Ma'rifatur Rasul

Manakah yang lebih dahulu antara Pitecantropus Erectus dan Nabi Adam as 

Jawab :

Dari berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang shahih, kita mendapati bahwa Adam adalah manusia pertama yang Allah ciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi (QS Al-Baqarah : 30, QS Shaad : 71 – 76). Akan tetapi, sebelum manusia telah ada makhluq lain yang hidup di muka bumi.
Adapun tentang Pitecantropus Erectus, para ahli sendiri belum sepakat tentang kebenarannya. Apalagi ketika dikatakan bahwa penemuan Pitecantropus Erectus dan manusia purba yang lain menunjukkan bahwa manusia adalah keturunan (hasil evolusi dari) bangsa kera. Sebagian ahli mengatakan bahwa tulang belulang yang direkonstruksi menjadi model manusia purba tidaklah sepenuhnya tulang belulang manusia, tetapi bercampur dengan tulang belulang binatang (kera). Yang jelas, informasi dari wahyu bersifat pasti kebenarannya sedangkan informasi dari penemuan Iptek bersifat sementara kebenarannya. Ketika kedua jenis informasi tersebut bertentangan, kita mesti mendahulukan dan memenangkan informasi wahyu.
Wallahu a’lam bish shawab.

Apa yang dimaksud dengan bai’ah dan seperti apakah batasannya ?

Jawab :

Bai’ah secara sederhana berarti sumpah setia. Dahulu Rasulullah melakukan bai’ah untuk mengikat kesetiaan. Bai’ah Aqabah Pertama dilakukan oleh Rasulullah bersama beberapa orang untuk sepakat menegakkan tauhid dan menjunjung nilai-nilai yang mulia. Bai’ah Aqabah Kedua dilakukan oleh Rasulullah bersama sejumlah orang yang lebih banyak untuk sepakat memperjuangkan Islam dalam keadaan senang ataupun susah. Ba’iah Ridhwan dilakukan oleh Rasulullah  bersama para sahabat terkait dengan Kasus Utsman bin ’Affan di Hudaibiyah. Rasulullah juga membaiat orang-orang yang masuk Islam ketika itu untuk setia kepada Islam. Bai’ah juga telah dilakukan oleh kaum muslimin untuk menyatakan kesetiaannya (mendengar dan taat) kepada para khalifah kecuali dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya.
Dalam konteks kepemimpinan dan kekuasaan, bai’ah berarti sumpah untuk setia (mendengar dan taat) kepada khalifah kecuali dalam hal-hal yang dilarang oleh Allah dan rasul-Nya. Bai’ah ini dibagi oleh para ulama siyasah menjadi dua macam : bai’ah ’ammah (baiat umum) dan bai’ah khashshah (baiat khusus). Baiat khusus dilakukan oleh sekelompok orang yang terbatas yang menyatakan kesetiaannya kepada khalifah. Baiat umum biasanya dilakukan menyusul baiat khashshah dan dilakukan oleh seluruh kaum muslimin yang menyatakan kesetiaannya kepada khalifah. Baiat semacam ini wajib dilakukan oleh setiap muslim ketika ada kekhalifahan yang sah secara syar’i. Dalam konteks baiat semacam inilah Rasulullah bersabda,”Barangsiapa mati sementara di pundaknya tidak ada baiat maka ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Adapun sekarang ini tidak ada (tepatnya : belum ada) kekhalifahan yang sah secara syar’i. Oleh karena itu tidak ada baiat dalam pengertian seperti tersebut diatas. Yang ada sekarang ini adalah baiat ’amal, yang berarti kesepakatan untuk bekerja bersama-sama dalam melakukan suatu amal (aktivitas) islami, dalam rangka memperjuangkan agama Allah. Hadits Nabi diatas tidak bisa diterapkan dalam konteks baiat semacam ini.
Yang jelas, apapun macam baiatnya haruslah senantiasa berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya dan sekali-kali tidak boleh keluar dan menyimpang darinya.
Wallahu a’lam bish shawab.
**************
Bagaimana berdzikir dan bershalawat lebih dari 100 kali ?

Jawab :

Dari sisi waktunya dzikir itu ada dua macam : dzikir pada waktu-waktu khusus dan dzikir pada waktu-waktu yang tidak ditentukan. Dari sisi bilangannya, dzikir juga ada dua macam : dzikir yang telah ditentukan bilangannya dan dzikir yang tidak ditentukan bilangannya. Untuk dzikir yang telah ditentukan bilangannya, kita tidak boleh menambahi ataupun menguranginya dengan keyakinan lebih afdhal. Contohnya ucapan takbir dalam sholat jenazah yang berjumlah 4 kali, lafzah adzan yang bilangannya telah ditentukan, dzikir tasbih, hamdalah dan takbir sesudah shalat fardhu yang masing-masing diucapkan 33 kali, dan sebagainya. Sebaliknya, untuk dzikir yang tidak ditentukan bilangannya, kita tidak boleh membatasinya dengan keyakinan lebih afdhal atau sebagai suatu keharusan. Contohnya shalawat kepada Nabi yang dianjurkan untuk diucapkan sebanyak mungkin tanpa pembatasan jumlah. Kita tidak boleh membatasinya menjadi 100 kali dengan keyakinan sebagai sebuah keharusan atau dengan keyakinan bahwa yang demikian itu lebih afdhal, kecuali jika ada dalil yang menyatakannya.
Wallahu a’lam bish shawab.