MENGENAL ALLAH SWT

”Dan , ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka : "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul , kami menjadi saksi".  agar di hari kiamat kamu tidak mengata-kan: "Sesungguhnya kami  adalah orang-orang yang lengah terhadap ini, atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami ini adalah anak-anak keturunan yang  sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu ?" (Al-A’raf 172-173)
Pentingnya Mengenal Allah
Tujuan Allah menghidupkan manusia di bumi adalah agar manusia beribadah kepada Allah swt. “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”(Adz-dzariat : 56).
Seseorang yang mengenal Allah SWT, akan tahu akan tujuan hidupnya, tujuan mengapa ia dicipitakan dan untuk apa ia berada di atas dunia. Sebaliknya, seseorang yang tidak mengenal Allah tentu ia akan terpedaya dan terpukau oleh indahnya dunia, yang pada gilirannya ia habiskan umurnya untuk mencari dunia dan menikmatinya.

Allah memperkenalkan diri-Nya ketika Allah mengambil janji kepada manusia ketika sebelum manusia lahir.(Al-A’raf 172). Kemudian, eksistensi Allah telah tertanam dalam inner-conciousness (kesadaran diri) manusia. Sehingga secara naluriah, sebenarnya manusia mengenal adanya pemilik kekuatan yang agung di dunia ini. Hanya kemudian, pada pencarian akan ‘Pemilik Kekuatan Yang Agung’, sering terjadi salah sasaran. Yang disembah oleh manusia sering kali justru ciptaan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri.
Naluri ini dimiliki oleh seluruh manusia. Ada pun orang yang tidak mengakui adanya Tuhan, maka dia telah menentang nalurinya sendiri. Menurut Yusuf Qaradawi dalam bukunya ‘Wujudullah’, Al-Qur’an tidak pernah membahas mengenai orang yang tidak mempercayai Tuhan. Yang Al-Qur’an bahas adalah mengenai orang-orang yang salah sasaran dalam menyembah Al-Qur’an.
Seorang yang mengenal Allah, tidak akan salah sasaran dalam beribadah.
Seorang muslim yang mengenal Allah, akan merasakan kehidupan yang lapang walau bagaimanapun keadaannya. Ketika dalam kesulitan, ia akan sabar. Dan dalam kelapangan, ia akan bersyukur. Ini karena ia mengenal Allah, bahwa Allah-lah yang telah mengatur kehidupannya. Dan Allah tidak pernah berbuat zholim kepada hamba-Nya.
“Amat mengherankan terhadap urusan mukmin, semuanya, hal itu tidak terdapat kecuali pada mukmin, bila ditimpa musibah ia sabar, dan bila diberi nikmat ia bersyukur.” (Hadits riwayat Muslim).
Orang yang tidak mengenal Allah, maka akan merasakan sempitnya kehidupan.
“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaaha: 124).
Seseorang yang mengenal Allah akan selalu mengharap ridho-Nya dalam setiap perbuatannya, dalam perjalan hidupnya. Lain halnya dengan orang yang tidak mengenal Allah, ia berbuat berdasarkan kemuan syahwat dan kehendak nafsunya. Jadilah hawa nafsunya Tuhan selain Allah yang memerintah dan melarangnya.

Jalan Mengenal Allah
1. Mengenal Allah lewat Akal
Allah menciptakan akal untuk kita sebagai salah satu perangkat untuk mengolah alam semesta. Dan Allah menyempurnakan akal kita agar mampu memahami keberadaan-Nya. Mengenal Allah tidak hanya bisa didasarkan pada faith (kepercayaan). Karena dengan fikiran yang shidiq, maka Allah akan terwujud jelas keberadaan-Nya.
“Dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai padanya.  Dan menjadikan padanya semua buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan. “Ar-Ra’du : 3”
Hal ini berbeda sekali dengan kepercayaan lain, yang mau tidak mau pemeluknya harus bersandar pada faith untuk mengenali tuhannya. Contohnya, apapun logika yang dihidangkan untuk mengkonsumsi kepercayaan trinitas, akan menjadi mentah kembali dan tak berguna. Tak ada yang sanggup menghadirkan trinitas dalam logika seorang manusia.
Ada dua fenomena yang dapat diamati dan dipelajari dalam rangka mengenal Allah SWT dengan menggunakan potensi akal yang diberikan-Nya kepada kita. Yaitu:
a. Ayat Kauniyah
Yaitu ayat-ayat yang terdapat di alam semesta. Kita tidak akan sanggup memikirkan dzat Allah. Tapi yang harus kita pikirkan adalah ciptaan Allah SWT. Keseimbangan penciptaan seharusnya telah membunuh kecurigaan bahwa segala sesuatu terjadi dengan sendirinya di bumi ini. Konsep serba ‘kebetulan’ hanya menjadi takhayul kalau kita memindai alam ini, dan menyimpulkan secara jujur.
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis, kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?  (Al-Mulk:2)
b. Ayat Qouliyah.
Yaitu ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an yang senantiasa kita baca sehari-hari.
Bila nabi dan rasul terdahulu memperkenalkan Allah kepada kaumnya dengan menggunakan mu’jizat, seperti itu juga Rasulullah Muhammad SAW. Begitu banyak mu’jizat terjadi di zaman Rasulullah. Hanya mu’jizat yang tetap bertahan setelah Rasulullah tiada, adalah Al-Qur’an. Inilah mu’jizat agung yang membuat orang yang memahaminya akan terpukau.
