia baik oleh pembawanya atau oleh orang lain. Ia diturunkan oleh Tuhan yang maha bijaksana dan maha terpuji.
Pertumbuhan Rasulullah SAW dilingkungan yang buta huruf dan jahiliyah, dan perilakunya ditengah-tengah kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersiapkannya untuk membawa risalahnya. Allah mewahyukankepadanya Quran ini untuk menjadi petunjuk bagi umatnya.
`Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.` ( as-Syuraa : 52-53)
Al Ustadz Muhammad Abduh dalam risalatut Tauhid berkata : ` diantara tradisi yang dikenal adalah bahwa seorang yatim yang fakir dan buta huruf seperti dia , jiwanya akan diwarnai oleh apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai masa tuanya, serta akalnya pun akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul dengannya, terutama apa bila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu dia tidak memiliki kitab yang dapat memberinya petunjuk, tidak pula guru dan penolong yang akan memberi pelajaran dan melindunginya. Seandainya tradisi berjalan seperti biasa, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikutu aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah ia berpikir dan mempertimbangkan, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang menunjukkan kepadanya atas kesesatan mereka. Hal serupa itu juga telah ditentukan oleh bebrapa orang yang semasa dengan dia.
Tetapi keadaannya tidak demikian . sejak kecil ia sudah amat membenci penyembahan berhala. Dia dibimbing oleh akidah yang berssih dan ahlak yang baik. Firman Allah menyatakan :
`Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung , lalu Dia memberikan petunjuk.`( ad Dhuha : 7 ).
Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum mendapat petunjuk tauhid, atau berada dalam jalan yang tidak lurus sebelum berahlak yang agung. Sekali-kali tidak ! semua itu tentu hanya kebohongan yang nyata. Tetapi yang dia maksudkan ialah kebingungan yang mencekam hati orang-orang yang ikhlas, yang mengharapkan keselamatan bagi umat manusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan petunjuk dari kesesatan. Dan Allah telah memberi petunjuk kepada nabi-nya atas apa yang dicarinya, dengan dipilihnya dia untuk menyampaikan risalahnya serta menentukan syariat-Nya.
VI. Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian : kalam nafsi yang kekal yang ada pada dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa. Dan kalam lafdzi ( verbal ) yaitu yang diturunkan oleh para nabi a.s., yang diantaranya adalah empat buah kitab. Para ahli ilmu kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan; apakah Quran dalam pengertian kalam lafdzi mahluk atau bukan ? mereka memperkuat pendapat bahwa Quran dalam pengertian kalam lafdzi diatas adalah mahluk. Dengan demikian meraka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nasnya dalam kitab dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah denga anlisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang madzab ahlussunah waljamaah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau oleh Rasulullah SAW dalam hadis sahih yang datang dari nabi. Bagi kita sdah cukup beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah, Allah berfriman :
` Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung` (an-Nisa`: 164 ).
Demikian pula Al-Quran Al-Karim -wahyu yang diturunkan kepada Muhammad- adalah kalamulllah, bukan mahluk sebagaimana tersirat dalam ayat : `Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,`(at-Taubah : 6 ).
Penetapan mengenai apa yang dinisbahkan oleh Allah sendiri atau oleh Rasulullah SAW, sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah, tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan membuat-Nya serupa dengan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kesamaan dalam nama itu tidak menharuskan kesamaan apa yang dikandung oleh nama itu. Amat berbeda antara Khalik dan mahluk dalam hal dza, sifat dan perbuatannya. Zat Khalik adalah maha sempurna, sifatnya paling tinggi dan perbuata-Nya pun paling sempurna dan tinggi. Apa bila kalam itu merupakan sifat kesempurnaan mahluk, bagaimana sifat ini ditiadakan dari Khalik ? kita menerima apa yang diterima oleh sahabat Rasulullah SAW para ulama tabi`in, para ahli hadis dan fiqih yang hidup dimasa-masa yang dinyatakan baik, sebelum lahir segala macam bidat ( bid`ah ) para ahli ilmu kalam. Kita beriman kepada apa yang datang dari Allah atau sahih dari Rasulullah SAW mengenai sifat-sifat dan perbuatan Allah baik yang ditetapkan atau tidak, tanpa dikurangi, diserupakan dimisalkan ataupun ditakwilkan. Kita tidak berhak menetapkan pendapat kita sendiri mengenai hakikat dzat Allah ataupun sifat-sifat-Nya :
`Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.` ( as-Syura : 11 ).
I. Kemungkinan dan Terjadinya Wahyu.
Perkembangan ilmiyah telah maju dengan pesat, da cahayanya pun telah menyapu segala keraguan yang selama ini merayap pada diri manusia mengenai roh yang ada dibalik materi. Ilmu materialistis yang meletakkan sebagian besar dari apa yang ada dibawah percobaan dan experimen percaya terhadap alam gaib yang ada dibalik dunia nyata ini. Dan percaya pula bahwa alam gaib itu lebih rumit dan lebih dalam dari pada alam nyata. Dan bahwa sebagian besar penemuan modern yang membimbing pemikiran manusia menyembunyikan rahasia yang samar yang hakikatnya tidak bisa dipahami oleh ilmu itu sendiri, meskipun pengaruh dan gejalanya dapat diamati. Hal yang demikian ini telah mendekatkan jarak antara pengingkaran terhadap agama dengan keimanan. Dan itu sesuai denga firman Allah :
`Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quraan itu adalah benar.`( Fushilat :53 ). dan firman-Nya :
`Dan tidakkah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.` ( al-isra’: 85 ).
Pembahasan psiologik dan rohani kini mempunyai tempat yang penting dalam ilmu pengetahuan. Dan hal itupun didukung dan diperkuat oleh perbedaan manusia dalam kecerdasan, kecenderungan dan naluri mereka. Diantara inteligensia itu ada yang istimewa dan cemerlang sehingga dapat menemukan segala yang baru. Tetapi ada pula yang dungu dan sukar memahami urusan yang mudah sekalipun. Diantara dua posisi ini, terdapat sekian banyak tingkatan, demikian pula halnya dengan jiwa.ada yang jernih dan cemerlang. Dan ada pula yang kotor dan kelam.
Dibalik tubuh manusia ada roh yang merupakan rahasia hidupnya. Apa bila tubuh itu kehabisan tenaga dan jaringan-jaringan mengalami kerusakan jika tidak mendapatkan makanan menurut kadarnya., maka demikian pula dengan roh. Ia memerlukan makanan yang dapat menimbulkan tenaga rohani agar ia dapat memelihara sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Bagi Allah bukan hal yang jauh dalam memilih dari antara hamba-Nya sejumlah jiwa yang dasarnya begitu jernih dan kodarat yang lebih bersih yang siap menerima sinar Ilahi dan wahyu dari langit serta hubungan dengan mahluk yang lebih tinggi; agar kepadanya diberikan risalah Ilahi ya g dapat memenuhi keperluan manusia. Mereka mempunyai ketinggian rasa, keluhuran budi dan kejujuran dalam menjalankan hukum. Mereka itulah para Rasul dan Nabi Allah. Maka tidaklah aneh jika berhubungan dengan wahyu yang datang dari langit.
Manusia kini menyaksikan adanya hipnitisma yang menjelaskan bahwa hubungan jiwa manusia dengan kekuatan yang lebih tinggi itu menimbulkan pengaruh. Ini mendekatkan orang kepada pemahaman tentang gejala wahyu. Orang yang berkemauan lebih kuat dapat memaksakan kemauannya kepada orang yang kemauannya lemah. Sehingga yang lemah ini tertidur pulas dan ia dikemudikan menurut kehendaknya sesuai dengan isyarat yang diberikan, maka mengelirlah itu semua kedalam hati dan mulutnya. Apa bila ini yang diperbuat manusia terhadap sesama manusia, bagaimana dengan yang lebih kuat dari manusia itu ?
Sekarang orang dapat mendengar percakapan yang direkam dan dibawa ole gelombang eter, menyeberangi lembah dan dataran tinggi, daratan dan lautan tanpa melihat sipembicara, bahkan sesudah mereka wafat sekalipun. Kini dua orang dapat berbicara melalui telepon, sekalipun yang satu berada diujung timur dan yang lain diujung barat. Dan terkadang pula keduanya bisa saling melihat dalm percakapan itu, sementara orang-orang yang duduk disekitarnya tidak mendengar apa-apa selain dengingan yang seperti suara lebah, persis seperti dengingan diwaktu turun wahtyu.
Siapkah diantara kita yang tidak pernah mengalami percakapan dengan diri sendiri. Dalam keadaan sadar atau tidur yang terlintas dalam pikirannya tanpamelihat orang yang diajak bicara dihadapannya ?
Yang demikian ini serta contoh-contoh lain yang serupa cukup menjelaskan kepada kita tentang hakikat wahyu.
Orang yang sezaman dengan wahyu itu menyaksikan wahyu dan menukilkannya secara mutawatir dengan segala persayaratannya yang meyakinkan kepada generasi-generasi sesudahnya. Umat manusia pun menyaksikan pengaruhnya didalam kebudayaan bangsanya serta dalam kemampuan pengikutnya. Manusia akan tetap menjadi mulia selama tetap berpegang kepada keyakinan itu. Dan akan hancur dan hina apa bila mengabaikannya. Kemungkinan terjadinya wahyu serta kepastiannya sudah tidak diragukan lagi. Serta perlunya manusia kembali kepada petunjuk wahyu demi menyiram jiwa yang haus akan nilai-nilai luhur dan kesegaran rohani.
Rasul kita Muhammad saw. Bukanlah rasul pertama yang diberi wahyu. Allah juga telah memberikan wahyu kepada rasul-rasul sebelum itu seperti yang diwahyukankepadanya:
`Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, ‘Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung`( an-nisaa :163-164 ).
Dengan demikian maka wahyu yang diturunkan kepada Muhammad saw itu bukanlah suatu hal yang menimbulkan rasa heran. Oleh sebab itu Allah mengingkari rasa heran itu bagi orang-orang yang berakal.
`Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: `Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka`. Orang-orang kafir berkata: `Sesungguhnya orang ini benar-benar adalah tukang sihir yang nyata`.( Yunus : 2).
II. Arti Wahyu
Dikatakan wahaitu ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui pembicaraa yang berupa rumus dan lambang, dan terkadang melalui suara semata, dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau wahyu adalah kata masdar ( infinitif ); dan materi kata itu menunjukkan dua pengertian dasar, yaitu ; tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu maka dikatakan bahwa wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat dan khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha yaitu pengertian isim maf`ul, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam arti bahasa meliputi :
1. Ilham sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu nabi Musa :
`Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa `susuilah dia �( al-Qasas :7 ).
2. Ilham yang berupa naluri pada binatang seperti wahyu kepada lebah :
`Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: `Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia`( an-Nahl : 68 ).
3. Isyarat yang cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Quran :
`Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang`.( Maryam : 11 ).
4. Bisikan dan tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dlam diri manusia.
Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu`.( al-An`am : 121 ).
`Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.`( al-An`am :112 ).
5. Apa yang disampaikan Allah kepada para malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan :
`Ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : `Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman`.( al- Anfal : 12 ).
Sedang wahyu Allah kepada para Nabi-Nya secara syara` mereka definisikan sebagai ` kalam Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi`. Definisi ini menggunakan pengertian maf`ul, yaitu al muha ( yang diwahyukan ). Ustadz Muhammad Abduh mendefinisikan wahyu didalam Risalatut tauhid sebagai ` pengetahuan yang didapati seseoranng dari dalam dirinya dengan disertai keinginan pengetahan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal sepeti itu serupa dengan rasa lapar, haus sedih da senang.`
Definisi diatas adalah definisi wahyu dengan pengertian masdar. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau khasyaf. Tetapi penbedaannya dengan ilham diakhir definisi meniadakan hal ini.
III. Cara Wahyu Allah Turun Kepada Malaikat
1. Didalam Al- Quranul Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada para malaikatnya :
`Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: `Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.` Mereka berkata: `Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya .`( al-Baqarah : 30 ).
Juga terdapat nash tentang wahyu Allah kepada mereka :
`Ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : `Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan orang-orang yang telah beriman`.( al-Anfal : 12 ).
Disamping itu ada pula nash tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya.
`Demi malaikat yang mebagi-bagi urusan.`( ad-dzariyat : 4 ).
`Dan demi malaikat-malaikat yang mengatur urusan dunia.` ( an-Naziat : 5 ).
Nash-nash diatas dengan tegas menunjukkan bahwa Allah berbicara kepada para malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh para malaikat itu. Hal itu diperkuat oleh hadis dari Nawas bin Sam`an r.a yang mengatakan : Rasulullah SAW berkata :
`apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara melalui wahyu; maka langitpun tergetarlah dengan getaran- atau Dia mengatakan dengan goncangan-yang dahsyat karena takut kepada Allah Azza wa jalla. Apa bila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka diantara mereka itu adalah jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu, kepada jibril menurut apa yang dikehendaki-Nya. Kemudian jibril berjalan melintasi para malikat, setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu; apa yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai jibril ? jibril menjawab : Dia mengatakan yang hak. Dan Dialah yang maha tinggi lagi Maha Besar. Para malikatpun mengatakan seperti apa yang dikatakan jibril. Lalu jibril menyampaikan wahyu itu seperti apa yang diperintahkan Allah azza wajalla.`
hadis ini menjelaskan bagaimana wahyu turun. Pertama Allah berbicara, dan para malikatnya mendengar-Nya. Dan pengaruh wahyu itupun sangat dahsyat; apa bila pada lahirnya- didalam perjalanan jibril untuk menyampaikan wahyu-hadis diatas menunjukkan turunnya wahyu khusus mengenai Quran, akan tetapi hadis tersebut juga menjelaskan cara turunnya wahyu secara umum. Pokok permasalahan itu terdapat didalam hadis sahih :
`Apa bila Allah memutuskan suatu perkara dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena pengaruh oleh firman-Nya, bagaikan mata rantai diatas batu yang licin.`
2.Telah nyata pula bahwa Quran telah dituliskan dilauhil mahfudz, berdasarkan firman Allah :
`Bahkan ia adalah Quran yang mulia yang tersimpan dilauhil mahfudz.` (al-Buruj : 21-22 ).
Demikian pula bahwa Quran itu diturunkan sekaligus ke baitul izzah yang berada dilangit dunia pada malam lailatul Qadar di bulan Ramadhan.
`Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Quran pada malam lailatul qadar.`(al-Qadar:1)
`Sesungguhnya Kami menurunkannya-Quran- pada suatu malam yang diberkahi.`(ad-Dukhan : 3 ).
`Bulan Ramadhan -bulan yang didalamnya diturunkan Quran.`( al-Baqarah : 185 ).
Didalam sunnah terdapat hal yang menjelaskan nuzul ( turunnya ) Quran yang menunjukkan bahwa nuzul itu bukan lah nuzul kedalan hati Rasulullah SAW .
Dari Ibnu Abbas dengan hadis mauquf : ` Quran itu diturunkan sekaligus kelangit dunia pada mala lailatul Qadar. Kemudian setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun, lalu Ibnu Abbas membacakan: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu dengan membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penyelesaiannya.`(al-Furqan : 33). `Dan Al Qur`an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.`( al-Israa: 106 ).
Dan dalam satu riwayat :
`Telah dipisahkan Quran dari az-Zikr lalu diletakkan dibaitul Izzah dilangit dunia; kemudian jibril menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw.`
Oleh sebab itu para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa Quran kepada jibril dengan beberapa pendapat :
• Bahwa Jibril menerimanya secara mendengar dari Allah dengan lafalnya yang khusus.
• Bahwa Jibril menghafalnya dari lauhul mahfudz.
• Bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafalnya adalah lafal Jibril, atau lafal Muhammad saw.
Pendapat yang pertama itulah yang benar, dan pendapat itu yang dijadikan pegangan oleh ahlussunnah wal jama`ah. Serta diperkuat oleh hadis Nawas bin Sam`an diatas.
Menisbahkan Quran kepada Allah itu terdapat dalam beberapa ayat :
`Dan sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al Quraan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui`.(an-Naml : 6 ).
`Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.`( at-Taubah : 6).
`Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: `Datangkanlah Al Qur`an yang lain dari ini atau gantilah dia `. Katakanlah: `Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.`(Yunus : 15 ).
Quran adalah kalam Allah dengan lafalnya, bukan kalam Jibril atau kalam Muhammad. Sedang pendapat kedua diatas itu tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adanya Quran dilauhul mahfudz itu seperti hal-hal gaib yang lain, termasuk Quran.
Dan pendapat yang ketiga lebih sesuai denga hadis, sebab hadis itu wahyu Allah jepada Jibril, kemudian kepada Muhammad saw. Secara maknawi saja. Lalu ungkapan itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri.
`Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.`(an-Najm : 3-4 ).
Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadis menurut maknanya sedang Quran tidak. Demikianlah telah kami perbincangkan perbedaan Quran dengan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi.
Keistimewaan Quran: 1) Qur`an adalah mukjizat; 2) Kepastiannya mutlak; 3) membacanya dianggap ibadah; 4) wajib disampaikan dengan lafalnya. Sedang hadis kudsi, sekalipun ada yang berpendapat lafalnya juga diturunkan, tidaklah demikian halnya.
Hadis nabawi ada dua macam: pertama : yang merupakan ijtihad Rasulullah SAW. Ini bukanlah wahyu. Pengakuan wahyu terhadapnya dengan cara membiarkan, hanyalah bila ijtihad itu benar. Kedua : yang maknanya diwahyukan, sedang lafalnya dari Rasulullah sendiri. Oleh sebab itu ini dapat dinyatakan dengan maknanya saja. Hadis kudis itu menurut pendapat yang kuat, maknanya saja yang diturunkan, sedang lafalnya tidak. Ia termasuk dalam bagian yang kedua ini. Sedang menisbatkan hadis kudsi kepada Allah dalam periwayatannya karena adanya nash syara` tentang itu, sedang hadis-hadis nabawi lainnya tidak.
IV. Cara Wahyu Allah Turun Kepada Para Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para rasul-Nya ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak.
Yang pertama : melalui Jibril malaikat pembawa wahyu, dan hal ini akan kami jelaskan nanti.
Yang kedua : tanpa melalui perantaraan. Diantaranya ialah; mimpi yang benar didalam tidur.
1. Mimpi yang benar didalam tidur.
`Dari Aisyah r.a dia berkata : sesungguhnya apa yang mula-mula terjadi pada Rasulullah SAW adalah mimpi yang benar diwaktu tidur, beliau tidaklah melihat mimpi kecuali mimpi itu datang bagaikan terangnya di waktu pagi hari.`
Hal itu merupakan persiapan bagi Rasulullah SAW untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, tidak tidur. Didalam Quran wahyu diturunkan ketika beliau dalam keadaan sadar, kecuali bagi orang yang mendakwakan bahwa surah Kausar diturunkan melalui mimpi. Karena adanya satu hadis mengenai hal itu. Didalam sahih Muslim, dari Anas r.a ia berkata :
`Ketika Rasulullah SAW disuatu hari berada diantara kami didalam masjid, tiba-tiba ia mendekur, lalu mengengkat kepala beliau dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya : Apa yang menyebabkan Engkau tertawa wahai Rasulullah ? Ia menjawab : Tadi telah turun kepadaku sebuah surah; lalu ia membacakan : Bismillahirrahmanirrahim, inna a`taina kal kautsar fashalli lirabbika wanhar, inna syaa niaka huwal abtar.`
Mungkin keadaan mendengkur ini adalah keadaan yang dialaminya ketika wahyu turun.
Di antara alasan yang menunjukkan bahwa mimpi yang benar bagi para Nabi adalah wahyu yang wajib diikuti, ialah mimpi Nabi Ibrahim agar menyembelih anaknya, Ismail.
`Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar . Maka tatkala anak itu sampai berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: `Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!` Ia menjawab: `Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar`. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis, . Dan Kami panggillah dia: `Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar . Kami abadikan untuk Ibrahim itu di kalangan orang-orang yang datang kemudian, `Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim`. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabar gembira dengan Ishaq seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh.`( as-Saffat : 101-112 ).
Mimpi yang benar itu tidaklah khusus bagi para rasul saja, mimpi yag demikian itu tetap ada pada kaum mukminin, sekalipun mimpi itu bukan wahyu.hal itu seperti dikatakan oleh Rasulullah SAW :
`Wahyu telah terputus, tetapi berita-berita gembira tetap ada, yaitu mimpi orang mukmin.`
Mimpi yang benar bagi para nabi diwaktu tidur itu merupakan bagian pertama dari sekian macam cara Allah berbicara seperti yang disebutkan didalam firman- Nya:
`Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.`(as-Syuraa : 51 ).
2. Yang lain ialah kalam ilahi dari balik tabir tanpa melalui perantara.
Yang demikian itu terjadi pada Nabi Musa a.s.
`Dan tatkala Musa datang untuk pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman kepadanya, berkatalah Musa: `Ya Tuhanku, nampakkanlah kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau`.( al-Araaf : 143 ).
`Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.` ( al-Ma`idah : 164 )
Demikian pula menurut pendapat yang paling sah, Allah pun telah berbicara secara langsung kepada Rasul kita Muhammad saw. Pada malam isra` dan mi`raj. Yang demikian ini yang termasuk bagian kedua dari apa yang disebutkan oleh ayat diatas ( atau dari balik tabir ). Dan didalam Quran macam wahyu ini tidak ada.
3. Cara Penyampaian Wahyu Oleh Malaikat Kepada Rasul
Wahyu Allah kepada Nabinya itu ada kalanya tanpa perantaraan, seperti yang telah kami sebutkan diatas, misalnya mimpi yang benar diwaktu tidur, dan kalam ilahi dibalik tabir, dalan keadaan jaga yang disadari. Dan ada kalanya melalui perantaraan malaikat wahyu. Wahyu dengan perantaraan malaiakat wahyu inilah yang hendak kami bicarakan dalam topik ini, karena Quran diturunkan dengan wahyu macam ini.
Ada dua cara penyampaian wahyu oleh malaikat kepada Rasul
Cara pertama : datang kepadanya suara seperti dencingan lonceng dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Cara ini yang paling berat bauat Rasul. Apa bila wahyu yang turun kepada Rasulullah SAW dengan cara ini maka ia mengumpulkan semua kekuatan kesadarannya untuk menerima, menghafal dan memahaminya. Dan mungkin suara itu sekali suara kepakan sayap-sayap malaikat, seperti diisyaratkan didalam hadis :
`Apa Allah menghendaki suatu urusan dilangit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayapnya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemercingnya mata rantai diatas batu-batu licin.` . Dan mungkin pula suara malaikat itu sendiri pada waktu rasul baru mendengarnya untuk yang pertama kali.
Cara kedua : Malaikat menjelma kepada rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia. Cara ini lebih ringan dari pada yang sebelumnya. Karena ada kesesuaian antara pembicara dan pendengar. Rasul meraa senang sekali mendengar dari utusan pembawa wahyu itu. Karena merasa seperti manusia yang berhadapan saudaranya sendiri.
Keadan jibril menempakkan diri sebagai seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia untuk melepaskan sifat kerohaniannya, dan tidak berarti pula bahwa dzatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan bahwa ia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk meyenangkan Rasulullah SAW sebagai manusia. Yang sudah pasti keadaan pertama- tatkala wahyu turun seperti dencingan lonceng- tidak menyenangkan karena keadaan demikian menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Dan inilah yang paling berat. Kata Ibn Khaldun : ` Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya, sedang dalam keadaan lain, sebaliknya, malaikat berubaha dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.`
Keduanya itu tersebut dalam hadis yang diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mu`minin r.a bahwa haris bin Hisyam r.a bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai hal itu dan jawab Nabi :
` Kadang-kadang ia datang kepadaku bagaikan dencingan lonceng, dan itulah yang paling berat bagiku, lalu ia pergi, dan aku telah menyadari apa yang dikatakannya. Dan terkadang malaikat menjelma kepadaku sebagai seorang laki-laki, lalu dia berbicara kepadaku, dan akupun memahami apa yang ia katakan`.
Aisyah juga meriwayatkan apa yang dialami Rasulullah SAW berupa kepayahan , dia berkata :
`Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin, lalu malaikat itu pergi. Sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah`.
Keduanya itu merupakan macam ketiga pembicaraan Ilahi yang didisyaratkan didalam ayat : `Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana`.(as-Syuraa : 51).
Mengenai hembusan didalam hati, telah disebutkan didalam hadis Rasulullah SAW :
`Roh kudus telah menghembuskan kedalanm hatiku bahwa seseorang itu tidak akan mati sehingga dia menyempurnakan rezeki dan ajalnya. Maka bertaqwalah kepada Allah dan carilah rezeki dengan jalan yang baik.`
hadis ini tidak menunjukkan keadaan turunnya wahyu secara tersendiri, hal ini mungkin dapat dikembalikkan kepada salah satu dari dua keadaan yang tersebut didalan hadis Aisyah. Mungkin malaikat datang pada beliau dalam keadaan yang menyerupai dencingan lonceng, lalu dihembuskannya wahyu kepadanya. Dan kemungkinan pula bahwa wahyu yang melalui hembusan itu adsalah wahyu selain Qur`an.
V. Keraguan Orang-orang yang Ingkar terhadap Wahyu.
Orang-orang jahiliyah baik yang lam atau yang modern selalu berusaha untuk menimbulkan keraguan mengenai wahyu dengan sikap keras kepala dan sombong. Keraguan demikian itu lemah sekali dan tidak dapat diterima.
1. Pertama
Meraka mengira bahwa Qur`an dari pribadi Muhammad; dengan menciptakan maknanya dan dia pula yang menyusun ` bentuk gaya bahasanya` ; Qur`an bukanlah wahyu. Ini adalah sangkaan yang batil. Apa bila Rasulullah SAW mengendaki kekuasaan atas dirinya sendiri dan menantang manusia dengan mukjizat-mukjizat untuk mendukung kekuasaannya, tidak perlu ia menisbahkan semua itu kepada pihak lain, dapat saja menisbahkan Qur`an kepada dirinya sendiri. Karena hal itu cukup untuk mengangkat kedudukannya dan menjadikan manusia tunduk kepada kekuasaannya. Karena dia juga salah seorang dari meraka yang dapat mendatangkan apa yang mereka tidak sanggupi.
Tidak pula dapat dikatakan bahwa dengan menisbahkan Qur`an pada wahyu Ilahi, ia menginginkan untuk menjadikan kata-katanya terhormat sehingga dengan itu ia dapat memperoleh sambutan manusia untuk menaati dan menuruti perintah-perintahnya. Sebab dia juga mengeluarkan kata-kata yang dinisbahkan kepadanya pribadi, yaitu yang dinamakan hadis nabawi, yang juga wajkib ditaati. Seandainya benar apa yang mereka tuduhkan, tentu kata-katanya akan dijadikannya sebagai kalam Allah ta`ala.
Sangkaan ini menggambarkan bahwa Rasulullah SAW termsuk pemimpin yang menempuh cara-cara bersdusta dan palsu untuk mencapai tujuan. Sangkaan itu ditolak oleh kenyataan sejarah tentang perilaku Rasulullah SAW , kejujuran dan perilakunya yang terkenal, yang sudah disaksikan oleh musuh-musuhnya sebelum disaksikan oleh kawan-kawan sendiri.
Orang-orang munafik menuduh isterinya, Aisyah dengan tuduha berita bohong, pada hal Aisyah isteri yang sangat dicintainya. Tuduhan yang demikian itu menyinggung kehormatan dan kemuliaannya. Sedang wahyupun datang terlambat, Rasulullah SAW dan para sahabat merasa sedih sekali. Beliau berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan memusyawarahkannya. Dan satu bulan pun telah berlalu, akan tetapi akhirnya ia hanya dapat mengatakan kepadanya :
` Telah sampai kepadaku berita yang begini dan begitu. Apa bila engkau benar-benar bersih, maka Allah akan membersihkanmu, dan apa bila engkau telah berbuat dosa, mohon ampunlah engkau kepada Allah.`
Keadaan berlangsung secara demikian hinggga turunlah wahyu yang menyatakan kebersihan isterinya itu. Maka apakah yang menghalanginya untuk mengatakan kata-kata yang dapat mematahkan para penuduh itu dan melindungi kehormatannya, seandainya Qura`n kata-katanya sendiri. Tetapi dia tidak mau berdusta kepada manusia dan juga kepada Allah.
`Seandainya dia mengadakan sebagian perkataan atas Kami, niscaya benar-benar Kami pegang dia pada tangan kanannya . Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi , dari pemotongan urat nadi itu.`( al-Haqqah : 44-47 ).
Ada segolongan orang meminta izin untuk tidak ikut berperang di Tabuk. Mereka mengajukan alasan. Diantara mereka terdapat orang-orang munafik yang sengaja mencari-cari alasan. Nabi mengizinkan mereka. Maka turunlah wahyu Allah yang mencela dan mempersalahkan tindakannya itu :
`Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka , sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar dan sebelum kamu ketahui orang-orang yang berdusta?` ( at-Taubah :43).
Seandainya teguran ini datang dari perasaannya sendiri dengan menyatakan penyesalannya ketika ternyata pendapatnya itu salah, tentulah teguran yang begitu keras itu tidak aka di ungkapkannya.
Begitu pula teguran kepadanya karena ia menerima tebusan tawanan perang Badar. `Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat . Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.` (al-Anfal : 67-68 ).
Begitu juga adanya teguran karena berpaling dari Abdullah bin Ummi Maktum r.a yang buta. Karena menekuni salah seorang pembesar Quraisy untuk diajak masuk Islam.
`Dia bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanyaTahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya , atau dia mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa`at kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup , maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada atasmu kalau dia tidak membersihkan diri . Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera , sedang ia takut kepada , maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan ! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,`( `Abasa : 1-11 ).
