9 jenis Roh dalam Manusia,yaitu:

1.ROH IDHOFI

>ROH IDHOFI Disebut pula dengan “Johar Awal Suci”,karena Roh inilah Manusia bisa hidup.Jika Roh ini keluar dari Raga,maka manusia tersebut akan meninggal Dunia.
>Roh ini adalah Roh utama yang memerintah Roh lainnya.Meskipun kedelapan Roh yang lain keluar,manusia akan tetap bisa hidup,tetapi jika ROH IDHOFI yang keluar,maka Roh-Roh yang lain akan ikut keluar pula.
>Apabila kita telah mencapai tataran bathin tingkat tinggi,kita akan dapat melihat wujud Roh ini,yang sama persis dengan kita.Alam Roh ini adalah cahaya terang benderang yang berasa sejuk tenteram

2.ROH ROBBANI

ROH RABBANI Alamnya berada didalam cahaya kuning,diam tak bergerak.Jika kita berhasil menemuinya,maka kita tidak akan berkehendak,hati tenteram tubuhpun Patirasa.

3.ROH ROHANI

>Roh ini membuat Manusia berkehendak suka dan tidak suka,baik dan buruk.Roh ini menempati 4 nafsu manusia (seperti disebutkan para penyuwun derajat).
>Roh ini mengikuti penglihatan dan apabila kita mampu mengendalikannya,maka akan tercapai kemuliaan.Jika roh ini meninggalkan tubuh,maka hati dan pikiran kita menjadi gelap.
>Roh ini menguasai nafsu Muttmainnah.Jadi,apabila roh ini menonjol,maka orang tersebut akan tampak bercahaya mukanya dan terpuji perbuatannya

5.ROH KUDUS

Roh ini memberi dorongan kepada manusia untuk selalu beribadah serta berbuat kebajikan kepada sesamanya.

6.ROH ROHMANI

Roh ini mempengaruhi manusia untuk berbuat pemurah,tidak kikir dan berjiwa sosial

7.ROH JASMANI

>Roh ini wujudnya mirip dengan kita,tetapi warnanya merah,Roh ini menguasai Nafsu Amarah dan Nafsu Hewani,misalnya malas,dsb.
>Roh ini juga menyebabkan berasa sakit,lapar,haus,dsb.Karena itu,apabila Roh ini pergi,maka kita tidak merasakan sakit meskipun tertusuk pisau tajam.

8.ROH NABATI

Roh ini mengendalikan pertumbuhan dan perkembangan tubuh manusia sejak lahir

9.ROH HEWANI

>Roh ini mengendalikan otak untuk bermimpi.Jadi saat kita bermimpi,Roh inilah yang melakukannya.
>Jika Roh ini keluar,kita akan tertidur.Kepergian dan kedatangan Roh ini diatur oleh ROH IDHOFI.

Rahasia Alam Ghaib dalam Islam

Penglihatan manusia tentu tidak bisa menjangkau benda yang berada di balik tembok. Contoh kecil di atas menunjukkan betapa indera manusia mempunyai keterbatasan. Oleh karena itu, teramat naif jika ada orang-orang yang menolak hal-hal ghaib dengan mendewakan panca inderanya.
Merunut sejarahnya, secara psikologis, umat manusia –sejak dahulu kala– mempunyai keingintahuan yang besar terhadap segala sesuatu yang bersifat ghaib, khususnya bila berkaitan dengan peristiwa dan kejadian di masa datang. Saking penasarannya, terkadang mereka menyempatkan (baca: mengharuskan) diri untuk mendatangi tukang ramal; baik dari kalangan ahli nujum, dukun, ataupun ’orang pintar’. Ada kalanya dengan cara mengait-ngaitkan sesuatu yang dilihat ataupun didengar, dengan kesialan atau keberhasilan nasib yang akan dialaminya (tathayyur). Dan ada kalanya pula dengan meyakini ta’bir (takwil) mimpi yang diramal oleh orang pintar –menurut mereka. Tragisnya, orang yang dianggap mengerti akan hal ini justru mendapatkan posisi kunci di tengah masyarakatnya dan meraih gelar kehormatan semacam orang pintar dan ahli supranatural. Bahkan gelar kebesaran ‘wali’ pun acap kali disematkan untuk mereka. Wallahul musta’an.
Kondisi semacam ini tidak hanya terjadi pada masyarakat awam yang identik dengan buta huruf dan penduduk pedesaan semata. Namun kalangan ‘intelektual’ dan modernis pun ternyata turut terkontaminasi dengan itu semua. Tidaklah mengherankan jika kemudian berbagai macam ‘ilmu’ yang konon dapat menyingkap perkara-perkara ghaib meruak ke permukaan dan banyak dipelajari oleh sebagian masyarakat, meskipun dalam prakteknya kerap kali harus bekerja sama dengan jin (baca: setan).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy Syaikh berkata: “Yang paling banyak terjadi pada umat ini adalah pemberitaan jin kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia tentang berbagai peristiwa ghaib di muka bumi ini1. Orang yang tidak tahu (proses ini, -pen) menyangka bahwa itu adalah kasyaf dan karamah. Bahkan banyak orang yang tertipu dengannya dan beranggapan bahwa pembawa berita ghaib (dukun, paranormal, orang pintar dll, -pen) tersebut sebagai wali Allah, padahal hakekatnya adalah wali setan. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيْعًا يَامَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ اْلإِنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ اْلإِنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِيْنَ فِيْهَا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيْمٌ عَلِيْمٌ

“Dan (ingatlah) akan suatu hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan mereka semua, (dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman): ‘Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kalian telah banyak menyesatkan manusia’, lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari kalangan manusia: ‘Ya Rabb kami, sesungguhnya sebagian dari kami telah mendapat kesenangan dari sebagian (yang lain) dan kami telah sampai pada waktu yang telah Engkau tentukan’. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‘Neraka itulah tempat tinggal kalian, dan kalian kekal abadi di dalamnya, kecuali bila Allah Subhanahu wa Ta’ala menghendaki (yang lain).’ Sesungguhnya Rabbmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (Al-An’am: 128) (Fathul Majid, hal. 353)
Rahasia Alam Ghaib
Alam ghaib menyimpan rahasia tersendiri. Rahasia alam ghaib, ada yang Allah khususkan untuk diri-Nya semata dan tidak diberitakan kepada seorang pun dari hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لاَ يَعْلَمُهَا إِلاَّ هُوَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلاَّ يَعْلَمُهَا وَلاَ حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ اْلأَرْضِ وَلاَ رَطْبٍ وَلاَ يَابِسٍ إِلاَّ فِيْ كِتَابٍ مُبِيْنٍ

“Dan hanya di sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib. Tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula). Dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidaklah ada sesuatu yang basah atau pun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Al-An’am: 59)
Tentang hal ini, Nabi Nuh ‘alaihissalam berkata, sebagaimana dalam firman Allah:

وَلاَ أَقُوْلُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللهِ وَلاَ أَعْلَمُ الْغَيْب

“Dan aku tidak mengatakan kepada kalian (bahwa): ‘Aku mempunyai gudang-gudang rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tiada mengetahui yang ghaib’.” (Hud: 31)
Demikian pula Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan Allah untuk mengatakan:

قُلْ لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعًا وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ وَلَوْ كُنْتُ أَعْلَمُ الْغَيْبَ لاَسْتَكْثَرْتُ مِنَ الْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوْءُ إِنْ أَنَا إِلاَّ نَذِيْرٌ وَبَشِيْرٌ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ

“Katakanlah: ‘Aku tidak mampu menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al-A’raf: 188)
Di antara perkara ghaib yang Allah Subhanahu wa Ta’ala khususkan untuk diri-Nya semata adalah apa yang terkandung dalam firman-Nya:

إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي اْلأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya semata pengetahuan tentang (kapan terjadinya) hari kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dia dapatkan di hari esok. Dan tiada seorang pun yang bisa mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34)
Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya Malaikat Jibril tentang kapan terjadinya hari kiamat:

فِيْ خَمْسٍ لاَ يَعْلَمُهُنَّ إِلاَّ اللهُ. ثُمَّ تَلاَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ {إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ} الآية