Begitu banyak orang yang takluk kesombongannya oleh Al-Qur’an. Mulai dari ilmuwan seperti Maurice Brucille, sampai seniman seperti Cat Steven. Mereka semua masuk Islam diperantarai Al-Qur’an.

2. Mengenal Allah lewat Asma’ul Husna.
Allah memperkenalkan diri-Nya melalui asma’ul husna, atau nama-nama baik yang dimiliki oleh Allah. Perkenalan ini adalah perkenalan tingkat lanjut. Karena hanya orang yang telah yakin akan adanya Allah, yang bisa mengenal Allah melalui asma’ul husna.

MENGENAL ALLAH SWT MELALUI AKAL


Perbedaan antara manusia dengan mahluk ciptaan yang lainnya adalah akal, manusia diberi kelebihan yaitu berupa akal. Dengan akal kita bisa memenuhi kebutuhan hidup. Dengan akal kia bisa mendapatkan sesuatu yang kita inginkan. Dan banyak hal-hal positif yang kita peroleh dengan memanfaatkan akal. Tapi tidak jarang dengan akal pula manusia menjauh dari Allah SWT. Ya, sudah menjadi ketentuan bahwasannya segala sesuatu itu memilki kekurangan dan kelebihan, hal inilah yang menjadi penyeimbangkan apa-apa yang ada dimuka bumi ini.
Kita bisa mengenal ketelitian seorang pengrajin ukiran dari hasil ukirannya. Kita bisa mengenal kehebatan seorang programer dari hasil software yang dibuatnya. Kita bisa mngenal kehebatan seorang juru masak dari hasil makanya. Begitu pula kita bisa mengenal kehebatan Allah SWT dari hasil ciptaannya, yang sehari-hari kita lihat, yang sehari-hari kita dengarkan dan yang sehari-hari kita rasakan.
Akan tetapi tidak sedikit orang yang ?cerdas?, tidak mau mengakui kehebatanNya hanya karena kepentingan-kepentigan pribadi atau kelompok. Hal inilah yang membuat terhambatnya bahkan tidak pernah datang suatu kebenaran pada diri kita. Kita selalu mencari-cari pembenaran terhadap apa yang kita lakukan, bukan mencari suatu hal yang benar lalu kita melakukannya. Mungkin sebagaimana kita ketahui banyak filusuf yang menyangkal kekuasaan Allah SWT dengan cara mengatakan bahwasannya alam ini terbentuk secara kebetulan.
Mungkinkah hidup ini terjadi karena kebetulan?, tanpa ada yang menciptakan, tanpa ada yang merencanakan, tanpa ada yang mengatur, tanpa ada yang menghendaki, tanpa ada yang berkuasa. Teori evolusi berpendapat bahwa kehidupan berawal dengan sebuah sel yang terbentuk secara kebetulan dalam kondisi bumi yang primitif.
Dengan semua sistem operasionalnya, sel tidak kalah rumitnya daripada kota besar. Sel mengandung daya yang menghasilkan energi yang dikonsumsi oleh sel, sel menghasilkan enzim dan hormon, sel bisa menyimpan semua informasi penting mengenai semua produk yang dihasilkan, sel bisa mengurai bahan-bahan mentah dari luar menjadi bagian-bagian yang bisa dimanfaatkan, dan protein-protein selaput yang dikhususkan untuk mengendalikan bahan-bahan yang keluar-masuk.
Itulah sedikit cerita mengenai sel. Sel yang memiliki komposisi yang sangat rumit mustahil bisa dibuat oleh manusia. Walaupun dengan laboratorium yang sangat canggih sekalipun mustahil sel ini bisa diciptakan. Apalagi tercipta secara kebetulan dari kondisi bumi yang primitif. Semua ini telah terencana, telah ada yang mengatur, telah ada yang menghendaki, dan tentunya ada yang menciptakan. Siapa lagi kalau bukan Allah SWT. Dan masih banyak lagi hal-hal yang makin menguatkan akal kita bahwasannya Allah SWT memang benar-benar ada. Allah SWT tidak diciptakan, tidak beranak dan tidak diperanakkan. Ialah sang maha pencipta, maha berkehendak, maha mengetahui dan maha segala maha yang ada dialam ini.

MENGENAL ALLAH  SWT

Satu  Hadis Nabi Muhammad SAW. yang masyhur ialah;
"Siapa yang mengenal dirinya,  mengenal ia akan TuhanNya"
Ini berarti dengan mematuhi dan memikirkan tentang dirinya dan sifat-sifatnya,   manusia itu bisa sampai  mengenal Allah. Tetapi oleh karena banyak juga orang yang memikirkan tentang dirinya tetapi tidak dapat mengenal Tuhan,  maka tentulah ada cara-caranya yang khusus bagi mengenal ini.
Sebenarnya ada dua cara untuk mencapai pengetahuan atau pegenalan ini.  Sala satunya sangat sulit dan sukar difaham oleh orang-orang biasa,  maka cara yang ini tidak usahlah kita terangkan di sini.  Yang satu cara lagi adalah seperti berikut:  apabila seseorang memikirkan dirinya,  dia tahu bahwa ada satu ketika   ia tidak berwujud,  seperti tersebut dalam Al-Quran:  "Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut (QS. 76:1) Selanjutnya ia juga tahu bahwa ia dijadikan diri setitik air yang tidak ada akal,  pendengar,   penglihatan,  kepala,  tangan,  kaki dan sebagainya, dari sini teranglah bahwa walau bagaimanapun seseorang itu mencapai taraf kesempurnaan,   tidaklah dapat ia membuat dirinya sendiri meeskipun hanya sehelai rambut.