Yang dikenal dlam peri kehidupan Rasulullah SAW bahwa dia sejak kecil merupakan teladan yang khas dlam hal budi pekerti yang baik, perilaku yang mulia ucapan yang benar dan kejujuran dalam kata dan perbuatan. Masyarakatnya sendiri pun telah menyaksikannya ketika mengajak mereka pada permulaan dakwah, ia berkata pada mereka : ` Bagaimana pendapatmu sikaranya aku beritahukan kepadamu bahwa pasukan berkuda dibalik lembah ini akan menyerangmu, percayakah kamu kepadaku ? mereka menjawab: `ya` kami tidak pernah melihat Engkau berdusta.`
Peri hidupnya yang suci itu menjadi daya tarik bagi manusia untuk masuk Islam. Dari Abdullah bin Sallam r.a dia berkata : ` Ketika Rasulullah SAW datang kemadinah, orang-orang mengerumininya. Mereka mengatakan : `Rasulullah sudah datang,Rasulullah sudah datang.` Lalu aku datang dalam kerumunan orang banyak itu untuk melihatnya. Ketika aku melihat Rasulullah SAW tahulah aku bahwa wajahnya itu bukanlah wajah pendusta.`
Orang yang memiliki sifat-sifat agung yang dihiasi oleh tanda-tanda kejujuran tidak pantas diragukan ucapannya ketika dia menyatakan tentang dirinya bahwa bukan dialah yang membuat Qur`an
`Katakanlah: `Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.`( Yunus : 15 ).
2. Kedua
Orang-orang jahiliyah dahulu dan sekarag, menyangka bahwa Rasulullah SAW mempunyai ketajaman otak, kedalaman penglihatan, kekuatan firasat, kecerdikan yang hebat, kejernihan jiwa dan renungan yang benar, yang menjadikannya memahami ukuran ukuran yang baik dan yang buruk, benar dan salah melalui ilham ( inspirasi ), serta mengenali perkara-perkara yang rumit melalui kasyaf. Sehingga Qur`an itu tidak lain dari pada hasil penalaran intelektual dan pemahaman yang diungkapkan oleh Muhammad dengan gaya bahasa dan retirikanya.
Apakah yang sebenarnya didasarkan pada kecerdasan, penalaran dan perasaan didalam Quran itu ?
Segi berita yang merupakan bagian terbesar dalam Quran tidak diragukan oleh orang yang berakal bahwa apa yang diterimanya hanya berdaarkan kepada penerimaan dan pengajaran. Qur`an telah menyebutkan berita-berita tentang umat terdahulu, golongan-golongan dan perisiwa sejarah dengan kejadian-kejadiannya yang benar dan cermat, seperti halnya yang disaksikan oleh saksi mata. Sekalipun masa yang dilalui oleh sejarah itu sudah amat jauh. Bahkan sampai pada kejadian pertama alam semesta ini. Hal demikian tentu tidak dapat memberikan tempat bagi penggunaan pikiran dan kecermatan firasat. Sedang Muhammad sendiri tidak semasa dengan umat-umat dan peristiwperistiwa diatas dengan segala macam kurun waktunya sehingga belaiu dapat menyaksikan kejadian-kejadian itu, dan menyampaikan beritanya. Demikian pula beliautidak mewarisi kitab-kitabnya untuk dipelajari secara perinci dan kemudian menyampaikan beritanya.
`Dan tidaklah kamu berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. Tetapi Kami telah mengadakan beberapa generasi, dan berlalulah atas mereka masa yang panjang, dan tiadalah kamu tinggal bersama-sama penduduk Mad-yan dengan membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka, tetapi Kami telah mengutus rasul-rasul.`( al-Qashas:44-45 ).
`Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu ; tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak kaummu sebelum ini.`( Hud :49 ).
`Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan Al Qur`an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum nya adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui.`( Yusuf : 3).
Dan diantaranya ialah berita-berita yang cermat mengenai angka-angaka hitungan yang tidak diketahui kecuali oleh orang terpelajar yang sudah sangat luas pengetahuannya, didalam kisah Nabi Nuh : `Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.`(al-Ankabut : 29 ).
Hal ini sesuai denga apa yang terdapat dalam kitab Kejadian dalam Taurat. Dan dalam kisah Ashabul Kahfi ( penghuni Gua ) :
`Dan mereka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi.` ( al-Kahfi : 25 ).
Hitungan itu menurut ahli kitab adalah tiga ratus tahun matahari, sedang sembilan tahun yang disebutkan diatas ialah perbedaan perhitungan antara tahun matahari dengan tahun bulan. Dari manakah Muhammada memperoleh angka-angka yang benar ini, seandainya bukan karena wahyu yang diberikan kepadanya, sebab ia adalah seorang buta huruf yang hidup dikalangan bangsa yang buta huruf pula. Tidak tahu tulis manulis dan berhitung ? orang-orang jahiliyah lebih pintar menentang Muhammad dari pada orang-orang jahiliyah modern. Sebab orang jahiliyah lama itu tidak mengatakan bahwa Muhammad mendapatkan berita ini dari kesadaran dirinya seperti dikataka orang-orang jahiliyah modern. Tetapi mereka mengatakan bahwa Muhammad mempelajri berita itu dan kemudian dituliskan :
`Dan mereka berkata: `Dongengan-dongengan orang-orang dahulu, dimintanya supaya dituliskan, maka dibacakanlah dongengan itu kepadanya setiap pagi dan petang.`(al-Furqaan : 5 ).
Muhammad tidak menerima pelajaran dari seorang guru pun-akan kami jelaskan nanti-jadi dari manakah berita-berita ini datang kepadanya secara seketika diwaktu usianya telah empat puluh tahun. `Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan.` (an-Najm : 4 ).
Itulah mengenai segi berita dalam Quran, adapun ilmu-ilmu lain yang ada didalamnya, bagian akaid saja mengandung perkara-perkara yang begitu terperinci tentang permulaan mahluk dan kesudahannya. Kehidupan akhirat dan apa yang ada didalamnnya seperti surga dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala azabnya dan lain sebagainya. Seperti malaikat dengan segala sifat dan pekerjaannya. Pengetahuan ini tidaklah memberikan tempat bagi kecerdasan akal dan kekuatan firasat semata.
`Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat: dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya.` (al-Mudatsir : 31 ).
`Tidaklah mungkin Al Qur`an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya , tidak ada keraguan di dalamnya, dari Tuhan semesta alam.` ( Yunus : 37 ).
Begitu juga ketentuan-ketentuan yang memberi keputusan tentang berita-berita yang akan datang yang berlaku pada sunnatullah yang bersifat sosial mengenai kelemahan dan kekuatan, naik dan turun, mulia dan hina, bangun dan runtuh yang terdapat didalam Qur`an :
`Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.`(an-Nur : 55 ).
`Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma`ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.` (al-Hajj: 40-41 ).
`Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu ni`mat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri,` (al-Anfal : 53 ).
Dapat ditambahkan pula bahwa AlQur`anul Karim telah menceritakan tentang Rasulullah bahwa dia hanyalah mengikuti wahyu :
`Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat Al Qur`an kepada mereka, mereka berkata: `Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu?` Katakanlah: `Sesungguhnya aku hanya mengikut apa yang diwahyukan dari Tuhanku kepadaku`(al-A`raf : 203 ).
Dan bahwa ia adalah manusia yang tidak mengetahui perkara yang gaib dab tidak pulaberkuasa atas dirinya sedikitpun.
`Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: `Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa`.( al-Kahfi : 110 ).
`Katakanlah: `Aku tidak berkuasa menarik kemanfa`atan bagi diriku dan tidak menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira `.(al-A`raf : 188 ).
Rasulullah SAW tidak sanggup memahami apa yang sebenarnya terjadi antara dua orang yang berselisih yang datang mengahdapnya untuk meminta keputusan, meskipun dia mendengarkan kata-kata mereka berdua. Maka tentu saja dia tidak sanggup untuk mengetahui apa yang telah lalu dan apa yang akan datang.
` Rasulullah SAW telah mendengar suatu perselisihan yang terjadi didekat pintu kamar beliau. Ia mendatangi mereka dan berkata : ` Aku hanyalah seorang manusia; sedang kamu meminta kepadaku untuk diadili. Mungkin salah satu puhak dari kamu akan lebih baik dalam menyampaikan alasan, sehingga aku mengira bahwa dialah yang benar, lalu aku memutuskan hal itu dengan memenangkannya. Yang kuputuskan dengan memberikan kemenangan kepadanya dari hak seorang muslim itu adalah sepotong api neraka. Dia boleh mengambilnya dan boleh pula meninggalkannya.`
Dr Muhammada Abdullah Daraz mengatakan : `Pendapat inilah yang diramaikan oleh orang-orang atheis masa kini dengan nama wahyu nafsi. Mereka mengira bahwa dengan nama ini mereka telah memberikan kepada kita pendapat ilmiyah yang baru. Tetapi hal itu sebenarnya tidak lah baru; ini adalh pendapat jahiliyah yang kuno; tidak berbeda sedikitpun baik dalam garis besarnya maupun dalam perinciannya. Mereka melukiskan Nabi saw. Sebagai seorang lelaki yang mempunyai imajinasi yang luas dan perasaa yang dalam, maka dari beliau adalah seorang penyair.
Kemudian mereka menambahkan bahwa kata hatinya mengalahkan inderanya, sehingga ia berkhayal bahwa dia melihat dan mendengar seseorang berbicara kepadanya. Apa yag dilihat dan didengarnya itu tidak lain dari pada gambaran khayal dan perasaannya sendiri saja. Yang demikian itu suatu kegilaan dan ilusi. Namun mereka tidak bisa berlama-lama mempertahankan alsan-alasan ini, mereka terpaksa harus meninggalkan istilah ` gerak hati` ( al-wahyun-nafsi ), ketika mereka melihat bahwa didalam Quran terdapat segi berita, baik berita masa lalu maupun berita akan datang. Mereka mengatakan : mungkin berita-berita itu dia peroleh dari para ahli ketika ia berdagang. Dengan demikian berati ia diajar oleh seorang manusia. Jadi manakah yang baru menurut pendapat ini semua ? bukankah hal itu hanyalah omongan biasayang menyerupai omongan kaum jahiliyah Quraisy ? demikianlah atheisme dalam pakaiannya yang baru itu mempunyai bentuk yang kotor, bahkan amat. Dan itulah yang menjadi sumber segala gagasan yang sudah `maju` dimasa kini. Padahal ia hanyalah sisa-sisa hidangan yang diwariskan oleh hati yang sudah membatu dimasa jahiliyah pertama.
`�Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa.` ( al-Baqarah : 118 ).
Namun demikian kalau ada orang heran, yang mengherankan lagi adalah kata-kata mereka yang menyebutkan bahwa dia ( Muhammad ) adalah orang yang jujur dan terpercaya. Dan bahwa dia beralasan menisbahkan apa yang dilihatnya sebagai wahyu ilahi. Sebab mimpi-mimpinya yang kuat itu menunjukkan sebagai wahyu ilahi. Dia tidak mau menjadi saksi kecuali apa yanh dilihatnya. Demikianlah Allah menceritakan kepada kita tentang pendahulu-pendahulu mereka. `karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah`.(al-An`am ; 33 ).
Apa bila ini alasan Rasulullah SAW dalam menyatakan apa yang dilihat dan didengar, maka alasannya dalam pengakuannya bahwa dia tidak mengetahui berita-berita itu, juga tidak kaumnya sebelum itu. Sedang menurut sangkaan mereka dia telah mendengarnya sebelumnya ? dengan demikian, mereka hendak mengatakan bahwa dia mengada-ada, agar tuduham mereka itu sempurna. Tetapi mereka tidak mau menyatakan kata-kata itu, sebab meraka mendakwakan diri mereka sendiri sebagai orang yang subyektif dan bijaksana. Ingatlah sebenarnya mereka telah mengatakannya tetapi mereka sendiri tidak merasa.
3. Ketiga
Orang-orang jahiliyah dahulu dan modern menyangka bahwa Muhammad telah menerima ilmu-ilmu Quran dari seorang guru. Yang demikian itu adalah benar, akan tetapi guru yang menyampaikan Quran itu adalah malaikat wahyu, dan bukan guru dari golongannya dan golongan lain.
Muhammada saw. Tumbuh dan hidup dalam keadaan buta huruf dan tak seorang pun diantara merak yang membawa simbol ilmu dan pengajaran, ini adalah kenyataan yang disaksikan oleh sejarah, dan tidak dapat diragukan. Bahwa dia mempunyai guru yang bukan dari masyarakatnya sendiri. Dalam sejarah tidaj ada kalangan peneliti yang dapat memberikan kata sepakat yang patut dijadikan saksi bahwa, Muhammad telah menemui seorang ulama yang mengajarkan agama kepadanya sebelum ia menyatakan kenabiannya. Memang benar bahwa dimasa kecil ia pernah bertemu dengan Bahira yang rahib itu, dipasar Busyra disyam. Dan di mekkah bertemu dengan Waraqah bin Naufal setelah wahyu pertama turun kepadanya. Dan setelah hijrahbia bertemu ulama-ulama yahudi dan nasrani. Tetapiyang pasti ia tidak pernah mengadakan pembicaraan dengan mereka, sebelum ia menjadi Nabi. Sedang setelah ia menjadi nabi, merekalah yan bertanya kepadanya untuk dijadikan bahan perdebatan, sehingga mereka yang mengambil manfaat dan belajar kepadanya. Dan sekiranya Rasulullah SAW yang belajar sedikitpun dari salah seorang diantara mereka, sejarah tidak akan diam, sebab dia tidak ada perangainya yang buruk yang diremehkan orang, terutama oleh mereka yang yang memang menentang Islam. Dan apa yang disebutkan dalam sejarah mengenai rahib dari Syam atau Waraqah bin Naufal merupakan sambutan gembira tentang kenabiannya atau sebagai pengakuan
Orang dapat menanyakan kepada mereka yang menyangka bahwa Muhammad saw diajar oleh seorang manusia: siapa nama gurunya itu ? ketika itu juga kita akan melihat jawaban yang kacau balau yang mereka-reka, bahwa gurunya itu seorang ` pandai besi Romawi` bagaiman dapat diterima akal bila ilmu-ilmu Al-Quran Al-Karim itu datangnya dari yang tidak dikenal oleh mekkah sebagai orang yang pandai dan mendalami kitab-kitab ? bahkan hanya seorang pandai besi yang sehari-harinya hanya menepuni palu dan landasan besi, orang awam denga lidah asing, yang dalam bacaanya dalam bahasa arab pun hanya mericau saja.
`Sesungguhnya Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya ( Muhammad ). Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan bahwa Muhammad belajar kepadanya bahsa asing, sedang Quran dalam bahasa arab yang jelas. ( an-Nahl : 103 )
Orang-orang arab sebenarnya ingin sekali menolak Quran karena dendam mereka kepada Muhammad tetapi mereka tidak sanggup, tidak menemukan jalan dan usaha mereka jadi sia-sia. Lalu kenapa orang-orang atheis kini mencar-cari jalan dalam bekas-bekas sejarah, sekalipun kegagaln itu telah berlalu 13 abad lebih ? dengan ini, jelasl;ah bahwa Quran tidak mengandung unsur manusia baik oleh pembawanya atau oleh orang lain. Ia diturunkan oleh Tuhan yang maha bijaksana dan maha terpuji.
Pertumbuhan Rasulullah SAW dilingkungan yang buta huruf dan jahiliyah, dan perilakunya ditengah-tengah kaumnya itu merupakan bukti yang kuat bahwa Allah telah mempersiapkannya untuk membawa risalahnya. Allah mewahyukankepadanya Quran ini untuk menjadi petunjuk bagi umatnya.
`Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa kepada Allah-lah kembali semua urusan.` ( as-Syuraa : 52-53)
Al Ustadz Muhammad Abduh dalam risalatut Tauhid berkata : ` diantara tradisi yang dikenal adalah bahwa seorang yatim yang fakir dan buta huruf seperti dia , jiwanya akan diwarnai oleh apa yang dilihatnya sejak awal pertumbuhan sampai masa tuanya, serta akalnya pun akan terpengaruh oleh apa yang didengar dari orang-orang yang bergaul dengannya, terutama apa bila mereka kerabat dan satu suku. Sementara itu dia tidak memiliki kitab yang dapat memberinya petunjuk, tidak pula guru dan penolong yang akan memberi pelajaran dan melindunginya. Seandainya tradisi berjalan seperti biasa, tentulah dia akan tumbuh dalam kepercayaan mereka dan mengikutu aliran mereka pula hingga mencapai usia dewasa. Setelah itu, barulah ia berpikir dan mempertimbangkan, lalu menentang mereka, bila ada dalil yang menunjukkan kepadanya atas kesesatan mereka. Hal serupa itu juga telah ditentukan oleh bebrapa orang yang semasa dengan dia.
Tetapi keadaannya tidak demikian . sejak kecil ia sudah amat membenci penyembahan berhala. Dia dibimbing oleh akidah yang berssih dan ahlak yang baik. Firman Allah menyatakan :
`Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung , lalu Dia memberikan petunjuk.`( ad Dhuha : 7 ).
Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa dia berada dalam penyembahan berhala sebelum mendapat petunjuk tauhid, atau berada dalam jalan yang tidak lurus sebelum berahlak yang agung. Sekali-kali tidak ! semua itu tentu hanya kebohongan yang nyata. Tetapi yang dia maksudkan ialah kebingungan yang mencekam hati orang-orang yang ikhlas, yang mengharapkan keselamatan bagi umat manusia, mencari jalan keluar dari kehancuran dan petunjuk dari kesesatan. Dan Allah telah memberi petunjuk kepada nabi-nya atas apa yang dicarinya, dengan dipilihnya dia untuk menyampaikan risalahnya serta menentukan syariat-Nya.
VI. Kesesatan Ahli Ilmu Kalam
Para ahli ilmu kalam telah tenggelam dalam cara-cara filsuf dalam menjelaskan kalam Allah sehingga mereka telah sesat dan menyesatkan orang lain dari jalan lurus. Mereka membagi kalam Allah menjadi dua bagian : kalam nafsi yang kekal yang ada pada dzat Allah, yang tidak berupa huruf, suara, tertib dan tidak pula bahasa. Dan kalam lafdzi ( verbal ) yaitu yang diturunkan oleh para nabi a.s., yang diantaranya adalah empat buah kitab. Para ahli ilmu kalam ini semakin terbenam dalam perselisihan skolastik yang mereka adakan; apakah Quran dalam pengertian kalam lafdzi mahluk atau bukan ? mereka memperkuat pendapat bahwa Quran dalam pengertian kalam lafdzi diatas adalah mahluk. Dengan demikian meraka telah keluar dari jalan para mujtahid dahulu dalam hal yang tidak ada nasnya dalam kitab dan sunnah. Mereka juga menggarap sifat-sifat Allah denga anlisis filosofis yang hanya menimbulkan keraguan dalam akidah tauhid.
Sedang madzab ahlussunah waljamaah menentukan nama-nama dan sifat-sifat Allah yang sudah ditetapkan oleh Allah atau oleh Rasulullah SAW dalam hadis sahih yang datang dari nabi. Bagi kita sdah cukup beriman bahwa kalam itu adalah salah satu sifat diantara sekian sifat Allah, Allah berfriman :
` Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung` (an-Nisa`: 164 ).
Demikian pula Al-Quran Al-Karim -wahyu yang diturunkan kepada Muhammad- adalah kalamulllah, bukan mahluk sebagaimana tersirat dalam ayat : `Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah,`(at-Taubah : 6 ).
Penetapan mengenai apa yang dinisbahkan oleh Allah sendiri atau oleh Rasulullah SAW, sekalipun sifat itu juga ditetapkan pada hamba-hamba Allah, tidaklah mengurangi kesempurnaan kesucian-Nya dan membuat-Nya serupa dengan hamba-hamba-Nya. Dengan demikian kesamaan dalam nama itu tidak menharuskan kesamaan apa yang dikandung oleh nama itu. Amat berbeda antara Khalik dan mahluk dalam hal dza, sifat dan perbuatannya. Zat Khalik adalah maha sempurna, sifatnya paling tinggi dan perbuata-Nya pun paling sempurna dan tinggi. Apa bila kalam itu merupakan sifat kesempurnaan mahluk, bagaimana sifat ini ditiadakan dari Khalik ? kita menerima apa yang diterima oleh sahabat Rasulullah SAW para ulama tabi`in, para ahli hadis dan fiqih yang hidup dimasa-masa yang dinyatakan baik, sebelum lahir segala macam bidat ( bid`ah ) para ahli ilmu kalam. Kita beriman kepada apa yang datang dari Allah atau sahih dari Rasulullah SAW mengenai sifat-sifat dan perbuatan Allah baik yang ditetapkan atau tidak, tanpa dikurangi, diserupakan dimisalkan ataupun ditakwilkan. Kita tidak berhak menetapkan pendapat kita sendiri mengenai hakikat dzat Allah ataupun sifat-sifat-Nya :
`Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.` ( as-Syura : 11 ).
Posted in Ulumul Qur'an
Tentang Al-Quran
Tentang Al-Quran
Diantara kemurahan Allah kepada manusia bahwa Dia tidak saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka kearah kebaikan, tetapi juga dari waktu kewaktu Dia mengutus sweorang Rasul kepada manusia dengan membawa al kitab dari Allah dan menyuruh mereka beibadah hanya kepada Allah saja. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar yang demikian menjadi bukti bagi manusia.
`Selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana`.( An-Nisa`: 165 )
Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai dengan wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh kaum setiap Rasul saat itu. Sampai perkembangan itu mencapai kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad muncul dipermukaan bumi ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang mengalami kekosongan para Rasul, untuk menyempurnakan ` bangunan` saudara-saudara pendahulunya ( para rasul )dengan syriatnya yang universal dan abadi serta dengan kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu al-quranl karim.
`Perumpamaan aku dengan nabi sebelum aku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah, dibuat dengan baik dan diperindahkanya rumah itu, kecuali letak sebuah bata disudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah itu, mereka mengaguminya dan berkata: seandainya bukan karena satu batu bata ini, tentulah rumah itu sudah sempurna. Maka akulah batu bata itu, dan akaulah penutup para nabi.` .
Qur`an adalah risalah Allah kepada manusia semuanya, banyak nash yang msnunjukkan hal itu, baik didalam qur`an maupun didalam sunnah.
`Katakanlah: `Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua`,( Al A`raf :158 ).
`Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam , Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam`,( Al-Furqan : 1 )
`Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus untuk segenap manusia,` .
Sesudah Muhammad saw. Tidak akan ada lagi kerasulan lain.
`Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu , tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi`.(Al Ahzab : 40 ).
Maka tidaklah aneh apabila quran dapat memenuhi semua tuntutan kemanusiaam berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi.
`Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : `Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya`.( Asyuraa: 13 ).
Rasulullah SAW juga telah menantang orang-orang arab dengan quran, padahal quran diturunkan dengan bahasa mereka dan mereka pun ahli dalam bahasa itu dan retorikanya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apapun seperti quran, atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun sepertu quran. Maka terbuktilah kemukjizatan quran dan terbukti pula kerasulan Muhammad. Allah telah menjaga kerasulannya da menjaga pula penyampaiannya yang beruntun. Tentang jibril yang membawa quran itu diantaranya dilukiskan :
`Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin`,( Asyuraa : 193 ).
Dan diantara sifat quran dan sifat orang yang diturunkan kepadanya quran itu adalah :
`Sesungguhnya Al Qur`aan itu benar-benar firman utusan yang mulia , yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai `Arsy, yang dita`ati di sana lagi dipercaya. Dan temanmu itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib`.(at-taqwir : 19-24 ).
`Sesungguhnya Al-Quraan ini adalah bacaan yang sangat mulia, Sesungguhnya Al-Quraan ini adalah bacaan yang sangat mulia, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan`.(al waqiah :77-79 ).
Keistimewaan yang demikian ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan bagi satu waktu tertentu, maka benarlah Allah dengan firman-Nya:
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.(al Hijr : 9 )
Risalah quran disamping ditujukan kepada manusia juga ditujukan kepada jin.
`Dan ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur`an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan lalu mereka berkata: `Diamlah kamu `. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya memberi peringatan. Mereka berkata: `Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih`.( al-Ahqaf : 29-31 ).
Dengan keistimewaan itu Quran dengan memecahkan problem-problem kemanusiaan diberbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan maha terpuji. Pada setiap problem itu Quran meletakkan sentuhan yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula buat setiap zaman. Dengan demikian Quran selalu memperoleh kelayakannya disetiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke 14 ini:
`Islam adalah suatu sitem yang lengkap, ia siap mengatasi setiap segala gejala kehidupan, ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan bangsa, ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendpatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang sah.`
Manusia yang kini tersiksa hati nuraninya dan ahlaknya sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi dari kejatuhannya kejurang kehinaan selain dari pada Quran. `Allah berfirman: `Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta`.( Taha : 123-124 ).
Kaum muslimin sendirilah yang membangun obor ditengah-tengah sistem-sistem dan prinsip-prinsip lain. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu. Mereka harus membimbing manusia yang kebingungan dengan Quran sehingga terbimbing kepantai keselamatan. Seperti halnya kaum muslimin dahulu mempunyai negara dengan mempunyai Quran, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun mereka harus memiliki negara dengan Quran juga.
Definisi Quran
Qara`a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan, qur`anan. Allah berfirman:
`Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al;-Qiyamah :17-18).
Qur`anah berarti qiraatun (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tashrif, konjugasi)`fu`lan` dengan vokal `u` seperti `gufran` dan `syukran`.Kita dapat mengatakan qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja.Di sini maqru` (apa yang dibaca) diberi nama Qur`an (bacaan); yakni penamaan maf`ul dengan masdar.
Qur`an dikhususkan nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w, sehingga Qur`an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan nama itu dipakai nama qur`an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang yang membaca ayat al-Qur`an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur`an.
`Dan apabila dibacakan Al Qur`an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat `. (al-Araf :204)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama qur`an di antara nama-nama kitab Allah itu karena kitab ini mencakup inti dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu.
Akan hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri` (an-Nahl:89).
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab`(al-An`am : 38 ).
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Quran itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai kata jadian, mungkin ia dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi saw., dan bukanya kata jadian dari Qara`a atau mungkin juga karena ia berasal dari kata qarana asy-sya`ia bisy-syai`i yang berarti memperhubungkan sesuatu dengan yang lain, atau juga berasal dari kata qaraa`in ( saling berpasangan ) karena ayat-ayatnya satu dengan yang lain saling menyerupai. Dengan demiian maka huruf Nun itu asli. Namun pendapat ini masih diragukan. Yang benar ialah pendapat yang pertama.
Qur`an memang sukar diberi batasan dengan definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis, bagian-bagaian serta ketentuan-ketentuannya secara khusus, mempunyai genus, diferensia, dan propium, sehingga definisi qur`an mempunyai batasan yang benar-benar konkrit. Definisi untuk Qur`an yang konkrit ialah menghadirkannya dalam fikiran atau dalam realita seperti misalnya kita menunjuk sebagai Quran kepada yang tertulis didalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Untuk itu kita katakan Quran adalah: Apa yang ada diantara dua jilid buku, atau kita katakan juga; Quran adalah bismillahirrahmanirrahim alhamdulillahirabbil alamin��sampai dengan minal jinnati wannas.
Para ulama menyebutkan definisi Quran yang mendekati makananya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa: `Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah`. Dalam deinisi `kalam` merupakan kelompok jenis yang meliputi segal kalam. Dan dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah ) berarti tidak semua masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.
Dan dengan kata-kata `yang diturunkan` maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya.
`Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu `.(al-Kahfi: 109).
`Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut , ditambahkan kepadanya tujuh laut sesudah nya, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana`.( Luqman: 27 ).
Dan membatasi apa yag diturunkan itu hanya `kepada Muhammad saw` Tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain.
Sedangkan `yang pembacanya merupakan suatu ibadah` mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi bila kita berpendapat bahwa yang diturunkan dari Allah itu kata-katanya -sebab kata-kata `pembacanya sebagai ibadah` artinya perintah untuk membecanya di dalam shalat dan lainnya sutau ibadah. Sedangkan qiraat ahad dan hadis-hadis qudsi tidak demikian halnya.
Nama dan Sifatnya
Allah menamakan Quran dengan beberapa nama, diantaranya:
1. Qur`an
`Al Qur`an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus`.( al-Israa:9)
2. Kitab
`Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu`.(al-Anbiyaa: 10)
3. Furqan
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam`,(al-Furqan: 1)
4. Zikr
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.( al-Hijr :9)
5. Tanzil
`Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam`,(as-Syuaraa:192 ).
Quran dan alkitab lebih populer dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammada Daraz berkata: ` ia dinamakan Quran karena ia `dibaca` dengan lisan, dan dinamakan al- kitab karena ia `ditulis` dengan pena. Kedua kata ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya`.
Penamaan Quran dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apa bila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya, kita tidak dapat menyandarkan hanya dengan haflan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi kegenerasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang sahih dn mutawatir.
Dengan penjagaan yang ganda ini oleh Allah telah ditanamkan kedalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya. Maka Quran tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Quran seperti di firmankan-Nya :
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.(al-Hijr :9 ).
Dengan demikian Quran tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang Quran diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu Quran mencakup hakikat yang ada didalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Quran menjalankan fungsi-fungsi kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan apa bila Allah mengehndaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu. Karena Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Inilah alasan yang paling kuat.
Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, diantaranya ;
6. Nur (cahaya ) :
`Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang`.(an-nisaa : 174 )
7. Huda ( petunjuk ), Syifa` ( obat ), Rahmah ( rahmat ),dan Mauizah ( nasehat ) :
`Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman`.( Yunus : 57 ).
8. Mubin ( yang menerangkan ) :
`Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan`.( al-Maidah :15 ).
9. Mubarak ( yang diberkati ) :
`Dan ini adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya`.(al- An`am ;92 ).
10. Busyra ( kabar gembira ) :
`Katakanlah: `Yang membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman`.(al-Baqarah :97 ).