“…termasuk dari lima perkara (ghaib) yang tidak diketahui kecuali oleh Allah semata. Kemudian Nabi membaca ayat (dari surat Luqman tersebut,-pen.).” (HR Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 50, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Berdasarkan hadits ini, tidak ada celah sedikit pun bagi seorang pun untuk mengetahui (dengan pasti) salah satu dari lima perkara (ghaib) tersebut. Dan Nabi telah menafsirkan firman Allah surat Al-An’am: 59 (di atas) dengan lima perkara ghaib (yang terdapat dalam Luqman: 34, -pen.) tersebut, sebagaimana yang terdapat dalam Shahih (Al-Bukhari, -pen.).” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar 1/150-151)
Di antara perkara ghaib, ada yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada para Rasul yang diridhai-Nya, termasuk di antaranya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman:

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا إِلاَّ مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُوْلٍ

“(Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang perkara ghaib itu, kecuali yang Dia ridhai dari kalangan Rasul.” (Al-Jin: 26-27)

وَمَا كَانَ اللهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ اللهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kalian perkara-perkara ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara para Rasul-Nya.” (Ali Imran: 179)
Maka dari itulah, perkara ghaib tidak mungkin diketahui secara pasti dan benar kecuali dengan bersandar pada keterangan dari Allah dan Rasul-Nya. Lalu bagaimanakah dengan orang-orang yang mengaku mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari keduanya?
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullahu berkata: “Barangsiapa mengaku bahwa dirinya mengetahui perkara ghaib tanpa bersandar kepada keterangan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia adalah pendusta dalam pengakuannya tersebut.” (Fathul Bari, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar, 1/151)
Apakah jin (setan) mengetahui perkara ghaib? Jawabannya adalah: Tidak. Jin tidak mengerti perkara ghaib, sebagaimana yang Allah nyatakan:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلاَّ دَابَّةُ اْلأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُوْنَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِيْنِ

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka (tentang kematiannya) itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui perkara ghaib tentulah mereka tidak akan berada dalam kerja keras (untuk Sulaiman) yang menghinakan.” (Saba`: 14)
Adapun apa yang mereka beritakan kepada kawan-kawannya dari kalangan manusia (dukun, paranormal, orang pintar, dll.) tentang perkara ghaib, maka itu semata-mata dari hasil mencuri pendengaran di langit2. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَحَفِظْنَاهَا مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ. إِلاَّ مَنِ اسْتَرَقَ السَّمْعَ فَأَتْبَعَهُ شِهَابٌ مُبِيْنٌ

