MENYEDIAKAN MAKANAN KETIKA ACARA KEMATIAN

sudah menjadi tradisi – jika ada seseorang yang meninggal dunia, maka keluarga jenazah “diharuskan” membuat/menyajikan makanan bagi orang-orang yang ta’ziyah. Kadang-kadang hal ini memberatkan bagi keluarga jenazah karena kondisi keuangan yang tidak memadai. Menurut Anda, bagaimana syari’at Islam memandang tradisi/kebiasaan ini ? 

Sebaik-baik perkataan adalah Kalamullah (Al-Qur’an), sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam (As-Sunnah Ash-Shahiihah), dan sebaik-baik pemahaman atas dua hal tersebut adalah pemahaman para shahabat Rasulullah radliyallaahu ‘anhum ajm’ain (atsar as-salafush-shalih). Dan untuk menjawab pertanyaan Saudara, maka kami akan mengembalikannya kepada 3 (tiga) hal tersebut.
Allah ta’ala telah berfirman :
يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian semua, dan tidak menghendaki kesulitan bagi kalian semua…..” (QS. Al-Baqarah : 185).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
إن الدين يسر ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه فسددوا وقاربوا……..
“Sesungguhnya agama itu mudah. Orang yang bersikap berlebih-lebihan dalam beragama pasti akan kalah. Beramallah yang benar ! Beramallah yang paling dekat dengan pengamalan syari’at…” (HR. Bukhari nomor 39 – penomoran dari maktabah sahab : 39 dan 6098; dan Muslim nomor 2816).
Ayat dan hadits di atas memberikan pemahaman bagi kita semua bahwa agama Islam ini adalah agama yang mudah. Mudah untuk dipahami dan mudah untuk diamalkan. Seorang muslim hanya dibebani untuk mengerjakan apa-apa yang dicontohkan dan meninggalkan apa-apa yang dilarang atau tidak ada contohnya (dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam). Itulah salah satu sisi kemudahan yang sangat besar bagi umat Islam. Mereka sekali-kali tidak dibebani untuk membuat-buat syari’at yang akhirnya justru memberatkan mereka.
Mengkerucut kepada inti pertanyaan saudara, maka ada beberapa riwayat shahih mengenai hal ini.
Dari Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
“Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)
Para ulama mu’tabar telah sepakat membenci perbuatan ini (yaitu berkumpul-kumpul di tempat mayit dan makan makanan di dalamnya). Kami akan menyebutkan beberapa di antara banyak perkataan ulama mengenai hal ini.
1. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i berkata :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
2. Imam Ibnu Hajar Al-Haitami Asy-Syafi’i berkata :
وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah munkarah (terlarang) lagi dibenci, berdasarkan keterangan shahih dari Jarir bin ‘Abdillah” (Tuhfatul-Muhtaj 1/577, Daarul-Fikr, tanpa tahun).
3. Imam Ibnu ‘Abidin Al-Hanafy berkata :
ويكره اتخاذ الضيافة من الطعام و من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشرور وهي بدعة مستقبحة.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam waktu bahagia, bukan dalam waktu-waktu musibah. Dan hal itu merupakan bid’ah yang buruk bila dilaksanakan” (Hasyiyah Ibnu ‘Abidin 2/240, Daarul-Fikr, 1386).
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata :
وأما جمع الناس على طعام ببيت الميت فبدعة مكروهة
“Adapun berkumpul di dalam keluarga mayit yang menghidangkan makanan, hukumnya bid’ah makruhah (dibenci)” (Hasyiyah Ad-Dasuqi ‘alasy-Syarhil-Kabiir 1/419, Darul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).
5. Syaikh An-Nawawi Al-Bantani (tokoh Indonesia yang hidup dan meninggal di Makkah dimana kitab-kitabnya banyak ditelaah di banyak ponpes NU di Indonesia) berkata :
أما الطعام الذي ويتجمع عليه الناس ليلة دفن الميت – المسمى بالوحشة – فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Adapun menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul di malam penguburan mayit – yang biasa disebut al-wahsyah – adalah dibenci, bahkan diharamkan (dengan sangat) apabila biayanya diambil dari harta-harta anak yatim” (Nihayatuz-Zain fii Irsyadil-Mubtadi’in halaman 281, Daarul-Fikr, Beirut, Tanpa Tahun).
6. Dan lain-lain.
Bahkan para ulama NU Tasikmalaya pernah mengeluarkan pernyataan serupa pada Majalah Al-Mawaa’idz edisi bahasa Sunda :
“Tjindekna ngadamel rioengan di noe kapapatenan teh, ngalanggar tiloe perkara :
  1. Ngabeuratkeun ka ahli majit; enja ari teu menta teu mah, orokaja da ari geus djadi adap mah sok era oepama heunteu teh. Geura oepama heunteu sarerea mah ?
  2. Ngariweuhkeun ka ahli majit; keur mah loba kasoesah koe katinggal maot oge, hajah ditambahan.
  3. Njoelajaan hadits, koe hadits mah ahli majit noe koedoe dibere joe oerang, ieu mah hajoh oerang noe dibere koe ahli majit”. [Al-Mawa’idz – majalah yang dikelola organisasi NU Tasikmalaya – Pangrodjong Nahdlatoel-Oelama Tasikmalaja, 1933 nomor 13 halaman 200].
Dari hadits, atsar, dan penjelasan ulama di atas telah jelas bagi kita bahwa berkumpul dan makan makanan di tempat ahli mayit bukanlah perkara yang disunnah. Bahkan itu bid’ah yang sangat dibenci. Semua ulama mu’tabar yang dalam keilmuannya telah menyapakati hal ini, kecuali sedikit di antara orang-orang awam yang pendapat mereka diabaikan. Bahkan yang menjadi sunnah (sebagaimana yang dijelaskan oleh ikatan ulama NU Tasikmalaya di atas) adalah kita – para tetangga ahli mayit – yang membuatkan makanan serta mengirimkannya kepada hli mayit yang sedang ditimpa kesusahan. Dasarnya adalah perkataan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada para shahabatnya ketika Ja’far bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu gugur di medan jihad :
اصنعوا لآل جعفر طعاما فإنه قد أتاهم أمر شغلهم
“Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far. Sesungguhnya mereka tengah ditimpa musibah yang merepotkan mereka” (HR. Abu Dawud nomor 3132, At-Tirmidzi nomor 998, Ibnu Majah nomor 1610, dan lain-lain; shahih lighairihi).
Inilah yang diamalkan oleh orang-orang shalih dari kaum salaf sebagaimana yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm (1/278) : “Tetangga mayit atau kaum kerabatnya wajib membuatkan makanan yang mengeyangkan untuk keluarga mayit pada hari si mayit wafat dan pada malamnya. Hal itu merupakan sunnah dan perbuatan yang mulia. Dan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang shalih sebelum dan sesudah kami”. [selesai]
Kesimpulan : Berkumpul dan makan makanan di keluarga mayit adalah perbuatan yang tidak disyari’atkan. Dan bagi keluarga mayit, maka ia tidak perlu menyediakan makanan atau minuman yang sengaja diperuntukkan kepada para tamu yang sedang ta’ziyah atau membantu pengurusan jenazah. Jika ia melakukannya, maka ia sama saja mendorong orang untuk melakukan perbuatan yang dilarang. Allah ta’ala berfirman :
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرّ وَالتّقْوَىَ وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan kamu tolong-menolong dalam dosa dan maksiat” (QS. Al-Maidah : 2). Allaahu a’lam.