11. `Aziz ( yang mulia ) :
`Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quraan ketika Al Quraan itu datang kepada mereka, , dan sesungguhnya Al Quraan itu adalah kitab yang mulia`.( Fushilat : 41 ).
12. Majid ( yang dihormati ) :
`Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur`an yang mulia`,( al-Buruuj ; 21 ).
13. Basyr ( pembawa kabar gembira ) :
`Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan`.( Fushilat ; 3-4 ).
Perbedaan antara Quran dengan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Definisi Quran telah dikemukakan pada halaman terdahulu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi Quran dengan hadis kudsi dan hadis nabawi, maka disini kami kemukakan dua definisi berikut ini :
1. Hadis Nabawi
Hadis ( baru ) dalam arti bahasa lawan qadim ( lama ). Dan yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik dalam keadaan jaga taupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini Quran juga dinamai hadis.
`Hadis (kata-kata ) siapakah orang yang lebih benar perkataan dari pada Allah`?(an-nisaa : 87 ).
Begitu pula apa yang terjadi pada manusia diwaktu tidurnya juga dinamakan hadis.
`�.dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebahagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya mimpi`. (Yusuf : 101 ).
Sedang menurut istilah pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw. :
`Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya�.`
yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan :
`Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat`.
juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata :
`Ambilah dari padaku manasik hajimu`.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, dilakukan dihadapannya atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan baiwak yang dihidangkan kepadanya, dan persetujuannya dalam sebuah riwayat, Nabi saw, mengutus seseorang dalam suatu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang mereka menyampaikannya kepada Nabi, lalu kata Nabi : tanyakan kepadanya mengapa ia bernuat demikian !` mereka pun menanyakannya. Dan orang itu menjawab. ` kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya`. Maka jawab Nabi :
`katakan kepadanya, Allah pun senang kepadanya`.
Dan yang berupa sifat adalah riwayat seperti : `bahwa Nabi saw. Itu selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula bernicara kotor dan tidak juga suka mencela��..`.
2. Hadis Kudsi
Kita telah mengetahui hadis secara etimologis. Sedangkan qudsi ( kudsi ) dinisbahkan sebagai kata quds, nisbah ini mengesankan rasa hormat, karena materi kata itu menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathiir, dan taqddasa sama dengan tatahhara (suci, bersih ) Allah berfirman dengan kata-kata malaikat-Nya :
`��pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan diri kami karena Engkau.` (al-Baqarah : 30 )
yakni membersihkan diri untuk-Mu.
Hadis kudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka rasul menjadi perawi kalam Allah ini dari lafal Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan :
`Rasulullah SAW mengataklan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan:
`Rasulullah SAW mengatakan : Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`
Contoh yang pertama :
`Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SAW mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya Azza Wa Jalla, tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu siang atau malam hari�.`
Contoh yang kedua :
`Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : ` Allah ta`ala berfriman : Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU didalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya didalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU dikalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya didalam kalangan orang banyak lebih dari itu�.`
3. Perbedaan Quran dengan Hadis Kudsi
Ada beberapa perbedaan antara Quran dengan hadis kudsi,yang terpenting diantaranya ialah :
a. Al-Quranul Kariam adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya. Dan dengan itu pula orang arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Quran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahakan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat.. sedang hadis kudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
b. Al- Quranul karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah ta`ala telah berfirman, sedang hadis kudsi-seperrti telah dijelaskan diatas-terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu merupakan nisbah yang dibuatkan. Maka dikatakan : `Allah telah berfirman atau Allah berfirman.` Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi yang menyampaikan hadis itu dari Allah, maka dikatakan : Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannaya.
c. Seluruh isi Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadis kudsi itu sahih, terkadang hasan ( baik ) dan terkadang pula da`if (lemah).
d. Al-Quranaul Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka dia adalah wahyu, baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadis kudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW . hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Leh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan hadis kudsi dengan maknanya saja.
e. Membaca Al-Quranul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca didalam salat. `Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur`an itu`(al-Muzammil : 20).
Nilai ibadah membaca Quran juga terdapat dalam hadis :
`Barang siapa membaca satu huruf dari Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf`.
Sedang hadis kudsi tidak disuruhnya membaca didalam salat. Alllah memberikan pahala membaca hadis kudsi secara umum saja. Maka membaca hadis kudsi tidak akan memperoleh pahala sperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Quran bahwa pada setiap huruf akan mendapatkan kebaikan.
4. Perbedaan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua :
a. Tauqifi.
Yang bersifat tauqifi yaitu : yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW , sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi.
Yang bersifat taufiqi yaitu : yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, kerena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw. :
`Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan`.(an-najm :3-4).
Hadis kudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu car penurunan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW , inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis kudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis kudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis kudsi dengan Quran; dan tentu pula gaya bahsanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam ketaskaan ( syubhah ) :
Pertama: bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafalnya dari Rasulullah SAW , tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadsi kudsi ? jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis kudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW ; Allah Ta`ala telah berfirman, atau Allah Ta`ala berfirman. Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini. Disamping itu bisa jadi isinya diberitahukan ( kepada Nabi ) melalui wahyu ( yakni secara tauqifi ) namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad ( yaitu secara taufiqi ), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis kudsi.
Kedua : Bahwa apa bila lafal hadis kudsi itu dari Rasulullah SAW maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi ` Allah Ta`ala telah berfirman` atau ` Allah Ta`ala berfirman`?.
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafalnya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan ` sipenyair berkata demikian` . juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian` . begitu juga Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka.
`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa : `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun . Dan aku berdosa terhadap mereka , maka aku takut mereka akan membunuhku`.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu . dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya , jika kamu sekalian mempercayai-Nya`.(asy-syuara` : 10-24 )
Diantara kemurahan Allah kepada manusia bahwa Dia tidak saja memberikan sifat yang bersih yang dapat membimbing dan memberi petunjuk kepada mereka kearah kebaikan, tetapi juga dari waktu kewaktu Dia mengutus sweorang Rasul kepada manusia dengan membawa al kitab dari Allah dan menyuruh mereka beibadah hanya kepada Allah saja. Menyampaikan kabar gembira dan memberikan peringatan, agar yang demikian menjadi bukti bagi manusia.
`Selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana`.( An-Nisa`: 165 )
Perkembangan dan kemajuan berpikir manusia senantiasa disertai dengan wahyu yang sesuai dan dapat memecahkan problem-problem yang dihadapi oleh kaum setiap Rasul saat itu. Sampai perkembangan itu mencapai kematangannya. Allah menghendaki agar risalah Muhammad muncul dipermukaan bumi ini. Maka diutuslah beliau disaat manusia sedang mengalami kekosongan para Rasul, untuk menyempurnakan ` bangunan` saudara-saudara pendahulunya ( para rasul )dengan syriatnya yang universal dan abadi serta dengan kitab yang diturunkan kepadanya, yaitu al-quranl karim.
`Perumpamaan aku dengan nabi sebelum aku adalah bagaikan orang yang membangun sebuah rumah, dibuat dengan baik dan diperindahkanya rumah itu, kecuali letak sebuah bata disudutnya. Maka orang-orang pun mengelilingi rumah itu, mereka mengaguminya dan berkata: seandainya bukan karena satu batu bata ini, tentulah rumah itu sudah sempurna. Maka akulah batu bata itu, dan akaulah penutup para nabi.` .
Qur`an adalah risalah Allah kepada manusia semuanya, banyak nash yang msnunjukkan hal itu, baik didalam qur`an maupun didalam sunnah.
`Katakanlah: `Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua`,( Al A`raf :158 ).
`Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam , Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam`,( Al-Furqan : 1 )
`Setiap nabi diutus kepada kaumnya secara khusus, sedang aku diutus untuk segenap manusia,` .
Sesudah Muhammad saw. Tidak akan ada lagi kerasulan lain.
`Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu , tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi`.(Al Ahzab : 40 ).
Maka tidaklah aneh apabila quran dapat memenuhi semua tuntutan kemanusiaam berdasarkan asas-asas pertama konsep agama samawi.
`Dia telah mensyari`atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : `Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya`.( Asyuraa: 13 ).
Rasulullah SAW juga telah menantang orang-orang arab dengan quran, padahal quran diturunkan dengan bahasa mereka dan mereka pun ahli dalam bahasa itu dan retorikanya. Namun ternyata mereka tidak mampu membuat apapun seperti quran, atau membuat sepuluh surah saja, bahkan satu surah pun sepertu quran. Maka terbuktilah kemukjizatan quran dan terbukti pula kerasulan Muhammad. Allah telah menjaga kerasulannya da menjaga pula penyampaiannya yang beruntun. Tentang jibril yang membawa quran itu diantaranya dilukiskan :
`Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin`,( Asyuraa : 193 ).
Dan diantara sifat quran dan sifat orang yang diturunkan kepadanya quran itu adalah :
`Sesungguhnya Al Qur`aan itu benar-benar firman utusan yang mulia , yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai `Arsy, yang dita`ati di sana lagi dipercaya. Dan temanmu itu bukanlah sekali-kali orang yang gila. Dan sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dan dia bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib`.(at-taqwir : 19-24 ).
`Sesungguhnya Al-Quraan ini adalah bacaan yang sangat mulia, Sesungguhnya Al-Quraan ini adalah bacaan yang sangat mulia, tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan`.(al waqiah :77-79 ).
Keistimewaan yang demikian ini tidak dimiliki oleh kitab-kitab yang terdahulu, karena kitab-kitab itu diperuntukkan bagi satu waktu tertentu, maka benarlah Allah dengan firman-Nya:
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.(al Hijr : 9 )
Risalah quran disamping ditujukan kepada manusia juga ditujukan kepada jin.
`Dan ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur`an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan lalu mereka berkata: `Diamlah kamu `. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya memberi peringatan. Mereka berkata: `Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih`.( al-Ahqaf : 29-31 ).
Dengan keistimewaan itu Quran dengan memecahkan problem-problem kemanusiaan diberbagai segi kehidupan, baik rohani, jasmani sosial, ekonomi maupun politik dengan pemecahan yang bijaksana, karena ia diturunkan oleh yang Maha Bijaksana dan maha terpuji. Pada setiap problem itu Quran meletakkan sentuhan yang mujarab dengan dasar-dasar yang umum yang dapat dijadikan landasan untuk langkah-langkah manusia, dan yang sesuai pula buat setiap zaman. Dengan demikian Quran selalu memperoleh kelayakannya disetiap waktu dan tempat, karena Islam adalah agama yang abadi. Alangkah menariknya apa yang dikatakan oleh seorang juru dakwah abad ke 14 ini:
`Islam adalah suatu sitem yang lengkap, ia siap mengatasi setiap segala gejala kehidupan, ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintah dan bangsa, ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendpatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah atau tentara dan ide. Begitu pula ia adalah aqidah yang benar dan ibadah yang sah.`
Manusia yang kini tersiksa hati nuraninya dan ahlaknya sudah rusak, tidak mempunyai pelindung lagi dari kejatuhannya kejurang kehinaan selain dari pada Quran. `Allah berfirman: `Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta`.( Taha : 123-124 ).
Kaum muslimin sendirilah yang membangun obor ditengah-tengah sistem-sistem dan prinsip-prinsip lain. Mereka harus menjauhkan diri dari segala kegemerlapan yang palsu. Mereka harus membimbing manusia yang kebingungan dengan Quran sehingga terbimbing kepantai keselamatan. Seperti halnya kaum muslimin dahulu mempunyai negara dengan mempunyai Quran, maka tidak boleh tidak pada masa kini pun mereka harus memiliki negara dengan Quran juga.
Definisi Quran
Qara`a mempunyai arti mengumpulkan dan menghimpun, dan qira`ah berarti menghimpun huruf-huruf dan kata-kata satu dengan yang lain dalam suatu ucapan yang tersusun rapih. Qur`an pada mulanya seperti qira`ah , yaitu masdar (infinitif) dari kata qara` qira`atan, qur`anan. Allah berfirman:
`Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu`. (Al;-Qiyamah :17-18).
Qur`anah berarti qiraatun (bacaannya/cara membacanya). Jadi kata itu adalah masdar menurut wazan (tashrif, konjugasi)`fu`lan` dengan vokal `u` seperti `gufran` dan `syukran`.Kita dapat mengatakan qara`tuhu , qur`an, qira`atan wa qur`anan, artinya sama saja.Di sini maqru` (apa yang dibaca) diberi nama Qur`an (bacaan); yakni penamaan maf`ul dengan masdar.
Qur`an dikhususkan nama bagi kitab yang diturunkan kepada Muhammad s.a.w, sehingga Qur`an menjadi nama khas kitab itu, sebagai nama diri. Dan secara gabungan nama itu dipakai nama qur`an secara keseluruhan, begitu juga untuk penamaan ayat-ayatnya. Maka jika kita mendengar orang yang membaca ayat al-Qur`an, kita boleh mengatakan bahwa ia sedang membaca Qur`an.
`Dan apabila dibacakan Al Qur`an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat `. (al-Araf :204)
Sebagian ulama menyebutkan bahwa penamaan kitab ini dengan nama qur`an di antara nama-nama kitab Allah itu karena kitab ini mencakup inti dari kitab-kitab-Nya, bahkan mencakup inti dari semua ilmu.
Akan hari Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri` (an-Nahl:89).
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab`(al-An`am : 38 ).
Sebagian ulama berpendapat bahwa kata Quran itu pada mulanya tidak berhamzah sebagai kata jadian, mungkin ia dijadikan sebagai suatu nama bagi kalam yang diturunkan kepada Nabi saw., dan bukanya kata jadian dari Qara`a atau mungkin juga karena ia berasal dari kata qarana asy-sya`ia bisy-syai`i yang berarti memperhubungkan sesuatu dengan yang lain, atau juga berasal dari kata qaraa`in ( saling berpasangan ) karena ayat-ayatnya satu dengan yang lain saling menyerupai. Dengan demiian maka huruf Nun itu asli. Namun pendapat ini masih diragukan. Yang benar ialah pendapat yang pertama.
Qur`an memang sukar diberi batasan dengan definisi-definisi logika yang mengelompokkan segala jenis, bagian-bagaian serta ketentuan-ketentuannya secara khusus, mempunyai genus, diferensia, dan propium, sehingga definisi qur`an mempunyai batasan yang benar-benar konkrit. Definisi untuk Qur`an yang konkrit ialah menghadirkannya dalam fikiran atau dalam realita seperti misalnya kita menunjuk sebagai Quran kepada yang tertulis didalam mushaf atau terbaca dengan lisan. Untuk itu kita katakan Quran adalah: Apa yang ada diantara dua jilid buku, atau kita katakan juga; Quran adalah bismillahirrahmanirrahim alhamdulillahirabbil alamin��sampai dengan minal jinnati wannas.
Para ulama menyebutkan definisi Quran yang mendekati makananya dan membedakannya dari yang lain dengan menyebutkan bahwa: `Quran adalah kalam atau firman Allah yang diturunkan kepada Muhamad saw. Yang pembacanya merupakan suatu ibadah`. Dalam deinisi `kalam` merupakan kelompok jenis yang meliputi segal kalam. Dan dengan menghubungkannya dengan Allah ( kalamullah ) berarti tidak semua masuk dalam kalam manusia, jin dan malaikat.
Dan dengan kata-kata `yang diturunkan` maka tidak termasuk kalam Allah yang sudah khusus menjadi milik-Nya.
`Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu `.(al-Kahfi: 109).
`Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut , ditambahkan kepadanya tujuh laut sesudah nya, niscaya tidak akan habis-habisnya kalimat Allah . Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana`.( Luqman: 27 ).
Dan membatasi apa yag diturunkan itu hanya `kepada Muhammad saw` Tidak termasuk yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya seperti taurat, injil dan yang lain.
Sedangkan `yang pembacanya merupakan suatu ibadah` mengecualikan hadis ahad dan hadis-hadis qudsi bila kita berpendapat bahwa yang diturunkan dari Allah itu kata-katanya -sebab kata-kata `pembacanya sebagai ibadah` artinya perintah untuk membecanya di dalam shalat dan lainnya sutau ibadah. Sedangkan qiraat ahad dan hadis-hadis qudsi tidak demikian halnya.
Nama dan Sifatnya
Allah menamakan Quran dengan beberapa nama, diantaranya:
1. Qur`an
`Al Qur`an ini memberikan petunjuk kepada yang lebih lurus`.( al-Israa:9)
2. Kitab
`Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu`.(al-Anbiyaa: 10)
3. Furqan
Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam`,(al-Furqan: 1)
4. Zikr
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.( al-Hijr :9)
5. Tanzil
`Dan sesungguhnya Al Qur`an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam`,(as-Syuaraa:192 ).
Quran dan alkitab lebih populer dari nama-nama yang lain. Dalam hal ini Dr. Muhammada Daraz berkata: ` ia dinamakan Quran karena ia `dibaca` dengan lisan, dan dinamakan al- kitab karena ia `ditulis` dengan pena. Kedua kata ini menunjukkan makna yang sesuai dengan kenyataannya`.
Penamaan Quran dengan kedua nama ini memberikan isyarat bahwa selayaknyalah ia dipelihara dalam bentuk hafalan dan tulisan. Dengan demikian, apa bila diantara salah satunya ada yang melenceng, maka yang lain akan meluruskannya, kita tidak dapat menyandarkan hanya dengan haflan seseorang sebelum hafalannya sesuai dengan tulisan yang telah disepakati oleh para sahabat, yang dinukilkan kepada kita dari generasi kegenerasi menurut keadaan sewaktu dibuatnya pertama kali. Dan kita pun tidak dapat menyandarkan hanya kepada tulisan penulis sebelum tulisan itu sesuai dengan hafalan tersebut berdasarkan isnad yang sahih dn mutawatir.
Dengan penjagaan yang ganda ini oleh Allah telah ditanamkan kedalam jiwa umat Muhammad untuk mengikuti langkah Nabi-Nya. Maka Quran tetap terjaga dalam benteng yang kokoh. Hal itu tidak lain untuk mewujudkan janji Allah yang menjamin terpeliharanya Quran seperti di firmankan-Nya :
`Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur`an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya`.(al-Hijr :9 ).
Dengan demikian Quran tidak mengalami penyimpangan, perubahan dan keterputusan sanad seperti terjadi pada kitab-kitab terdahulu.
Penjagaan ganda ini diantaranya menjelaskan bahwa kitab-kitab samawi lainnya diturunkan hanya untuk waktu itu, sedang Quran diturunkan untuk membetulkan dan menguji kitab-kitab yang sebelumnya. Karena itu Quran mencakup hakikat yang ada didalam kitab-kitab terdahulu dan menambahnya dengan tambahan yang dikehendaki Allah. Quran menjalankan fungsi-fungsi kitab-kitab sebelumnya, tetapi kitab-kitab itu tidak dapat menempati posisinya. Allah telah menakdirkan untuk menjadikannya sebagai bukti sampai hari kiamat. Dan apa bila Allah mengehndaki suatu perkara, maka Dia akan mempermudah jalannya ke arah itu. Karena Maha Bijaksana dan Maha Tahu. Inilah alasan yang paling kuat.
Allah telah melukiskan Quran dengan beberapa sifat, diantaranya ;
6. Nur (cahaya ) :
`Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang`.(an-nisaa : 174 )
7. Huda ( petunjuk ), Syifa` ( obat ), Rahmah ( rahmat ),dan Mauizah ( nasehat ) :
`Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman`.( Yunus : 57 ).
8. Mubin ( yang menerangkan ) :
`Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan`.( al-Maidah :15 ).
9. Mubarak ( yang diberkati ) :
`Dan ini adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya`.(al- An`am ;92 ).
10. Busyra ( kabar gembira ) :
`Katakanlah: `Yang membenarkan apa yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman`.(al-Baqarah :97 ).
11. `Aziz ( yang mulia ) :
`Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al Quraan ketika Al Quraan itu datang kepada mereka, , dan sesungguhnya Al Quraan itu adalah kitab yang mulia`.( Fushilat : 41 ).
12. Majid ( yang dihormati ) :
`Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur`an yang mulia`,( al-Buruuj ; 21 ).
13. Basyr ( pembawa kabar gembira ) :
`Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling, tidak mau mendengarkan`.( Fushilat ; 3-4 ).
Perbedaan antara Quran dengan Hadis Qudsi dan Hadis Nabawi
Definisi Quran telah dikemukakan pada halaman terdahulu. Dan untuk mengetahui perbedaan antara definisi Quran dengan hadis kudsi dan hadis nabawi, maka disini kami kemukakan dua definisi berikut ini :
1. Hadis Nabawi
Hadis ( baru ) dalam arti bahasa lawan qadim ( lama ). Dan yang dimaksud hadis ialah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik dalam keadaan jaga taupun dalam keadaan tidur. Dalam pengertian ini Quran juga dinamai hadis.
`Hadis (kata-kata ) siapakah orang yang lebih benar perkataan dari pada Allah`?(an-nisaa : 87 ).
Begitu pula apa yang terjadi pada manusia diwaktu tidurnya juga dinamakan hadis.
`�.dan Engkau telah mengajarkan kepadaku sebahagian takwil dari hadis-hadis-maksudnya mimpi`. (Yusuf : 101 ).
Sedang menurut istilah pengertian hadis ialah apa saja yang disandarkan kepada Nabi saw. Baik berupa perkataan, perbuatan persetujuan atau sifat.
Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi saw. :
`Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya�.`
yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan :
`Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat`.
juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata :
`Ambilah dari padaku manasik hajimu`.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti ia menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan ataupun perbuatan, dilakukan dihadapannya atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan baiwak yang dihidangkan kepadanya, dan persetujuannya dalam sebuah riwayat, Nabi saw, mengutus seseorang dalam suatu peperangan. Orang itu membaca suatu bacaan dalam salat yang diakhiri dengan qul huwallahu ahad. Setelah pulang mereka menyampaikannya kepada Nabi, lalu kata Nabi : tanyakan kepadanya mengapa ia bernuat demikian !` mereka pun menanyakannya. Dan orang itu menjawab. ` kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya`. Maka jawab Nabi :
`katakan kepadanya, Allah pun senang kepadanya`.
Dan yang berupa sifat adalah riwayat seperti : `bahwa Nabi saw. Itu selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula bernicara kotor dan tidak juga suka mencela��..`.
2. Hadis Kudsi
Kita telah mengetahui hadis secara etimologis. Sedangkan qudsi ( kudsi ) dinisbahkan sebagai kata quds, nisbah ini mengesankan rasa hormat, karena materi kata itu menunjukkan kebersihan dan kesucian dalam arti bahasa. Maka kata taqdis berarti menyucikan Allah. Taqdis sama dengan tathiir, dan taqddasa sama dengan tatahhara (suci, bersih ) Allah berfirman dengan kata-kata malaikat-Nya :
`��pada hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan diri kami karena Engkau.` (al-Baqarah : 30 )
yakni membersihkan diri untuk-Mu.
Hadis kudsi ialah hadis yang oleh Nabi saw, disandarkan kepada Allah. Maksudnya Nabi meriwayatkannya bahwa itu adalah kalam Allah. Maka rasul menjadi perawi kalam Allah ini dari lafal Nabi sendiri. Bila seseorang meriwayatkan hadis qudsi maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada Allah, dengan mengatakan :
`Rasulullah SAW mengataklan mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan:
`Rasulullah SAW mengatakan : Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.`
Contoh yang pertama :
`Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SAW mengenai apa yang diriwayatkannya dari Tuhannya Azza Wa Jalla, tangan Allah itu penuh, tidak dikurangi oleh nafakah, baik di waktu siang atau malam hari�.`
Contoh yang kedua :
`Dari Abu Hurairah Ra, bahwa Rasulullah SAW berkata : ` Allah ta`ala berfriman : Aku menurut sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya bila ia menyebut-Ku.bila menyebut-KU didalam dirinya, maka Aku pun menyebutnya didalam diri-Ku. Dan bila ia menyebut-KU dikalangan orang banyak, maka Aku pun menyebutnya didalam kalangan orang banyak lebih dari itu�.`
3. Perbedaan Quran dengan Hadis Kudsi
Ada beberapa perbedaan antara Quran dengan hadis kudsi,yang terpenting diantaranya ialah :
a. Al-Quranul Kariam adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah dengan lafalnya. Dan dengan itu pula orang arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Quran itu, atau sepuluh surah yang serupa itu, bahakan satu surah sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku, karena Quran adalah mukjizat yang abadi hingga hari kiamat.. sedang hadis kudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mukjizat.
b. Al- Quranul karim hanya dinisbahkan kepada Allah, sehingga dikatakan: Allah ta`ala telah berfirman, sedang hadis kudsi-seperrti telah dijelaskan diatas-terkadang diriwayatkan dengan disandarkan kepada Allah; sehingga nisbah hadis kudsi kepada Allah itu merupakan nisbah yang dibuatkan. Maka dikatakan : `Allah telah berfirman atau Allah berfirman.` Dan terkadang pula diriwayatkan dengan disandarkan kepada Rasulullah SAW tetapi nisbahnya adalah nisbah kabar, karena Nabi yang menyampaikan hadis itu dari Allah, maka dikatakan : Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang diriwayatkan dari Tuhannaya.
c. Seluruh isi Quran dinukil secara mutawatir, sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedang hadis-hadis kudsi kebanyakannya adalah khabar ahad, sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan. Ada kalanya hadis kudsi itu sahih, terkadang hasan ( baik ) dan terkadang pula da`if (lemah).
d. Al-Quranaul Karim dari Allah, baik lafal maupun maknanya. Maka dia adalah wahyu, baik dalam lafal maupun maknanya. Sedang hadis kudsi maknanya saja yang dari Allah, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW . hadis kudsi ialah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafal. Leh sebab itu, menurut sebagian besar ahli hadis diperbolehkan meriwayatkan hadis kudsi dengan maknanya saja.
e. Membaca Al-Quranul Karim merupakan ibadah, karena itu ia dibaca didalam salat. `Maka bacalah apa yang mudah bagimu dari Qur`an itu`(al-Muzammil : 20).
Nilai ibadah membaca Quran juga terdapat dalam hadis :
`Barang siapa membaca satu huruf dari Quran, dia akan memperoleh satu kebaikan. Dan kebaikan itu akan dibalas sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf, tetapi alif satu huruf, lam satu huruf dan mim satu huruf`.
Sedang hadis kudsi tidak disuruhnya membaca didalam salat. Alllah memberikan pahala membaca hadis kudsi secara umum saja. Maka membaca hadis kudsi tidak akan memperoleh pahala sperti yang disebutkan dalam hadis mengenai membaca Quran bahwa pada setiap huruf akan mendapatkan kebaikan.
4. Perbedaan Hadis Kudsi dan Hadis Nabawi
Hadis nabawi itu ada dua :
a. Tauqifi.
Yang bersifat tauqifi yaitu : yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW , sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun didalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi.
Yang bersifat taufiqi yaitu : yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, kerena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadis nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Da inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad saw. :
`Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan`.(an-najm :3-4).
Hadis kudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu car penurunan wahyu, sedang lafalnya dari Rasulullah SAW , inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadis kudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafalnya. Sebab seandainya hadis kudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadis kudsi dengan Quran; dan tentu pula gaya bahsanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah.
Mengenai hal ini timbul dua macam ketaskaan ( syubhah ) :
Pertama: bahwa hadis nabawi ini juga wahyu secara maknawi, yang lafalnya dari Rasulullah SAW , tetapi mengapa hadis nabawi tidak kita namakan juga hadsi kudsi ? jawabnya ialah bahwa kita merasa pasti tentang hadis kudsi bahwa ia diturunkan maknanya dari Allah karena adanya nash syara` yang menisbahkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah SAW ; Allah Ta`ala telah berfirman, atau Allah Ta`ala berfirman. Itulah sebabnya kita namakan hadis itu adalah hadis qudsi. Hal ini berbeda dengan hadis-hadis nabawi, kerena hadis nabawi tidak memuat nash tentang hal seperti ini. Disamping itu bisa jadi isinya diberitahukan ( kepada Nabi ) melalui wahyu ( yakni secara tauqifi ) namun mungkin juga disimpulkan melalui ijtihad ( yaitu secara taufiqi ), dan oleh sebab itu kita namakan masing-masing dengan nabawi sebagai terminal nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan mana wahyu tauqifi, tentulah hadis nabawi itu kita namakan pula hadis kudsi.
Kedua : Bahwa apa bila lafal hadis kudsi itu dari Rasulullah SAW maka dengan alasan apakah hadis itu dinisbahkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi ` Allah Ta`ala telah berfirman` atau ` Allah Ta`ala berfirman`?.
Jawabnya ialah bahwa hal yang demikian ini biasa terjadi dalam bahasa arab, yang menisbahkan kalam berdasarkan kandungannya bukan berdasar lafalnya. Misalnya ketika kita mengubah sebait syair menjadi prosa, kita katakan ` sipenyair berkata demikian` . juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang kita pun mengatakan `si fulan berkata demikian` . begitu juga Quran menceritakan tentang Nabi Musa, Fir`aun dan sebagainya isi kata-kata mereka dengan lafal mereka dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi dinisbatkan kepada mereka.
`Dan ketika Tuhanmu menyeru Musa : `Datangilah kaum yang zalim itu, kaum Fir`aun. Mengapa mereka tidak bertakwa?` Berkata Musa: `Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah kepada Harun . Dan aku berdosa terhadap mereka , maka aku takut mereka akan membunuhku`.Maka datanglah kamu berdua kepada Fir`aun dan katakanlah olehmu: `Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam, lepaskanlah Bani Israil beserta kami`.Fir`aun menjawab: `Bukankah kami telah mengasuhmu di antara kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu . dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: `Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah kamu telah memperbudak Bani Israil`.Fir`aun bertanya: `Siapa Tuhan semesta alam itu?` Musa menjawab: `Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya , jika kamu sekalian mempercayai-Nya`.(asy-syuara` : 10-24 )
Posted in Ulumul Qur'an
Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya
Qiraat Al-Quran Dan Para Ahlinya
Qiraat adalah jamak dari qira�ah, yang berarti �bacaan�, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara�a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur�an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur�an kepada orang-orang menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur�an ada tujuh orang, yaitu :
1. Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi�in disetiap negri mempelajari qiraat.