“Dan Kami menjaganya (langit) dari tiap-tiap setan yang terkutuk. Kecuali setan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (Al-Hijr: 17-18)
Hikmah Tertutupnya Tabir Alam Ghaib bagi Umat Manusia
Para pembaca, tidaklah Allah Subhanahu wa Ta’ala memutuskan dan menentukan suatu perkara kecuali (pasti) selalu ada hikmah di baliknya. Demikian pula halnya dengan alam ghaib, yang tabirnya tertutup bagi umat manusia. Di antara hikmahnya adalah sebagai ujian bagi umat manusia, apakah mereka termasuk orang yang beriman dengan perkara ghaib yang Allah dan Rasul-Nya beritakan tersebut, ataukah justru mengingkarinya?!
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Bahwasanya alam barzah (kubur) termasuk perkara ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca indera. Jika bisa dijangkau oleh panca indera, niscaya tidak ada lagi fungsi keimanan terhadap perkara ghaib (yang Allah dan Rasul-Nya beritakan, -pen.), dan tidak ada lagi perbedaan antara orang-orang yang mengimaninya dengan yang mengingkarinya.” (Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 109)
Di antara hikmahnya pula adalah untuk keseimbangan hidup umat manusia antara suka dan duka, cemas dan harapan di dalam mengarungi kehidupan dunia ini. Cobalah anda renungkan, bagaimanakah jika seandainya setiap orang mengetahui semua yang akan terjadi? Tentu kehidupannya akan sangat kacau dan tidak mendapatkan ketentraman. Bagaimana tidak?! Ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa akhir hidupnya adalah menderita, baik karena ditimpa penyakit kronis, kecelakaan, dibunuh, dan lain sebagainya. Tentu hidupnya akan diselimuti dengan duka dan kecemasan. Si sakit misalnya, ketika mengetahui dengan pasti bahwa dia akan mati karena sakitnya itu (dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala) dan tidak ada lagi harapan untuk hidup, tentunya keputus-asaanlah yang selalu merundungnya. Akan tetapi ketika dia tidak mengetahuinya dengan pasti, maka harapan untuk menikmati hari esok masih terbentang di hadapannya dan proses pengobatan pun akan selalu diupayakannya.
Ketika umat manusia mengetahui segala yang terjadi di alam ghaib, bisa melihat malaikat dan jin (setan) dalam wujud aslinya, bisa mengetahui orang-orang yang diadzab di kubur dan sejenisnya, niscaya ketenangan hidup tidak akan didapatkannya. Demikian pula ketika masing-masing orang mengetahui dengan pasti apa yang tersimpan di hati selainnya, maka kehidupan ini akan terasa sebagai belenggu yang memberatkan. Karena berbagai keburukan yang ada pada hati masing-masing orang dapat dirasakannya.
Di lain kondisi, ketika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa dia selalu beruntung, niscaya hal itu bisa menjadikan dia sombong dan bersikap semena-mena terhadap sesamanya. Tidaklah Allah menutup tabir rahasia alam ghaib kepada kita, kecuali karena kasih sayang dan kebijaksanaan-Nya yang tiada tara. Sehingga sudah seharusnya bagi kita untuk mensyukuri apa yang ditentukan-Nya tersebut.
Fenomena Umat tentang Alam Ghaib
Para pembaca, tentunya anda sering mendengar info seputar alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Lebih-lebih belakangan ini, ketika ‘misteri alam ghaib’ benar-benar dipromosikan dan dijadikan ajang komoditi bisnis yang cukup menjanjikan. Dengan sekian bumbu klenik dan racikan mistiknya, maka tersajilah aneka menu yang kental dengan bau syirik dan khurafat. Tak luput…akhirnya televisi, surat kabar, dan media cetak/elektronik lainnya pun menjadi publik mediator modernnya.
Sementara di lain pihak, ada orang-orang yang mengingkari perkara ghaib. Dasar pemikiran mereka bertumpu pada keilmuan (baca: akal) semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan. Nyaris, sikap mengedepankan akal daripada dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi simbol mereka. Tak pelak, akhirnya terjerumus pula ke dalam jurang kesesatan dikarenakan pengingkaran mereka terhadap perkara-perkara ghaib yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tersebut. Mereka terbagi menjadi tiga kelompok3:
1. Orang-orang yang mengingkari semua perkara ghaib, termasuk adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Pencipta alam semesta ini. Mereka adalah kaum atheis (komunis) dari kalangan Dahriyyah (yang menyatakan bahwa alam semesta ini tercipta dengan sendirinya, -pen.). Demikian pula orang-orang yang menapak jejak mereka dari kalangan atheis Sufi semacam Ibnu Arabi At-Tha`i penulis kitab Fushusul Hikam dan cs-nya yang mengklaim bahwa wujud ini hanya satu, dan hakekat wujud Allah adalah semua yang ada di alam semesta ini (yakni menyatu dengan makhluk), yang hakekat dari pemikiran tersebut adalah peniadaan Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian mereka campakkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang beliau bawa, dengan suatu estimasi bahwa kewalian lebih baik dari kenabian dan khatimul auliya` (penutup para wali) lebih utama dari khatimul anbiya` (penutup para Nabi), bahkan dari semua Nabi.
2. Ahlul wahmi wat takhyil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi telah memberitakan tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, hari kiamat, surga dan neraka, bahkan malaikat, dengan gambaran yang tidak sesuai dengan kenyataannya. Para Nabi tersebut menggambarkan kepada manusia (tentang semua itu) dari khayalan mereka; bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bertubuh besar, tubuh manusia akan dibangkitkan di hari kiamat, manusia akan mendapat kenikmatan dan merasakan adzab, padahal kenyataannya tidak demikian. Kedustaan ini, mereka (para Nabi) lakukan demi kamashlahatan umat, karena tidak ada cara yang lebih mendatangkan mashlahat dalam mendakwahi mereka kecuali dengan cara tersebut. Inilah pemikiran Ibnu Sina dan yang sejalan dengannya.
3. Ahlut tahrif wat ta`wil, yaitu orang-orang yang menyatakan bahwasanya para Nabi tidaklah memaksudkan (baca: memberitakan) kecuali sesuatu yang memang benar adanya, hanya saja kenyataan yang sebenarnya dari semua itu adalah apa yang bisa dijangkau oleh akal. Inilah pemikiran ahli kalam dan selainnya dari kalangan Mu’tazilah, Kullabiyyah, Salimiyyah, Karramiyyah, Syi’ah dll.
Dari sini, jelaslah bagi kita bahwa sikap mengedepankan akal atas dalil sam’i baik dari Al-Qur`an maupun hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan semacam ini tidak bisa dibenarkan, bahkan sangat berbahaya. Asy-Syahrastani berkata: “Ketahuilah, bahwasanya syubhat pertama yang menimpa makhluk adalah syubhat iblis -la’natullah-. Pemicunya adalah mengedepankan akal daripada nash, dan mengekor hawa nafsu untuk menentang perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta kesombongannya terhadap bahan yang Allah ciptakan darinya (yakni api) atas bahan yang Allah ciptakan darinya Adam ‘alaihissalam (tanah liat).” (Al-Milal wan Nihal, hal. 14)
Bahkan perumpaan akal yang ‘didewakan’ itu; “Laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang yang dahaga, tetapi bila didatangi ‘air itu’, dia tidak mendapatinya sedikit pun Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau laksana kegelapan yang gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, dan di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 39 dan 40)
Hal ini sebagaimana pengakuan Abu Abdillah Ar-Razi, salah seorang tokoh mereka (Mu’tazilah):
Kesudahan mengedepankan akal adalah belenggu.4
Dan kebanyakan upaya (hasil pemikiran) para intelek itu adalah kesesatan
Ruh-ruh kami terasa amat liar di dalam tubuh-tubuh kami
Dan hasil dari kehidupan dunia kami adalah gangguan dan siksaan (batin)
Tidaklah didapat dari penelitian yang kami lakukan sepanjang masa
Melainkan kumpulan statemen-statemen (yang tak menentu)
Aku (Ar-Razi) telah memperhatikan dengan seksama berbagai seluk-beluk ilmu kalam dan metodologi filsafat, maka kulihat semua itu tidaklah dapat menyembuhkan orang yang sakit dan tidak pula memuaskan orang yang dahaga, dan (ternyata) metode yang paling tepat adalah metode Al-Qur`an.” (Lihat Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah 1/160)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Engkau akan mendapati kebanyakan para intelek di bidang ilmu kalam, filsafat dan bahkan tasawuf, yang tidak mengindahkan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai orang-orang yang bingung. Sebagaimana yang dikatakan Asy Syahrastani:
“Sungguh aku telah keliling ke ma’had-ma’had (filsafat) tersebut
Dan seluruh pandanganku tertuju kepada mercusuar-mercusuarnya
Namun, tak kulihat padanya kecuali orang yang bingung sambil bertopang dagu
Dan orang yang menyesal sambil menggemertakkan giginya.”
(Dar`u Ta’arudhil Aqli Wan Naqli, 1/159)
Sikap Ahlus Sunnah wal Jamaah Terhadap Alam Ghaib
Para pembaca, Islam adalah rahmat bagi semesta alam. Agama sempurna dan penyempurna bagi ajaran para Nabi sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, agama yang telah memadukan antara konsep keilmuan yang benar dengan konsep keimanan yang lurus. Keilmuan yang berasaskan keimanan, dan keimanan yang ditunjang oleh keilmuan.
Adapun keilmuan semata tanpa mempedulikan norma-norma keimanan, maka kesudahannya adalah kebinasaan, sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan yang sejenisnya. Demikian pula keimanan (termasuk di dalamnya amalan) semata tanpa mempedulikan keilmuan, kesudahannya adalah kesesatan, sebagaimana halnya orang-orang Nashrani dan yang sejenisnya. Perpaduan antara dua konsep inilah yang menjadikan Islam sebagai agama wasathan (adil dan pilihan) dan bersih dari segala bentuk sikap berlebihan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Oleh karena itu, di antara para imam penulis kitab hadits yang menggunakan metode penyusunan berdasarkan babnya, ada yang memulai penyusunannya dengan (menyebutkan hadits-hadits tentang) pokok keilmuan dan keimanan. Sebagaimana yang dilakukan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya, yang mana beliau memulainya dengan Kitab Bad`il Wahyi (awal mula turunnya wahyu); yang merinci tentang kondisi turunnya ilmu dan iman kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mengiringinya dengan Kitabul Iman yang merupakan asas keyakinan terhadap apa yang dibawa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah itu diiringi dengan Kitabul Ilmi yang merupakan perangkat untuk mengenal apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, demikianlah tertib penyusunan yang hakiki. Begitu pula Al-Imam Abu Muhammad Ad-Darimi…” (Majmu’ Fatawa 2/4)
Para pembaca, alam ghaib ibarat alam yang gelap gulita, sedangkan Al-Qur`an dan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ibarat dua cahaya yang terang benderang. Dengan dua cahaya itulah berbagai peristiwa dan kejadian di alam ghaib tersebut menjadi jelas dan terang. Atas dasar itulah, setiap pribadi muslim wajib untuk mengembalikannya kepada firman Allah (Al-Qur`an) dan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (Al-Hadits).
Bila demikian, berarti semua perkara ghaib haruslah ditimbang dengan timbangan Islam yaitu; Al-Qur`an dan Al-Hadits dengan pemahaman para shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika perkara ghaib (baca: yang dianggap ghaib) ternyata tidak ada keterangannya di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, maka keberadaannya tidak boleh diimani dan diyakini. Dan jika perkara ghaib tersebut diterangkan di dalam Al-Qur`an dan Al-Hadits, baik berkaitan dengan peristiwa-peristiwa di masa lampau maupun di masa datang, serta berbagai keadaan di akhirat dll, maka keberadaannya harus diimani dan diyakini, walaupun pandangan mata dan akal kita tidak menjangkaunya.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Iman kepada perkara ghaib ini mencakup keimanan kepada semua yang Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam beritakan dari peristiwa-peristiwa ghaib di masa lampau dan di masa yang akan datang, berbagai keadaan di hari kiamat, dan tentang hakekat sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al Karimirrahman hal. 24)
Beriman dengan (adanya) perkara ghaib yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya merupakan salah satu ciri orang yang bertaqwa. Sedangkan tidak beriman dengan perkara ghaib tersebut merupakan ciri orang kafir atau ahli bid’ah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الم. ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

“Alif laam miim. Kitab (Al-Qur`an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (Yaitu) mereka yang beriman kepada perkara ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (Al-Baqarah: 1-3)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata: “Hakekat iman adalah keyakinan yang sempurna terhadap semua yang diberitakan para Rasul, yang mencakup ketundukan anggota tubuh kepadanya. Iman yang dimaksud di sini bukanlah yang berkaitan dengan perkara yang bisa dijangkau panca indra, karena dalam perkara yang seperti ini tidak berbeda antara muslim dengan kafir. Akan tetapi permasalahannya berkaitan dengan perkara ghaib yang tidak bisa kita lihat dan saksikan (saat ini). Kita mengimaninya, karena (adanya) berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah keimanan yang membedakan antara muslim dengan kafir, yang mengandung kemurnian iman kepada Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, seorang mukmin (wajib) mengimani semua yang diberitakan Allah dan Rasul-Nya baik yang dapat disaksikan oleh panca inderanya maupun yang tidak dapat disaksikannya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan nalarnya maupun yang tidak dapat dijangkaunya.
Hal ini berbeda dengan kaum zanadiqah (yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, -pen.) dan para pendusta perkara ghaib (yang telah diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dikarenakan akalnya yang bodoh lagi dangkal serta jangkauan ilmunya yang pendek, akhirnya mereka dustakan segala apa yang tidak diketahuinya. Maka rusaklah akal-akal (pemikiran) mereka itu, dan bersihlah akal-akal (pemikiran) kaum mukminin yang selalu berpegang dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Taisir Al-Karimir Rahman hal. 23)
Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi rahimahullahu berkata: “(Setiap muslim, -pen.) wajib beriman kepada semua yang diberitakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan apa yang dinukil secara shahih dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik perkara tersebut dapat dilihat mata maupun yang bersifat ghaib. Kita mengetahui (baca; meyakini) bahwa semua itu benar, baik yang dapat dijangkau akal maupun yang tidak bisa dijangkau dan tidak dimengerti hakekat maknanya.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 101)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata: “Berbagai macam berita yang diriwayatkan secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka benar keberadaannya dan wajib dipercayai, baik dapat dirasakan oleh panca indera kita maupun yang bersifat ghaib, baik yang dapat dijangkau oleh akal kita maupun yang tidak.” (Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 101)
Demikianlah manhaj (prinsip) yang benar di dalam menyikapi alam ghaib dan berbagai peristiwanya. Siapa saja yang berprinsip dengannya, maka dia beruntung dan berada di atas jalan yang lurus. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

فَالَّذِيْنَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam), memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an), mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-A’raf: 157)

وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوْحًا مِنْ أَمْرِنَا مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلاَ اْلإِيْمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُوْرًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ. صِرَاطِ اللهِ الَّذِي لَهُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ أَلاَ إِلَى اللهِ تَصِيْرُ اْلأُمُوْرُ

“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur`an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur`an) dan tidak pula mengetahui apakah iman, tetapi Kami menjadikan Al Qur`an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa saja yang Kami kehendaki dari hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (Yaitu) jalan Allah yang kepunyaan-Nya segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa hanya kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (Asy-Syura: 52-53)
Penutup
Para pembaca, dari bahasan di atas dapatlah diambil kesimpulan bahwa:
1. Setiap muslim wajib beriman dengan (adanya) alam ghaib dan semua peristiwanya yang diberitakan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya. Baik yang dapat dijangkau oleh akal dan panca indra maupun yang tidak.
2. Mengedepankan akal dalam permasalahan semacam ini merupakan pangkal kesesatan.
3. Setiap muslim wajib memahami berita yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya tentang alam ghaib dan peristiwanya, dengan pemahaman para shahabat Rasulullah (as-salafush shalih), karena ia merupakan jalan yang lurus. Dan tidak dengan pemahaman ahli kalam, filsafat, atheis sufi, dan bahkan atheis dahriyyah yang menyesatkan.
Wallahu a’lam bish-shawab.

Perbedaan Pendapat Seputar Waktu-waktu Sholat

Batas akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Tsaur, Dawud) :
bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (salah satu riwayat dari Abu Hanifah) :
bayangan benda dua kali bendanya, dan saat ini merupakan awal sholat ashar.
Pendapat III (riwayat yang lain dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dalam sholat lima waktu. Sholat zhuhur hari pertama dilakukan ketika zawal matahari. Sholat zhuhur hari kedua dilakukan ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Jibril berkata : Waktu sholat adalah antara keduanya (antara waktu yang ditunjukkkan pada hari I dan waktu yang ditunjukkan pada hari II).
Hadits pendapat II dan III :
Lama kalian hidup terhadap umat-umat sebelum kalian ialah sebagaimana antara sholat ashar dan terbenamnya matahari. Ahli Taurat telah diberi Taurat, lalu mereka mengamalkannya sampai tengah hari sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian ahli Injil diberi Injil, lalu mereka mengamalkannya sampai datang waktu sholat ashar sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian kita diberi Al-Qur’an, maka kita mengamalkannya sampai terbenamnya matahari. Maka kita pun diberi pahala masing-masing dua qirath. Ahli kitab pun berkata,”Duhai Tuhan kami, Engkau memberi mereka (umat Muhammad) masing-masing dua qirath sementara engkau beri kami masing-masing satu qirath saja, padahal amal kami lebih banyak? Maka Allah berkata,”Apakah Aku pernah zhalim dalam mengganjar perbuatan kalian? Mereka pun menjawab,”Tidak”. Lalu Allah berfirman,”Demikianlah fadhilah-Ku Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur ialah ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) :
di awal waktu bagi yang sholat sendirian, dan sedikit mengakhirkannya dari awal waktu bagi yang sholat berjama’ah di masjid.
Pendapat II (Syafi’I, riwayat lain dari Malik) :
di awal waktu kecuali jika panas sangat terik.
Pendapat III :
di awal waktu secara muthlaq, baik itu sendirian atau berjamaah, di saat dingin ataupun panas terik.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur adalah ta’jiil (di awal waktu) kecuali jika siang sangat terik maka yang lebih disukai adalah ibraad (menunggu setelah agak reda panasnya). Waktu ibraad inipun bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan.

Batas waktu antara zhuhur dan ashar
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Dawud, Jama’ah) :
akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar, yakni pada saat bayangan benda sama dengan bendanya, tanpa ada waktu musytarak untuk dua sholat.
Pendapat II (Malik) :
sda dengan waktu musytarak pada akhir zhuhur dan awal ashar selama kira-kira empat raka’at.
Pendapat III (Abu Hanifah) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar.

Akhir waktu ashar
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (salah satu riwayat Malik, Syafi’i) :
ketika bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (riwayat yang lain dari Malik, Ahmad) :
ketika matahari menjadi kuning.
Pendapat III (zhahiriyah) :
satu raka’at sebelum terbenamnya matahari
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu jawaz untuk sholat ashar adalah terbenamnya matahari. Hanya saja waktu ikhtiyar (menurut Imam Nawawi) adalah sampai ketika bayangan benda dua kali bendanya. Adapun waktu yang tidak makruh adalah sampai matahari menjadi kuning. Jika kita melakukan sholat ashar sesudah matahari menjadi kuning tanpa ada udzur, maka hukumnya adalah makruh meskipun itu boleh.
Khusus pada hari yang mendung, sangat ditekankan untuk ta’jiil (menyegerakan) sholat ashar diawal waktu. Kemudian secara umum, sholat ashar ini hendaknya benar-benar dijaga karena ia adalah sholat wustha, yang telah disebut secara khusus untuk dijaga.

Apakah terdapat waktu muwassa’ bagi sholat maghrib?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (riwayat paling populer dari Malik dan Syafi’i) : tidak ada waktu muwassa’ untuk sholat maghrib.
Pendapat II (Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, diriwayatkan pula dari Malik dan Syafi’i) : terdapat waktu muwassa’ yakni antara terbenamnya matahari dan hilangnya syafaq (mega merah).
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari pertama maupun kedua Jibril melakukan sholat maghrib pada waktu yang sama.
Hadits II :
Hadits Abdullah ibn ‘Umar : Nabi bersabda,”Waktu sholat maghrib adalah selama syafaq belum menghilang”. [yang seperti ini terdapat pula pada hadits Buraidah Al-Aslamiy]
Komentar :
Hadits Buraidah lebih utama karena diucapkan pada masa madaniyah dalam rangka menjawab sahabat yang sedang bertanya. Sedangkan hadits Jibril mengimami Nabi diucapkan pada masa makkiyah.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu muwassa’ untuk sholat maghrib adalah sampai hilangnya syafaq merah, hanya saja yang lebih utama adalah ta’jiil (menyegerakan) di awal waktu sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jibril mengimami Nabi bahwa sholat maghrib pada dua hari yang berbeda dilaksanakan pada waktu yang sama yakni ketika matahari telah terbenam.

Awal waktu sholat isya’
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Jama’ah) :
saat hilangnya mega merah (al-hamrah).
Pendapat II (Abu Hanifah) :
saat hilangnya mega putih (al-bayadh) yang muncul sesudah mega merah.
Sebab perbedaan pendapat :
Isytirak (kerancuan) tentang makna kata al-syafaq
Pendapat Sayyid Sabiq :
Awal waktu sholat ‘isya adalah hilangnya syafaq merah.