Tambahan pula jika ia setitik air,  alangkah lemahnya ia?  Demikianlah seperti yang kita lihat di bab pertama dulu,  didapatinya dalam dirinya kekuasaan,   kebijaksanaan dan cinta Allah terbayang dalam bentuk yang kecil.  Jika semua pendeta dalam dunia ini berkumpul dan mereka tidak mati,  niscaya mereka tidak dapat mengubah dan membaiki bentuk walau satu bagian  dari badannya itu.
Misalnya,  dalam penggunaan gigi depan dan gigi samping untuk menghancurkan makanan,  penggunaan lidah,  air liur,  tengkuk,  kerongkong,   kita dapatinya penciptaan itu tidak dapat diperbaiki lagi.  Begitu juga,   fikirkan pula tangan dan jari kita.  Jari ada lima dan tidak pula sama panjang,  empat daripada jari itu mempunyai tiga persendian,  dan ibu jari hanya ada dua persendian,  dan lihat pula bagaimana ia bisa digunakan untuk memegang,   mencincang,  memukul dan sebagainya.    Jelas sekali manusia tidak akan dapat berbuat demikian,  meski hendak menambah atau mengurangkan jumlah jari itu dan susunannya .
Lihat pula makanan,  tempat tinggal kita dan sebagainya.  Semuanya cukup dikurniakan oleh Allah yang maha kaya.  Tahulah kita bahwa rahmat atau Kasih Sayang Allah itu sama dengan Kekuasaan dan KebijaksanaaNya,  seperti firman Allah Subhanahuwa Taala.
"RahmatKu itu lebih besar dari kemurkaanKu"
Dan sabda Nabi SAW.,
"Allah itu sayang kepada hamba-hambanya lebih dari sayang ibu kepada anaknya"
Demikianlah,  dari makhluk yang dijadikanNya,   manusia bisa tahu tentang wujud Allah;  dari keajaiban badannya,  ia dapat tahu tentang Kekuasaan dan Kebijaksanaanya Allah;  dan dari kurnia rezeki Tuhan yang tidak terbatas itu,  nampaklah Cinta Allah kepada hambaNya.  Dengan cara ini,   mengenal diri sendiri itu menjadi anak kunci kepada pintu untuk mengenal Allah Subhanawa Taala.
Sifat-sifat manusia itu adalah bayangan Sifat-sifat Allah.  Begitu juga cara wujud ruh manusia itu memberi kita sedikit pandangan tentang wujud Allah,   yaitu Allah dan ruh itu tidak kelihatan,  tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan,  tidak tunduk kepada ruang dan waktu,  diluar kemampuan kuantitas (jumlah) dan kualitas,  dan tidak bisa diperikan dengan bentuk,   warna atau ukuran.  Orang merasa sulit hendak membentuk satu konsep berkenaan hakikat-hakikat ini karena ia tidak termasuk dalam bidang kualitas dan kuantitas,  dan sebagainya,  tetapi coba perhatikan betapa susah dan payahnya memberi konsep tentang perasaan kita sehari-hari seperti marah,  suka,  cinta dan sebagainya.  Semua itu adalah konsep fikiran atau tanggapan khayalan,  dan tidak dapat dikenali oleh indera.  kualiti,  kuantiti dan sebagainya dan itu adalah konsep indera(tanggapan pancaindera).  Sebagaimana telinga kita tidak dapat megenal warna,  dan mata kita tidak dapat mengenal bunyi,  maka begitu jugalah mengenal Ruh dan Allah itu bukanlah dengan inderanya.
Allah itu adalah Pemerintah alam semesta raya ini.  Dia tidak tunduk kepada ruang dan waktu,  kuantiti dan kualiti,  dan menguasai segala makhluknya.   Begitu juga ruh itu memerintah badan dan anggotanya.  Ia tidak bisa dilihat,   tidak bisa dibagi-bagi atau dipecah-pecahkan dan tidak tunduk kepada tempat tertentu.  karena bagaimana mungkin sesuatu yang tidak bisa dibagi-bagikan itu diletak kedalam sesuatu yang bisa dibagi atau dipecah?  Dari keterangan yang kita baca diatas itu,  dapatilah kita lihat bagaimana benarnya sabda Nabi SAW.:  "Allah jadikan manusia menurut rupanya".
Setelah kita mengenal Zat dan Sifat Allah hasil dari perhatian dan tafakur kita tentang zat dan sifat Ruh,  maka sampailah pengenalan kita kepada cara-cara kerja dan pemerintahan Allah Taala dan bagaimana ia mewakilkan Kuasa-Kuasanya kepada malaikat-malaikat,  dan lain-lain, dengan cara memerhati dan bertafakur tentang bagaimana diri kita memerintah alam kecil kita sendiri.
Kita ambil satu contoh:  Katakanlah seorang manusia hendak menulis nama Allah.   Mula-mulanya kehendak atau keinginan itu terkandung dalam hatinya.  Kemudian dibawa ke otak oleh daya ruhani..  Maka bentuk perkataan "Allah" itu terdapat dalam  khayalan atau fikiran otak itu.  Selepas itu ia mengembara melalui saluran urat saraf,  lalu menggerakkan jari dan jari itu mengerakkan pena.   Maka tertulislah nama "Allah" atas kertas,  serupa seperti yang ada didalam otak penulis itu.
