Senyum dalam ajaran Islam bernilai ibadah. Seulas senyuman yang disunggingkan kepada seseorang setara dengan nilai bersedekah.
Pengertian sedekah tidak terbatas hanya pada materi saja. Senyum merupakan sedekah yang paling mudah tetapi juga bisa menjadi sangat sulit diberikan oleh seseorang.
Pada dasarnya, semua orang bisa tersenyum dengan siapa saja. Namun, kadang karena ketidakseimbangan fisik maupun mental membuat sebagian orang sulit untuk tersenyum. Senyuman itu dapat menggambarkan suasana hati seseorang.
“Senyuman yang tulus dari seseorang meberikan refleksi kejiwaan positif kepada orang lain. Seorang muslim selalu diajarkan agar memiliki sifat lapang dada dan senantiasa terbuka menebarkan senyuman kepada orang lain,
Lebih jauh tentang makna senyuman, seorang muslim yang tersenyum saja sama telah menebarkan kegembiraan dan kasih sayang melalui senyumannya. Sejalan dengan misi Islam menebarkan keceriaan di muka bumi ini.
Nabi Muhammad telah memelopori pentingnya senyuman agar memberikan rasa nyaman kepada orang lain. Rasulullah pernah memotivasi para sahabatnya tentang makna senyuman itu.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh HR. Muslim, Rasulullah berpesan, “Janganlah kalian menganggap remeh kebaikan itu, walaupun itu hanya bermuka cerah pada orang lain,”.
Senyuman kini telah dikembangkan menjadi sebuah terapi yang menyejukkan diri sendiri dan orang lain. Dunia bisnis manajemen seja, kita juga mengajarkan senyuman yang memikat orang lain.
Senyuman dapat mempengaruhi penampilan seseorang sehingga orang merasa lebih dihargai dan terlayani. “Sungguh luar biasa ajaran Islam yang meletakkan dasar akhlakul karimah,
Senyum Nabi Muhammad SAW
Turunnya Islam dalam kehidupan ini paling tidak memiliki dua tujuan, sebagaimana terdapat di dalam Al Quran yaitu sebagai rahmat bagi semesta alam dan untuk memperbaiki akhlak manusia melalui media dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Dan inti dari kedua tujuan tersebut pada dasarnya adalah sama, yaitu untuk memperbaiki kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat.
“Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya : 107)
“Bahwasanya aku diutus Allah swt untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad)
Mengingat tujuan diturunkannya Al Islam yang begitu tinggi dan mulia, sementara Allah swt tidak akan menurunkan hidayah kepada seluruh manusia serta merta (spontan), sebagaimana telah diturunkan kepada para Nabi-Nya, maka dakwah pun memiliki peranan yang sangat besar. Dakwah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw sepanjang hidupnya merupakan satu sejarah perjuangan yang sangat panjang dan penting. Melalui dakwah beliaulah, akhirnya Islam dengan segala ajarannya dapat diteriman oleh umat manusia, terus berkembang, dan akhirnya menjadi satu agama dengan pengikut yang terbesar di dunia.
Perjuangan Nabi Muhammad saw dalam menyebarkan ajaran Allah swt bukanlah sebuah perjuangan yang mudah. Sebaliknya, ia adalah perjuangan yang teramat berat yang kemungkinan besar tidak akan mampu ditempuh oleh orang-orang atau bahkan Nabi-Nabi selain beliau. Beliau harus menghadapi orang-orang yang luar biasa liciknya, orang-orang yang kejam, orang-orang yang ingin membunuhnya, dan para penguasa yang zalim, hingga kerasnya medah dakwah pun sempat menjatuhkan gigi beliau. Berbagai hinaan, cacian, makian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan pun harus beliau terima, hingga ludah hinaan pun sempat mendarat di wajahnya. Luar biasanya, semua itu beliau lalui dengan penuh kesabaran dan keikhlasan. Seolah beliau tidak merasakan beban dan perjuangan yang sangat berat tersebut.
Ketika matahari tengah teriknya, Nabi Muhammad saw mendatangi kota Thoif untuk mengabarkan bahwa tiada Tuhan selain Allah swt. Namun apa yang terjadi? Sebelum beliau selesai menyampaikan risalahnya, langsung saja para penduduk Thoif melempari beliau dengan batu. Nabi Muhammad saw pun berlari dengan menderita luka cukup parah. Giginya patah dan berdarah terkena lemparan batu.
Malaikat Jibril pun segera turun dan menawarkan bantuan kepada Nabi Muhammad saw. Malaikat Jibril berkata, “Wahai kekasih Allah, apa yang kau ingin aku lakukan terhadap mereka. Jika kau mau aku akan membalikkan tanah yang menopang mereka sehingga mereka hilang tertelan bumi?”