Akhir waktu sholat isya’
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Abu Hanifah, riwayat paling populer dari Malik) :
sampai akhir sepertiga malam
Pendapat II (riwayat lain dari Malik) :
sampai tengah malam (nishful lail)
Pendapat III (Dawud) :
sampai terbitnya fajar
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan antar hadits
Hadits pendukung pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari kedua melakukan sholat isya pada sepertiga malam (tsulutsul lail).
Hadits pendukung pendapat II :
Hadits Anas : Nabi saw mengakhirkan sholat isya’ sampai tengah malam.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah : Nabi saw bersabda,”Kalau tidak akan memberatkan umatku, akan aku akhirkan sholat malam sampai tengah malam.
Hadits pendukung pendapat III :
Hadits Abu Qatadah : Bukanlah ceroboh itu tidur, melainkan menunda-nunda sholat sampai masuk waktu sholat yang lainnya. [Hadits ini turun setelah hadits Jibril mengimami Nabi]
Pendapat Abu Hanifah [bahwa akhir waktu sholat isya’ adalah terbitnya fajar]
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu ikhtiyar sholat ‘isya adalah tengah malam (nishful lail). Adapun akhir waktu jawaz idhtiraar adalah terbitnya fajar shadiq (awal waktu sholat shubuh).
Waktu yang lebih utama untuk sholat ‘isya adalah ta’khiir (mengakhirkan) pada tengah malam.

Tidur sebelum ‘isya dan bercakap-cakap sesudahnya
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur sebelum ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan kehilangan waktu mustahab untuk sholat ‘isya atau luput dari sholat jama’ah. Tetapi jika ada yang akan membangunkan, maka tidak apa-apa tidur sebelum ‘isya.
Bercakap-cakap sesudah ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan membuang-buang waktu dan membuat kita kehilangan kesempatan untuk bangun sholat malam. Tetapi jika percakapan itu adalah percakapan yang baik maka tidak apa-apa.

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat
Apakah boleh sholat pada saat zawal (istiwa’) matahari?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali.
Pendapat II (Hanafiyah) :
tidak boleh sama sekali kecuali sholat jenazah.
Pendapat III (Syafi’i) :
tidak boleh kecuali sholat sunnah dengan sebab khusus dan sholat sunnah pada hari Jum’at.
Pendapat IV (Hanabilah) :
tidak boleh kecuali sholat tahiyyatul masjid pada hari Jum’at.
Pendapat V (Malik) :
boleh secara mutlaq.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan dalil
Dalil bagi pendapat I :
Hadits ‘Uqbah ibn ‘Aamir
Dalil bagi pendapat III dan IV :
Hadits Ibnu Syihab dari Tsa’labah ibn Abi Malik
Dalil bagi pendapat V :
Amalan penduduk Madinah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Apakah boleh sholat sesudah sholat ashar?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali
Pendapat II (jumhur) :
tidak boleh kecuali untuk mengqadha’
Pendapat III :
boleh secara mutlaq
Pendapat IV (Syafi’i) :
boleh sholat (termasuk sholat sunnah) dengan sebab khusus
Pendapat V (Abu Hanifah, Malik) :
makruh
Pendapat VI (Hanabilah) :
haram melakukan sholat tathawwu’ meskipun dengan sebab khusus, kecuali sholat dua raka’at thawaf.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits
Pendapat I : berdasarkan hadits Abu Hurairah
Pendapat II : berdasarkan hadits Ummu Salamah
Pendapat III : berdasarkan hadits ‘Aisyah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dimana jumhur berpendapat bahwa boleh mengqadha sholat yang terlewat atau luput pada waktu sesudah sholat ashar dan sholat shubuh.

Apakah boleh sholat tathawwu’ ketika iqamat dikumandangkan?
(Maksudnya: beranjak melakukan sholat tathawwu’ sementara iqamat sudah dikumandangkan)
Pendapat Sayyid Sabiq :
Hukumnya makruh berdasarkan hadits-hadits yang kuat.

Sholat apa yang tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang untuk sholat?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Hanafiyah) :
sholat apa saja, baik itu fardhu, sunnah, ataupun nafilah.
Pendapat II :
sholat yang tidak wajib, baik sholat sunnah ataupun nafilah.
Pendapat III :
sholat nafilah saja.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan dalam hal ‘aamm dan khaashsh.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Masalah ini tidak muncul sebagai sub bab tersendiri dalam sistematika Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah).

Ma'rifatur Rasul

Manakah yang lebih dahulu antara Pitecantropus Erectus dan Nabi Adam as 

Jawab :

Dari berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih, kita mendapati bahwa Adam adalah manusia pertama yang Allah ciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi (QS Al-Baqarah : 30, QS Shaad : 71 – 76). Akan tetapi, sebelum manusia telah ada makhluq lain yang hidup di muka bumi.
Adapun tentang Pitecantropus Erectus, para ahli sendiri belum sepakat tentang kebenarannya. Apalagi ketika dikatakan bahwa penemuan Pitecantropus Erectus dan manusia purba yang lain menunjukkan bahwa manusia adalah keturunan (hasil evolusi dari) bangsa kera. Sebagian ahli mengatakan bahwa tulang belulang yang direkonstruksi menjadi model manusia purba tidaklah sepenuhnya tulang belulang manusia, tetapi bercampur dengan tulang belulang binatang (kera). Yang jelas, informasi dari wahyu bersifat pasti kebenarannya sedangkan informasi dari penemuan Iptek bersifat sementara kebenarannya. Ketika kedua jenis informasi tersebut bertentangan, kita mesti mendahulukan dan memenangkan informasi wahyu.
Wallahu a’lam bish shawab.

Apa yang dimaksud dengan bai’ah dan seperti apakah batasannya ?

Jawab :

Bai’ah secara sederhana berarti sumpah setia. Dahulu Rasulullah melakukan bai’ah untuk mengikat kesetiaan. Bai’ah Aqabah Pertama dilakukan oleh Rasulullah bersama beberapa orang untuk sepakat menegakkan tauhid dan menjunjung nilai-nilai yang mulia. Bai’ah Aqabah Kedua dilakukan oleh Rasulullah bersama sejumlah orang yang lebih banyak untuk sepakat memperjuangkan Islam dalam keadaan senang ataupun susah. Ba’iah Ridhwan dilakukan oleh Rasulullah  bersama para sahabat terkait dengan Kasus Utsman bin ’Affan di Hudaibiyah. Rasulullah juga membaiat orang-orang yang masuk Islam ketika itu untuk setia kepada Islam. Bai’ah juga telah dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyatakan kesetiaannya (mendengar dan taat) kepada para khalifah kecuali dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
Dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan, bai’ah berarti sumpah untuk setia (mendengar dan taat) kepada khalifah kecuali dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya. Bai’ah ini dibagi oleh para ulama siyasah menjadi dua macam : bai’ah ’ammah (baiat umum) dan bai’ah khashshah (baiat khusus). Baiat khusus dilakukan oleh sekelompok orang yang terbatas yang menyatakan kesetiaannya kepada khalifah. Baiat umum biasanya dilakukan menyusul baiat khashshah dan dilakukan oleh seluruh kaum muslimin yang menyatakan kesetiaannya kepada khalifah. Baiat semacam ini wajib dilakukan oleh setiap muslim ketika ada kekhalifahan yang sah secara syar’i. Dalam konteks baiat semacam inilah Rasulullah bersabda,”Barangsiapa mati sementara di pundaknya tidak ada baiat maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Adapun sekarang ini tidak ada (tepatnya : belum ada) kekhalifahan yang sah secara syar’i. Oleh karena itu tidak ada baiat dalam pengertian seperti tersebut diatas. Yang ada sekarang ini adalah baiat ’amal, yang berarti kesepakatan untuk bekerja bersama-sama dalam melakukan suatu amal (aktivitas) islami, dalam rangka memperjuangkan agama Allah. Hadits Nabi diatas tidak bisa diterapkan dalam konteks baiat semacam ini.
Yang jelas, apapun macam baiatnya haruslah senantiasa berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya dan sekali-kali tidak boleh keluar dan menyimpang darinya.
Wallahu a’lam bish shawab.
**************
Bagaimana berdzikir dan bershalawat lebih dari 100 kali ?