Begitu juga apabila Allah Subahanahuwa Taala hendak menjadikan sesuatu perkara,   Ia mula-mulanya nampak dalam peringkat keruhanian yang disebut didalam Quran sebagai "Al-'Arasy".  Dari situ ia turun dengan urusan Keruhanian ke peringkat yang di bawahnya yang digelar "Al-Kursi".  Kemudian bentuknya nampak dalam "Al-Luh Al-Mahfuz".  Dari situ dengan perantaraaan tenaga-tenaga   "Malaikat" terbentuklah perkara itu dan kelihatanlah di atas bumi ini dalam bentuk tumbuh-tumbuhan,  pokok-pokok dan binatang;  yang mewakilkan atau menggambarkan Iradat dan Ilmu Allah.  Sebagaimana juga huruf-huruf yang tertulis,  yang menggambarkan keinginan dan kemahuan yang terbit dan terkandung dalam hati;   dan bentuk itu dalam dalam otak penulis tadi.
Tidak ada orang yang tahu Hal Raja melainkan Raja itu sendiri.  Allah telah memberi kita Raja dalam bentuk yang kecil yang memerintah kerajaan yang kecil.  Dan ini adalah satu salinan kecil Diri(Zat)Nya dan KerajaanNya.  Dalam kerajaan kecil pada manusia itu, Arash itu ialah Ruhnya;  ketua segala Malaikat itu ialah hatinya;   Kursi itu otaknya;  Luh Mahfuz itu ruang khazanah khayalan atau fikirannya.   Ruh itu tidak bertempat dan tidak bisa dibagikan dan ia memerintah badanya;   sebagaimana Allah memerintah Alam Semester Raya ini.  Pendeknya,   tiap-tiap orang manusia itu diamanahkan dengan satu kerajaan kecil dan diperintahkan supaya jangan lengah dan lalai mengatur kerajaan itu.
Berkenaan dengan mengenal ciptaan Allah Subhanahuwa Taala,  ada banyak derajat pengetahuan.  Ahli Ilmu Alam yang biasa adalah ibarat semut yang merangkak atas sekeping kertas dan memerhatikan huruf-huruf hitam terbentang di atas kertas itu dan merujukkan sebab kepada pena atau qalam itu saja.
Ahli Ilmu Falak adalah ibarat semut yang luas sedikit pandangannya dan nampak jari-jari tangan yang menggerakkan pena itu,  yaitu ia tahu bahwa unsur-unsur  itu adalah daya bintang-bintang,  tetapi dia tidak tahu bahwa bintang itu adalah di bawah kuasa Malaikat.
Oleh karena berbeda-bedanya derajat pandangan manusia itu,  maka tentulah timbul perbedaan hasil atau kesan.  Mereka yang tidak memandang lebih jauh dari fenomena alam nyata ini adalah ibarat orang yang mengganggap hamba abdi yang paling rendah itu sebagai raja.  Undang-undang alam nyata itu (Fenomena) itu mestilah tetap. Jika tidak,  tidak adalah sains.  Walau bagaimanapun,  adalah salah besar menganggap hamba itu tuannya.
Karena ada perebedaan ini,  maka pertengkaran akan terus terjadi.   Ini adalah ibarat orang buta yang hendak mengenal gajah.  Seseorang memegang kaki gajah itu lalu dikatakannya gajah itu seperti tiang.  Seorang lain memegang gadingnya lalu katanya gajah itu seperti kayu bulat yang keras.  Seorang lagi memegang telinganya lalu katanya gajah itu macam kipas.  Tiap-tiap seorang mengganggap bagian-bagian itu sebagai keseluruhan.  Dengan itu,  ahli ilmu alam dan ahli ilmu Falak menyanggah hukum-hukum yang mereka dapat dari ahli-ahli hukum.   Kesalahan dan sangkaan seperti itu terjadi juga kepada Nabi Ibrahim seperti yang tersebut dalam Al-Quran,  Nabi Ibrahim menghadap kepada bintang,  bulan dan matahari untuk disembah.  Lama kelamaan beliau sadar siapa yang menjadikan semua-benda-benda itu,  lalu bisa berkata, "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
Kita selalu mendengar orang merujuk kepada sebab yang kedua bukan kepada sebab yang pertama dalam hal apa yang digelar sakit.  Misalnya;   jika seseorang itu   tidak lagi cenderung kepada keduniaan,  segala keindahan tidak lagi dipedulikannya,  dan tidak peduli apa pun,  maka doktor mengatakan,   "Ini adalah  penyakit gundah gulana,  dan ia perlu obat ini a"
Ahli fisika akan berkata "Ini adalah kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan tidak dapat dilegakan kecuali udara menjadi lembab."
Ahli nujum akan mengatakan bahwa itu adalah pengaruh bintang-bintang.
"Hanya itulah kebijaksanaanya mereka." Kata Al-Quran,  tidaklah mereka tahu bahwa sebenarnya apa yang terjadi ialah: Allah Subahana Wataala memberi  kebajikan orang yang sakit itu dan dengan itu memerintahkan hamba-hambanya seperti bintang-bintang atau unsur-unsur,  mengeluarkan keadaan seperti itu kepada orang itu agar ia   berpaling dari dunia ini mengadap kepada Tuhan yang menjadikannya.  Pengetahuan tentang hakikat ini adalah sebuah mutiara yang amat bernilai dari lautan ilmu yang berupa Ilham;   dan ilmu-ilmu yang lain itu jika dibandingkan dengan Ilmu Ilham ini adalah ibarat pulau-pulau dalam lautan Ilmu Ilham itu.