Andaipun Nabi Muhammad saw menyetujui tawaran Malaikat Jibril tersebut, niscaya habislah sudah kemaksiatan dan kejahatan yang ada di muka bumi ini dalam sekejap dan selesailah beban beliau. Dan andaipun Nabi Muhammad saw menyetujui tawaran Malaikat Jibril tersebut, mungkin secara logika pun itu adalah hal yang wajar. Namun tidak demikian bagi beliau, Nabi Muhammad saw kemudian menjawab:
“Jangan wahai Jibril. Mereka melakukan itu karena mereka belum tahu. Mungkin hari ini mereka menolak ajaranku, tapi aku berharap anak cucu mereka di kemudian hari akan menjadi pengemban risalahku.”
Luar biasa memang akhlak Nabi Muhammad saw, dalam terpaan hinaan, cacian, fitnah, sumpah serapah, dan ejekan, salah satu metode dakwah beliau yang paling mendasar dan menyentuh tidak pernah terlupakan. Kehangatan senyum senantiasa membasahi bibir beliau dalam aktivitas kehidupan dan dakwahnya. Senyum yang akan menyejukkan setiap mata yang melihatnya. Senyum yang senantiasa menggetarkan hati para sahabat dan umatnya. Senyum itulah yang selalu menghiasi menu pembuka, menu utama, dan menu penutup dalam dakwah Nabi Muhammad saw.
Dari Jabir ra., ia berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah saw tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak salah memang jika Aisya ra. menggambarkan bahwa akhlak Nabi Muhammad saw adalah Al Quran. Bahkan dengan perlakuan kasar dari orang-orang yang hendak ia selamatkan dari murka Allah swt pun beliau senantiasa menunjukkan kesabaran dan keikhlasannya, dengan senyum yang senantiasa menghiasai bibirnya yang selalu terisi oleh kata-kata mulia.
Ketika Aisyah RA ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad saw, ia menjawab: “Akhlaknya adalah Al Quran.” (HR,.Ahmad dan Muslim)
Marilah sejenak kita perhatikan kisah berikut yang menunjukkan betapa Nabi Muhammad saw tak pernah lelah atau pun enggan untuk tersenyum.
Anas bin Malik bertutur: “Suatu hari aku berjalan bersama Rasulullah saw, saat itu beliau memakai selimut dari daerah Najran yang ujungnya sangat kasar. Tiba-tiba ia ditemui seorang Arab dusun. Tanpa basa basi, laki-laki dusun itu langsung menarik selimut kasar Rasulullah saw itu keras-keras sehingga aku melihat bekas merah di pundak Rasulullah saw.
Laki-laki dusun tersebut berkata, ‘Suruh orang-orangmu untuk memberikan harta Allah kepadaku yang kau miliki sekarang.’ Rasulullah saw lalu berpaling kepada laki-laki tadi. Sambil tersenyum, beliau bersabda, ‘Berilah laki-laki ini makanan apa saja’.” (HR Bukhari)
Lihatlah betapa Nabi Muhammad senantiasa menebarkan senyumnya dalam setiap perjalanan dakwah beliau. Dan dengan senyum itulah, tak terhitung sudah hati yang tersentuh olehnya. Tak terhitung sudah kesombongan yang telah luluh karenanya. Tak terhitung sudah jiwa yang senantiasa merindukannya.
Dengan senyum hangatnya itulah Nabi Muhammad saw telah banyak menyentuh hati para sahabat, isteri-isteri, dan para pengikutnya. Dan dengan senyum itu pulalah dakwah beliau terus merangsek ke setiap jengkal bumi Allah swt.
Bahkan mengenai senyum ini Nabi Muhammad saw telah bersabda, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” Hadits Riwayat At Tirmidzi dalam sahihnya.
Demikian Nabi Muhammad saw telah menggambarkan kepada kita mengenai arti pentingnya senyum dalam kehidupan manusia. Dan sebagai umatnya, kenapa kita tidak berusaha untuk mengikuti jejak beliau yang satu ini? Menjalani kehidupan ini dengan selalu tersenyum. Dan berjuang dalam dakwah Islam inipun tanpa melupakan senyum.
Hiasi perjuangan dakwah Islam kita dengan senyum yang hangat, karena senyum itulah yang pertama kali akan menyentuh hati saudara-saudara kita. Hilangkan kekarasan dan wajah masam dari dakwah kita yang justru akhirnya akan membuat mereka lari dari ajakan kita, dan bahkan membenci kita.
Mari, kita menjaring umat dengan senyum yang senantiasa tersemat!
“Dan sesunguhnya kamu (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al Qalam: 4)