Jawab :

Dari sisi waktunya dzikir itu ada dua macam : dzikir pada waktu-waktu khusus dan dzikir pada waktu-waktu yang tidak ditentukan. Dari sisi bilangannya, dzikir juga ada dua macam : dzikir yang telah ditentukan bilangannya dan dzikir yang tidak ditentukan bilangannya. Untuk dzikir yang telah ditentukan bilangannya, kita tidak boleh menambahi ataupun menguranginya dengan keyakinan lebih afdhal. Contohnya ucapan takbir dalam sholat jenazah yang berjumlah 4 kali, lafzah adzan yang bilangannya telah ditentukan, dzikir tasbih, hamdalah dan takbir sesudah shalat fardhu yang masing-masing diucapkan 33 kali, dan sebagainya. Sebaliknya, untuk dzikir yang tidak ditentukan bilangannya, kita tidak boleh membatasinya dengan keyakinan lebih afdhal atau sebagai suatu keharusan. Contohnya shalawat kepada Nabi yang dianjurkan untuk diucapkan sebanyak mungkin tanpa pembatasan jumlah. Kita tidak boleh membatasinya menjadi 100 kali dengan keyakinan sebagai sebuah keharusan atau dengan keyakinan bahwa yang demikian itu lebih afdhal, kecuali jika ada dalil yang menyatakannya.
Wallahu a’lam bish shawab.

Seperti apakah hakikat manusia itu

Manusia adalah hamba Allah (’abdullah) dan khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia berkewajiban untuk memakmurkan bumi, melakukan perbaikan (ishlah) diatasnya, dan tidak malah membuat kerusakan diatasnya. Manusia adalah salah satu dari dua tsaqalaani, yaitu dua makhluq yang dibebani dengan syariat dan harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : jin dan manusia. Dua makhluq ini berbeda dengan segenap makhluq yang lain yang tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jin dan manusia memiliki pilihan untuk taat atau ingkar, sedangkan makhluq Allah yang lain tidak memiliki pilihan karena pilihan mereka hanya satu : taat kepada Allah. Langit dan bumi seluruhnya tunduk dan patuh kepada Allah secara sukarela, dengan cara mereka sendiri-sendiri. Sedangkan jin dan manusia ada yang taat dan ada pula yang ingkar. Dahulu kala Allah telah menawarkan amanah kekhalifahan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, dan semua menolaknya, akan tetapi manusia mau menerimanya. Oleh karena itu, manusia telah diberikan oleh Allah berbagai potensi untuk bisa mengemban tugas dan amanahnya tersebut. Jika seorang manusia sangat taat kepada Allah, derajatnya bisa lebih tinggi daripada malaikat, karena malaikat memang diciptakan untuk taat semata sementara manusia taat karena pilihannya. Akan tetapi jika seorang manusia ingkar kepada Allah, derajatnya bisa lebih rendah daripada binatang, karena binatang tidak memiliki akal pikiran sementara manusia memiliki akal pikiran.
Adam as, sebagi manusia pertama, diciptakan oleh Allah dari tanah. Kemudian Allah meniupkan ruh kedalam jasad tersebut sehingga terciptalah Adam sebagai manusia yang sempurna. Dahulu, ketika umat manusia masih dalam bentuk ruh, Allah telah mengikat perjanjian dengan manusia. Allah berkata,”Bukankah Aku adalah Rabb kalian?” Manusia menjawab,”Ya, kami menyaksikannya” (QS Al-A’raf : 172). Inilah perjanjian tauhid antara manusia dan Rabb-nya. Inilah fithrah manusia, yang masih dia bawa ketika ia baru dilahirkan.
Manusia memiliki ruh dan jasad. Jadi, manusia memiliki ’unsur langit’ (yaitu ruh) sekaligus ’unsur bumi’ (yaitu jasad). Ruh cenderung menarik manusia kepada Penciptanya, sedangkan jasad cenderung menarik manusia kepada kecenderungan hewani. Kedua kecenderungan itu harus diseimbangkan.
Manusia mengalami lima fase perjalanan kehidupan : alam azali (sewaktu masih berupa ruh), alam rahim (ketika berada dalam kandungan ibunya), alam dunia, alam barzakh (alam kubur), dan alam akhirat yang kekal. Demikianlah. Manusia dahulunya mati (sebelum dilahirkan), kemudian dihidupkan (di dunia ini), kemudian dimatikan lagi (di alam kubur), dan nanti akan dihidupkan lagi selama-lamanya (di akhirat) sampai dengan waktu yang Allah kehendaki. Manusia dihidupkan di dunia ini untuk diuji : mana yang mukmin dan mana yang kafir, mana yang taat dan mana yang ingkar. Dan masa ujian ini amatlah pendek, sehingga manusia harus benar-benar cermat dalam memanfaatkan setiap detik waktu dalam kehidupannya di dunia ini. Dunia ini adalah masa menanam bagi manusia, sedangkan akhirat adalah masa menuai.
Wallahu a’lam bish shawab.

Alam Ghaib

Alam dibedakan atas alam ghaib (seperti Allah, malaikat, jin, surga, dan neraka) dan alam tampak. Ghaib menurut bahasa berarti yang tidak tampak. Allah-lah yang paling mengetahui kedua alam tersebut. “Dialah Allah yang tidak ada ilah kecuali Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang tampak (QS Al-Hasyr : 22)”. “Sesungguhnya Aku mengetahui segala yang ghaib di langit dan di bumi dan Aku mengetahui apa yang kalian tampakkan dan apa yang kalian sembunyikan (QS Al-Baqarah : 33)”.
Kita harus beriman kepada yang ghaib. “Kitab ini tidak ada keraguan didalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib … (QS Al-Baqarah : 2-3)”. Tetapi kita hanya bisa mengetahui yang ghaib secara benar dengan cara ikhbari, yakni sejauh apa yang dikemukakan oleh Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Alam ghaib yang diciptakan oleh Allah merupakan ujian bagi manusia selama dia hidup di dunia. Manusia diuji apakah ketika di dunia dia beriman kepada Allah, Hari Akhir, surga, neraka, pahala akhirat dan sebagainya – yang mana semuanya itu tidak tampak – ataukah dia mengingkarinya.

Malaikat
Malaikat merupakan tentara-tentara Allah yang ditugaskan untuk urusan-urusan tertentu. Diantara malaikat-malaikat Allah kita mengenal antara lain malaikat yang sepuluh, delapan malaikat yang mengusung Arsy Allah (QS Al-Haaqqah : 17), dan malaikat-malaikat yang ditugaskan untuk menolong orang-orang mukmin yang sedang berjihad (QS Al-Anfal : 9).
Sifat-sifat malaikat :
1)Memiliki dua, tiga, atau empat sayap (QS Faathir : 1), kecuali Jibril - yang merupakan malaikat yang paling besar -  memiliki 600 atau 700 sayap (Shahih Al-Bukhari). 
2)Suka berkumpul di majelis-majelis dzikir / ilmu sembari memohonkan ampun bagi yang ada disitu dan mengepak-ngepakkan sayap mereka sebagai tanda ridha. 
3)Merupakan tentara-tentara Allah yang tidak pernah bermaksiat (membangkang) atas perintah Allah kepada mereka dan senantiasa mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah kepada mereka. 
4)Tidak menikah, tidak makan, dan tidak minum. 
5)Tidak memasuki rumah yang didalamnya terdapat patung-patung atau gambar-gambar yang diharamkan. 
6)Menyukai tempat-tempat yang bersih.

Jin
Jin dan manusia yang dua makhluq Allah yang dibebani dengan syariat agama, sehingga dikenai pahala dan siksa. Semua jin bisa meninggal dunia kecuali Iblis dan keturunannya yang ditangguhkan kematiannya sampai Hari Kiamat. Iblis dahulunya juga jin tetapi setelah menolak sujud kepada Adam atas perintah Allah, ia beserta keturunannya dilaknat oleh Allah. Jadi Iblis dan keturunannya kafir seluruhnya, berbeda dengan jin yang terdiri atas mukmin dan kafir. Jin yang kafir ini sering juga disebut sebagai syaithan karena memiliki sifat yang serupa. Disamping itu, istilah syaithan juga dipakai untuk manusia yang memiliki sifat-sifat syaithan. Adapun jin yang muslim, sebagaimana manusia, ada yang benar-benar taat dan ada pula yang suka berbuat maksiat.
Syaithan dan jin menikah, makan, dan juga minum. Keduanya tingal di alam yang tidak terlihat oleh manusia, tetapi mereka bisa melihat manusia. Tetapi jika mereka menampakkan diri di alam tampak dalam wujud alam tampak maka manusia bisa melihat mereka.
Syaithan dan jin yang ingkar menyukai tempat-tempat yang kotor dan juga rumah-rumah yang tidak dibacakan Al-Qur’an didalamnya dan rumah-rumah yang penghuninya tidak pernah berdzikir kepada Allah.