Doktor,  Ahli Fizik dan Ahli Nujum itu memang betul dalam bidang ilmu mereka masing-masing.  Tetapi mereka tidak tahu bahwa penyakit itu  bisa   dikatakan sebagai "Tali Cinta", yang dengan tali itu Allah menarik AuliaNya kepadaNya.  Berkenaan ini Allah ada berfirman yang bermaksud;
"Aku sakit tetapi engkau tidak melawat Aku".
Sakit itu sendiri adalah satu bentuk pengalaman yang dengannya manusia itu bisa mencapai pengetahuan tentang Allah;  sebagaimana firman Allah melalui mulut Rasul-rasulNya;
"Sakit itu sendiri adalah hambaKu dan disertakan kepada orang-orang pilihanKu".
Dengan ulasan-ulasan yang terdahulu,  dapatlah kita meninjau lebih mendalam lagi maksud kata-kata yang selalu diucapkan oleh orang-orang yang beriman yaitu;
"Maha Suci Allah" (SubhanaLlah)
"Puji-pujian Bagi Allah (Alhamdulillah)
"Tiada Tuhan Melainkan Allah (La ilaha iLlaLlah)
"Allah Maha Besar" (Allahu Akbar).
Berkenaan dengan "Allahu Akbar" itu bukanlah bermaksud Allah itu lebih besar (secara fisik) dari makhluk,  karena makhluk itu adalah penampakan-Nya sebagaimana cahaya memperlihatkan matahari.  Tidaklah bisa dikatakan matahari itu lebih besar daripada cahayanya.  Ia  bermaksud yaitu Kebesaran Allah itu tidak dapat disukat dan diukur dan melampaui jangkauan kesedaran;  dan kita hanya bisa membentuk gambaran yang tidak sempurna dan tidak nyata berkenaanNya.
Jika seorang kanak-kanak bertanya kepada kita untuk menerangkan enaknya mendapat pangkat yang tinggi,  kita hanya dapat mengatakan seperti perasaan kanak-kanak itu tatkala sedang bermain bola,  meskipun pada hakikat kedua-dua itu tidak ada persamaan langsung,  kecuali hanya kedua-dua perkara itu termasuk dalam jenis kesenangan.  Oleh yang demikian,  kata-kata "Allahu Akbar" itu berarti Kebesaran itu melampaui semua kuasa pengenalan dan pengetahuan kita.  Tidak sempurna pengenalan kita berkenaan Allah itu,  bukan dengan pikiran saja tetapi adalah disertai oleh ibadat dan pengabadian kita.
Apabila seorang itu mati,  maka ia berhubungan dengan Allah saja.  Jika kita   hidup dengan orang lain,  kebahagiaan kita bergantung kepada derajat kemesraan kita terhadap orang itu. Cinta itu adalah benih kebahagiaan,  dan Cinta kepada Allah itu dituju dan dibangun melalui ibadat.   Ibadat dan sentiasa mengenang Allah itu memerlukan kita supaya bersikap sederhana dan mengekang kehendak-kehendak badan.  Ini bukanlah berarti semua kehendak badan itu dihapuskan;  karena itu akan menyebabkan punahnya  manusia.  Apa yang diperlukan ialah membatasi kehendak-kehendak badan itu.  Oleh karena seseorang itu bukanlah Hakim yang paling bijak untuk mengadili dirinya sendiri tentang batas itu, maka ia lebih baik merundingi pemimpin-pemimpin keruhanian dalam perkara ini,   dan hukum-hukum yang mereka bawa melalui Wahyi Ilahi menentukan batas  yang harus diperhatikan dalam hal ini. Siapa yang melanggar batas berarti Menzholimi dirinya sendiri"(Al-Baqarah; 231).
Walaupun Al-Qur'an telah memberi keterangan yang nyata,  masih ada juga orang yang melanggar batas karena kejahilan mereka tentang Allah dan kejahilan ini adalah karena beberapa sebab;
Pertama; ada golongan manusia yang terus mencari Allah melalui pikiran,  lalu mereka membuat kesimpulan dengan mengatakan tidak ada Tuhan dan alam ini terjadi dengan sendirinya atau wujudnya tanpa permulaan.   Mereka ini seperti orang yang melihat surat yang tertulis dengan indahnya,   dan mereka mengatakan surat itu sedia tertulis tanpa penulis atau  ada begitu saja.Orang yang seperti ini telah jauh tersesat dan tidak berguna berhujah dan bertengkar dengan mereka.  Setengah daripada orang-orang seperti ini adalah Ahli Fizika  dan Ahli   Bintang yang telah kita sebutkan di atas tadi.
Ada pula setengah orang karena kejahilan tentang keadaan  sebenarnya Ruh itu.  Mereka menyangkal adanya hidup di Akhirat dan menyangkal manusia itu diadili di sana.  Mereka anggap diri mereka itu satu taraf dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan dan akan hancur begitu saja.
Ada juga orang yang percaya dengan Allah dan Hari Akhirat,  tetapi kepercayaan atau Iman mereka itu sangat lemah.  Mereka berkata kepada diri mereka sendiri;
"Allah itu Maha Agung dan tidak ada sangkut-paut dengan kita,  walaupin kita sembah Dia atau tidak;  tidak menjadi apa-apa kepadaNya".