Diantara para tabi�in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, �Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan �Ata�- keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari�, Abdurrahman bin Hurmuz al A�raj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, �Ata�, bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi�in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakha�i, dan as Sya�bi.
Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja�, Nasr bin �Asim, Yahya bin Ya�mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sa�d- sahabat Abu Darda�.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi�in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja�far Yazid bin Qa�qa�, kemudian Nafi� bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al A�raj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A�masy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisa�i. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu A�mar �Ala�, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.
Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu �Amr, Nafi� , Asim, Hamzah, al Kisa�I, Ibn �Amir dan Ibn Kasir.�
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada bab diatas- menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan qur�an para imam, yang secara ijma� masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba�, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al �Urdah al �Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja�far Yazin bin Qa�qa� al Madani, Ya�kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A�masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn �Amr dan Ya�kub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan �Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn �Amir; di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi�. Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al Kisa�I dan membuang nama Ya�kub dari kelompok tujuh huruf tersebut.
Berkata as Suyuti : �Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja�far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri.�
Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya�kub al Hadrami, Abu Ja�far al Madani, Syaibah bin Nassa� dsb.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari� yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja�fa, Syaibah, al A�masyi dll. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi,� pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.
Abu Hayyan berkata : � Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul A�la, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil.� Dan katanya pula:� aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,�
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma� �alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra�yu (penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan �asshiratha� dalam ayat �ihdinassirathalmustaqim� (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni �assiratha�. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti �Maalikiyaumiddin� (al Fatihah: 4), lafal �Maliki� dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang �Alif�, sehingga dibaca �ãÇ ááÆ � sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula �Maliki� sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah �Ta�lamuun�, dengan �Ta� dan �Ya�. Juga �Yaghfirlakum� dengan �Ya� dan �nun� dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn �Amr �Wabizzuburi wabalkitabi� (Ali-�Imran: 184) dengan menetapkan �Ba� pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami.
3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai pedoman bagi qur�an. Hal ini karena qur�an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur�an sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan �Baari� kum� dan �Ya� murkum� mengkhafadkan �Walarham� , menasabkan �Liyujzi ya qauman� dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat �Qatlu aula dahum syuraka ihim� dan sebagainya;
Berkata Abu �Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf qur�an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata� qiraat adalah sunah muttaba�ah, sunah yang harus diikuti.
Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat qur�an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :
1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca �Mutta kiina �ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin� (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca �Laqad ja akum rasulun min anfusikum� (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf �Fa�.
4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab �Malaka yaumad daini� (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi�l madi dan menasabkan �Yauma�.
5. Maudu,� yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; � Laisa �alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min �arafatin � (al Baqarah :198). . kalimat �fi mawasimil hajja� adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.
Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat.
An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: �qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan qur�an. Qur�an yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca qur�an dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan �ijma� kaum muslimin bahwa qur�an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca qur�an dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.��
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur�an.
3. Bukti kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan makna (I�jaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara� tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat �Wam sahu bi ru�u sikum wa arjulikum ila ka�baini� (al Midah:6) dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata �Waarjulikum�. Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di �athafkan kepada ma;mul fi�il masaha �Wa am sahu biru�usikum waarjulikum� dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz �yathhurna� dalam ayat �Wala taq rabu hunna hatta yathhurna� (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, �yaththharna� dan takhfif �yath hurna�.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.
Dan qiraat �Fam dzu ila dzikrillah� menjelaskan arti yang dimaksud qiraat �Fas aw� yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : �Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jum�ati fas aw ila dzikrillah� ( al Maidah: 38) sebagai ganti kata �Aidiya huma� juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.
Demikian pula qiraat �Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu� (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.
Berkata Abu Ubaidah dalam fada�ilul qur�an, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah �Washalatil wustha shalatil ashri�(al Bqarah:238). Qiraat Ibn Maus�ud � Faqtha�u aimana huma� (al Maidah:38), dan qiraat Jabir �Fainnallaha min ba�di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran qur�an.
Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi�in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang ta�wil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah :
1. Abu �Amirbin �Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin �Ala bin �Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu�aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabi�in dan wafat dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.
Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H.
3. Nafi� al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi� bin Abdrrahman bin Abu Nua�im al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy.
Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi� memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H.
Sedang Warasy ialah �Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.
4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi�in. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi�in, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syu�bah dan Hafs.
Syu�bah ialah Abu Bakar Syu�bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.
6. Hamzah AlKufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja�far al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.
Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu �Isa, wafat 220 H.
7. Al Kisa�i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai �kisa� disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.
Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah :
8. Abu Ja�far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa�qa�, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi� Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H.
9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu�lu�I al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu�min al Basri an Nahwi, wafat pada 234 H atau 235 H.
10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa�lab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.
Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat itu adalah :
1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabi�in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H.
4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.
Qiraat adalah jamak dari qira�ah, yang berarti �bacaan�, dan ia adalah masdar (verbal noun) dari qara�a. Menurut istilah ilmiah, qiraat adalah salah satu mazhab (aliran) pengucapan Qur�an yang dipilih oleh salah seorang imam ahli qiaraat sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab lainnya.
Qiraat ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah. Periode qurra (ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan Qur�an kepada orang-orang menurut cara mereka-mereka masing adalah dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Diantara para sahabat yang terkenal mengajar qiraat ialah Ubai ra, Ali bin Abi Thalib ra, Zaid ra, Ibn Masud ra dan Abu Musa al Ansary ra serta masih banyak lagi yang lainnya. Dari mereka itulah sebagian besar sahabat dan tabi`in di berbagai negeri belajar qiraat. Mereka itu semuanya bersandar kepada Rasulullah.
Az Zahabi menyebutkan di dalam kitab Tabaqatul Qurra, bahwa sahabat yang terkenal sebagai guru dan ahli qiraat Qur�an ada tujuh orang, yaitu :
1. Usman bin Al-`Affan ra
2. Ali bin Abi Thalib ra
3. Ubai bin Kaab ra
4. Zaid bin Haritsah ra
5. Abu Darda ra
6. Abu Musa al Anshary ra.
7. Ibnu Mas`ud ra.
Lebih lanjut ia menjelaskan, segolongan besar sahabat mempelajari qiraat dari Ubai, diantaranya Abu Hurairah, Ibn Abbas, dan Abdullah bin Sa`id, Ibn Abbas belajar pula kepada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi�in disetiap negri mempelajari qiraat.
Diantara para tabi�in tersebut ada yang tinggal di Madinah yaitu Ibnul Musayyab, �Urwah, Salim, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman dan �Ata�- keduanya putra Yasar-, Muaz bin Haris yang terkenal dengan Muaz al Qari�, Abdurrahman bin Hurmuz al A�raj, Ibn Syihab az Zuhri, Muslim bin Jundab dan Zaid bin Aslam.
Yang tinggal di Mekkah ialah : Ubaid bin Umar, �Ata�, bin Abu Rabah, Tawus, Mujahid, Ikrimah dan Ibn Abu Malikah.
Tabi�in yang tinggal di Kuffah ialah : Alqamah, al Aswad, Masruq, Ubaidah, Amr, bin Syurahbil, al Haris bin Qais, Amr bin Maimun, Abu abdurahman as Sulami, Said bin Jubair, an Nakha�i, dan as Sya�bi.
Yang tinggal di Basyrah ialah : Abu Aliyah, Abu Raja�, Nasr bin �Asim, Yahya bin Ya�mar, al Hasan, Ibn Sirin dan Qatadah.
Sedang yang tinggal di Syam ialah : al Mughirah bin Abu Syihab al Makhzumi-murid Usman, dan Khalifah bin Sa�d- sahabat Abu Darda�.
Pada permulaan abad pertama Hijrah dimasa tabi�in, tampilah sejumlah ulama yang membulatkan tenaga dan perhatiannya terhadap masalah qiraat secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, dan menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat yang lainnya, sehingga mereka menjadi imam dan ahli qiraat yang diikuti dan dipercaya. Bahkan dari generasi ini dan generasi sesudahnya terdapat tujuh orang terkenal sebagai imam yang kepada mereka dihubungkan;ah (dinisbahkanlah) qiraat hingga sekarang ini.
Para qiraat tersebut di madinah ialah : Abu Ja�far Yazid bin Qa�qa�, kemudian Nafi� bin Abdurrahman, ahli qiraat di mekkah ialah : Abdullah bin Kasir dan Humaid bin Qais al A�raj. Di Kufah ialah : Asim bin Abu Najud, Sulaiman al A�masy, kemudian Hamzah dan kemudian al Kisa�i. Di Basrah ialah : Abdullah bin Abu Ishaq,, Isa Ibn Amr, , Abu A�mar �Ala�, Asim al Jahdari dan Ya;kub al Hadrami. Dan di Syam ialah : Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdullah bin Muhajir, kemudian Yahya bin Haris dan kemudian Syuraih bin Yazid al Hadrami.
Ketujuh orang yang terkenal sebagai ahli qiraat diseluruh dunia diantara nama-nama tersebut ialah Abu �Amr, Nafi� , Asim, Hamzah, al Kisa�I, Ibn �Amir dan Ibn Kasir.�
Qiraat-qiraat itu bukanlah tujuh huruf- sebagaimana yang dimaksdkan dalam hadis pada bab diatas- menurut pendapat yang paling kuat. Meskipun kesamaan bilangan diantara keduanya mengesankan demikian. Sebab qiraat-qiraat hanya merupakan madzhab bacaan qur�an para imam, yang secara ijma� masih tetap exis dan digunakan umat hingga kini. Dan sumbernya adalah perbedaan langgam, cara pengucapan dan sifatnya, seperti : tafkhim, tarqiq, imalah, idgham, izhar, isyba�, madd, qasr, tasydid, takhfif dan lain sebagainya. Namun semuanya itu hanya berkisar dalam satu huruf, yaitu huruf quraisy.
Sedangkan maksud tujuh huruf adalah berbeda dengan qiraat, seperti yangvtelah kita jelaskan. Dan persoalannya sudah berakhir sampai pada pembacaan terakhir ( al �Urdah al �Akhirah), yaitu ketika wilayah expansi bertambah luas dan ikhtilaf tentang huruf-huruf itu menjadi kekhawatiran bagi timbulnya fitnah dan kerusakan, sehingga para sahabata pada masa Usman terdorong untuk mempersatukan umat islam pada satu huruf, yaitu huruf quraisy, dan menuliskan mushaf-mushaf dengan huruf tersebut sebagaimana telah kita jelaskan.
Popularitas Tujuh Imam Qiraat
Imam atau guru qiraat itu cukup banyak jumlahnya, namun yang populer hanya tujuh orang. Qiraat tujuh orang imam ini adalah qiraat yang telah disepakati. Akan tetapi disamping itu para ulama memilih pula tiga orang imam qiraat yang qiraatnya dipandang sahih dan mutawatir. Mereka adalah Abu Ja�far Yazin bin Qa�qa� al Madani, Ya�kub Bin Ishaq al Hadrami dan Khalaf bin Hisyam. Ketiga imam terakhir ini dan tujuh imam diatas dikenal dengan imam qiraat. Dan qiraat diluar yang sepuluh ini dipandang qiraat syaz. Seperti qiraat Yazidi, Hasan, A�masy, Ibn Jubair dan lain-lain. Meskipun demikian, bukan berarti tidak satupun dari qiraat sepuluh dan bahkan qiraat tujuh yang masyhur itu terlepas dari kesyazan, sebab didalam qiraat-qiraat tersebut masih terdapat juga beberapa kesyazan sekalipun hanya sedikit.
Pemilihan qurra (ahli qiraat) yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama terkemudian pada abad ketiga hijri. Bila tidak demikian maka sebenarnya para imam yang dapat mempertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya. Pada abad permulaan kedua umat islam di Basrah memilih qiraat Ibn �Amr dan Ya�kub; di Kufah orang-orang memilih qiraat Hamzah dan �Asim; di Syam mereka memilih qiraat Ibn �Amir; di mekkah mereka meilih qiraat Ibn Kasir, dan di madinag memilih qiraat Nafi�. Mereka itulah tujuh orang qari, tetapi pada permulaan abad ke tiga Abu Bakar bin Mujahid menetapkan nama al Kisa�I dan membuang nama Ya�kub dari kelompok tujuh huruf tersebut.
Berkata as Suyuti : �Orang pertama yang menyusun kitab tentang qiraat ialah Abu Ubaid al Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al Kufi, kemudian Ismail bin Ishaq al Maliki, murid Qalun, kemudian Abu Ja�far bin Jarir at Tabari, kemudian Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad Dajuni. Kemudian Abu Bakar bin Mujahid. Kemudian pada masa Ibn Mujahid ini dan sesudahnya, tampulah para ahli yang menyusun buku mengenai berbagai macam qiraat, baik yang mencakup qiraat maupun tidak, secara singkat maupun panjang lebar. Imam-imam qiraat itu sebenarnya tidak terhitung jumlahnya. Hafizul islam Abu Abdullah Az Zahabi telah mentusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti pula oleh Hafizul Qurra Abul Khair bin Jaziri.�
Imam Ibn Jaziri didalam an Nasyr mengemukakan, Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaid al Qasim Ibn Salam. Menurut perhitunganku, ia mengumpulkan dua puluh lima orang ulama ahli qiraat selain yang tujuh itu. Ia wafat pada 224. kemudian al Jaziri mengatakan pula, sesudah itu, Abu Bakar Ahmad bin Musa bin Abbas bin Mujahid merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qiraat tujuh imam saja. Ia wafat pada 324. selanjutnya ia mengatakan, kami mendapat berita dari sebagian orang yang tidak berpengetahuan bahwa qiraat yang benar ialah qiraat-qiraat yang berasal dari tujuh imam. Bahkan dalam pandangan sebagian besar orang yang jahil, qiraat-qiraat yang benar itu hanyalah yang terdapat didalam asy- Syatibiyyah dan at-Taisir.
Sebab-sebab mengapa hanya tujuh imam qiraat saja yang masyhur pada hal masih banyak imam-imam qirat lain yang lebih tinggi kedudukannya atau setingkat dengan mereka dan jumlahnya pun lebih dari tujuh, ialah karena sangat banyaknya periwayat qiraat mereka. Ketika semangat dan perhatian para generasi sesudahnya menurun, mereka lalu berupaya untuk membatasi hanya pada qiraat yang sesuai dengan khat mushaf serta dapat mempermudah penghafalan dan pen-dabi-tan qiraatnya. Langkah yang ditempuh generasi penerus ini ialah memperhatikan siapa diantara ahli qiraat itu yang lebih populer kredibilitas dan amanahnya, lamanya waktu dalam menekuni qiraat adan adanya kesepakatn untuk diambil serta dikembangkan qiraatnya. Kemudian dari setiap negeri dipilihlah seorang imam. Tetapi tanpa mengabaikan penukilan qiraat imam diluar yang tujuh orang itu, seperti qiraat Ya�kub al Hadrami, Abu Ja�far al Madani, Syaibah bin Nassa� dsb.
Para penulis kitab tentang qiraat telah memberikan andil besar dalam membatasi qiraat pada jumlah tertentu, sebab pembatasannya pada sejumlah imam qiraat tertentu tersebut, merupakan faktor bagi popularitas mereka padahal masih banyak qari-qari lain yang lebih tinggi kedudukannya dari mereka. Dan ini menyebabkan orang menyangka bahwa para qari� yang qiraat-qiraatnya dituliskan itulah imam-imam qiraat terpercaya. Ibn Jabr al Makki telah menyusun sebuah kitab tentang qiraat, yang hanya membatasi hanya pada lima orang qari saja. Ia memilih seorang Imam dari setiap negeri, dengan pertimbangan bahwa mushaf yang dikirimkan Usman kenegeri-negeri itu hanya lima buah. Sementara itu seebuah pendapat mengatakan bahwa Usman mengirimkan tujuh buah mushaf; lima buah seperti ditulis oleh al makki ditambah satu mushaf ke Yaman dan satu mushaf lagi ke Bahrain. Akan tetapi kedua mushaf terakhir ini tidak terdengar kabar beritanya. Kemudian Ibn Mujahid dan lainnya berusaha untuk menjaga bilangan mushaf yang disebarkan Usman tersebut. Maka dari mushaf Bahrain dan mushaf Bahrain itu mereka mencantumkan pula ahli qiraatnya untuk menyempurnakan jumlah bilangan (tujuh). Oleh karena itu, para ulama berpendapat bahwa berpegang pada qiraat tujuh ahli qiraat itu, tanpa yang lain, tidaklah berdasarkan pada asar maupun sunah.sebab jumlah itu hanyalah hasil usaha pengumpulan oleh beberapa orang terkemudian, yang kemudian kumpulan tersebut tersebar luas. Seandainya Ibn Mujahid menuliskan pula qari itupun akan terkenal pula. Abu Bakar Ibnul Arabi berkata : Penentuan ketujuh orang qari ini tidak dimaksudkan behwa qiraat yang boleh dibaca itu hanya terbatas tujuh sehingga qiraat yang lainnya tidak boleh dipakai, seperti qiraat Abu Ja�fa, Syaibah, al A�masyi dll. Karena para qari ini pun kedudukannya sama dengan tujuh atau bahkan lebih tinggi,� pendapat ini dikatakan pula oleh banyak ahli qiraat lainnya.
Abu Hayyan berkata : � Dalam kitab karya Ibn Mujahid dan orang yang mengikutinyasebenarnya tidak terdapat qiraat yang masyhur, kecuali sedikit sekali. Sebagai misal Abu Amr Ibnul A�la, ia terkenal mempunyai tujuh belas perawi-kemudian disebutkanlah nama-nama mereka itu. Tetapi dalam kitab Ibn Mujahid hanya disebutkan al Yazidi, dan dari al Yazidi inipun diriwayatkan oleh sepuluh orang perawi. Maka bagaimana ia dapat merasa cukup dengan hanya menyebutkan as Susi dan ad Dauri, padahal keduanya tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari yang lain ? sedang para perawi itu sama dalam tingkat ke-dabit-an, keahlian dan kesetaraannya untuk diambil.� Dan katanya pula:� aku tidak mengetahui alasan sikap Ibn Mujahid ini selain dari kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya,�
Macam-macam Qiraat, Hukum dan Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qiraat itu ada yang mutawatir, ahad dan syaz. Menurt mereka, qiraat mutawatir ialah qiraat yang tujuh, sedang qiraat ahad ialah tiga qiraat yang menggenapkannya menjadi sepuluh qiraat ditambah qiraat pra sahabat, dan selain itu adalah qiraat syaz. Dikatakan, bahwa qiraat yang sepuluh adalah dalam hal ini baik dalam qiraat yang termasuk qiraat tujuh, qiraat sepuluh maupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qiraat yang sahih. Abu Syamah dalam al Mursyidul Wajiz mengungkapkan, tidak sepantasnya kita tertipu oleh setiap qiraat yang disandarkan kepada salah satu ahli qiraat tujuh dengan menyatakannya sebagai qiraat yang sahih (benar) dan seperti itulah qiraat tersebut diturunkan kecuali bila qiraat itu telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam dabit. Dengan begitu, maka seorang penyusun tidak seyogyanya hanya memindahkan (menukil) qiraat yang dikatakannya berasal dari seorang imam tersebut tanpa menukil qiraat dari yang lain, atau khusus hanya menukilkan qiraat dari imam tujuh orang saja. Tetapi hendaknya ia menukilkan semua qiraat berasal dari qurra lain. Cara demikian ini tidak mengeluarkan sesuatu qiraat dari kesahihannya. Sebab, yang menjadi pedoman ialah terpenuhinya sifat-sifat atau syarat-syarat , bukan siapa yang kepadanya qiraat itu dihubungkan. Hal ini karena qiraat yang dihubungkan kepada stiap qari yang tujuh atau yang lain itu, ada yang disepakati (mujma� �alaih) da ada pula yang syaz. Hanya saja karena popularitas qari yang tujuh dan banyaknya qiraat mereka yang telah disepakati kesahihannya maka jiwa merasa lebih tenteram dan cenderung menerima qiraat yang berasal darimereka melebihi qiraat yang bersumber dari qari-qari lainnya.
Menurut mereka, dabit atau kaidah qiraat yang sahih adalah sebagai berikut:
1. Kesesuaian qiraat tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik segi itu fasih ataupun lebih fasih, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan ra�yu (penalaran).
2. Qiraat sesuai dengan salah satu mushaf Usmani, sekalipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat teah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara ppenulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qiraat yang mereka ketahui. Misalnya mereka akan menuliskan �asshiratha� dalam ayat �ihdinassirathalmustaqim� (al Fatihah: 6) dengan shad sebagai ganti dari sin. Mereka tidak menuliskan sin yakni �assiratha�. Meskipun dalam satu segi berbeda dalam satu rasm. Namun qiraat dengan sin pun telah memenuhi atau sesuai dengan bahasa asli lafaz tersebut yang dikenal, sehingga kedua bacaan itu dianggap sebanding. Dan bacaan isymam untuk itupun dimungkinkan pula.
Yang dimaksud dengan sesuai yang hanya sekadar mendekati saja (muwafaqah ihtimaliyah) adalah seperti contoh diatas. Misal yang lainnya seperti �Maalikiyaumiddin� (al Fatihah: 4), lafal �Maliki� dituliskan dalam semua mushaf dengan membuang �Alif�, sehingga dibaca �ãÇ ááÆ � sesuai dengan rasm secara tahqiq (jelas) dan dibaca pula �Maliki� sesuai dengan rasm secara ihtimal (kemungkinan). Dan demikian pula contoh yang lain.
Contoh qiraat-qiraat yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah �Ta�lamuun�, dengan �Ta� dan �Ya�. Juga �Yaghfirlakum� dengan �Ya� dan �nun� dan lain-lain. Kekosongan rasm dari titik dan dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para sahabat dalam ilmu ejaan khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan qiraat yang sahih tidak disyaratkan qiraat itu harus sesuai dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang tedapat dalam sebagian mushaf saja. Misalnya qiraat Ibn �Amr �Wabizzuburi wabalkitabi� (Ali-�Imran: 184) dengan menetapkan �Ba� pada kedua lafaz itu, qiraat ini dipandang sahih karena yang demikian ditetapkan pula dalam mushaf Syami.
3.Qiraat itu harus sahih isnadnya, sebab qiraat merupakan sunah yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat. Sering kali ahli bahasa arab mengingkari sesuatu qiraat hanya karena qiraat itu tidak sejalan dengan aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qiraat tidak menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalan dabit bagi qiraat yang sahih. Apa bila ketiga syarat ini yang terpenuhi, yaitu: 1) sesuai dengan bahasa arab 2) sesuai degan rasm mushaf dan 3) sahih sanadnya, maka qiraaat tersebut adalah qiraat yang sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qiraat itu dinamakan qiraaat yang lemah, syaz atau batil.
Yang mengherankan ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qiraat sahih yang telah memenuhi ayarat-syarat tersebut, hanya semata-mata qiraat tersebut bertentangan dengan kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok ukur bagi kesahihan bahasa. Seharusnya qiraat yang sahih itu dijadikan sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya, menjadikan khaidah ini sebagai pedoman bagi qur�an. Hal ini karena qur�an adalah sumber pertama dan pokok bagi pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur�an sendiri didasarkan pada kesahihan, penukilan dan riwayat yang menjadi landasan para Qari; bagaimanapun juga adanya. Ibn Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qiraaat yang sahih ini menegaskan, kata-kata dalam kaidah diatas meskipun hanya dalam satu segi, yang kami maksudkan adalah satu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih maupun lebih fasih, disepakati maupun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan kaidah nahwu tidaklah mengurangi kesahihan, sesuatu qiraat jika qiraat tersebut telah tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang sahih, sebab hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama. Memang, tidak sedikit qiraat yang diingkari oleh ahli nahwu atau sebagian besar mereka, tetapi keingkaran mereka iti tidak perlu dihiraukan. Seperti mensukunkan �Baari� kum� dan �Ya� murkum� mengkhafadkan �Walarham� , menasabkan �Liyujzi ya qauman� dan memisahkan antara mudhaf dengan mudhaf ilaih, seperti dalam ayat �Qatlu aula dahum syuraka ihim� dan sebagainya;
Berkata Abu �Amr ad Dani, para imam qiraat tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf qur�an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mentap maka, aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak bisa menolak atau mengingkarinya, sebab qiraat adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. Zaid bin Sabit berkata� qiraat adalah sunah muttaba�ah, sunah yang harus diikuti.
Baihaqi menjelaskan maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraat qur�an merupakan sunah atau tradisi yang harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf dan merupakan imam dan tidak pula menyalahi qiraat-qiraat yang masyhur, meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab. Sebagian utama menyimpulkan macam-macam qiraat menjadi enam macam :
1. Mutawatir ; yaitu qiraat yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Dan inilah yang umum dalam hal qiraat.
2. Masyhur, yaitu qiraat yang sahih sanadnya, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan rasm Usmani serta terkenal pula dikalangan para ahli qiraat, sehingga karenanya tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syaz. Para ulama menyebutkan bahwa qiraat semacam ini termasuk qiraat yang dapat diapakai atau digunakan.
3. Ahad, yaitu qiraat yang sahih sanadnya tetapi menyalahi rasm Usmani, menyalahi kaidah bahasa arab atau tidaj terkenal seperti halnya qiraat masyhur yang telah disebutkan. Qiraat macam ini tidak termasuk qiraat yang dapat diamalkan bacaannya. Diantara contohnya ialah seperti yang diriwayatkan dari Abu Bakrah, bahwa Nabi membaca �Mutta kiina �ala rafa rifa khudrin wa aba qariya hisanin� (ar Rahman : 76) dan yang diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa ia membaca �Laqad ja akum rasulun min anfusikum� (at Taubah :128), dengan membaca fathah huruf �Fa�.
4. Syaz, yaitu qiraat yang tidak sahih sanadnya, sepeti qiraat arab �Malaka yaumad daini� (al Fatihah: 4), dengan bentuk fi�l madi dan menasabkan �Yauma�.
5. Maudu,� yaitu qiraat yang tidak ada asalnya.
6. Mudraj, yaitu yang ditambahkan kedalam qiraat sebagai penafsiran, seerti qiraat Ibn Abbas; � Laisa �alaikum junahun an tabtaghu fadlan min rab bakum fi mawasimil hajja faidzak fad tum min �arafatin � (al Baqarah :198). . kalimat �fi mawasimil hajja� adalah penafsiran yang disisipkan kedalam ayat.
Keenam macam terakhir ini tidak boleh diamalkan bacaannya. Jumhur berpendapat bahwa qiraat yang tujuh itu mutawatir. Dan yang tidak mutawatir, seperti Masyhur, tidak boleh dibaca didalam maupun diluar salat.
An-Nawawi dalam kitab beliau Al-Majmu` Syarh Al Muhazzab berkata: �qiraat yang syaz tidak boleh dibaca baik di dalam maupun diluar salat, karena ia bukan qur�an. Qur�an yang ditetapkan dengan sanad yang mutawatir, sedang qiraat yang syaz tidak mutawatir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah satu jahil. Seandainya seseorang menyalahi pendapat ini dan membaca dengan qiraat yang syaz, maka ia harus diingkari baik bacaab itu didalam maupun diluar salat. Para fuqaha bagdad sepakat bahwa orang yang membaca qur�an dengan qiraat yang syaz harus disusruh bertobat. Ibn Abdil Barr menukilkan �ijma� kaum muslimin bahwa qur�an tidak boleh dibaca dengan qiraat yang syaz dan juga tidak syah salat di belakang orang yang membaca qur�an dengan qiraat-qiraat yang syaz itu.��
1. Menunjukkan betapa terjaga dan terpeliharanya kitab Allah dari perubahan dan penyimpangan pada hal kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
2. Meringankan umat islam dan memudahkan mereka untuk membaca qur�an.
3. Bukti kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan makna (I�jaz)nya, karena setiap qiraat menunjukkan sesuatu hukum syara� tertentu tanpa perlu pergulangan lafaz. Misalnya ayat �Wam sahu bi ru�u sikum wa arjulikum ila ka�baini� (al Midah:6) dengan m,enasbkan dan mengkhafadkan kata �Waarjulikum�. Dalam qiraat yang menasabkan dalam penjelasan qiraat dengan jar (khafad) menjelaskan hukum dengan alasan lafaz itu di �athafkan kepada ma;mul fi�il masaha �Wa am sahu biru�usikum waarjulikum� dengan demikian, maka kita dapat menyimpulkan dua hukum tanpa berpanjang lebar kata. Inilah sebagian makna kemukjizatan qur�an dari segi kepadatan maknanya.
4. Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qiraat lain.misalnya, lafaz �yathhurna� dalam ayat �Wala taq rabu hunna hatta yathhurna� (al Baqarah: 222), yang dibaca dengan tasydid, �yaththharna� dan takhfif �yath hurna�.
Qiraat dengan tasydid menjelaskan makna qiraat dengan tahfif, sesuai dengan pendapat jumhur ulama. Karena itu isteri yang haid tidak halal dicampuri oleh suaminya. Karena telah suci dari haid, yaitu terhentinya darah haid, sebelum isteri tersebut bersuci dari air.
Dan qiraat �Fam dzu ila dzikrillah� menjelaskan arti yang dimaksud qiraat �Fas aw� yaitu pergi, bukan berjalan cepat- dalam firmanNya : �Ya ayyuhall ladzina amanu idza nu diya ti lissalati min yaumil jum�ati fas aw ila dzikrillah� ( al Maidah: 38) sebagai ganti kata �Aidiya huma� juga menjelaskan tangan mana yang harus dipotong.