Qarin (Pendamping) Manusia
Allah telah menetapkan bahwa setiap manusia didampingi oleh seorang malaikat (yang senantiasa mengajak kepada kebaikan) dan seorang jin kafir (yang senantiasa mengajak kepada keburukan). Semua jin yang menjadi qarin manusia adalah kafir kecuali jin qarin Rasulullah yang telah diislamkan oleh Allah.

Interaksi antara Jin dan Manusia
1)Dari sisi penciptaan, manusia lebih baik dan lebih mulia daripada jin. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan (QS At-Tiin)”. “Dan sungguh Kami telah memuliakan keturunan Adam (manusia) … (QS Al-Isra’)”.   
2)Rasul-rasul Allah adalah dari kalangan manusia. Tetapi jin tetap bisa mendengarkan dakwah mereka karena jin bisa melihat dan mendengarkan mereka dari alam mereka.  
3)Dalam syariat Nabi Muhammad saw, kita dilarang untuk meminta perlindungan dan meminta pertolongan kepada jin, meskipun dalam perkara kebaikan. “Dan terdapat sekelompok manusia yang meminta perlindungan kepada sekelompok jin sehingga para jin itu menjadi semakin congkak (QS Al-Jin)”.    4)Islam mengharamkan pernikahan antara jin dan manusia.

Tentang Peramalan
Syaithan senantiasa berusaha untuk mencuri berita langit dengan cara saling berpikul-pikulan diantara mereka sehingga yang diatas menyampaikan kepada yang dibawahnya. Jika telah sampai pada syaithan yang paling bawah maka syaithan tersebut akan menyampaikannya pada tukang ramal (dukun). Tetapi setiap kali mereka berusaha mencuri berita langit itu, Allah menjadikan suluh-suluh api yang menyambar mereka. Sebagian besar usaha pencurian mereka senantiasa gagal tetapi jika sekali saja mereka berhasil mencuri maka satu berita benar itu akan dibungkus dengan 99 kedustaan dan kebatilan.

Tentang Sihir
Sihir merupakan salah satu dosa besar. Dalam hukum Islam, pelaku sihir harus dihukum mati. Sihir ada yang berupa tipuan pandangan mata dan ada pula yang menyakiti orang lain.

Pintu-Pintu Penyebab Campur Tangan Jin di Alam Manusia
Faktor-faktor penyebab campur tangan dan gangguan jin di alam manusia melalui berbagai pintu, antara lain:
a. Pintu kelemahan kondisi psikologis (kejiwaan) seperti : Perasaan takut sekali, sedih sekali, marah sekali, kelalaian hati dari zikrudllah  dan semacamnya
b. Pintu memperturutkan hawa nafsu di tengah maraknya berbagai kemaksiatan.
c. Pintu bid'ah dengan segala macam dan tingkatannya yang tersebar di tengah - tengah masyarakat.
d. Pintu dunia perdukunan, peramalan dan sejenisnya.
e. Pintu dunia beladiri dan olah kanoragan dengan menggunakan tenaga dalam.
f. Pintu dunia olah pernafasan, meditasi dan semacamnya.
g. Pintu dunia pengobatan alternatif supranatural.
h. Kencederungan umum masyarakat kepada dunia klenik, mistik dan misteri. 
i. Dan lain - lain.

Tentang Ruqyah Syar’iyah
Definisi: Ruqyah Syar'iyah adalah sebuah terapi syar'i dengan cara pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur'an dan do'a-do'a perlindungan yang bersumber dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, yang dilakukan seorang muslim, baik dengan tujuan untuk penjagaan dan perlindungan diri sendiri atau orang lain dari pengaruh jahat pandangan mata (al-'ain) manusia dan jin, kerasukan, pengaruh sihir, gangguan kejiwaan, berbagai penyakit fisik dan lain-lain; Maupun dengan tujuan untuk pengobatan dan penyembuhan bagi orang yang terkena salah satu diantara jenis-jenis gangguan dan penyakit tersebut.
Penting: Istilah Ruqyah disertai kata Syar'iyah dimaksudkan bahwa, terapi ini dalam pelaksanaannya harus murni semurni-murninya sesuai dengan batasan-batasan Syari'ah Islam yang berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan hal itu baik dalam kemurnian Aqidah, niat dan tujuan, muatan dan isi, maupun tata cara pelaksanaan. Jadi harus bersih sebersih-bersihnya dari unsur-unsur campuran yang tidak berdasar (bid'ah) dan yang melanggar hukum Syara'.

Urgensi Ruqyah Syar'iyah
1. Menghidupkan sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam  dalam hal penjagaan dan perlindungan diri serta terapi pengobatan penyakit jiwa maupun  fisik.
2. Minimnya pembentengan diri dengan wirid - wirid dan dzikir- dzikir syar'i, sehingga banyak kalangan yang berpeluang terkena pengaruh buruk pandangan mata kedengkian  manusia dan jin.  Disamping banyaknya korban kejahatan dunia sihir dan perdukunan.

Perisai Diri
1. Secara umum, jagalah ketaatan dan jauhi kemaksiatan.
2. Peliharalah sholat fardhu dan juga sholat-sholat nafilah, khususnya sholat rawatib, qiyamul lail (minimal witir) dan sholat dhuha.
3. Perbanyaklah membaca Al-Qur'an setiap hari, khususnya pada malam hari, dan lebih afdhal jika disertai dengan membaca terjemah tafsirnya untuk tadabbur.
4. Persempitlah jalan syaithan dalam diri dengan banyak berpuasa, minimal  tiga hari setiap bulan.
5. Basahi lidah  dan bibir dengan banyak berdzikir, baik dzikir secara khusus pada kesempatan-kesempatan tertentu maupun dzikir secara umum seperti bertasbih, bertahmid, bertakbir, bertahlil, bershalawat, dan lain-lain.
6. Jagalah wirid dzikir pagi dan petang dengan Al-Ma'tsurat atau lainnya yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah.
7. Bekali diri dengan ilmu yang shahih berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sesuai manhaj as-salaf ash-shalih, dengan banyak membaca, konsultasi, mengikuti kajian-kajian Islam secara manhaji, dan lain-lain; khususnya dalam tema-tema aqidah, tazkiyatunnafs, tafsir Al-Qur'an, dan Al-Hadits.
8. Jauhilah kebiasaan melamun dan mengkhayal, serta hindarkan pikiran dari hal-hal yang membebani sampai membuat gelisah, sedih, takut, tertekan, marah, putus asa, dan lain-lain.
9. Pertahankan diri selalu berada di tengah lingkar pertemanan dan kebersamaan islami yang istiqamah.
10. Sering-seringlah bermuhasabah diri diikuti taubat dan istighfar.
11. Usahakan selalu dalam keadaan suci (berwudhu).
12. Tidurlah secara islami (sesuai Sunnah), dengan cara :
a.Niat (tidur dengan sengaja).  
b.Berwudhu.
c.Membersihkan dan merapikan tempat tidur.
d.Membaca tasbih 33 kali, tahmid 33 kali dan takbir 34 kali.
e.Membaca Ayat Kursi dan dua ayat terakhir Surat Al-Baqarah.
f.Mendekatkan kedua telapak tangan ke mulut, meniup, dan membaca surat-surat: Al-Ikhlash, Al-Falaq, dan An-Naas, lalu mengusapkan pada anggota badan semerata mungkin. Dan ini dilakukan tiga kali.
g.Membaca doa tidur.
h.Tidur dengan cara berbaring miring ke kanan.
i.Jika bermimpi buruk hendaklah :
1) Meludah kecil ke sebelah kiri 3 kali.     
2) Berta'awwudz.  
3) Mengubah posisi tidur.      
4) Tidak menceritakannya.
5) Lebih baik jika bangun, berwudhu, lalu sholat.
j. Membaca doa bangun tidur.

ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT


Shalat adalah Ibu segala ibadah. Cara ibadah yang paling lengkap untuk hambanya, Merasakan rasa ketuhanan, dan agar hamba-hambanya dapat melahirkan sifat kehambaan, masa permbaharuan iman dan ikrar kepada Tuhan. Karena itu apabila seseorang hamba tidak mengerjakan atau meninggalkan shalat, maka mereka di anggap sebagai berikut:

1. Dia telah melakukan kesombongan yang paling besar
2. Dia seolah-olah tidak mengaku bahwa Allah SWT itu Tuhannya.
3. Orang yang meningglkan shalat, adalah orang yang telah terputus hubungannya dengan Allah SWT, yaitu telah putus asa dengan Tuhannya, dan Terputus dengan Rahmatnya.
4. Orang yang tidak bersedia ber-ikrar atau membaharui ikrar agar hidup matinya untuk Allah SWT.
5. Orang yang tidak bercita-cita beriman dan memperbaiki jiwanya.
6. Orang yang tidak berharap lagi kepada Tuhan.
7. Orang yang tidak shalat, berarti ia telah menentang perintah Tuhan. Orang yang menentang perintah Tuhan, berarti dia telah menjadi kafir.

Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Sahabat Jabir R.A sebagai berikut:
INNA BAIYNARRAJULI WABAYNASY SYIRKI WAL KUFRI TARKASHSHALATI
Artinya: “Sesungguhnya pembeda antara seorang Muslim dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (H.R Muslim No. 987, Abu Daud No. 1658, An-Nasa’i No. 1/231 dan lain-lain)

Siapa yang meninggalkan shalat, maka seluruh amalannya tertolak atau tidak di terima. Sungguh rugilah orang-orang yang meninggalkan shalat. Karena shalat dalam Islam merupakan tiang agama. Ia di wajibkan melakukannya di dalam sehari semalam Lima Kali. Shalat di dalam Islam merupakan ibu dari segala ibadah. Ia juga merupakan salah satu rukun Islam yang Lima. Bahkan ia ialah sebagai tiang utamanya. Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW:
ASHSHALATU ‘IMADUDDIN, FA MAN AQAMAHA FAQAD AQAMADDIN, WAMAN HADA MAHA FAQAD HADA MADDIN
Artinya: Shalat itu ialah tiang agama, maka barang siapa yang mendirikannya maka sungguh ia telah menegakkan agama, dan barang siapa yang meninggalkannya sungguh mereka telah meruntuhkan agama.” (H.R Bukhari dari Umar R.A)

Allah SWT telah memperingatkan terhadap orang-orang yang meninggalkan shalat. Demikian pula Rasul SAW telah menjelaskan. Firman Allah SWT:

قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ , مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ

Artinya: "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?", Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. (Q.S Al-Muddatstsir 74 : 42-43)

Nabi SAW bersabda:
MAN HAFAZHA ALAIHA KANAT LAHU NURAN WA BURHANA, WANAJATAN YAUMAL QIAMAT, WAMAN LAM YUHAFIZH ‘ALAIHA LAM YAKUN LAHU NURAN WALA BURHANUN WALA NAJATUN WAKANA YAUMAL QIAMATI MA’AQARUN, WAFIR’AUN, WAHAMAN WA UBAYYABNA KHALAFI
Artinya: “Barang siapa memelihara shalatnya, menjadilah shalat itu baginya cahaya keterangan, dan sebab memperoleh kelepasan di hari kiamat, barang siapa tiada memelihara shalatnya, tak ada baginya yang demikian itu, bahkan adalah ia di hari kamat beserta qarun, Fir’aun, Haman, Ubai binKhalaf.” (H.R dari Ibnu Umar R.A sanad yang baik Ath-Thabarany).

Meninggalkan shalat berarti menjatuhkan diri kedalam neraka, merusakkan hak sesame Muslim. Sesungguhnya di dalam shalat itu ada hak hamba dan hak Allah SWT, hak Rasul, dan Hak segala orang-orang yang beriman kepada Allah SWT. Karena itu, sangat lah besar maksiatnya, sebab meninggalkan shalat itu, mengingat di dalam shalat kita wajib membaca Tasyahhud:
ASSALAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAHI WABARAKATU, ASSALAMU ‘ALAIYNA WA ‘ALA ‘IBADILLAHISH SHALIHIN, ASY-HADUANLA ILA HA-ILLALLAH, WA ASY-HADU-ANNA MUHAMMDAN ABDUHU WARASULUHU.

meninggalkan shalat sama sekali membawa kepada tiada diterima sesuatu amalpun. Sebagai mana tiada di terima sesuatu karena ada syirik. Karena shalat itu ‘Imadul Islam, tiang tengah Islam. Sebagaimana bunyi hadits Nabi SAW:
ASSALATU  ‘IMADUDDIN FAQAD AQAMAHA FAQAD AQAMADDIN
Artinya:  “Shalat Itu tiang agama, siapa yang meningglkan shalat berarti meruntuhkan agama” (H.R Al-Baihaqi)

Ibadah-ibadah yang lain di umpamakan rangka-rang rumah untuk menguatkan bangunan tersebut, jadi jika tiang tidak ada tentulah tidak dapatmanfaat dari bangunan tersebut, karena mudah robohnya. Lantaran demikian, di teriamanya ibadah-ibadah yang lain bergantung kepada di terimanya ibadah shalat.

Hukum meninggalkan Shalat

Orang yang meninggalkan shalat, Dua Kemungkinan:
Pertama, Mungkin ia meninggalkan shalat itu karena menolak kewajibannya, atau mengingkarinya.
Kedua, Mungkin juga ia meninggalkan shalat, karena enggan dan malas mengerjakannya. Sementara ia masih mengakui kewajiban shalat itu baginya.

1.Orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya.
Barang siapa yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, atau menolak kewajibannya, dan tidak ada alasan lain, maka ia dihukumi sebagai orang kafir. Karena telah mengingkari kewajiban yang di syariatkan Allah SWT dan Rasul-Nya.

2. Orang yang meninggalkan shalat karena malas, dan enggan. Tetapi ia tidak mengingkari kewajibannya. Tidak ada perbedaan di tengah-tengah kaum muslimin, bahwa orang yang meninggalkan shalat, wajib dengan sengaja (Tidak Karena Udzur Syar’i), merupakan dosa besar, bahkan dosa terbesar dari dosa-dosa besar.

Para ‘Ulama berbeda pendapat tentang hokum orang yang meningglkan shalat karena malas dan enggan ini di dalam Dua pendapat:
Pendapat pertama, Bahwa orang itu adalah orang Fasik, Orang yang bermaksiat dan berlaku Dosa besar tetapi tidak kafir. Ini adalah pendapat kebanyakan ‘ulama di antaranya: Madzhab Ats-Tsauri, Abu Hanifah dan Teman-temannya, Malik, Asy-Syafi;I dan Ahmad dalam Salah satu dari dua riwayat darinya.

Argumen Pendapat yang menolak mengkafirkan orang yang Meninggalkan Shalat:
Pendapat yang menolak untuk mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat mengatakan bahwa, telah di ketahui dengan pasti bahwa orang tersebut telah beragama Islam, dengan pasti masuknya kedalam agama Islam. Dalilnya ialah: Allah SWT mengampuni seluruh dosa-dosa kecuali dosa syirik, sebagaimana Firman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya (Q.S An-Nisa’ 4:48)
Mereka berkata bahwa: orang yang meninggalkan shalat termasuk dalam kehendak Allah SWT dan tidak dihukumi dengan hokum kafir.

Pendapat yang mengkafirkan orang tersebut, menjawab argumen ini, bahwa ayat ini tidak mengecualikan kufurnya orang yang meninggalkan shalat, karena Rasulullah SAW telah bersabda:
INNA BAIYNARRAJULI WABAYNASY SYIRKI WAL KUFRI TARKASHSHALATI
Artinya: “Sesungguhnya pembeda antara seorang Muslim dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan shalat.” (H.R Muslim No. 987, Abu Daud No. 1658, An-Nasa’i No. 1/231 dan lain-lain) Hadits shahih.
Keterangan: Maka orang yang meninggalkan shalat masuk kedalam ke umuman ayat ini atas dari segi pengambilan dalilnya, yaitu bahwa orang tersebut termasuk yang tidak di ampuni oleh Allah SWT, karena orang tersebut fasik dan ingkar dengan dalil hadits.

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah menjadikan shalat itu sebagai pembatas final antara kekufuran dengan keimanan.  Dan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang kafir. Dan yang dinamakan pembatas itu secara otomatis membedakan antara yang di batasi serta mengeluarkan dari yang lainnya. Maka dua hal yang dibatasi tu pasti berbeda dan tidak akan bercampur antara satu dengan yang lainnya.