Fikiran mereka ini seperti orang sakit yang disuruh makan ubat,  tetapi ia berkata; "Apa untung atau ruginya doktor itu jika aku makan obat atau tidak makan obat?".  Memang tidak terjadi apa-apa kepada doktor itu tetapi orang itulah yang akan bertambah sakit karenabodohnya.  Badan yang sakit  berakhir dengan mati.  Maka Ruh atau Jiwa yang sakit berakhir dengan kesusahan dan siksaan di akhirat nanti,  seperti firman Allah Taala dalam Al-Qur'an yang bermaksud;
"Hanya mereka yang kembali kepada Allah dengan hati yang Salim itulah yang akan terselamat".
Jenis orang yang tidak beriman yang keempat ialah mereka yang berkata;
"Hukum Syariat menyuruh kita jangan marah,  jangan menurut nafsu,   jangan bersikap munafik.  Ini tidak mungkin karena sifat-sifat ini   memang telahada semula jadi pada kita.  Lebih baik tuan suruh saya membuat yang hitam itu jadi putih".
Mereka ini sebenarnya bodoh.  Mereka jahil dengan hukum Syariat.  Hukum Syariat tidak menyuruh manusia membuang sama sekali perasaan itu,  tetapi hendaklah dikontrol supaya tidak melanggar batas yang dibenarkan.  Supaya terhindar dari dosa besar, dan kita bisa memohon keampunan terhadap dosa-dosa kita yang kecil.  Sedangkan Rasulullah ada bersabda;
"Saya ini manusia juga seperti kamu,  dan marah juga seperti orang lain".
Firman Allah dalam Al-Qur'an;
"Allah kasih kepada mereka yang menahan kemarahan mereka".(Al-Imran:146)
Ini berarti bukan mereka yang tidak ada  perasaan marah.
Golongan yang kelima ialah mereka yang menekankan Kemurahan Tuahn saja tetapi menepikan KeadilanNya,  lalu mereka berkata kepada diri mereka sendiri;
"Kami buat apa saja karena Allah itu Maha Pemurah dan Maha Penyayang".
Mereka tidak ingat meskipun Allah itu Pengasih dan Penyayang,  namun beribu-ribu manusia mati kelaparan dan karena penyakit.  Meraka tahu,  barang siapa hendak hidup atau hendak kaya,  atau hendak belajar,  mestilah jangan hanya berkata;   "Allah itu Kasih Sayang".   tetapi perlulah ia berusaha sungguh-sungguh.  Meskipun ada firman Allah dalam Al-Qur'an; "Tiap-tiap makhluk yang hidup itu Allah beri ia rezeki"(Surah Hud:06);  tetapi hendaklah juga ingat Allah juga berfirman;  "Manusia tidak akan mendapat apa-apa kecuali dengan berusaha".   Sebenarnya mereka yang berpendapat di atas itu adalah dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka berkata di mulut saja,  bukan di hati.
Golongan keenam pula menganggap mereka telah sampai ke taraf kesucian dan tidak berdosa lagi.  Tetapi kalau anda layani mereka dengan kasar dan tidak hormat,  anda akan dengar mereka marah dan bertahun-tahun   mengatai anda. Dan jika anda ambil makanan sesuap saja yang patut,  seluruh alam ini kelihatan gelap dan sempit pada perasaan mereka.   Kalau pun mereka itu telah dapat menakluki hawa nafsu mereka,   mereka tidak berhak menganggap dan mengatakan diri mereka itu tidak berdosa lagi,   karena Nabi Muhammad SAW. sendiri,  manusia yang paling tinggi darajatnya,   sentiasa mengaku salah dan memohon ampun kepada Allah.  Setengah daripada Rasul-rasul itu sangat takut berbuat dosa sehingga pada perkara- perkara yang halal pun mereka menghidarkan diri .
Diriwayatkan,  suatu hari Nabi Muhammad SAW.  telah diberi sebiji Tamar.  Beliau enggan memakannya kerena beliau tidak pasti  Tamar itu didapati secara halal atau tidak.  Tetapi mereka menelan arak berbotol-botol banyaknya dan berkata mereka lebih mulia daripada Nabi. (Saya menggeletar semasa menulis ini). Pada hal sebutir Tamar pun tidak disentuh oleh Nabi jika belum pasti sama ada halal atau tidak.  Sesungguhnya mereka telah diseret dan disesatkan oleh Iblis.
Aulia Allah yang sebenarnya mengetahui bahwa orang yang tidak menundukkan hawa nafsunya tidak patut dipanggil "orang" dan orang Islam yang sebenarnya ialah mereka yang dengan rela hati, tidak mahu melanggar Syariat..  Mereka yang melanggar Syariat adalah sebenarnya dipengaruhi oleh Syaitan dan mereka ini sepatutnya bukan dinasihati dengan pena,  tetapi adalah sewajarnya dengan pedang.
Sufi-sufi yang palsu ini kadang-kadang berpura-pura tenggelam dalam lautan keheranan atau tidak sadar,  tetapi jika anda tanya mereka apakah yang mereka heirankan itu,   mereka tidak tahu.  Sepatutnya mereka disuruh menungkan keheranan sebanyak-banyak yang mereka suka,  tetapi di samping itu hendaklah ingat bahwa Allah Subhanahuwa Taala itu adalah Pencipta mereka dan mereka itu adalah hamba Allah saja.
 undefined  

BUKANLAH ORANG ARIF ORANG YANG MEMPEROLEHI ISYARAT LALU MERASAKAN ALLAH S.W.T LEBIH DEKAT DARI ISYARATNYA. ORANG ARIF ADALAH ORANG YANG TIDAK MENYEDARI ISYARAT KERANA FANA DALAM WUJUD ALLAH S.W.T DAN DILIPUTI OLEH SYUHUD (PENYAKSIAN) KEPADA ALLAH S.W.T.