Demikian pula qiraat �Wallahu akhun aw ukhtun min umma falikulla wahidin min humas sudusu� (an Nisa; 12) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan saudara dalam ayat tersebut adalah saudara laki-laki seibu. Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dengan adanya perbedaan qiraat, maka timbulah perbedaan dalam hukumnya.
Berkata Abu Ubaidah dalam fada�ilul qur�an, : maksud qiraat yang syaz ialah ; menafsirkan qiraat yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya. Misalnya qiraat Aisyah dan Hafsah �Washalatil wustha shalatil ashri�(al Bqarah:238). Qiraat Ibn Maus�ud � Faqtha�u aimana huma� (al Maidah:38), dan qiraat Jabir �Fainnallaha min ba�di ikri hinna lahunna ghafururrahim (an Nur: 33) katanya pula : huruf-huruf (qiraat) ini dan yang serupa dengannya telah menjadi penafsiran qur�an.
Qiraat- penafsiran- ini adalah diriwayatkan dari tabi�in dan kemudian dianggap baik. Maka bagaimana pula bila yang demikian itu diriwayatkan dari tokoh-tokoh sahabat dan bahkan kemudian menjadi bagian dari suau qiraat ? tentu hal ini lebih baik dan labih kuat dari pada sekedar tafsir. Setidak-tidaknya, manfaat yang dapat dipetik dari huruf-huruf ini ialah pengetahuan tentang ta�wil yang benar (sahih).
Ketujuh imam qiraat yang masyhur dan disebutkan secara khusus oleh Abu Bakar bin Mujahid karena menurutnya mereka adalah ulama yang terkenal hafalan, ketelitian dan cukup lama menekuni dunia qiraat serta telah disepakati untuk diambil dan dikembangkan qiraatnnya adalah :
1. Abu �Amirbin �Ala
Beliau seorang guru besar para perawi. Nama lengkapnya adalah Zabban bin �Ala bin �Amr Al Mazini Al Basri. Ada yang mengataklan bahwa namanya adalah Yahya. Juga dikatakan bahwa nama aslinya adalah Kunyah-nya itu. ia wafat di Kufah 154 H. dan dua orang perawinya adalah ad Dauri dan as Susi.
Ad-Dauri adalah Abu Umar Hafs bin Umar bin Abdul Aziz adDauri anNahwi. Ad Dauri nama tempat di Bagdad. Ia wafat pada 264 H.
As-Susi adalah Abu Syu�aib Salih bin Ziyad bin Abdullah asSusi. Ia wafat pada 261 H.
2. Ibn Kasir.
Nama lengkapnya Abdullah bin Kasir al Makki. Dia termasuk seorang tabi�in dan wafat dimekkah tahun 120 H. dua orang perawinya ialah al Basyi dan qunbul.
Al Bazi adalah Ahmad bin Muhammad bin Abdullah bin Abu Baza, muadzin di mekkah dia diberi kunyah Abu Hasan. Dan wafat di mekkah pada 250 H.
Sedang Qunbul adalah Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Khalid bin Said al Makki al Makhzumi, ia diberi kunyah Abu Amr dan diberi julukan (panggilan) Qunbul. Dikatakan bahwa ahlul bait di Mekah ada yang dikenal dengan nama Qanabailah. Ia wafat di mekkah pada 291 H.
3. Nafi� al Madani.
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwain Nafi� bin Abdrrahman bin Abu Nua�im al Laisi, berasal dari sifahan, dan wafat di madinah pada 169 H. Dua orang perawinya ialah Qalun dan Warasy.
Qalun ialah Isa bin Munya al Madani. Ia adalah seorang guru bahasa arab yang mempunyai kunyah Abu Musa dan mempunyai julukan Qalun. Diriwayatkan bahwa Nafi� memberinya nama panggilan Qalun karena keindahan suaranya. Sebab kata Qalun dalam bahasa rumawi berarti baik. Ia wafat dimedinah pada 220 H.
Sedang Warasy ialah �Usman bin Said al Misry. Ia diberi kunyah Abu Said dan diberi julukan Warasy karena teramat putihnya. Ia wafat di Mesir 198 H.
4. Ibn Amir asy Syami.
Nama lengkapnya ialah Abdullah bin Amir al Yahsubi, seorang qadi (hakim) didamaskus pada masa pemerintahan Walid bin Abdul Malik. Nama panggilanya adalah Abu Imran, ia termasuk seorang tabi�in. wafat didamaskus pada 118 H. Dua orang perawinya ialah Hisyam dan Ibn Zakwan.
Hisyam ialah Hisyam bin Imar bin Nusair, qadi Damaskus. Ia diberi kunyah Abul Walid. Dan wafat pada 245 H.
Sedang Ibn Zakwan adalah Abdullah bin Ahmad bin Basir bin Zakwan al Qurasyi ad Dimasyqi. Ia diberi kunyah Abu Amr. Dilahirkan pada 173 H. dan wafat di Damaskus pada 242 H.
5. `Asim al Kufi.
Ia adalah Asim bin Abu Najud, dan dinamakan pula Abu Bahdalah, Abu Bakar. Ia termasuk seorang tabi�in, dan wafat di kufah pada 128 H. dua orang perawinya ialah Syu�bah dan Hafs.
Syu�bah ialah Abu Bakar Syu�bah bin Abbas bin Salim al Kufi. Wafat 193 H.
Sedang Hafs adalah Hafs bin Sulaiman bin Mughirah al Bazzaz al Kufi. Nama pangilannya adalah Abu Amr, ia adalah orang terpercaya. Menurut Ibn Muin, ia lebih pandai qiraatnya dari pada Abu Bakar. Wafat pada 180 H.
6. Hamzah AlKufi.
Ia adalah Hamzah bin Habib bin Imarah Az Zayyat al Fardi at Taimi. Ia diberi kunyah Abu Imarah. Dan wafat di Halwan pada masa pemerintahan bu Ja�far al Mansyur tahun 156 H. Dua orang perawinya ialah Khalaf dan Khalad.
Khalaf ialah Khalaf bin Hisyam al Bazzaz. Ia diberi kunyah Abu Muhhamad. Wafat dibagdad 229 H. Sedang Khalad adalah Khalad bin Walid,dn dikatakan pula Ibn Khalid as Sairafi al Kufi. Ia diberi kunyah Abu �Isa, wafat 220 H.
7. Al Kisa�i Al-Kufi
Beliau adalah Ali bin Hamzah. Seorang imam ilmu nahwu di Kufah. Ia diberi kunyah Abul Hasan. Dinamakan dengan al Kisai karena ia memakai �kisa� disaat ihram. Ia wafat di Barnabawaih, sebuah perkampungan di Ray, dalam perjalanan menuju Khurasan bersama arRsyid pada 189 H. Dua orang perawinya adalah Abul Haris dan Hafs ad Dauri.
Abul haris adalah al Lais bin Khalid al Bagdadi, wafat pada 240 H.
Sedang Hafs ad Dauri adalah juga perawi Abu Amr yang telah disebutkan terdahulu.
Adapun ketiga imam qiraat yang menyempurnakan imam qiraat tujuh, menjadi sepuluh ialah :
8. Abu Ja�far al Madani.
Beliau adalah Yazid bin Qa�qa�, wafat dimadinah pada 128 H. dan dikatakan pula 132 H. Dua orang perawinya ialah Ibn Wardan dan Ibn Jimaz.
Ibn Wardan adalah Abul Haris Isa bin Wardan al Madani, wafat dimadinah pada awal 160 H. Sedang Ibn Jimaz adalah Abur Rabi� Sulaiman bin Muslim bin Jimas al Madani, wafat pada akhir 170 H.
9. Ya`kub al Basyri.
Beliau adalah Abu Muhhammad Ya;kub bin Ishaq bin Zaid al Hadrami, wafat di basrah pada 205 H, tetapi dikatakan pula 185 H. Dua orang perawinya ialah Ruwais dan Rauh.
Ruwais adalah Abu Abdullah Muhammad bin Mutawakkil al Lu�lu�I al Basyri. Ruwais adalah julukannya, wafat di Basrah pada 238 H.
Sedang Rauh adalah Abul Hasan Rauh bin Abdul Mu�min al Basri an Nahwi, wafat pada 234 H atau 235 H.
10. Khalaf.
Beliau adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Sa�lab al Bazar al Baghdadi, ia wafat pada 229 H, tetapi dikatakan pula bahwa tahun kewafatannya tidak diketahui. Dua orang perawinya ialah Ishaq dan Idris.
Ishaq adalah Abu Ya;kub Ishaq bin Ibrahim bin Usman al Waraq al Marwazi kemudian al Bagdadi. Wafat pada 286 H.
Sedang Idris adalah Abul Hasan Idris bin Abdul Karim al Bagdadi al Haddad. Ia wafat pada hari Idul adha 292 H.
Sebagian ulama menambahkan pula empat qiraat kepada yang sepuluh itu, keempat qiraat itu adalah :
1. Qiraat al Hasanul Basri, maula (mantan sahaya) kaum anshar dan kaum tabi�in besar yang terkenal dengan kezuhudannya.wafat pada 110 H.
2. Qiraat Muhammad bin Abdurrahman yang dikenal dengan Ibn Muhaisin, wafat pada 123 H. dan ia adalah syaikh. Guru Abu Amr.
3. Qiraat Yahya bin Mubarak al Yazidi an Nahwi dari Bagdad. Ia mengambil qiraat dari Abu Amr dan Hamzah, dan ia adalah syaikh atau guru ad Dauri dan as Susi. Wafat pada 202 H.
4. Qiraat Abul Faraj Muhammad bin Ahmad asy Syanbusy, wafat 388 H.
Posted in Ulumul Qur'an
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabih
Perbedaan Muhkam dan Mutasyabih
Allah menurunkan Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahluk Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Diman ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerang kan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah ummul kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demia menyelamatkan umar islam dan menjaga existensinya. FirmanNya :
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (Fushilat: 3)
pokok-pokok agam tersebut dibeberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslib (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknnya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’I) kepada yang bersifat universal (kulli), sementara itu beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. Dengan ketegasasn dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka islam menjadi agam abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan didunia dan akhirat, disepanjang masa dan waktu.
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata : “hakamtud dabbata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan : “hakamtus safiha wa ahkamtuhu” artinya saya memegang kedua tangan orang dungu, juga dikatakan : ” hakamtud dabbata wa ahkamtuha” artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmag dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi kalam muhkam adalah perkataa yang seperti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya ialah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya : Alif laam raa, suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,(hud :1)
“Alif lam ra inilah ayat-ayat Qur’an yang mengandung hikmah (Yunus: 1)
qur’an itu seluruhnya muhkam, maksudnya Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan yang batil dan antara yang benar dan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al ihkam al ‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman dalam surah ( al Baqarah: 25). Maksudnya sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaiman ditegaskan dalam ayat (az Zumar: 23)
Dengan demikian, maka Qur’an itu seluruhnya mutasuabih. Maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabuh al ‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secar mutlak atau umum sebagaimana diatas ini tidak menafikkan atau kontradiksi satu dengan yang lain, jadi pernyataan Qur’an itu seluruhnya ‘muhkam’ adalah dengan pengertian itqan(kokoh, indah) yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafaz-lafaznya berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya diempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengnnya. Demiakian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an. FirmanNya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(an Nisa’: 82)
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Qur’an etrdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.”(Ali Imran : 7)
Mengenai pengert ian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut : 1.
Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. 2.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. 3.
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerluan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian. Ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haramm hudud (hukuman) kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain : dalam surah : (Taha : 5), (al Qasas: 88), ( al fath: 10), ( al An’am: 18), (al Fath: 22), (al Fath : 6), (al Bayyinah: 8), (Ali imran: 31)
Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Perbedaan Pendapat Tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ioni berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat : “Warra sikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya ialah “Yaquuluun” , dengan wawu, diperlakukan sebagai huruf ‘isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz ” Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu” ataukah ia ma’tuf, sedag lafaz “wayaquluna” menjadi hal yang waqafnya pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi”.
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’ab, Ibn Masud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara lain dengnan keerangan yang diriwayatkan oleh al Hakim dalam mustadraknya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca: ” wama ya’lamu ta’wilahu illallahu wayaqulur rasikhuna fil ‘ilmi amanna bihi”
Dan dengan qiraat Ibn Masud : “wainna ta’wiluhu illa ‘indallahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatrinya sebagai orang-orang yang hatinya ‘condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah”
“Dari Aisyah ia berkata ; “Rasulullah SAW membaca ayat ini ‘huwalladzi anzala ‘alaikal kitab’ sampai dengan ‘ulul albab’ . kemudian berkata ‘apa bila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”
Pendapat kedua (yang menyatakan ‘wawu’ sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.
Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : ‘saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan aya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.
Pendapat ini dipilih juga oleh an Nawawi, dalam syarh muslimnya ia menyatakan : ‘inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.
Kompromi antara Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil (at ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat diatas itu tidak terdapat pertentangan, karena lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna;
1.Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.
2.Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami.
3.Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifatNya ialah hakikat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifzt-sifatNya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri. Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah ;
“Rasulullah SAW mengucapkan didlaam ruku’ dan sujudnya “subhanaka allahumma rabbana wabihamdika. Allahumaghfirli” bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an yakni firman Allah ” fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana tawwaba.” (an Nasr :3)
golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz “wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan ” warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya kaifiyat nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua yakni tafsir, sebagaimana dikemukakan mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as Sauri berkata : “jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakn, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah mengetahui tafsirannya.
Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.
Dalam Qur’an terdapat lafaz-lafaz mutasyabih yang makna-maknanya serupa dengan makna yang kita ketahui didunia, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama. Misalnya sifat-sifat Allah dan asma Nya. Meskipun serupa dengan nama-nama hamba dan sifat-sifatnya dalam hal lafaz dan makna kulli (unuversal)nya akan tetapi hakikat khaliq dan sifat-sifatnya itu sama sekali tidak sama dengan hakikat mahluk dan sifat-sifatnya. Para ulama peneliti memahami betul makna lafaz-lafaz tersebut dan dapat membeda-bedakannya. Namun hakikat sebenarnya merupakan takwil yang hanya diketahui Allah. Oleh karena itu ketika ditanyakan kepada Malik dan ulama salaf lainnya tentang makna istiwa’ dalam firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsyis tawa” mereka menjawab : ‘maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya ialah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Rabbi’ah bin Abdurrahman, guru Malik jauh sebelumnya pernah berkata: ‘Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak kita ketahui, hanya Allah lah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasulpun hanya menyampaikan sedang kita wajib mengimaninya,” jadi jelaslah bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui.
Demikain halnya berita-berita dari Allah tentang hari kemudian. Didalamnya terdapat lafaz-lafaz yang makna-maknanya serupa dengan apa yang kita kenal, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama.misalnya diakhirat terdapat mizan (timbangan), jannah (taman) dan nar (api). Dan didalam taman itu teradapat ‘sungai-sungai air yang tidak berubah warna dan rasanya, sungai-sungai khamr yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai madu yang disaring.” (al Qital: 15) . “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak , dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar.”(al Ghasiyah : 13-16).
Berita-berita itu harus kita yakini dan kita imani. Disamping juga harus diyakini bahwa yang gaib itu lebih besar dari pada yang nyata, dan segala yang ada diakhirat adalah berbeda dengan apa yang ada didunia. Namun hakikat perbedaan ini tidak kita ketahui karena termasuk takwil yang hanya diketahui oleh Allah.
Takwil yang Tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dengan makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin, dengan tujuan ubtuk labih memahasucikan Allah swt dari keserupaanNya dengan mahluk seperti mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya ketika mentakwilkan ‘tangan’ (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud merekla adalah untuk menghindarkan penetapan ‘tangan’ bagi Khalik mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkannya dengan al qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan, al qudrah pula. Apa bila qudrah yang mereka tetapkan hak dan mungkin. Maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya jika penetapan ‘tangan’ dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan ‘kekuasaan’ juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para panakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafaz-lafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demi kian tidak kabur bagi orang lain.
Allah menurunkan Qur’an kepada hambanya agar ia menjadi pemberi peringatan bagi semesta alam. Ia menggariskan bagi mahluk Nya itu akidah yang benar dan prinsip-prinsip yang lurus dalam ayat-ayat yang tegas keterangannya dan jelas ciri-cirinya. Itu semua merupakan karuniaNya kepada umat manusia. Diman ia menetapkan bagi mereka pokok-pokok agama untuk menyelamatkan akidah mereka dan menerang kan jalan lurus yang harus mereka tempuh. Ayat-ayat tersebut adalah ummul kitab yang tidak diperselisihkan lagi pemahamannya demia menyelamatkan umar islam dan menjaga existensinya. FirmanNya :
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (Fushilat: 3)
pokok-pokok agam tersebut dibeberapa tempat dalam Qur’an terkadang datang dengan lafaz, ungkapan dan uslib (gaya bahasa) yang berbeda-beda tetapi maknanya tetap satu. Maka sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain tetapi maknnya cocok dan serasi. Tak ada kontradiktif didalamnya. Adapun mengenai masalah cabang (furu’) agama yang bukan masalah pokok, ayat-ayatnya ada yang bersifat umum dan samar-samar (mutasyabih) yang memberikan peluang bagi para mujtahid yang handal ilmunya untuk dapat mengembalikannya kepada yang tegas maksudnya (muhkam) dengan cara mengembalikan masalah cabang kepada masalah pokok, dan yang bersifat partikal (juz’I) kepada yang bersifat universal (kulli), sementara itu beberapa hati yang memperturutkan hawa nafsu tersesat dengan ayat yang mutasyabih ini. Dengan ketegasasn dan kejelasan dalam masalah pokok dan keumuman dalam masalah cabang tersebut, maka islam menjadi agam abadi bagi umat manusia yang menjamin baginya kebaikan dan kebahagiaan didunia dan akhirat, disepanjang masa dan waktu.
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Umum
Menurut bahasa muhkam berasal dari kata-kata : “hakamtud dabbata wa ahkamtu” yang artinya saya menahan binatang itu. Kata al hukm berarti memutuskan antara dua hal atau perkara. Maka hakim adalah orang yang mencegah yang dzalim dan memisahkan antara dua pihak yang bersengketa, serta memisahkan antara yang hak dan yang batil dan antara kebenaran dan kebohongan. Dikatakan : “hakamtus safiha wa ahkamtuhu” artinya saya memegang kedua tangan orang dungu, juga dikatakan : ” hakamtud dabbata wa ahkamtuha” artinya saya memasang “hikmah” pada binatang itu. Hikmag dalam ungkapan ini berarti kendali yang dipasang pada leher, ini mengingat bahwa ia berfungsi untuk mencegahnya agar tidak bergerak secara liar. Dari pengertian inilah lahir kata hikmah, karena ia dapat mencegah pemiliknya dari hal-hal yang tidak pantas.
Muhkam berarti (sesuatu) yang dikokohkan. Ihkam al kalam berarti mengokohkan perkataan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah, dan urusan yang lurus dari yang sesat. Jadi kalam muhkam adalah perkataa yang seperti itu sifatnya.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya ialah muhkam sebagaimana ditegaskan dalam firmanNya : Alif laam raa, suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci , yang diturunkan dari sisi Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu,(hud :1)
“Alif lam ra inilah ayat-ayat Qur’an yang mengandung hikmah (Yunus: 1)
qur’an itu seluruhnya muhkam, maksudnya Qur’an itu kata-katanya kokoh, fasih (indah dan jelas) dan membedakan antara yang hak dan yang batil dan antara yang benar dan yang dusta. Inilah yang dimaksud dengan al ihkam al ‘amm atau muhkam dalam arti umum.
Mutasyabih secara bahasa berarti tasyabuh, yakni bila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Dan syubhah ialah keadaan dimana salah satu dari dua hal itu tidak dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya secara konkrit maupun abstrak. Allah berfirman dalam surah ( al Baqarah: 25). Maksudnya sebagian buah-buahan dari surga itu serupa dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat. Dikatakan pula mutasyabih adalah mutamasil (sama) dalam perkataan dan keindahan. Jadi, tasyabuh al kalam adalah kesamaan dan kesesuaian perkataan, karena sebagiannya membetulkan sebagian yang lain.
Dengan pengertian inilah Allah mensifati Qur’an bahwa seluruhnya adalah mutasyabih, sebagaiman ditegaskan dalam ayat (az Zumar: 23)
Dengan demikian, maka Qur’an itu seluruhnya mutasuabih. Maksudnya Qur’an itu sebagian kandungannya serupa dengan sebagian yang lain dalam kesempurnaan dan keindahannya, dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain serta sesuai pula maknanya. Inilah yang dimaksud dengan mutasyabuh al ‘amm atau mutasyabih dalam arti umum.
Masing-masing muhkam dan mutasyabih dengan pengertian secar mutlak atau umum sebagaimana diatas ini tidak menafikkan atau kontradiksi satu dengan yang lain, jadi pernyataan Qur’an itu seluruhnya ‘muhkam’ adalah dengan pengertian itqan(kokoh, indah) yakni ayat-ayatnya serupa dan sebagiannya membenarkan sebagian yang lain. Hal ini karena “kalam yang muhkam dan mutqan” berarti makna-maknanya sesuai sekalipun lafaz-lafaznya berbeda-beda. Jika Qur’an memerintahkan sesuatu hal maka ia tidak akan memerintahkan kebalikannya diempat lain, tetapi ia akan memerintahkannya pula atau yang serupa dengnnya. Demiakian pula dalam hal larangan dan berita. Tidak ada pertentangan dan perselisihan dalam Qur’an. FirmanNya : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.(an Nisa’: 82)
Muhkam dan Mutasyabih dalam Arti Khusus
Dalam Qur’an etrdapat ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, sebagaimana disinyalir dalam firman Allah : “Dia-lah yang menurunkan Al Kitab kepada kamu. Di antara nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain mu-tasyaabihaat . Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran melainkan orang-orang yang berakal.”(Ali Imran : 7)
Mengenai pengert ian muhkam dan mutasyabih terdapat banyak perbedaan pendapat. Yang terpenting diantaranya sebagai berikut : 1.
Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedang mutasyabih hanya diketahui maksudnya oleh Allah sendiri. 2.
Muhkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah, sedang mutasyabih mengandung banyak wajah. 3.
Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung, tanpa memerluan keterangan lain, sedang mutasyabih tidak demikian. Ia memerlukan penjelasan dengan merujuk kepada ayat-ayat lain.
Para ulama memberikan contoh ayat-ayat muhkam dalam Qur’an dengan ayat-ayat nasikh, ayat-ayat tentang halal, haramm hudud (hukuman) kewajiban, janji dan ancaman. Sementara untuk ayat-ayat mutasyabih mereka mencontohkan dengan ayat-ayat tentang asma’ Allah dan sifat-sifatNya, antara lain : dalam surah : (Taha : 5), (al Qasas: 88), ( al fath: 10), ( al An’am: 18), (al Fath: 22), (al Fath : 6), (al Bayyinah: 8), (Ali imran: 31)
Dan masih banyak lagi ayat lainnya. Termasuk didalamnya permulaan beberapa surah yang dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah dan hakikat hari kemudian serta ‘ilmus sa’ah.
Perbedaan Pendapat Tentang Kemungkinan Mengetahui Mutasyabih
Sebagaimana terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian muhkam dan mutasyabih dalam arti khusus, perbedaan pendapat mengenai kemungkinan maksud ayat yang mutasyabih pun tidak dapat dihindarkan. Sumber perbedaan pendapat ioni berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat : “Warra sikhuna fil ‘ilmi”. Apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya ialah “Yaquuluun” , dengan wawu, diperlakukan sebagai huruf ‘isti’naf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz ” Wama ya’lamu ta’wilahu illallahu” ataukah ia ma’tuf, sedag lafaz “wayaquluna” menjadi hal yang waqafnya pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi”.
Pendapat pertama diikuti oleh sejumlah ulama. Diantaranya Ubai bin Ka’ab, Ibn Masud, Ibn Abbas, sejumlah sahabat, tabi’in dan yang lainnya. Mereka beralasan antara lain dengnan keerangan yang diriwayatkan oleh al Hakim dalam mustadraknya, bersumber dari Ibn Abbas, bahwa ia membaca: ” wama ya’lamu ta’wilahu illallahu wayaqulur rasikhuna fil ‘ilmi amanna bihi”
Dan dengan qiraat Ibn Masud : “wainna ta’wiluhu illa ‘indallahi warrasikhuna fil ‘ilmi yaquluna amanna bihi” terhadap orang-orang yang mengikuti mutasyabih dan menyifatrinya sebagai orang-orang yang hatinya ‘condong kepada kesesatan dan berusaha menimbulkan fitnah”
“Dari Aisyah ia berkata ; “Rasulullah SAW membaca ayat ini ‘huwalladzi anzala ‘alaikal kitab’ sampai dengan ‘ulul albab’ . kemudian berkata ‘apa bila kamu melihat orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disinyalir oleh Allah. Maka waspadalah terhadap mereka.”
Pendapat kedua (yang menyatakan ‘wawu’ sebagai huruf ‘ataf) dipilih oleh segolongan ulama lain yang dipelopori oleh Mujahid.
Diriwayatkan dari Mujahid, ia berkata : ‘saya telah membacakan mushaf kepada Ibn Abbas mulai dari fatihah sampai tamat. Saya pelajari sampai paham setiap ayatnya dan aya tanyakan kepadanya tentang tafsirannya.
Pendapat ini dipilih juga oleh an Nawawi, dalam syarh muslimnya ia menyatakan : ‘inilah pendapat yang paling sahih, karena tidak mungkin Allah menyeru kepada hamba-hambaNya dengan sesuatu yang tidak dapat diketahui maksudnya oleh mereka.
Kompromi antara Dua Pendapat dengan Memahami Makna Takwil
Dengan merujuk kepada makna takwil (at ta’wil) maka akan jelaslah bahwa antara kedua pendapat diatas itu tidak terdapat pertentangan, karena lafaz takwil digunakan untuk menunjukkan tiga makna;
1.Memalingkan sebuah lafaz dari makna yang kuat (rajih) kepada makna yang lemah (marjuh) karena ada suatu dalil yang menghendakinya. Inilah pengertian takwil yang dimaksudkan oleh mayoritas ulama mutaakhirin.
2.Takwil dengan makna tafsir (menerangkan, menjelaskan) yaitu pembicaraan untuk menafsirkan lafaz-lafaz agar maknanya dapat dipahami.
3.Takwil adalah hakikat (substansi) yang kepadanya pembicaraan dikembalikan. Maka takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang zat dan sifat-sifatNya ialah hakikat zatNya itu sendiri yang kudus dan hakikat sifzt-sifatNya. Dan takwil dari apa yang diberitakan Allah tentang hari kemudian adalah substansi yang ada pada hari kemudian itu sendiri. Dengan makna inilah diartikan ucapan Aisyah ;
“Rasulullah SAW mengucapkan didlaam ruku’ dan sujudnya “subhanaka allahumma rabbana wabihamdika. Allahumaghfirli” bacaan ini sebagai takwil beliau terhadap Qur’an yakni firman Allah ” fasabbih bi hamdi rabbika wastaghfirhu, innahu kana tawwaba.” (an Nasr :3)
golongan yang mengatakan bahwa waqaf dilakukan pada lafaz “wama ya’lamu ta’wilahu illallah” dan menjadikan ” warrasikhuna fil ‘ilmi” sebagai isti’naf (permulaan kalimat) mengatakan takwil dalam ayat ini ialah takwil dengan pengertian yang ketiga, yakni hakikat yang dimaksud dari sesuatu perkataan. Karena itu hakikat zat Allah, esensiNya kaifiyat nama dan sifatNya serta hakikat hari kemudian, semua itu tidak ada yang mengetahuinya selain Allah sendiri.
Sebaliknya golongan yang mengatakan “waqaf” pada lafaz ” warra sikhuna fil ‘ilmi” dengan menjadikan “wawu” sebagai huruf ‘ataf, bukan isti’naf, mengartikan kata takwil tersebut dengan arti kedua yakni tafsir, sebagaimana dikemukakan mujahid, seorang tokoh ahli tafsir terkemuka. Mengenai Mujahid ini as Sauri berkata : “jika datang kepadamu tafsir dari Mujahid, maka cukuplah tafsir itu bagimu.” Jika dikatakn, ia mengetahui yang mutasyabih, maka maksudnya ialah mengetahui tafsirannya.
Dengan pembahasan ini jelaslah bahwa pada hakikatnya tidak ada pertentangan antara kedua pendapat tersebut. Dan masalahnya ini hanya berkisar pada perbedaan arti takwil.
Dalam Qur’an terdapat lafaz-lafaz mutasyabih yang makna-maknanya serupa dengan makna yang kita ketahui didunia, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama. Misalnya sifat-sifat Allah dan asma Nya. Meskipun serupa dengan nama-nama hamba dan sifat-sifatnya dalam hal lafaz dan makna kulli (unuversal)nya akan tetapi hakikat khaliq dan sifat-sifatnya itu sama sekali tidak sama dengan hakikat mahluk dan sifat-sifatnya. Para ulama peneliti memahami betul makna lafaz-lafaz tersebut dan dapat membeda-bedakannya. Namun hakikat sebenarnya merupakan takwil yang hanya diketahui Allah. Oleh karena itu ketika ditanyakan kepada Malik dan ulama salaf lainnya tentang makna istiwa’ dalam firman Allah “Arrahmanu ‘alal ‘arsyis tawa” mereka menjawab : ‘maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya ialah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Rabbi’ah bin Abdurrahman, guru Malik jauh sebelumnya pernah berkata: ‘Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak kita ketahui, hanya Allah lah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasulpun hanya menyampaikan sedang kita wajib mengimaninya,” jadi jelaslah bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui.
Demikain halnya berita-berita dari Allah tentang hari kemudian. Didalamnya terdapat lafaz-lafaz yang makna-maknanya serupa dengan apa yang kita kenal, akan tetapi hakikatnya tidaklah sama.misalnya diakhirat terdapat mizan (timbangan), jannah (taman) dan nar (api). Dan didalam taman itu teradapat ‘sungai-sungai air yang tidak berubah warna dan rasanya, sungai-sungai khamr yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai madu yang disaring.” (al Qital: 15) . “Di dalamnya ada takhta-takhta yang ditinggikan, dan gelas-gelas yang terletak , dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar.”(al Ghasiyah : 13-16).
Berita-berita itu harus kita yakini dan kita imani. Disamping juga harus diyakini bahwa yang gaib itu lebih besar dari pada yang nyata, dan segala yang ada diakhirat adalah berbeda dengan apa yang ada didunia. Namun hakikat perbedaan ini tidak kita ketahui karena termasuk takwil yang hanya diketahui oleh Allah.
Takwil yang Tercela
Takwil yang tercela adalah takwil dengan pengertian pertama, memalingkan lafaz dengan makna rajih kepada makna marjuh karena ada dalil yang menyertainya. Takwil semacam ini banyak dipergunakan oleh sebagian besar ulama mutaakhirin, dengan tujuan ubtuk labih memahasucikan Allah swt dari keserupaanNya dengan mahluk seperti mereka sangka. Dugaan ini sungguh batil karena dapat menjatuhkan mereka kedalam kekhawatiran yang sama dengan apa yang mereka takuti, atau bahkan lebih dari itu. Misalnya ketika mentakwilkan ‘tangan’ (al yad) dengan kekuasaan (al qudrah). Maksud merekla adalah untuk menghindarkan penetapan ‘tangan’ bagi Khalik mengingat mahluk pun memiliki tangan. Oleh karena lafaz al yad ini bagi mereka menimbulkan kekaburan maka ditakwilkannya dengan al qudrah. Hal semacam ini mengandung kontradiktif, karena memaksa mereka untuk menetapkan sesuatu makna yang serupa dengan makna yang mereka sangka harus ditiadakan, mengingat mahluk pun mempunyai kekuasaan, al qudrah pula. Apa bila qudrah yang mereka tetapkan hak dan mungkin. Maka penetapan tangan bagi Allah pun hak dan mungkin. Sebaliknya jika penetapan ‘tangan’ dianggap batil dan terlarang karena menimbulkan keserupaan menurut dugaan mereka, maka penetapan ‘kekuasaan’ juga batil dan terlarang. Dengan demikian, maka tidak dapat dikatakan bahwa lafaz ini ditakwilkan, dalam arti dipalingkan dari makna yang rajih kepada makna yang marjuh.
Celaan terhadap para panakwil yang datang dari para ulama salaf dan lainnya itu ditujukan kepada mereka yang menakwilkan lafaz-lafaz yang kabur maknanya bagi mereka, tetapi tidak menurut takwil yang sebenarnya, sekalipun yang demi kian tidak kabur bagi orang lain.
Posted in Ulumul Qur'an
Pengumpulan dan Penertiban Al-Quran
Pengumpulan dan Penertiban Al-Quran
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an ( Jam’ul Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama : pengumpulan dalam arti Hifdzuhu ( menghafalkannya dalam hati). Jumma’ul Quran artinya huffazuhu ( penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk Al Qur’an karena hendak cepat-cepat nya . Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah:16-19 ).
Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Qur’an yang diturunkan, ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena tajut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya , maksudnya Kami yang mengumpulknnya didadamu, kemudian kami memebacakannya. Apa bila Kami telah selesai memebacakannya, maksudnya ‘ apabila Kami telah menurunkannya kepadamu maka ikitilah bacaan itu, maksudnya ‘ dengarkan dan perhatikanlah ia’, kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni menjelaskannya dengan lidahmu.’ Dalam lafal yang lain ia katakan : ‘atas tanggungan Kamilah membacakannya’ maka setelah ayat ini turun bila jibril datang, Rasulullah SAW diam. Dalam lafal lain: ‘ ia mendengarkan’.dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.”
Kedua : pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi ( penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi
Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti yang dijanjikan Allah:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( didadamu) dan ( membuatmu pandai) membacanya ( al-Qiyamah: 17 ).
Oleh sebab itu ia adalah hafiz ( penghafal ) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadangturun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang k uat. Hal itu umumnya karena mereka buta huruf., sehingga dalam penulisan berita-berita, syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati mereka.
Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
1.Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dikatakan :
” Aku telah mendengar Rasulullah SAW berkata: “Ambilah Qur’an dari empat orang,Abdullah bin Ma’ud, Salim, Muaz dan Ubai bin Kaab.” keempat orang tersebut dua orang kaum muhajirin, yaitu Abdullah bin Masud dan Salim; dan dua orang dari Anshar yaitu; Muaz dan Ubai.
2.Dari Qatadah dikatakan:
“Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: siapakah orang yang hafal Qur’an dimasa Rasulullah SAW ? dia menjawab: ‘empat orang semuanya dari kaum anshar; Ubai bin Kaab , Muaz bin Jabal, Zaid bin sabit, dan Abu zaid. Aku bertanya kepadanya; siapakah Abu Zaid itu ? ia menjawab salah seorang Pamanku.”
3.Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan:
“Rasulullah SAW wafat sedang Quran belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda, Muaz bin Jabal, Zaid bin Sabit, dan abu Zaid.”
Abu Zaid yang disebut-sebut diatas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas Abu Zaid yang hafal Qur’an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas, ‘ia adalah seorang laki-laki dari suku kami, Bani ‘Adi Ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.”
Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Said bin Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan al-Qari’ ( pembaca Qur’an).
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan ister-isteri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam salat ditengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah SAW pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Qur’an dirumah-rumah.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari:
“Bahwa Rasullullah saw. Berkata kepadanya : ” tidakkah engkau melihat aku tadi malam, diwaktu aku mendengarkan engkau membaca Qur’an ? sungguh engkau telah diberi seruling dari seruling Nabi Daud,”
diriwayatkan Abdullah bin Amr berkata :
” Aku telah menghafal Qur’an dan aku telah menamatkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka katanya : ” Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.”
Abu Musa al-Asyari berkata :
“Rasulullah berkata: “Sesumgguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asyari diwaktu malam ketika berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan Quran mereka diwaktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka diwaktu siang.”
Disamping antusiasme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Qur’an Rasulullah pun mendorong mereka kearah ityu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Qur’an kepada mereka. Ubadah bin Samit berkata:
“Apabila ada seseorang yang hijrah ( masuk islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang diantara kami untuk mengajarinya Qur’an. Dan dimasjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara agar tidaj saling mengganggu.”
Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan tiga riwayat diatas, diartikan bahwa mereka itilah yang hafal seluruh isi Qur’an diluar kepala dan telah menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi. Serta isnad-isnad nya sampai kepada kita. Sedang para hafidz Qur’an lainnya-yang berjumlah banyak-tidak memenuhi hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar diberbagai wilayah dan sebagian mereka menghafalkan dari yang lain. Cukuplah sebgai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran dalam sumur “Ma’unah” semuanya disebut “qurra” , sebanyak tujuh puluh orang sebagaiman disebutkan dalam hadis, sahih. Al-Qurtubi mengatakan : telah terbunuh tujuh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa nabi sejumlah itu dalam pertempuran dalam sumur Ma’unah.”
Inilah pemahaman para ulama dan pertakwilan mereka terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafid Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti yang telah dikemukakan. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tak ada yang hafal Qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi berkata ucapan Anas yang menucapkan bahwa tidak ada yang hafal Qur’an selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebabmungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Qur’an sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai wilayah ? pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemudengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya dimasa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Disamping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal – sekalipun secara distributif maka itu sudah cukup
Dengan penjelasan ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffaz. ( para penghafal Qur’an ) dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafiz dalam hadis Anas dengan menjelaskan memuaskan.
Abu Ubaid telah menyebutkan dalam kitab al-Qiraat sejumlah qari dari kalangan sahabat. Dari kaum muhajirin, ia menyebutkan: empat orang khalifah, Talhah,S’ad, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah, dan Ummu Salamah.; dan dari kaum anshar : ‘ Ubaidah bin Samit , Mu’az, yang dijuluki Abu Halimah, Majma’ bin Jariyah, Fudalah bin Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggalnya Nabi.
Al-Hafiz az-Zahabi menyebutkan dalan tabaqatul qurra’ bahwa jumlah qari’ tersebut adalah jumlah merekayang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hafal Qur’an namun sanadnya tidak sampai kepada kita , jumlah mereka itu banyak.
Deri keterangan -keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafiz Qur’an dimasa Rasullulah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegangan pada hafalan dalam penukilan dimasa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari guru para qari pada masanya menyebutkan : “Penukilan quran dengan berpergang Pada hafalan- bukannya pada mushaf dan kitab-kitab- merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”
* * *
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit: ” Kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan denagn demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.
Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan ramadan setiap tahunnya Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan ramadan, ketika ia ditemui oleh jibril. Ia ditemui oleh jibril setiap malam; jbril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh jibril it ia sangat pemurah sekali.
Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf ; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an dihadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan diatas.
Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang manasih (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-zarkasyi berkata: “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: “Rasulullah telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata: ” Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan : a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri’.
Disegi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umartersebut, kemudian Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat , penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.
Zaid bin Sabit berkata: Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata : ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra ; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi ditempat-tempat lain, sehingga sebagain besar Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memetrintahkan seseorang untuk menguimpulkan Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? tetapi Umar menjawab: dan bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.” Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘ Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemammpuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an dan kumpulkanlah.” “Demi Allah”, Kata Zaid lebih lanjut”, ” sekiranya mereka memintaju untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari pada perintah mengumpulkan Qur’an. Karena itu aku menjawab: ” Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tridak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Abu Bakar menjawab: ‘demi Allah itu baik, Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah taubah berada pada Abu Huzaimah al-Anshari; yang tidak kudapatkan pada orang lain, sesungguhya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri� himgga akhir surah. Lembaran-lembaran ( hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar higga wafatnya. Sesudah itu berpindah ketangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada ditangan Hafsah binti Umar.”
Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan diatas: “Dan aku dapatkan akhir surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari; yang tidak aku dapatkan pada orang lain.” Tidak menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan : ” Umar datang lalu berkata: ‘Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan Qur’an itu pada lembaran kertas , papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid tidak mau menerima dari Qur’an mengenai seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati. Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, seklaipun hadis tersebut munqati,(terputus). Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”
As-Sakhawi menyebutkan dalam Jamalul qurra, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi iti menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah Taubah, ‘aku tidak mendapatkannya pada orang lain,’ sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.”
Kita sudah mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, Ubai dan Ibn Mas’ud. Tetpi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Qur’an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, disaat Abu Bakar mengumpulkan Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah mel;impahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua. Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran islam bertambah dan para Qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini.terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Qyr’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas : “Bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian armenia dan azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq, Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana peerselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.’ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya; “sudilah kiranya anda kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.’ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit , Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang quraisy itu:
“bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari qur’an, maka tulislah dengan logat quraisy karena qur’an diturunkan dengan bahsa quraisy.’
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata: ‘Ketika ami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah;maka kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari, ayat itu ialah”
“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah�.”(al-Ahzab:23)
lalu kami tempatkan ayat ini pada syrah tersebut dalam mushaf.’
Berbagai ‘Asar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir : ‘Ya’kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: pada masa kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub: aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada dihadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saj !’ Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah seorang diantara mereka yang disuruh menuliskan ,’kata Abu Qalanbah: Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada diluar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta memniarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat keapada semua penduduk daerah yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.’
Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah , keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan: ‘Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : ‘bagaimana pendapatmu tentang qiraat in ? saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari q iraat orang lain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata : ‘bagaimana penadapatmu ? ia menjawab : ‘ aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata : baik sekali pendapatmu itu.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”. Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan: ” Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menrima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf ” berlainan “dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya.sesuai dengn permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya.tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajibpula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertianya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yangv tujuh tersebut, yang menjadi kewajigan bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyatasangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”
* * *
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari teks-teks diatas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur’an ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannnya sendiri didaerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran dikulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf diantar ketujuh huruf itu, untyuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dan Usmanialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul disatu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, karena kawatir akan timbul bencana , Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy saja dengan alasan bahwa qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Qur’an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak demikian, Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya.serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.” .
Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan kepada Usman ke berbagai daerah :
a . Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah, Syam Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: ‘telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.”
b . Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam,Mesir dan Mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan mushaf Imam berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni.” “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan kesetiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah , Basyrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
c . Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada ditangannya hingga ia wafat, setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keteranagn yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fadhailul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang -menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setalah beberapa lama berada ditangan kaisar rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakn pula bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Keraguan yang Harus Ditolak
Ada beberapa keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Disini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting diantaranya dan kemudian menwabnya.
1. Mereka berkata, sumber-sumber lama (asar) menunjukkan bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada ditangan kita ini. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya:
A Aisyah berkata: “Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Qur’an dimasjid , lalu katanya ‘semoga Allah mengkasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayt anu dan ayat anu dari surah anu.’ Dalam riwayat lain dikatakan ‘Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan ini.’ Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ‘ Aku telah dibuat lupa terhadapnya.’
Arguman ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah akan astu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan Qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “Aku telah dibuat lupa terhadapnya” (kuntu unsituha) ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “menggugurkannya” adalah “lupa” sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak merusak tablig. Disamping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat mutawatir. Dengan demikian lupa yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan dalam pengumpulan Qur’an. Inilah maksud hadis diatas. Oleh sebab itu bacaan orang ini- yang hanya merupakan salah seorang diantara para penghafal yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir-mengingatkan Rasulullah. “ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu”.
B.Allah berfirman dalam surah A’la:
“Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.”(al-A’la:8-7). Pengecualian dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah.
Mengenai hal ini dapatlah dijawab bahwa Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan Qur’an dan memeliharanya serta mengamankannya dari kelupaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa.” Namun karena ayat ini mengesankan seakan hal itu merupakan suatu keharusan, pada hal Allah berbuat menurut kehendak-Nya secara bebas. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (al-Anbiya: 23), maka ayat itu segera disusul dengan pengecualian ” Kecuali kalau Allah menghendaki”, untuk menunjukkan bahwa pemberitahuan mengenai pembacaan Qur’an kepada Rasul dan pengamanannya dari kelupaan itu tidak keluar dari kehendak-Nya pula. Sebab bagi Allah tak ada yang tak dapat dilakukan. Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan dalam menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut : “Oleh karena janji itu dituangkan dalam ungkapan yang menunjukkan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu, dan bahwa yang demikian dipandang telah keluar dari kehendak-Nya, kecuali kalau Allah menghendaki. Sebab, jika Ia berkehendak tak ada atupun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya.
Dengan demikian maka yang dimaksudkan disini ialah peniadaan kelupaan secara total. Mereka mengatakan : ‘pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang kepada sahabatnya: ‘Engkau berbagi denganku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki. Dengan perkataan ini ia tidak bermaksud mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukkan arti nafi (negatif). Dan seperti ini pulalah maksudpengecualian dalam firman-Nya pada surah Hud :
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki ; sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”(Hud : 108). Pengecualian seperti ini menunjukkan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah. Bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya.
Dan bila Ia berkehendak untuk mencabutnya, maka tidak ada seorangpun dapat menghalangi.
Mengenai riwayat, bahwa Nabi telah melupakan sesuatu sehingga perlu diingatkan, maka seandainya hal itu benar, tetapi ini tidaklah menyangkut kitab dan hukum-hukum Allah yang diturunka kepada Nabi agar disampaikan kepada umat. Dengan demikian segala pendapat yang dilontarkan orang selain dari yang telah kami kemukakan ini merupakan pentusupan dari orang-orang atheis yang merasuku pikiran orang-orang yang lalai. Untuk menodai apa yang telah disucikan oleh Allah. Karena tidak pantas bagi orang yang mengenal kedudukan Rasulullah dan beriman kepada kitabullah berpegangan pada pendapat semacam itu sedikitpun juga,”
II. Mereka mengatakan, dalam Qur’an terdapat sesuatu yang bukan Qur’an, unutyuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Masud mengingkari surah an-Nas dan al-Falaq termasuk bagian dari Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat diajukan jawaban sebagai barikut. Yaitu bahwa riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud itu tidak benar karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan dalam syarh al-Muhazzab ” Kaum muslimin sepakat bahwa kedua surah (an-Nas dan al- Falaq) itu dan surah Fatihah juga termasuk Qur’an. Dan siapa saja yang mengingkarinya sedikitpun ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari Ibn Masud adalah batil, tidak sahih.” Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama (terhadap) Ibn Masud.
Seandainya riwayat itu benar, maka yang dapat dipahami ialah bahwa Ibn Masud tidak pernah mendengar kedua surah mu’awizatain, yakni surah al-Falaq dan an-Nas itu secara langsung dari Nabi., sehingga ia berhenti, tidak memberikan komentar mengenainya. Selain itu pengingkaran Ibn Masud tersebut tidak dapat membatalkan konsensus (ijma’) kaum muslimin bahwa kedua surah itu merupakan bagian Qur’an yang mutawatir. Argumentasi ini dapat pula dipergunakan untuk menjawab isyu yang menyatakan bahwa mushaf Ibn Masud tidak memuat surah Fatihah, sebab Fatihah adalah Ummul Qur’an, induk Qur’an yang status qur’aniahnya tak seorang pun meragukannya.
III. Segolongan Syi’ah extrim menuduh bahwa Abu Bakat , Umar dan Usman telah mengubah Qur’an serta menggugurkannya beberapa ayat dan surahnya. Mereka ( Abu Bakar cs.)telah mengganti dengan lafal Ummatun hiya arba min ummatin-”Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lain” (an-Nahl:92) yang asalnya adalah ‘A’immatun hiya azka min a’immatikum’. “Imam-imam yang lebih suci dari pada Imam-imam kamu” mereka juga menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan “ahlul bait” yang panjangnya sama dengan surah al-an’am. Dan menggugurkan pula surah mengenai kekuasaan (al-Wilayah) secara total dari Qur’an.
Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannya merupakan suatu kebodohan. Selain itu, sebagian kaum Syi’ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan (tasyayyu’) bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukkan terjadinya kesepakatan (ijma’) mengenai kemutawatiran Qur’an yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur’an oleh Abu Bakar; ‘Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.” Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan Qur’an oleh Usman : “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan (bermusuhan) terhadap Usman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar msuhaf. Demi Allah dia membakarnya berdasarkan persetujuan kami, sahabat-sahabat Rasulullah.” Lebih lanjut ia mengatakan : ” Seandainya yang menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu akupun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Usman.”
Apa yang diriwayatkan Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah para pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali. Sedang Ali lepas tangan sendiri terhadap mereka.
* * *
Tertib Ayat
Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur’an. Surah ialah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan, tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dariRasulullah, sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’ diantaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubeir dlam munasabahnya ia mengatakan : ” Tertib ayat-ayat didalam surah-surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.” As-Syuti telah memutuskan hal itu, ia berkata : ” Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu dalah taufiqi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat0ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini.” Atau ” Letakkanlah ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaiman yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin ‘Abil ‘As berkata:
“Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba panadangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya ‘Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat anu dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat�..(an-Nahl: 90)
Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam Qur’an dan, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah tauqifi.
Ibnuz Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat : Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri�..(al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan ? ia menjawab: ‘Kemenakanku; aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya.”
Terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadis-hadis tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Darda’ dalam hadis marfu’ : “Barang siapa hafal sepuluh ayat dari awal surah kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan: “Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah kahfi�” juga terdapat hadis-hadis lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata: ” Aku tidak menanyakan pada Nabi tentang kalalah, asmpai-sampai Nabi menekankan jarinya kedadaku, dan mengatakan : ‘Tidak cukup bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat pada akhir surah an-Nisa’?
Disamping itu terima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa’. Juga hadis sahih mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raibafihi” (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu’ah dan surah Munafikun dalam salat jum’at.
Jibril selalu mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikan tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi. As-Suyuti setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan : ‘Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi dihadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adlah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka denar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”
* * *
Tertib Surah
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an.
A.Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada ditangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib didalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’: “surah-surah itu termasuk yang diturunkan dimekkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn wahhab, dari Su;laiman bin Bilal, ia berkata : “Aku mendengar Rabbi’ah ditanya orang, ‘ Mengapa surah baqarah dan Ali Imran di dahulukan, pada hal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluhsekian surah makki, sedang keduanya diturunkan di madinag ?’ dia menjawab : ‘ Kedua surah itu memang didahulukan dan Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya: ‘ Ini adalah sesatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibn Hisyar mengatakan : ‘ tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini ditempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf.”
B.Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf mereka. Misalnaya mushaf Ali disusun menurut tertb nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dst hingga akhir surah Makki dan madani.
Dalam mushaf Ibn Masu’d yang pertama ditulis adaslah surah Baqarah, Nisa’ dan Ali-’Imran.
Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa’ dan Ali-Imran.
Diriwayatkan Ibn Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Usman :Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katergori masani dan bar’ah yang termasuk Mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamupun meletakkannnya pada as-Sab’ut Tiwal (tujuh surah panjang) ? Usman menjawa: ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apa bila ada ayat turun kepadnya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: ‘ Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.” Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada as Sab’ut Tiwal.”
C.Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-’abut Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah.
Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan ali Imran.”
Diriwayatkan pula, ” Bahwa jika hendak pergi ketempat tidur, Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu’awwizatain.”
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagain surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat Tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as Saqafi yang didalamnya antara lain termuat: “Rasulullah berkata kepada kami, ‘telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb(bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an ? mereka menjawab: kami membaginya menjadi tiga surah , lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas , tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf samapi kami khatam.”
Kata Ibn Hajaar : ” Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Nmun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur’an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur’an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf ( logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditnggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad , tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas diatas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du’afa’. Disamping itu dalam hadis inipun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan: “Hadis itu tak ada asal mulanya” paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidak tertiban kedua surah tersebut.
Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan: “Alah telah menurunkan Qur’an seluruhnya kelangit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayatpun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah , seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Qur’an , seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan Qur’an.”
Al- kirmani dalam al Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril menurut tertb ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah (albaqarah : 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan: “Qur’an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara’ah, karena hadis Usman.”
* * *
Surah-surah dan Ayat-ayat Qur’an
Surah-surah Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1).at-Tiwal ada tujuh surah yaitu : Baqarah, ali Imran, Nisa’, Ma’idah, an’Am, A’raf, dan yang ketujuh- ada yang mengatakan Anfal dan Bara’ah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah diantara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh ialah surah Yunus.
2).al-Mi’un, yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3).al-Masani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah al-Mi’un. Dinamakan masani karena surah itu dibaca berulang-ulang lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4).al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujurat, juga ada yang mengatakan dimulai dari surah yang lain. Mufassal dibafau menjadi tiga: Tiwal, Ausat, dan qisar. Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj. Mufassal ausat dimulai dari surah ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam yakun, dan mufassal qisar dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan Qur’an surah terakhir.
Dinamakan mufassal karena banyaknya fasl (pemisahan) diantara surah-surah tersebut dengan basmalah.
Jumlah surah Qur’an ada seratus empat belas surah, dan dikatakan pula ada seratus tiga belas surah. Karena surah Bara’ah dan Anfal dianggap satu surah. Adapun ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun kelebihan ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang piutang. Sedang surah terpanjang adalah Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang unutuk menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah engambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syariat.
Yang dimaksud dengan pengumpulan Qur’an ( Jam’ul Qur’an ) oleh para ulama adalah salah satu dari dua pengertian berikut:
Pertama : pengumpulan dalam arti Hifdzuhu ( menghafalkannya dalam hati). Jumma’ul Quran artinya huffazuhu ( penghafal-penghafalnya, orang yang menghafalkannya didalam hati). Inilah makna yang dimaksudkan dalam firman Allah kepada Nabi-Nabi senantiasa menggerak-gerakkan kedua bibir dan lidahnya untuk membaca Qur’an ketika itu turun kepadanya sebelum jibril selesai membacakannya, karena ingin menghafalkannya:
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk Al Qur’an karena hendak cepat-cepat nya . Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya.” (al-Qiyamah:16-19 ).
Ibn Abbas mengatakan: “Rasulullah SAW sangat ingin segera menguasai Qur’an yang diturunkan, ia menggerakkan lidah dan kedua bibirnya karena tajut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera menghafalnya. Maka Allah menurunkan: Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Qur’an karena hendak cepat-cepat untuk menguasainya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya , maksudnya Kami yang mengumpulknnya didadamu, kemudian kami memebacakannya. Apa bila Kami telah selesai memebacakannya, maksudnya ‘ apabila Kami telah menurunkannya kepadamu maka ikitilah bacaan itu, maksudnya ‘ dengarkan dan perhatikanlah ia’, kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya, yakni menjelaskannya dengan lidahmu.’ Dalam lafal yang lain ia katakan : ‘atas tanggungan Kamilah membacakannya’ maka setelah ayat ini turun bila jibril datang, Rasulullah SAW diam. Dalam lafal lain: ‘ ia mendengarkan’.dan bila jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan Allah.”
Kedua : pengumpulan dalam arti kitabuhu kullihi ( penulisan Qur’an semuanya) baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau menertibkan ayat-ayat semata dan setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, atau menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul yang menghimpun semua surah, sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Menghafalnya pada Masa Nabi
Rasulullah SAW amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memahaminya. Persis seperti yang dijanjikan Allah:
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya ( didadamu) dan ( membuatmu pandai) membacanya ( al-Qiyamah: 17 ).
Oleh sebab itu ia adalah hafiz ( penghafal ) Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah.quran diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunanya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadangturun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang k uat. Hal itu umumnya karena mereka buta huruf., sehingga dalam penulisan berita-berita, syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan dihati mereka.
Dalam kitab sahihnya Bukhari telah mengemukakan adanya tujuh hafiz, melalui tiga riwayat. Mereka adalah: Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal bekas budak Abu Huzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kaab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda’.
1.Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘As dikatakan :
” Aku telah mendengar Rasulullah SAW berkata: “Ambilah Qur’an dari empat orang,Abdullah bin Ma’ud, Salim, Muaz dan Ubai bin Kaab.” keempat orang tersebut dua orang kaum muhajirin, yaitu Abdullah bin Masud dan Salim; dan dua orang dari Anshar yaitu; Muaz dan Ubai.
2.Dari Qatadah dikatakan:
“Aku telah bertanya kepada Anas bin Malik: siapakah orang yang hafal Qur’an dimasa Rasulullah SAW ? dia menjawab: ‘empat orang semuanya dari kaum anshar; Ubai bin Kaab , Muaz bin Jabal, Zaid bin sabit, dan Abu zaid. Aku bertanya kepadanya; siapakah Abu Zaid itu ? ia menjawab salah seorang Pamanku.”
3.Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan:
“Rasulullah SAW wafat sedang Quran belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda, Muaz bin Jabal, Zaid bin Sabit, dan abu Zaid.”
Abu Zaid yang disebut-sebut diatas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang dinukil oleh Ibn Hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas Abu Zaid yang hafal Qur’an itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas, ‘ia adalah seorang laki-laki dari suku kami, Bani ‘Adi Ibnun Najjar dan termasuk salah seorang paman kami. Ia meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarisinya.”
Ibn Hajar ketika menuliskan biografi Said bin Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk seorang hafiz dan dijuluki pula dengan al-Qari’ ( pembaca Qur’an).
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pembatasan, karena beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan sunan menunjukkan bahwa para sahabat berlomba menghafalkan Qur’an dan mereka memerintahkan anak-anak dan ister-isteri mereka untuk menghafalkannya. Mereka membacanya dalam salat ditengah malam, sehingga alunan suara mereka terdengar bagai suara lebah. Rasulullah SAW pun sering melewati rumah-rumah orang Anshar dan berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Qur’an dirumah-rumah.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari:
“Bahwa Rasullullah saw. Berkata kepadanya : ” tidakkah engkau melihat aku tadi malam, diwaktu aku mendengarkan engkau membaca Qur’an ? sungguh engkau telah diberi seruling dari seruling Nabi Daud,”
diriwayatkan Abdullah bin Amr berkata :
” Aku telah menghafal Qur’an dan aku telah menamatkannya pada setiap malam. Hal ini sampai kepada Nabi, maka katanya : ” Tamatkanlah dalam waktu satu bulan.”
Abu Musa al-Asyari berkata :
“Rasulullah berkata: “Sesumgguhnya aku mengenal kelembutan alunan suara keturunan Asyari diwaktu malam ketika berada dalam rumah. Aku mengenal rumah-rumah mereka dari suara bacaan Quran mereka diwaktu malam, sekalipun aku belum pernah melihat rumah mereka diwaktu siang.”
Disamping antusiasme para sahabat untuk mempelajari dan menghafal Qur’an Rasulullah pun mendorong mereka kearah ityu dan memilih orang tertentu yang akan mengajarkan Qur’an kepada mereka. Ubadah bin Samit berkata:
“Apabila ada seseorang yang hijrah ( masuk islam) Nabi menyerahkannya kepada salah seorang diantara kami untuk mengajarinya Qur’an. Dan dimasjid Rasulullah sering terdengar gemuruh suara orang membaca Qur’an, sehingga Rasulullah memerintahkan mereka agar merendahkan suara agar tidaj saling mengganggu.”
Pembatasan tujuh orang sebagaimana disebutkan Bukhari dengan tiga riwayat diatas, diartikan bahwa mereka itilah yang hafal seluruh isi Qur’an diluar kepala dan telah menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi. Serta isnad-isnad nya sampai kepada kita. Sedang para hafidz Qur’an lainnya-yang berjumlah banyak-tidak memenuhi hal tersebut; terutama karena para sahabat telah tersebar diberbagai wilayah dan sebagian mereka menghafalkan dari yang lain. Cukuplah sebgai bukti tentang hal ini bahwa para sahabat yang terbunuh dalam pertempuran dalam sumur “Ma’unah” semuanya disebut “qurra” , sebanyak tujuh puluh orang sebagaiman disebutkan dalam hadis, sahih. Al-Qurtubi mengatakan : telah terbunuh tujuh orang qari’ pada perang Yamamah; dan terbunuh pula pada masa nabi sejumlah itu dalam pertempuran dalam sumur Ma’unah.”