Hikmat yang lalu menggambarkan keadaan orang awam yang dihijab oleh cahaya dunia dan syaitan sehingga mereka tidak jadi untuk berbuat taat kepada Allah s.w.t. Hikmat 87 ini pula menggambarkan keadaan orang yang berjalan pada jalan Allah s.w.t dan sudah pun mengalami hakikat-hakikat tetapi cahaya hakikat masih menjadi hijab antaranya dengan Allah s.w.t. Pengalaman tentang hakikat menurut istilah tasauf  dipanggil isyarat tauhid. Isyarat-isyarat tersebut apabila diterima oleh hati maka hati akan mendapat pengertian tentang Allah s.w.t. Isyarat-isyarat demikian membuatnya berasa hampir dengan Allah s.w.t. Orang yang berasa hampir dengan Allah s.w.t tetapi masih melihat kepada isyarat-isyarat tersebut masih belum mencapai makam arifbillah. Orang arifbillah sudah melepasi isyarat-isyarat dan sampai kepada Allah s.w.t yang tidak boleh diisyaratkan lagi. Makam ini dinamakan fana-fillah atau lebur kewujudan diri dalam Wujud Mutlak dan penglihatan mata hati tertumpu kepada Allah s.w.t semata-mata, iaitu dalam keadaan: 

Tiada sesuatu sebanding dengan-Nya.
 Tidak ada nama yang mampu menceritakan tentang Zat-Nya. Tidak ada sifat yang mampu menggambarkan tentang Zat-Nya. Tidak ada isyarat yang mampu memperkenalkan Zat-Nya. Itulah Allah s.w.t yang tidak ada sesuatu apa pun menyerupai-Nya. Maha Suci Allah s.w.t dari apa yang disifatkan. 
 Murid yang berjaya dalam perjalanannya mengalami berbagai-bagai hal. Pengalaman tersebut datang sebagai isyarat-isyarat yang tiba-tiba sahaja tercetus di dalam hati, dan hati tiba-tiba sahaja dapat menangkap sesuatu yang ghaib  dan berkaitan dengan ketuhanan. Pengalaman hati tersebut mencetuskan daya tafakur. Hasil dari tafakur dapatlah dia memahami tentang Tuhan. Pengetahuan tentang ketuhanan itu membuatnya merasakan hampir dengan Tuhan. Murid pada peringkat ini dapat melihat kelebihan tauhid yang Allah s.w.t kurniakan kepadanya. Ini menunjukkan dia masih berdalilkan pengalaman kerohaniannya secara tidak sedar bagi mendapat penjelasan tentang tauhid. 
 Berbeza keadaannya daripada orang arifbillah yang tidak lagi melihat kepada tauhid kerana dia sendiri telah fana di dalam tauhid. Orang arifbillah mencapai kefanaan yang mutlak setelah melalui empat peringkat kematian, dipanggil mati tabii, mati maknawi, mati surri dan mati hisi. Mati cara ini bukanlah kematian tubuh badan tetapi ia adalah pelenyapan segala sesuatu selain Allah s.w.t secara berperingkat-peringkat dari alam kebatinan seseorang. Ia diistilahkan sebagai mati kerana pengalaman demikian hanya berlaku setelah rohani seseorang dapat melepasi kurungan duniawi dan masuk ke alam kebatinan yang mendalam atau dikatakan dia terjun ke dalam dirinya sendiri. Rohani manusia bukanlah satu ruang seperti ruang-ruang yang ada di dunia. Rohani adalah Latifah Rabbaniah, perkara ghaib yang sangat seni dan dinisbahkan kepada Allah s.w.t, hanya Allah s.w.t mengetahui hakikatnya. Rohani boleh dihalusi kepada beberapa peringkat. Peringkat pertama dinamakan Latifah Kalbu (hati) yang menjadi asas kepada semua Latifah-Latifah. Ia juga dinamakan tubuh batin. Peringkat yang lebih mendalam dinamakan Latifah Roh yang dibahasakan sebagai roh haiwani iaitu nyawa yang menghidupkan tubuh badan. Latifah Roh menjadi batin kepada Latifah Kalbu. Batin kepada Latifah Roh pula dinamakan Latifah Sir yang dibahasakan sebagai roh insani, yang membekalkan bakat kehidupan kepada roh haiwani dan seterusnya menghidupkan jasad. Batin kepada Latifah Sir dinamakan Latifah Khafi dan batin yang paling dalam dinamakan Latifah Akhfa. 
Bila terbuka medan Latifah kalbu, hati merasakan mati tabii. Kematian cara ini membuat fikiran tidak aktif. Hati mendapat keasyikan tentang alam ghaib dan dalam keasyikan itu pendengaran zahir tidak memberi kesan kepada hati dan fikiran. Dia tidak mendengar apa-apa lagi kecuali suara hatinya yang menyebut Allah, Allah, Allah! Kemudian, tanpa dipaksa-paksa lidahnya menyebut Allah, Allah, Allah! Setiap kali dia menyebut Allah hatinya merasakan seolah-olah Allah menjawab seruannya itu. Pada peringkat ini kesedaran diri lenyap di dalam lakuan Allah s.w.t. Pemikiran, perasaan dan keinginan tidak berfungsi lagi. Semua perkara terhapus, yang ada nur iman dan tauhid. Hatinya menghayati: 
Tiada yang berbuat sesuatu melainkan Allah s.w.t. 