Inilah pemahaman para ulama dan pertakwilan mereka terhadap hadis-hadis sahih yang menunjukkan terbatasnya jumlah para hafid Qur’an yaitu hanya tujuh orang seperti yang telah dikemukakan. Dalam mengomentari riwayat Anas yang menyatakan “Tak ada yang hafal Qur’an kecuali empat orang”, al-Mawardi berkata ucapan Anas yang menucapkan bahwa tidak ada yang hafal Qur’an selain empat orang itu tidak dapat diartikan bahwa kenyataannya memang demikian. Sebabmungkin saja Anas tidak mengetahui ada orang lain yang menghafalnya. Bila tidak, maka bagaimana ia mengetahui secara persis orang-orang yang hafal Qur’an sedangkan para sahabat amat banyak jumlahnya dan tersebar di berbagai wilayah ? pengetahuan Anas tentang orang-orang yang hafal Qur’an itu tidak dapat diterima kecuali kalau ia bertemudengan setiap orang yang menghafalnya dan orang itu menyatakan kepadanya bahwa ia belum sempurna hafalannya dimasa Nabi. Yang demikian ini amat tidak mungkin terjadi menurut kebiasaan. Karena itu bila yang dijadikan rujukan oleh Anas hanya pengetahuannya sendiri maka hal ini tidak berarti bahwa kenyataannya memang demikian. Disamping itu syarat kemutawatiran juga tidak menghendaki agar semua pribadi hafal, bahkan bila kolektifitas sahabat telah hafal – sekalipun secara distributif maka itu sudah cukup
Dengan penjelasan ini al-Mawardi telah menghilangkan keraguan yang mengesankan sedikitnya jumlah huffaz. ( para penghafal Qur’an ) dengan cara meyakinkan dan menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang kuat mengenai pembatasan jumlah hafiz dalam hadis Anas dengan menjelaskan memuaskan.
Abu Ubaid telah menyebutkan dalam kitab al-Qiraat sejumlah qari dari kalangan sahabat. Dari kaum muhajirin, ia menyebutkan: empat orang khalifah, Talhah,S’ad, Ibn Mas’ud, Huzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah as-Sa’ib, empat orang bernama Abdullah, Aisyah, Hafsah, dan Ummu Salamah.; dan dari kaum anshar : ‘ Ubaidah bin Samit , Mu’az, yang dijuluki Abu Halimah, Majma’ bin Jariyah, Fudalah bin Ubaid dan Maslamah bin Mukhallad ditegaskannya bahwa sebagian mereka itu menyempurnakan hafalannya sepeninggalnya Nabi.
Al-Hafiz az-Zahabi menyebutkan dalan tabaqatul qurra’ bahwa jumlah qari’ tersebut adalah jumlah merekayang menunjukkan hafalannya dihadapan Nabi dan sanad-sanadnya sampai kepada kita secara bersambung. Sedangkan sahabat yang hafal Qur’an namun sanadnya tidak sampai kepada kita , jumlah mereka itu banyak.
Deri keterangan -keterangan ini jelaslah bagi kita bahwa para hafiz Qur’an dimasa Rasullulah amat banyak jumlahnya, dan bahwa berpegangan pada hafalan dalam penukilan dimasa itu termasuk ciri khas umat ini. Ibn Jazari guru para qari pada masanya menyebutkan : “Penukilan quran dengan berpergang Pada hafalan- bukannya pada mushaf dan kitab-kitab- merupakan salah satu keistimewaan yang diberikan Allah kepada umat ini.”
* * *
Pengumpulan Qur’an dalam Arti Penulisannya pada Masa Nabi
Rasullullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari sahabat-sahabat terkemuka, seperti Ali, Muawiyah, ‘Ubai bin K’ab dan Zaid bin Sabit, bila ayat turun ia memerintahkan mereka menulisnya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan pada lembar itu membantu penghafalan didalam hati. Disamping itu sebagian sahabatpun menuliskan Qur’an yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh nabi; mereka menuliskannya pada pelepah kurma , lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Zaid bin Sabit: ” Kami menyusun Qur’an dihadapan Rasulullah pada kulit binatang
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menulis Qur’an. Alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan denagn demikian, penulisan Qur’an ini semakin menambah hafalan mereka.
Jibril membacakan Qur’an kepada Rasulullah pada malam-malam bulan ramadan setiap tahunnya Abdullah bin Abbas berkata: “Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahan pada bulan ramadan, ketika ia ditemui oleh jibril. Ia ditemui oleh jibril setiap malam; jbril membacakan Qur’an kepadanya, dan ketika Rasulullah ditemui oleh jibril it ia sangat pemurah sekali.
Para sahabat senantiasa menyodorkan Qur’an kepada Rasulullah baik dalam bentuk hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf ; yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Abi Thalib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Sabit dan Abdullah bin Mas’ud telah menghafalkan seluruh isi Qur’an dimasa Rasulullah. Dan mereka menyebutkan pula bahwa Zaid bin Sabit adalah orang yang terakhir kali membacakan Qur’an dihadapan Nabi, diantara mereka yang disebutkan diatas.
Rasulullah berpulang kerahmatullah disaat Qur’an telah dihafal dan tertulis dalam mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas; ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan, atau diterbitkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembar secara terpisah dalam tujuh huruf. Tetapi Qur’an belum dikumpulkan dalam satu mushaf yang menyuruh (lengkap). Bila wahyu turun, segeralah dihafal oleh para qurra dan ditulis para penulis; tetapi pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf, sebab Nabi masih selalu menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang manasih (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnya. Susunan atau tertib penulisan Qur’an itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan ditempat penulisan sesuai dengan petunjuk Nabi- ia menjelaskan bahwa ayat anu harus diletakkan dalam surah anu. Andaikata (pada masa Nabi) Qur’an itu seluruhnya dikumpulkan diantara dua sampul dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan bila wahyu turun lagi. Az-zarkasyi berkata: “Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar ia tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Qur’an turun semua, yaitu dengan wafatnya Rasulullah.”
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang mengatakan: “Rasulullah telah wafat sedang Qur’an belum dikumpulkan sama sekali.” Maksudnya ayat-ayat dalam surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf. Al-Katabi berkata: ” Rasulullah tidak mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf itu karena ia senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah berakhir masa turunnya dengan wafatnya Rasululah, maka Allah mengilhamkan penulisan mushaf secara lengkap kepada para Khulafaurrasyidin sesuai dengan janjinya yang benar kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya . Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar
Pengumpulan Qur’an dimasa Nabi ini dinamakan : a) penghafalan, dan b) pembukuan yang pertama.
Pengumpulan Qur’an pada Masa Abu Bakar
Abu Bakar menjalankan urusan islam sesudah Rasulullah. Ia dihadapkan kepada peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang arab. Karena itu ia segera menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 H melibatkan sejumlah besar sahabat yang hafal Qur’an. Dalam peperangan ini tujuh puluh qari dari para sahabat gugur. Umar bin Khatab merasa sangat kuatir melihat kenyataan ini, lalu ia menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Qur’an karena dikhawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak membunuh para qarri’.
Disegi lain Umar merasa khawatir juga kalau-kalau peperangan ditempat-tempat lain akan membunuh banyak qari’ pula sehingga Qur’an akan hilang dan musnah, Abu Bakar menolak usulan itu dan berkeberatan melakukan apa yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Tetapi Umar tetap membujuknya, sehingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umartersebut, kemudian Abu Bakar nenerintahkan Zaid bin Sabit, mengingat kedudukannya dalam qiraat , penulisan pemahaman dan kecerdasannya, serta kehadirannya pada pembacaan yang terakhir kali. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Pada mulanya Zaid menolak seperti halnya Abu Bakar sebelum itu. Keduanya lalu bertukar pendapat, sampai akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an itu. Zaid bin Sabit melalui tugasnya yang berat ini dengan bersadar pada hafalan yang ada dalam hati para qurra dan catatan yang ada pada para penulis. Kemudian lembaran-lembaran ( kumpulan) itu disimpan ditangan Abu Bakar. Setelah ia wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke tangan Umar dan tetap berada ditangannya hingga ia wafat. Kemudian mushaf itu berpindah ketangan Hafsah putri Umar. Pada permulaan kekalifahan Usman, Usman memintanya dari tangan Hafsah.
Zaid bin Sabit berkata: Abu Bakar memanggilku untuk menyampaikan berita mengenai korban perang Yamamah. Ternyata Umar sudah ada disana. Abu Bakar berkata : ‘Umar telah datang kepadaku dan mengatakan bahwa perang yamamah telah menelan banyak korban dari kalangan qurra ; dan ia khawatir kalau-kalau terbunuhnya para qurra itu juga akan terjadi ditempat-tempat lain, sehingga sebagain besar Qur’an akan musnah. Ia menganjurkan agar aku memetrintahkan seseorang untuk menguimpulkan Qur’an. Maka aku katakan kepadanya, bagaimana mungkin kita akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? tetapi Umar menjawab: dan bersumpah, demi Allah, perbuatan tersebut baik. Ia terus menerus membujukku sehingga Allah membukakan hatiku untuk menerima usulannya, dan akhirnya aku sependapat dengan Umar.” Zaid berkata lagi: “Abu Bakar berkata kepadaku: ‘ Engkau seorang pemuda yang cerdas dan kami tidak meragukan kemammpuanmu. Engkau telah menuliskan wahyu untuk Rasulullah. Oleh karena itu carilah Qur’an dan kumpulkanlah.” “Demi Allah”, Kata Zaid lebih lanjut”, ” sekiranya mereka memintaju untuk memindahkan gunung, rasanya tidak lebih berat bagiku dari pada perintah mengumpulkan Qur’an. Karena itu aku menjawab: ” Mengapa anda berdua ingin melakukan sesuatu yang tridak pernah dilakukan oleh Rasulullah ? Abu Bakar menjawab: ‘demi Allah itu baik, Abu Bakar tetap membujukku sehingga Allah membukakan hatiku sebagaimana ia telah membukakan hati Abu Bakar dan Umar. Maka akupun mulai mencari Qur’an. Kukumpulkan ia dari pelepah kurma, dari keping-kepingan batu, dan dari hafalan para penghafal sampai akhirnya aku mendapatkan akhir surah taubah berada pada Abu Huzaimah al-Anshari; yang tidak kudapatkan pada orang lain, sesungguhya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri� himgga akhir surah. Lembaran-lembaran ( hasil kerjaku) tersebut kemudian disimpan ditangan Abu Bakar higga wafatnya. Sesudah itu berpindah ketangan Umar sewaktu masih hidup, dan selanjutnya berada ditangan Hafsah binti Umar.”
Zaid bin Sabit bertindak sangat teliti, hati-hati. Ia tidak mencukupkan pada hafalan semata tanpa disertai dengan tulisan. Kata-kata Zaid dalam keterangan diatas: “Dan aku dapatkan akhir surah at-Taubah pada Abu Khuzaimah al-Anshari; yang tidak aku dapatkan pada orang lain.” Tidak menghilangkan arti keberhati-hatian tersebut dan tidak pula berari bahwa akhir surah Taubah itu tidak mutawatir. Tetapi yang dimaksud ialah bahwa ia tidak mendapat akhir surah Taubah tersebut dalam keadaan tertulis selain pada Abu Khuzaimah. Zaid sendiri hafal dan demikian pula banyak diantara para sahabat yang menghafalnya. Perkataan itu lahir karena Zaid berpegang pada hafalan dan tulisan, jadi akhir surah Taubah itu telah dihafal oleh banyak sahabat. Dan mereka menyaksikan ayat tersebut dicatat. Tetapi catatannya hanya terdapat pada Abu Khuzaimah al-Ansari.
Ibn Abu Daud meriwayatkan melalui Yahya bin Abdurrahman bin Hatib, yang mengatakan : ” Umar datang lalu berkata: ‘Barang siapa menerima dari Rasulullah sesuatu dari Qur’an, hendaklah ia menyampaikannya.’ Mereka menuliskan Qur’an itu pada lembaran kertas , papan kayu dan pelepah kurma. Dan Zaid tidak mau menerima dari Qur’an mengenai seseorang sebelum disaksikan oleh dua orang saksi. Ini menunjukkan bahwa Zaid tidak merasa puas hanya dengan adanya tulisan semata sebelum tulisan itu disaksikan oleh orang yang menerimanya secara pendengaran (langsung dari Rasul), sekalipun Zaid sendiri hafal. Ia bersikap demikian ini karena sangat berhati-hati. Dan diriwayatkan pula oleh Ibn Abu Daud melalui Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, bahwa Abu Bakar berkata pada Umar dan Zaid: “Duduklah kamu berdua dipintu masjid. Bila ada yang datang kepadamu membawa dua orang saksi atas sesuatu dari kitab Allah, maka tulislah.” Para perawi hadis ini orang-orang terpercaya, seklaipun hadis tersebut munqati,(terputus). Ibn Hajar mengatakan: “Yang dimaksudkan dengan dua orang saksi adalah hafalan dan catatan.”
As-Sakhawi menyebutkan dalam Jamalul qurra, yang dimaksdukan ialah kedua saksi itu menyaksikan bahwa catatan itu ditulis dihadapan Rasulullah; atau dua orang saksi iti menyaksikan bahwa catatan tadi sesuai dengan salah satu cara yang dengan itu Qur’an diturunkan. Abu Syamah berkata: “Maksud mereka adalah agar Zaid tidak menuliskan Qur’an kecuali diambil dari sumber asli yang dicatat dihadapan Nabi, bukan semata-mata dari hafalan. Oleh sebab itu Zaid berkata tentang akhir surah Taubah, ‘aku tidak mendapatkannya pada orang lain,’ sebab ia tidak menganggap cukup hanya didasarkan pada hafalan tanpa adanya catatan.”
Kita sudah mengetahui bahwa Qur’an sudah tercatat sebelum masa itu, yaitu pada masa Nabi. Tetapi masih berserakan pada kulit-kulit, tulang dan pelepah kurma. Kemudian Abu Bakar memerintahkan agar catatan-catatan tersebut dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surah yang tersusun serta dituliskan dengan sangat berhati-hati dan mencakup tujuh huruf yang dengan itu Qur’an diturunkan. Dengan demikian Abu Bakar adalah orang pertama yang mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf dengan cara seperti ini, disamping terdapat pula mushaf-mushaf pribadi pada sebagian sahabat, seperti mushaf Ali, Ubai dan Ibn Mas’ud. Tetpi mushaf-mushaf itu tidak ditulis dengan cara-cara diatas dan tidak pula dikerjakan dengan penuh ketelitian dan kecermatan. Juga tidak dihimpun secara tertib yang hanya memuat ayat-ayat yang bacaannya tidak dimansuk dan secara ijma’ sebagaimana mushaf Abu Bakar. Keistimewaan-keistimewaan ini hanya ada pada himpunan Qur’an yang dikerjakan Abu Bakar. Para ulama berpendapat bahwa penamaan Qur’an dengan “mushaf” itu baru muncul sejak saat itu, disaat Abu Bakar mengumpulkan Qur’an. Ali berkata: “Orang yang paling besar pahalanya dalam hal mushaf ialah Abu Bakar. Semoga Allah mel;impahkan rahmat-Nya kepada Abu Bakar. Dialah orang yang pertama mengumpulkan kitab Allah.”
Pengumpulan ini dinamakan pengumpulan kedua. Pengumpulan Qur’an pada Masa Usman
Penyebaran islam bertambah dan para Qurra pun tersebar di berbagai wilayah, dan penduduk disetiap wilayah itu mempelajari qira’at (bacaan) dari qari yang dikirim kepada mereka. Cara-cara pembacaan (qiraat) Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda sejalan dengan perbedaan ‘huruf ‘ yang dengannya Qur’an diturunkan. Apa bila mereka berkumpul disuatu pertemuan atau disuatu medan peperangan, sebag ian mereka merasa heran dengan adanya perbedaan qiraat ini.terkadang sebagian mereka merasa puas, karena mengetahui bahwa perbedaan-perbedaan itu semuanya disandarkan kepada Rasulullah. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak akan menyusupkan keraguan kepada generasi baru yang tidak melihat Rasulullah sehingga terjadi pembicaraan bacaan mana yang baku dan mana yang lebih baku. Dan pada gilirannya akan mnimbulkan saling bertentangan bila terus tersiar. Bahkan akan menimbulkan permusuhan dan perbuatan dosa. Fitnah yang demikian ini harus segera diselesaikan.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Iraq, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat itu ialah Huzaifah bin al-Yaman. Ia banyak melihat perbedaan dalam cara-cara membaca Qyr’an. Sebagian bacaan itu bercampur dengan kesalahan; tetapi masing-masing memepertahankan dan berpegang pada bacaannya, serta menentang setiap orang yang menyalahi bacaannya dan bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat kenyataan demikian Huzaifah segara menghadap Usman dan melaporkan kepadanya apa yang telah dilihatnya. Usman juga memberitahukan kepada Huzaifah bahwa sebagian perbedaan itu pun akan terjadi pada orang-orang yang mengajarkan Qiraat pada anak-anak. Anak-anak itu akan tumbuh, sedang diantara mereka terdapat perbedaan dalam qiraat. Para sahabat amat memprihatinkan kenyataan ini karena takut kalau-kalau perbedaan itu akan menimbulkan penyimpangan dan perubahan. Mereka bersepakat untuk menyalin lembaran-lembaran yang pertama yang ada pada Abu Bakar dan menyatukan umat islam pada lembaran-lembaran itu dengan bacaan tetap pada satu huruf.
Usman kemudian mengirimkan utusan kepada Hafsah (untuk meminjamkan mushaf Abu Bakar yang ada padanya) dan Hafsah pun mengirimkan lembaran-lembaran itu kepadanya. Kemudian Usman memmanggil Zaid bin Sabit al-Ansari, Abdullah bin Zubair, Said bin ‘As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Ketiga orang terkahir ini adalah orang quraisy, lalu memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, serta memerintahkan pula agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang quraisy itu ditulis dalam bahasa quraisy, karena Qur’an turun dengan logat mereka.
Dari Anas : “Bahwa Huzaifah bin al-Yaman datang kepada Usman, ia pernah ikut berperang melawan penduduk Syam bagian armenia dan azarbaijan bersama dengan penduduk Iraq, Huzaifah amat terkejut dengan perbedaan mereka dalam bacaan, lalu ia berkata kepada Usman “selamatkanlah umat ini sebelum mereka terlibat dalam perselisihan (dalam masalah kitab) sebagaimana peerselisihan orang-orang yahudi dan nasrani.’ Usman kemudian mengirim surat kepada Hafsah yang isinya; “sudilah kiranya anda kirimkan lemgbaran-lembaran yang berisi Qur’an itu, kami akan menyalinnya menjadi beberapa mushaf, setelah itu kami akan mengembalikannya.’ Hafsah mengirimkannya kepada Usman, dan Usman memerintahkan Zaid bin Sabit , Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘As dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam untuk menyalinnya.mereka pun menyalinnya menjadi beberapa mushaf. Usman berkata kepada ketiga orang quraisy itu:
“bila kamu berselisih pendapat dengan Zaid bin Sabit tentang sesuatu dari qur’an, maka tulislah dengan logat quraisy karena qur’an diturunkan dengan bahsa quraisy.’
Mereka melakukan perintah itu. Setelah mereka selesai menyalinnya menjadi beberapa mushaf, Usman mengembalikan lembaran-lembaran asli itu kepada Hafsah. Kemudian Usman mengirimkan kesetiap wilayah mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an atau mushaf lainnya dibakar. Zaid berkata: ‘Ketika ami menyalin mushaf, saya teringat akan satu ayat dari surah al-Ahzab yang pernah aku dengar dibacakan oleh Rasulullah;maka kami mencarinya, dan aku dapatkan pada Khuzaimah bin Sabit al-Ansari, ayat itu ialah”
“Di antara orang-orang mu’min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah�.”(al-Ahzab:23)
lalu kami tempatkan ayat ini pada syrah tersebut dalam mushaf.’
Berbagai ‘Asar atau keterangan para sahabat menunjukkan bahwa perbedaan cara membaca itu tidak saja mengejutkan Huzaifah, tetapi juga mengejutkan para sahabat yang lain. Dikatakan oleh Ibn Jarir : ‘Ya’kub bin Ibrahim berkata kepadaku: Ibn ‘Ulyah menceritakan kepadaku: Ayyub mengatakan kepadaku: bahwa Abu Qalabah berkata: pada masa kekahlifahan Usman telah terjadi seorang guru qiraat mengajarkan qiraat seseorang, dan guru qiraat lain mengajarkan qiraat pada orang lain. Dua kelompok anak-anak yang belajar qiraat itu suatu ketika bertemu dan mereka berselisih, dan hal demikian ini menjalar juga kepada guru-guru tersebut.’ Kata A yyub: aku tidak mengetahui kecuali ia berkata: ‘sehingga mereka saling mengkafirkan satu sama lain karena perbedaan qiraat itu,’ dan hal itu akhirnya sampai pada khalifah Usman. Maka ia berpidato: ‘Kalian yang ada dihadapanku telah berselisih paham dan salah dalam membaca Qur’an. Penduduk yang jauh dari kami tentu lebih besar lagi perselisihan dan kesalahannya. Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman) saj !’ Abu Qalabah berkata: Anas bin Malik bercerita kepadaku, katanya : ‘aku adalah salah seorang diantara mereka yang disuruh menuliskan ,’kata Abu Qalanbah: Terkadang mereka berselisih tentang satu ayat, maka mereka menanyakan kepada seseorang yang telah menerimnya dari Rasulullah. Akan tetapi orang tadi mungkin tengah berada diluar kota, sehingga mereka hanya menuliskan apa yang sebelum dan yang sesudah serta memniarkan tempat letaknya, sampai orang itu datang atau dipanggil. Ketika penulisan mushaf telah selesai, Kahlifah Usman menulis surat keapada semua penduduk daerah yang sisinya: ‘Aku telah melakukan yang demikian dan demikian. Aku telah menghapuskan apa yang ada padaku, maka hapuskanlah apa yang ada padamu.’
Ibn Asytah meriwayatkan melalui Ayyub dari Abu Qalabah , keterangan yang sama. Dan Ibn Hajar menyebutkan dalam al-Fath bahwa Ibn Abu Daud telah meriwayatkannya pula melalui Abu Qalabah dalam al-Masahif.
Suwaid bin Gaflah berkata: ‘Ali mengatakan: ‘Katakanlah segala yang baik tentang Usman. Demi Allah apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Qur’an sudah atas persetujuan kami. Usman berkata : ‘bagaimana pendapatmu tentang qiraat in ? saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qiraatnya lebih baik dari q iraat orang lain. Ini telah mendekati kekafiran. Kami berkata : ‘bagaimana penadapatmu ? ia menjawab : ‘ aku berpendapat agar manusia bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan, kami berkata : baik sekali pendapatmu itu.”
Keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Usman itu telah disepakati oleh para sahabat. Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu huruf (dialek) dari tujuh huruf Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qiraat. Dan Usman telah mengembalikan lembaran-lembaran yang asli kepada Hafsah, lalu dikirimkannya pula pada setiap wilayah yaitu masing-masing satu mushaf. Dan ditahannya satu mushaf untuk dimadinah, yaitu mushafnya sendiri yang dikenal dengan nama “mushaf Imam”. Penamaan mushaf itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat dimana ia mengatakan: ” Bersatulah wahai umat-umat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu imam (mushaf Qur’an pedoman).” Kemudian ia memerintahkan untuk membakar mushaf yang selain itu. Umatpun menrima perintah dengan patuh, sedang qiraat dengan enam huruf lainnya ditingalkan. Keputusan ini tidak salah, sebab qiraat dengan tujuh huruf itu tidak wajib. Seandainya Rasulullah mewajibkan qiraat dengan tujuh huruf itu semua, tentu setiap huruf harus disampaikan secara mutawatir sehingga menjadi hujjah. Tetapi mereka tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa qiraat dengan tujuh huruf itu termasuk dalam katergori keringanan. Dan bahwa yang wajib ialah menyampaikan sebagian dari ketujuh huruf tersebut secara mutawatir dan inilah yang terjadi.
Ibn Jarir mengatakan berkenaan dengan apa yang telah dilakukan oleh Usman: ‘Ia menyatukan umat islam dengan satu mushaf dan satu huruf, sedang mushaf yang lain disobek. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf ” berlainan “dengan mushaf yang disepakati itu membakar mushaf tersebut, umatpun mendukungnya dengan taat dan mereka melihat bahwa dengan bagitu Usman telah bertindak sesuai dengan petunjuk dan sangat bijaksana. Meka umat meninggalkan qiraat dengan enam huruf lainnya.sesuai dengn permintaan pemimpinnya yang adil itu; sebagai bukti ketaatan umat kepadanya dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya. Dengan demikian segala qiraat yang lain sudah dimusnahkan dan bekas-bekasnya juga sudah tidak ada. Sekarang sudah tidak ada jalan bagi orang yang ingin membaca dengan ketujuh huruf itu dan kaum muslimin juga telah menolak qiraat dengan huruf-huruf yang lain tanpa mengingkari kebenarannya atau sebagian dari padanya.tetapi hal itu bagi kebaikan kaum muslimin itu sendiri. Dan sekarang tidak ada lagi qiraat bagi kaum muslimin selain qiraat dengan satu huruf yang telah dipilih olah imam mereka yang bijaksana dan tulus hati itu. Tidak ada lagi qiraat dengan enam huruf lainya.
Apa bila sebagian orang lemah pengetahuan berkata : Bagaimana mereka boleh meninggalkan qiraat yang telah dibacakan oleh Rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara itu ? maka jawabnya ialah : ‘Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka untuk membacanya itu bukanlah perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukshah). Sebab andaikata qiraat dengan tujuh huruf itu diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajibpula bagi orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, bertianya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan dari para qari. Dan karena mereka tidak menyampaikan hal tersebut, maka ini merupakan bukti bahwa dalam masalah qiraat mereka boleh memilih, sesudah adanya orang yang menyampaikan Qur’an dikalangan umat yang penyampaiannya menjadi hujjah bagi sebagian ketujuh huruf itu.
Jika memang demikian halnya maka mereka tidak dipandang telah meninggalkan tugas menyampaikan semua qiraat yangv tujuh tersebut, yang menjadi kewajigan bagi mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang sudah mereka kerjakan itu. Karena apa yang telah mereka lakukan tersebut ternyatasangat berguna bagi islam dan kaum muslimin. Oleh karena itu menjalankan apa yang menjadi kewajiban mereka sendiri lebih utama dari pada melakukan sesuatu yang malah akan lebih merupakan bencana terhadap islam dan pemeluknya dari pada menyelamatkannya.”
* * *
Perbedaan antara Pengumpulan Abu Bakar dengan Usman
Dari teks-teks diatas jelaslah bahwa pengumpulan (mushaf oleh) Abu Bakar berbeda dengan pengumpulam yang dilakukan Usman dalam motif dan caranya. Motif Abu Bakar adalah kekhawatiran beliau akan hilangnya Qur’an karena banyaknya para huffaz yang gugur dalam peperangan yang banyak menelan korban dari para qari. Sedang motif Usman dalam mengumpulkan Qur’an ialah karena banyaknya perbedaan dalam cara-cara membaca Qur’an yang disaksikannnya sendiri didaerah-daerah dan mereka saling menyalahkan antara satu dengan yang lain.
Pengumpulan Qur’an yang dilakukan Abu Bakar ialah memindahkan satu tulisan atau catatan Qur’an yang semula bertebaran dikulit-kulit binatang, tulang, dan pelepah kurma, kemudian dikumpulkan dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya yang tersusun serta terbatas dalam satu mushaf, dengan ayat-ayat dan surah-surahnya serta terbatas dengan bacaan yang tidak dimansukh dan tidak mencakup ketujuh huruf sebagaimana ketika Qur’an itu diturunkan.
Sedangkan pengumpulan yang dilakukan Usman adalah menyalinnya menjadi satu huruf diantar ketujuh huruf itu, untyuk mempersatukan kaum muslimin dalam satu mushaf dan satu huruf yang mereka baca tanpa keenam huruf lainnya. Ibnut Tin dan yang lain mengatakan: “Perbedaan antara pengumpulan Abu Bakar dan Usmanialah bahwa pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar disebabkan oleh kekawatiran akan hilangnya sebagian Qur’an karena kematian para penghafalnya, sebab ketika itu Qur’an belum terkumpul disatu tempat. Lalu Abu Bakar mengumpulkannya dalam lembaran-lembaran dengan menertibkan ayat-ayat dan surahnya. Sesuatu dengan petunjuk Rasulullah kepada mereka. Sedang pengumpulam Usman sebabnya banyaknya perbedaan dalam hal qiraat, sehingga mereka membacanya menurut logat mereka masing-masing dengan bebas dan ini menyebabkan timbulnya sikap saling menyalahkan, karena kawatir akan timbul bencana , Usman segera memerintahkan menyalin lembaran-lembaran itu dalam satu mushaf dengan menertibkan surah-surahnya dan membatasinya hanya pada bahasa quraisy saja dengan alasan bahwa qur’an diturunkan dengan bahasa mereka (quraisy). Sekalipun pada mulanya memang diizinkan membacanya dengan bahasa selain quraisy guna menghindari kesulitan. Dan menurutnya keperluan demikian ini sudah berakhir, karena itulah ia membatasinya hanya pada satu logat saja. Al-Haris al-Muhasibi mengatakan: “Yang masyhur dikalangan orang banyak ialah bahwa pengumpul Qur’an itu Usman. Pada hal sebenarnya tidak demikian, Usman hanyalah berusaha menyatukan umat pada satu macam (wajah) qiraat, itupun atas dasar kesepakatan antara dia dengan kaum muhajirin dan anshar yang hadir dihadapannya.serta setelah ada kekhawatiran timbulnya kemelut karena perbedaan yang terjadi karena penduduk Iraq dengan Syam dalam cara qiraat. Sebelum itu mushaf-mushaf itu dibaca dengan berbagai macam qiraat yang didasarkan pada tujuh huruf dengan mana Qur’an diturunkan. Sedang yang lebih dahulu mengumpulkan Qur’an secara keseluruhan (lengkap) adalah Abu Bakar as-Sidiq.” .
Dengan usahanya itu Usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis sumber perselisihan serta menjaga isi Qur’an dari penambahan dan penyimpangan sepanjang zaman.
Para ulama berbeda pendapat tentang jumlah mushaf yang dikirimkan kepada Usman ke berbagai daerah :
a . Ada yang mengatakan bahwa jumlahnya tujuh buah mushaf yang dikirimkan ke Mekkah, Syam Basyrah, Kuffah, Yaman, Bahrain, dan Madinah. Ibn Abu Daud mengatakan: “Aku mendengar Abu Hatim as-Sijistani berkata: ‘telah ditulis tujuh buah mushaf, lalu dikirimkan ke Mekkah, Syam, Basyrah, Kuffah, Bahrain, Yaman dan sebuah ditahan di Madinah.”
b . Dikatakan pula bahwa jumlahnya ada empat buah masing-masing dikirimkan ke Iraq, Syam,Mesir dan Mushaf Imam, atau dikirimkan ke Kuffah, Basyrah, Syam dan mushaf Imam berkata Abu ‘Amr ad-Dani dalam al-Muqni.” “sebagian besar ulama berpendapat bahwa ketika Usman menulis Mushaf, ia membuatnya sebanyak empat buah salinan dan ia kirimkan kesetiap daerah masing-masing satu buah: ke Kufah , Basyrah, Syam dan ditinggalkan satu buah untuk dirinya sendiri.”
c . Ada juga yang mengatakan bahwa jumlahnya ada lima. As-Suyuti berkata bahwa pendapat inilah yang masyhur.
Adapun lembaran-lembaran yang dikembalikan kepada Hafsah, tetap berada ditangannya hingga ia wafat, setelah itu lembaran-lembaran tersebut dimusnahkan, dan dikatakan pula bahwa lembaran-lembaran tersebut diambil oleh Marwan bin Hakam lalu dibakar.
Mushaf-mushaf yang ditulis oleh Usman itu sekarang hampir tidak ditemukan sebuah pun juga. Keteranagn yang diriwayatkan oleh Ibn Katsir dalam kitabnya Fadhailul Qur’an menyatakan bahwa ia menemukan satu buah diantaranya di masjid Damsyik di Syam. Mushaf itu ditulis pada lembaran yang -menurutnya terbuat dari kulit unta. Dan diriwayatkannya pula mushaf Syam ini dibawa ke Inggris setalah beberapa lama berada ditangan kaisar rusia di perpustakaan Leningrad. Juga dikatakn pula bahwa mushaf itu terbakar dalam masjid Damsyik pada tahun 1310 H.
Pengumpulan Qur’an oleh Usman ini disebut dengan pengumpulan ketiga yang dilaksanakan pada 25 H.
Keraguan yang Harus Ditolak
Ada beberapa keraguan yang ditiupkan oleh para pengumbar hawa nafsu untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan kecermatan pengumpulannya. Disini kami akan kemukakan beberapa hal yang penting diantaranya dan kemudian menwabnya.
1. Mereka berkata, sumber-sumber lama (asar) menunjukkan bahwa ada beberapa bagian Qur’an yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada ditangan kita ini. Sebagai bukti (dalil) dikemukakannya:
A Aisyah berkata: “Rasulullah pernah mendengar seseorang membaca Qur’an dimasjid , lalu katanya ‘semoga Allah mengkasihinya. Ia telah mengingatkan aku akan ayt anu dan ayat anu dari surah anu.’ Dalam riwayat lain dikatakan ‘Aku telah menggugurkannya dari ayat ini dan ini.’ Dan ada lagi riwayat yang mengatakan ‘ Aku telah dibuat lupa terhadapnya.’
Arguman ini dapat dijawab bahwa teringatnya Rasulullah akan astu atau beberapa ayat yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keraguan dalam hal pengumpulan Qur’an karena riwayat yang mengandung ungkapan “menggugurkan” itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, “Aku telah dibuat lupa terhadapnya” (kuntu unsituha) ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan “menggugurkannya” adalah “lupa” sebagaimana ditunjukkan pula oleh kata-kata “telah mengingatkan aku”. Kelupaan atau lupa bisa saja terjadi pada Rasulullah dalam hal yang tidak merusak tablig. Disamping itu ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh para sahabat. Hafalan dan pencatatannya pun telah mencapai tingkat mutawatir. Dengan demikian lupa yang dialami Rasulullah sesudah itu tidak mempengaruhi kecermatan dalam pengumpulan Qur’an. Inilah maksud hadis diatas. Oleh sebab itu bacaan orang ini- yang hanya merupakan salah seorang diantara para penghafal yang jumlahnya mencapai tingkat mutawatir-mengingatkan Rasulullah. “ia telah mengingatkan aku akan ayat anu dan ayat anu”.
B.Allah berfirman dalam surah A’la:
“Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad) maka kamu tidak akan lupa, kecuali kalau Allah menghendaki.”(al-A’la:8-7). Pengecualian dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada beberapa ayat yang terlupakan oleh Rasulullah.
Mengenai hal ini dapatlah dijawab bahwa Allah telah berjanji kepada Rasul-Nya untuk membacakan Qur’an dan memeliharanya serta mengamankannya dari kelupaan, sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya: “Kami akan membacakan (Qur’an) kepadamu (Muhammad), maka kamu tidak akan lupa.” Namun karena ayat ini mengesankan seakan hal itu merupakan suatu keharusan, pada hal Allah berbuat menurut kehendak-Nya secara bebas. “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (al-Anbiya: 23), maka ayat itu segera disusul dengan pengecualian ” Kecuali kalau Allah menghendaki”, untuk menunjukkan bahwa pemberitahuan mengenai pembacaan Qur’an kepada Rasul dan pengamanannya dari kelupaan itu tidak keluar dari kehendak-Nya pula. Sebab bagi Allah tak ada yang tak dapat dilakukan. Syaikh Muhammad Abduh mengemukakan dalam menafsirkan ayat tersebut sebagai berikut : “Oleh karena janji itu dituangkan dalam ungkapan yang menunjukkan keharusan dan kekal, sehingga terkadang memberi kesan bahwa kekuasaan Allah tidak meliputi yang selain itu, dan bahwa yang demikian dipandang telah keluar dari kehendak-Nya, kecuali kalau Allah menghendaki. Sebab, jika Ia berkehendak tak ada atupun yang dapat mengalahkan kehendak-Nya.
Dengan demikian maka yang dimaksudkan disini ialah peniadaan kelupaan secara total. Mereka mengatakan : ‘pengertian demikian seperti halnya perkataan seseorang kepada sahabatnya: ‘Engkau berbagi denganku dalam apa yang aku miliki, kecuali kalau Allah menghendaki. Dengan perkataan ini ia tidak bermaksud mengecualikan sesuatu, karena ungkapan demikian sedikit sekali atau jarang dipergunakan untuk menunjukkan arti nafi (negatif). Dan seperti ini pulalah maksudpengecualian dalam firman-Nya pada surah Hud :
“Adapun orang-orang yang berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki ; sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.”(Hud : 108). Pengecualian seperti ini menunjukkan bahwa pengabadian dan pengekalan itu semata-mata karena kemurahan dan keluasan karunia Allah. Bukan keharusan dan kewajiban bagi-Nya.
Dan bila Ia berkehendak untuk mencabutnya, maka tidak ada seorangpun dapat menghalangi.
Mengenai riwayat, bahwa Nabi telah melupakan sesuatu sehingga perlu diingatkan, maka seandainya hal itu benar, tetapi ini tidaklah menyangkut kitab dan hukum-hukum Allah yang diturunka kepada Nabi agar disampaikan kepada umat. Dengan demikian segala pendapat yang dilontarkan orang selain dari yang telah kami kemukakan ini merupakan pentusupan dari orang-orang atheis yang merasuku pikiran orang-orang yang lalai. Untuk menodai apa yang telah disucikan oleh Allah. Karena tidak pantas bagi orang yang mengenal kedudukan Rasulullah dan beriman kepada kitabullah berpegangan pada pendapat semacam itu sedikitpun juga,”
II. Mereka mengatakan, dalam Qur’an terdapat sesuatu yang bukan Qur’an, unutyuk pendapatnya ini mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Masud mengingkari surah an-Nas dan al-Falaq termasuk bagian dari Qur’an. Terhadap pendapat ini dapat diajukan jawaban sebagai barikut. Yaitu bahwa riwayat yang diterima dari Ibn Mas’ud itu tidak benar karena bertentangan dengan kesepakatan umat. An-Nawawi mengatakan dalam syarh al-Muhazzab ” Kaum muslimin sepakat bahwa kedua surah (an-Nas dan al- Falaq) itu dan surah Fatihah juga termasuk Qur’an. Dan siapa saja yang mengingkarinya sedikitpun ia adalah kafir. Sedangkan riwayat yang diterima dari Ibn Masud adalah batil, tidak sahih.” Ibn Hazm berpendapat, riwayat tersebut merupakan pendustaan dan pemalsuan atas nama (terhadap) Ibn Masud.
Seandainya riwayat itu benar, maka yang dapat dipahami ialah bahwa Ibn Masud tidak pernah mendengar kedua surah mu’awizatain, yakni surah al-Falaq dan an-Nas itu secara langsung dari Nabi., sehingga ia berhenti, tidak memberikan komentar mengenainya. Selain itu pengingkaran Ibn Masud tersebut tidak dapat membatalkan konsensus (ijma’) kaum muslimin bahwa kedua surah itu merupakan bagian Qur’an yang mutawatir. Argumentasi ini dapat pula dipergunakan untuk menjawab isyu yang menyatakan bahwa mushaf Ibn Masud tidak memuat surah Fatihah, sebab Fatihah adalah Ummul Qur’an, induk Qur’an yang status qur’aniahnya tak seorang pun meragukannya.
III. Segolongan Syi’ah extrim menuduh bahwa Abu Bakat , Umar dan Usman telah mengubah Qur’an serta menggugurkannya beberapa ayat dan surahnya. Mereka ( Abu Bakar cs.)telah mengganti dengan lafal Ummatun hiya arba min ummatin-”Satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan lain” (an-Nahl:92) yang asalnya adalah ‘A’immatun hiya azka min a’immatikum’. “Imam-imam yang lebih suci dari pada Imam-imam kamu” mereka juga menggugurkan dari surah Ahzab ayat-ayat mengenai keutamaan “ahlul bait” yang panjangnya sama dengan surah al-an’am. Dan menggugurkan pula surah mengenai kekuasaan (al-Wilayah) secara total dari Qur’an.
Terhadap golongan ini dapat dikemukakan bahwa tuduhan tersebut adalah batil, omong kosong yang tanpa dasar dan tuduhan yang tanpa bukti. Bahkan membicarakannya merupakan suatu kebodohan. Selain itu, sebagian kaum Syi’ah sendiri cuci tangan dari anggapan bodoh semacam ini. Dan apa yang diterima dari Ali, orang yang mereka jadikan tumpuan (tasyayyu’) bertentangan dengan hal tersebut dan bahkan menunjukkan terjadinya kesepakatan (ijma’) mengenai kemutawatiran Qur’an yang tertulis dalam mushaf, diriwayatkan bahwa Ali mengatakan mengenai pengumpulan Qur’an oleh Abu Bakar; ‘Manusia yang paling berjasa bagi mushaf-mushaf Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya, karena dialah orang pertama yang mengumpulkan kitab Allah.” Ali juga mengatakan berkenaan dengan pengumpulan Qur’an oleh Usman : “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Allah. Jauhilah sikap berlebihan (bermusuhan) terhadap Usman dan perkataanmu bahwa dialah yang membakar msuhaf. Demi Allah dia membakarnya berdasarkan persetujuan kami, sahabat-sahabat Rasulullah.” Lebih lanjut ia mengatakan : ” Seandainya yang menjadi penguasa pada masa Usman adalah aku, tentu akupun akan berbuat terhadap mushaf-mushaf itu seperti yang dilakukan Usman.”
Apa yang diriwayatkan Ali sendiri ini telah membungkam para pendusta yang mengira bahwa mereka adalah para pembela Ali, sehingga mereka berani berperang untuk sesuatu yang tidak mereka ketahui karena kefanatikannya yang membuta kepada Ali. Sedang Ali lepas tangan sendiri terhadap mereka.
* * *
Tertib Ayat
Qur’an terdiri atas surah-surah dan ayat-ayat, baik yang pendek maupun yang panjang. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang terdapat dalam sebuah surah dari Qur’an. Surah ialah sejumlah ayat Qur’an yang mempunyai permulaan dan kesudahan, tertib atau urutan ayat-ayat Qur’an ini adalah tauqifi, ketentuan dariRasulullah, sebagian ulama meriwayatkan bahwa pendapat ini adalah ijma’ diantaranya az-Zarkasyi dalam al-Burhan dan Abu Ja’far Ibnuz Zubeir dlam munasabahnya ia mengatakan : ” Tertib ayat-ayat didalam surah-surah itu berdasarkan tauqifi dari Rasulullah dan atas perintahnya, tanpa diperselisihkan kaum muslimin.” As-Syuti telah memutuskan hal itu, ia berkata : ” Ijma’ dan nas-nas yang serupa menegaskan, tertib ayat-ayat itu dalah taufiqi, tanpa diragukan lagi.” Jibril menurunkan beberapa ayat kepada Rasulullah dan menunjukkan kepadanya tempat dimana ayat-ayat itu harus diletakkan dalam surah atau ayat0ayat yang turun sebelumnya. Lalu Rasulullah memerintahkan kepada para penulis wahyu untuk menuliskannya ditempat tersebut. Ia mengatakan kepada mereka : “Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya disebutkan begini dan begini.” Atau ” Letakkanlah ayat ini ditempat anu.” Susunan dan penempatan ayat tersebut sebagaiman yang disampaikan para sahabat kepada kita. Usman bin ‘Abil ‘As berkata:
“Aku tengah duduk disamping Rasulullah, tiba-tiba panadangannya menjadi tajam lalu kembali seperti semula. Kemudian katanya ‘Jibril telah datang kepadaku dan memerintahkan agar aku meletakkan ayat ini ditempat anu dari surah ini : Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan serta memberi kepada kaum kerabat�..(an-Nahl: 90)
Usman berhenti ketika mengumpulkan Qur’an pada tempat setiap ayat dari sebuah surah dalam Qur’an dan, sekalipun ayat itu telah mansukh hukumnya, tanpa mengubahnya. Ini menunjukkan bahwa penulisan ayat dengan tertib seperti ini adalah tauqifi.
Ibnuz Zubair berkata: “Aku mengatakan kepada Usman bahwa ayat : Dan orang-orang yang meninggal dunia diantara kamu dengan meninggalkan isteri-isteri�..(al-Baqarah: 234) telah dimansukh oleh ayat lain, tetapi mengapa anda menuliskannya atau membiarkannya dituliskan ? ia menjawab: ‘Kemenakanku; aku tidak mengubah sesuatu pun dari tempatnya.”
Terdapat sejumlah hadis yang menunjukkan keutamaan beberapa ayat dari surah-surah tertentu. Ini menunjukkan bahwa tertib ayat-ayat bersifat tauqifi. Sebab jika tertibnya dapat diubah, tentulah ayat-ayat itu tidak akan didukung oleh hadis-hadis tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Darda’ dalam hadis marfu’ : “Barang siapa hafal sepuluh ayat dari awal surah kahfi, Allah akan melindunginya dari Dajjal.” Dan dalam redaksi lain dikatakan: “Barang siapa membaca sepuluh ayat terakhir dari surah kahfi�” juga terdapat hadis-hadis lain yang menunjukkan letak ayat tertentu pada tempatnya. Umar berkata: ” Aku tidak menanyakan pada Nabi tentang kalalah, asmpai-sampai Nabi menekankan jarinya kedadaku, dan mengatakan : ‘Tidak cukup bagimu ayat yang diturunkan pada musim panas, yang terdapat pada akhir surah an-Nisa’?
Disamping itu terima pula bahwa Rasulullah telah membaca sejumlah surah dengan tertib ayat-ayatnya dalam salat atau dalam khutbah jumat, seperti surah Baqarah, Ali imran dan Annisa’. Juga hadis sahih mengatakan bahwa Rasulullah membaca surah A’raf dalam salat maghrib dan dalam salat subuh hari jum’at membaca surah Alif Lam Mim, Tanzilul Kitabi La Raibafihi” (as-Sajdah) dan Hal Ata Alal Insani (ad-Dahr) juga membaca surah Qaf pada waktu Kutbah. Surah Jumu’ah dan surah Munafikun dalam salat jum’at.
Jibril selalu mengulangi dan memeriksa Qur’an yang telah disampaikannya kepada Rasulullah sekali setiap tahun, pada bulan ramadhan dan pada tahun terakhir kehidupannya sebanyak dua kali. Dan pengulangan Jibril terakhir ini seperti tertib yang dikenal sekarang ini.
Dengan demikan tertib ayat-ayat Qur’an seperti yang ada dalam mushaf yang beredar diantara kita adalah tauqifi. Tanpa diragukan lagi. As-Suyuti setelah menyebutkan hadis-hadis berkenaan dengan surah-surah tertentu mengemukakan : ‘Pembacaan surah-surah yang dilakukan Nabi dihadapan para sahabat itu menunjukkan bahwa tertib atau susunan ayat-ayatnya adlah tauqifi. Sebab, para sahabat tidak akan menyusunnya dengan tertib yang berbeda dengan yang mereka denar dari bacaan Nabi. Maka sampailah tertib ayat seperti demikian kepada tingkat mutawatir.”
* * *
Tertib Surah
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surah-surah Qur’an.
A.Dikatakan bahwa tertib surah itu tauqifi dan ditangani langsung oleh Nabi sebagaimana diberitahukan jibril kepadanya atas perintah Tuhan. Dengan demikian, Qur’an pada masa Nabi telah tersusun surah-surahnya secara tertib sebagaimana tertib ayat-ayatnya. Seperti yang ada ditangan kita sekarang ini. Yaitu tertib mushaf Usman yang tak ada seorang sahabatpun menentangnya. Ini menunjukkan telah terjadi kesepakatan (ijma’) atas tertib surah, tanpa suatu perselisihan apa pun.
Yang mendukung pendapat ini ialah, bahwa Rasulullah telah membaca beberapa surah secara tertib didalam salatnya. Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi pernah membaca beberapa surah aufassal (surah-surah pendek) dalam satu rakaat. Bukhari meriwayatkan dari Ibn Mas’ud, bahwa ia mengatakan tentang surah Bani Isra’il, Kahfi, Maryam, Taha dan Anbiya’: “surah-surah itu termasuk yang diturunkan dimekkah dan yang pertama-tama aku pelajari.” Kemudian ia menyebutkan surah-surah itu secara berurutan sebagaimana tertib susunan seperti sekarang ini.
Telah diriwayatkan melalui Ibn wahhab, dari Su;laiman bin Bilal, ia berkata : “Aku mendengar Rabbi’ah ditanya orang, ‘ Mengapa surah baqarah dan Ali Imran di dahulukan, pada hal sebelum kedua surah itu telah diturunkan delapan puluhsekian surah makki, sedang keduanya diturunkan di madinag ?’ dia menjawab : ‘ Kedua surah itu memang didahulukan dan Qur’an dikumpulkan menurut pengetahuan dari orang yang mengumpulkannya.’ Kemudian katanya: ‘ Ini adalah sesatu yang mesti terjadi dan tidak perlu dipertanyakan.”
Ibn Hisyar mengatakan : ‘ tertib surah dan letak ayat-ayat pada tempat-tampatnya itu berdasarkan wahyu. Rasulullah mengatakan: ‘Letakkanlah ayat ini ditempat ini.’ Hal tersebut telah diperkuat oleh nukilan atau riwayat yang mutawatir dengan tertib seperti ini, dari bacaan Rasulullah dan ijma’ para sahabat untuk meletakkan atau menyusunnya seperti ini didalam mushaf.”
B.Dikatakan bahwa tertib surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, mengingat adanya perbedaan tertib didalam mushaf-mushaf mereka. Misalnaya mushaf Ali disusun menurut tertb nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian Muddassir, lalu Nun, Qalam, kemudian Muzammil, dst hingga akhir surah Makki dan madani.
Dalam mushaf Ibn Masu’d yang pertama ditulis adaslah surah Baqarah, Nisa’ dan Ali-’Imran.
Dalam mushaf Ubai yang pertama ditulis ialah Fatihah, Baqarah, Niasa’ dan Ali-Imran.
Diriwayatkan Ibn Abbas berkata: “Aku bertanya kepada Usman :Apakah yang mendorongmu mengambil Anfal yang termasuk katergori masani dan bar’ah yang termasuk Mi’in untuk kamu gabungkan keduanya menjadi satu tanpa kamu tuliskan diantara keduanya Bismillahirrahmanirrahim, dan kamupun meletakkannnya pada as-Sab’ut Tiwal (tujuh surah panjang) ? Usman menjawa: ‘Telah turun kepada Rasulullah surah-surah yang mempunyai bilangan ayat. Apa bila ada ayat turun kepadnya, ia panggil beberapa orang penulis wahyu dan mengatakan: ‘ Letakkanlah ayat ini pada surah yang didalamnya terdapat ayat anu dan anu.” Surah Anfal termasuk surah pertama yang turun di madinah. Sedang surah Bara’ah termasuk yang terakhir diturunkan. Surah Anfal serupa dengan surah yang turun dalam surah Bara’ah, sehingga aku mengira bahwa surah adalah bagian dari surah Anfal. Dan sampai wafatnya Rasulullah tidak menjelaskan kepada kami bahwa surah Bara’ah adalah sebagian dari surah Anfal. Oleh karena itu, kedua surah tersebut aku gabungkan dan diantara keduanya tidak aku tuliskan Bismillahirrahmanirrahim serta aku meletakkannya pula pada as Sab’ut Tiwal.”
C.Dikatakan bahwa sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat, hal ini karena terdapat dalil yang menunjukkan tertib sebagian surah pada masa Nabi. Misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-’abut Tiwal, al hawamin dan al mufassal pada masa hidup Rasulullah.
Diriwayatkan, “Bahwa Rasulullah berkata: bacalah olehmu dua surah yang bercahaya, baqarah dan ali Imran.”
Diriwayatkan pula, ” Bahwa jika hendak pergi ketempat tidur, Rasululah mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupnya lalu membaca Qul huwallahu ahad dan mu’awwizatain.”
Ibn Hajar mengatakan: “Tertib sebagain surah-surah atau sebagian besarnya itu tidak dapat ditolak sebagai bersifat Tauqifi.” Untuk mendukung pendapatnya ia kemukakan hadis Huzaifah as Saqafi yang didalamnya antara lain termuat: “Rasulullah berkata kepada kami, ‘telah datang kepadaku waktu untuk membaca hizb(bagian) dari Qur’an, maka aku tidak ingin keluar sebelum selesai.’ Lalu kami tanyakan kepada sahabat-sahabat Rasulullah: bagaimana kalian membuat pembagian Qur’an ? mereka menjawab: kami membaginya menjadi tiga surah , lima surah, tujuh surah, sembilan, sebelas , tiga belas surah dan bagian al Mufassal dari Qaf samapi kami khatam.”
Kata Ibn Hajaar : ” Ini menunjukkan bahwa tertib surah-surah seperti terdapat dalam mushaf sekarang adalah tertib surah pada masa Rasulullah.” Dan katanya: “Nmun mungkin juga bahwa yang telah tertib pada waktu itu hanyalah bagian mufassal, bukan yang lain.”
Apa bila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua, yang menyatakan tertib surah-surah itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebagian sahabat mengenai terib mushaf mereka yang khusus, merupakan ihtiyar mereka sebelum Qur’an dikumpulkan secara terib. Ketika pada masa Usman Qur’an dikumpulkan , ditertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya pada suatu huruf ( logat) dan umatpun menyepakatinya, maka mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditnggalkan. Seandainya tertib itu merupakan hasil ijtihad , tentu mereka tetap berpegang pada mushafnya masing-masing.
Mengenai hadis tentang surah al-Anfal dan Taubah yang diriwayatkan dari Ibn Abbas diatas, isnadnya dalam setiap riwayat berkisar pada Yazid al Farsi yang oleh Bukhari dikategorikan dalam kelompok du’afa’. Disamping itu dalam hadis inipun tedapat kerancuan mengenai penempatan basmalah pada permulaan surah, yang mengesankan seakan-akan Usman menetapkannya menurut pendapatnya sendiri dan meniadakannya juga menurut pendapatnya sendiri. Oleh karena itu dalam komentarnya terdapat hadis tersebut dalam musnad Imam Ahmad. Syaikh Ahmad Syakir, menyebutkan: “Hadis itu tak ada asal mulanya” paling jauh hadis itu hanya menunjukan ketidak tertiban kedua surah tersebut.
Sementara itu, pendapat ketiga yang menyatakan sebagian surah itu tertibnya tauqifi dan sebagian lainnya bersifat ijtihadi, dalil-dalilnya hanya berpusat pada nas-nas yang menunjukkan tertib tauqifi. Adapun bagian yang ijtihadi tidak bersandar pada dalil yang menunjukkan tertin ijtihadi. Sebab, ketetapan yang tauqifi dengan dalil-dalilnya tidak berarti bahwa selain itu adalah hasil ijtihad. Disamping itu pula yang bersifat demikian hanya sedikit sekali.
Dengan demikian bahwa tertib surah itu bersifat tauqifi seperti halnya tertib ayat-ayat. Abu Bakar Ibnul Anbari menyebutkan: “Alah telah menurunkan Qur’an seluruhnya kelangit dunia. Kemudian ia menurunkannya secara berangsur-angsur selama dua puluh sekian tahun. Sebuah surah turun karena suatu urusan yang terjadi dan ayatpun turun sebagai jawaban bagi orang yang bertanya, sedangkan jibril senantiasa memberitahukan kepada Nabi dimana surah dan ayat tersebut harus ditempatkan. Dengan demikian susunan surah-surah , seperti halnya susunan ayat-ayat dan logat-logat Qur’an , seluruhnya berasal dari Nabi. Oleh karena itu, barang siapa mendahulukan sesuatu surah atau mengakhirinya, ia telah merusak tatanan Qur’an.”
Al- kirmani dalam al Burhan mengatakan : “Tertib surah seperti kita kenal sekarang ini adalah menurut Allah pada lauh mahfuz, Qur’an sudah menurut tertib ini. Dan menurut tertib ini pula Nabi membacakan dihadapan Jibril setiap tahun apa yang dikumpulkannya dari Jibril itu. Nabi membacakan dihadapan Jibril menurut tertb ini pada tahun kewafatannya sebanyak dua kali. Dan ayat yang terakhir kali turun ialah : Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah (albaqarah : 28). Lalu jibril memerintahkan kepadanya untuk meletakkan ayat ini diantara ayat riba dan ayat tentang utang piutang.
As Suyuti cenderung pada pendapat Baihaqi yang mengatakan: “Qur’an pada masa Nabi surah dan ayat-ayatnya telah tersusun menurut tertib ini kecuali anfal dan bara’ah, karena hadis Usman.”
* * *
Surah-surah dan Ayat-ayat Qur’an
Surah-surah Qur’an itu ada empat bagian: 1) at-Tiwal, 2) al-Mi’un, 3) al-Masani, 4) al-Mufassal. Berikut ini kita kemukakan secara singkat pendapat terkuat mengenai keempat bagian itu:
1).at-Tiwal ada tujuh surah yaitu : Baqarah, ali Imran, Nisa’, Ma’idah, an’Am, A’raf, dan yang ketujuh- ada yang mengatakan Anfal dan Bara’ah sekaligus karena tidak dipisah dengan basmalah diantara keduanya. Dan dikatakan pula bahwa yang ketujuh ialah surah Yunus.
2).al-Mi’un, yaitu surah-surah yang ayat-ayatnya lebih dari seratus atau sekitar itu.
3).al-Masani, yaitu surah-surah yang jumlah ayatnya dibawah al-Mi’un. Dinamakan masani karena surah itu dibaca berulang-ulang lebih banyak dari at-Tiwal dan al-Mi’un.
4).al-Mufassal, dikatakan bahwa surah-surah ini dimulai dari surah Qaf, ada pula yang mengatakan dimulai dari surah Hujurat, juga ada yang mengatakan dimulai dari surah yang lain. Mufassal dibafau menjadi tiga: Tiwal, Ausat, dan qisar. Mufassal Tiwal dimulai dari surah Qaf atau Hujurat sampai dengan ‘Amma atau Buruj. Mufassal ausat dimulai dari surah ‘Amma atau Buruj sampai dengan Duha atau Lam yakun, dan mufassal qisar dimulai dari Duha atau Lam Yakun sampai dengan Qur’an surah terakhir.
Dinamakan mufassal karena banyaknya fasl (pemisahan) diantara surah-surah tersebut dengan basmalah.
Jumlah surah Qur’an ada seratus empat belas surah, dan dikatakan pula ada seratus tiga belas surah. Karena surah Bara’ah dan Anfal dianggap satu surah. Adapun ayatnya sebanyak 6.200 lebih namun kelebihan ini masih diperselisihkan. Ayat terpanjang adalah ayat tentang utang piutang. Sedang surah terpanjang adalah Baqarah. Pembagian seperti ini dapat mempermudah orang unutuk menghafalnya, mendorong mereka untuk mengkaji dan mengingatkan pembaca surah bahwa ia telah engambil bagian yang cukup dan jumlah yang memadai dari pokok-pokok agama dan hukum-hukum syariat.