Dalam keadaan demikian dia menghayati firman Allah s.w.t: 
“Padahal Allah menjadikan kamu dan benda-benda yang kamu perbuat itu!” ( Ayat 96 : Surah as-Saaffaat )
Dan tidaklah akan berkehendak, kecuali jika dikehendaki oleh Allah, ( Ayat 29 : Surah at-Takwiir)  Orang yang memasuki alam kebatinan peringkat ini melihat pergerakan yang terjadi pada dirinya berlaku tanpa dia merancang dan juga dia tidak mampu menyekatnya dari berlaku. Keadaannya sama seperti orang yang melihat dirinya di dalam mimpi. Dia tidak berkuasa menyuruh atau melarang apa yang dirinya lakukan di dalam mimpi itu. Dia seakan-akan melihat orang lain, bukan dirinya sendiri. Pengalaman yang seperti di dalam mimpi itu dialami secara jaga oleh orang yang mencapai fana peringkat pertama atau memasuki suasana mati tabii. Oleh sebab dia melihat dengan jelas dan yakin akan perbuatan dirinya terjadi di luar bidang kekuasaannya, maka perbuatan itu dinafikan keluar dari dirinya dan diisbatkan kepada perbuatan Allah s.w.t. Dia menghayati bahawa Allah s.w.t jualah yang melakukan segala perkara. 
Setelah melepasi medan Latifah kalbu seseorang itu masuk  kepada medan Latifah Roh dan jika diizinkan Allah s.w.t dia berpeluang mengalami suasana mati maknawi. Dalam suasana mati maknawi, penglihatan mata zahir dikuasai oleh penglihatan mata hati. Mata zahir tidak lagi tertarik kepada alam benda. Dia seolah-olah melihat cermin yang ditembusi cahaya, maka sifat-sifat alam benda tidak berbekas pada pandangannya ketika mata hatinya memandang kepada sifat Allah s.w.t Yang Maha Sempurna dan Kekal. Kesedarannya terhadap sifat dirinya hilang dan dia dikuasai oleh suasana sifat Allah s.w.t. Penghayatan hatinya pada ketika ini adalah: 
Tiada yang hidup melainkan Allah s.w.t.
 Kefanaan pada peringkat ini membuat seseorang melihat kepada keabadian. Dia tidak lagi melihat kepada jasad yang akan binasa dan tidak juga kepada dunia yang bersifat sementara. Dia dikuasai oleh suasana rohani yang tidak akan binasa kerana rohani hidup menumpang Hayat Allah s.w.t. 
 Setelah melepasi medan Latifah Roh dia masuk kepada medan Latifah Sir dan jika Allah s.w.t izinkan dia dapat merasakan suasana mati surri. Dalam suasana mati surri, segala kewujudan yang sementara dan sifat kemanusiaan terhapus dari alam kebatinannya. Dia masuk ke alam ghaib yang penuh dengan Nur Ilahi. Nama Allah s.w.t berbekas pada hatinya dan dia menghayati kenyataan: 
Tiada yang terpuji melainkan Allah s.w.t. 
 Orang yang mengalami kefanaan ini sudah terputus dari sifat-sifat kemanusiaan maka lahirlah perwatakan yang ganjil dan aneh, tidak secucuk dengan tatasusila dan adab masyarakat. Cara dia berpakaian, makan dan minum tidak seperti orang ramai lagi. Percakapannya sukar dimengerti dan kadang-kadang menyinggung perasaan orang lain. Mungkin juga terkeluar dari mulutnya ucapan yang pada zahirnya bersalahan dengan syariat. 
 Setelah melepasi Latifah Sir seseorang itu masuk ke dalam medan Latifah Khafi dan jika diizinkan Allah s.w.t dia berpeluang memasuki susana mati hisi. Dalam suasana ini apa juga yang mengisi alam ini lenyap dari alam perasaannya Tidak ada lagi pemikiran, perasaan, bahasa, ruang, masa, ukuran dan rupa bentuk. Dia mengalami suasana yang kosong, tiada isi, tiada rupa, tiada bahasa dan tidak boleh diperkatakan apa-apa. Dia menghayati suasana: 
Tiada yang maujud secara mutlak melainkan Allah s.w.t.
Semua yang lain dari Allah s.w.t binasa, Wujud Allah s.w.t yang tidak binasa. Keadaan kerohanian pada peringkat ini adalah: 
Zat yang kosong dari makhluk, yang maujud hanya Allah s.w.t.
 Setelah melepasi suasana kematian dalam empat Latifah itu seseorang itu masuk kepada batin yang paling dalam iaitu Latifah Akhfa. Dia sudah melepasi suasana fana dan masuk kepada suasana baqabillah atau kekal bersama-sama Allah s.w.t. Dia sentiasa bersama-sama Allah s.w.t baik ketika jaga mahu pun ketika tidur. Segala gerak gerinya merupakan ibadat. Mata hatinya sentiasa memandang kepada Allah s.w.t. Kesibukannya dengan apa jua urusan tidak melindungi penglihatan hakiki mata hatinya. Tampak nyata baginya: 
Tiada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t; tiada yang berkehendak melainkan apa yang dikehendaki Allah s.w.t; tidak ada daya dan upaya melainkan daya dan upaya yang dari Allah s.w.t. Segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t dan kembali kepada-Nya.
Mata hatinya melihat bahawa segala kewujudan selain Zat Allah s.w.t, sifat Allah s.w.t, perbuatan Allah s.w.t dan asma’ Allah s.w.t hanyalah kewujudan yang tidak berhakikat. Inilah makam arifbillah, iaitu orang yang benar-benar mengenal Allah s.w.t.