SHALAT JAMA'AH DI MASJID

            Definisi shalat berjama’ah adalah beberapa orang lelaki mengerjakan shalat bersama sekumpulan kaum muslimin di masjid, mengenai hukum shalat berjama’ah para ‘ulama masih berbeda pendapat tentang hal itu, menjadi beberapa pendapat.

1. Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah R.A berpendapat bahwa shalat berjama’ah termasuk syarat sahnya shalat, Artinya bahwa shalat berjama’ah kedudukannya sama seperti masalah masuknya waktu shalat, bersuci dan menghadap kiblat sebagaimana shalat tidak akan sah kecuali dalam keadaan suci

2.   Imam Malik Abu Hanifah dan Imam Syafi’I Rahimahullah berpendapat bahwa hukumnya adalah sunnah

2.   Para senior ahli hadits berpendapat bahwa hukumnya bedasarkan ayat Al-Qur’anulkarim dan Hadits dari Nabi SAW, Allah SWT berfirman:

 وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

Artinya: Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu (Q.S An-Nisa 4:102)

Ini jika mengerjakan shalat dalam keadaan takut, apabila mengerjakan shalat dalam keadaan aman, Allah SWT berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk (Q.S Al-Baqarah 2:43)

Sedangkan dalil-dalil dari As-sunnah diantaranya adalah sabda nabi SAW yang Artinya:
Demi zat dan jiwaku yang berada ditanganNya, sungguh sebenarnya aku ingin memerintahkan (kaum muslimin) agar mengumpulkan kayu bakar lalu diikat. Kemudian aku perintahkan agar shalat berjama’ah didirikan. Sehinnga adzanpun di kumandangkan. Setelah itu, aku akan perintahkan seseorang supaya meng imami kaum muslimin, selanjutnya aku akan mendatangi kaum laki-laki yang tidak ikut shalat berjama’ah. Lalu aku bakar semua rumah mereka (H.R Bukhari 7224, Muslim 651, Ibnu Majah 791)

Permulaan nabi SAW mengerjakan shalat berjama’ah dengan cara terang-terangan dan terus-menerus, ialah di Madinnah, dikala nabi SAW masih di Mekkah, nabi SAW tidak mengerjakan shalat berjama’ah di masjid, karna para sahabat nabi pada kala itu masih dalam keadaan lemah. Nabi SAW shalat berjama’ah dirumahnya, tekadang dengan Saydinna Ali R.A dan terkadang dengan Siti Khadijjah R.A. dan jika nabi SAW bershalat dengan para sahabat diluar rumah maka nabi SAW melakukannya di tempat-tempat yang sunyi. Para sahabat nabi SAW pun demikian halnya, yakni berjama’ah dirumah atau tempat-tampat yang tersembunyi.

Sesudah nabi SAW berhijrah ke Madinnah, nabipun mengerjakan shalat berjama’ah dengan cara besar-besaran, terang-terangan dan terus berkenalan disetiap waktu shalat fardhu masuk.

Maka telah sepakat para ‘ulama, bahwa menegakan jama’ah shalat di masjid-masjid dan mushalla itu, adalah setinggi-tinggi ta’at, seteguh-teguh ibadah dan sebesar-besar syiar agama islam

Agama islam menuntut dengan keras supaya kita berjama’ah di masjid atau mushalla pada tiap-tiap waktu shalat fardhu, terutama sekali pada hari jum’at. Adalah supaya terjadi kenal mengenal antara penduduk sekampung menjadi lebih luas dan perhubungan antara seseorang dengan yang lain menjadi lengkap.

Sebagaimana firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S Al-Jumu’ah 62:9)

Allah SWT menjelaskan perihal Adzan dalam Firmannya:

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا

Artinya: Dan apabila kamu seru kepada shalat, maka mereka kaum musyrikin, menjadikannya olok-olokan dan main-mainan saja (Q.S Al-Ma’idah 5:58)

Dengan ayat itu tuhan mewajibkan kita datang kesidang jum’at. Rasullullah SAW pun telah mensyariatkan Adzan untuk shalat-shalat fardhu, maka hal ini mengesankan bahwa tiada halal (tidak boleh) dikerjakan shalat fardhu melainkan dalam berjama’ah. Karna itu, hendaklah segala orang, baik mukim maupun musafir, melaksanakan shalat fardhu berjama’ah dan tidak dibolehkan seorang yang sanggup, tidak menghadiri jama’ah, terkecuali karna udzur. Akan tetapi jika ia bershalat juga sendirian, maka tidaklah juga diwajibkan mengulanginya

Nabi SAW menyuruh orang buta yang mendengar suara adzan dari masjid supaya menghadiri jama’ah dimasjid, menunjukan kepada fardhunya berjama’ah. Sebagaimana nabi SAW berkata kepada Ibnu Ummi Maktum yang hendak berlalu dari hadapan Rasullullah SAW, beliau bersabda:

La Akhidu laka Rukhshah
Artinya: Tidak saya dapati keizinan meninggalkan jama’ah untuk engkau (H.R Ahmad dari Ibnu Ummi Maktum)

Orang buta saja tidak mendapat rukshah, apalagi orang yang sempurna penglihatannya.

Nabi SAW hendak membakar rumah beserta orang-orangnya sekali yang tidak mau menghadiri jama’ah, menjadi dalil yang sangat kepada kita yang menunjukan kepada wajib atau fardhunya jama’ah itu. Karna tidak patut Rasullullah SAW mengancam suatu sunnah (yang tidak fardhu ‘ain).

Kata ibnu Qayyim dalam kitab Ash-Shalah:
dan tidak patut sekali-kali nabi SAW ingin membakar rumah orang yang melakukan dosa kecil, kalau demikian meninggalkan shalat berjama’ah dimasjid adalah suatu dosa besar”

Diantara dalil yang menguatkan kefardhuan shalat berjama’ah, ialah penegasan Abu Hurairah R.A terhadap orang yang keluar dari masjid sesudah Adzan, Ujar Abu Hurairah R.A:

Hamma Hadza Faqad ‘Asha Abal Qasim
Artinya: adalah orang ini, maka sungguh ia telah mendurhakai Rasullullah (Abal Qasim)

Sekiranya boleh memilih antara meninggalkan jama’ah dan mengerjakannya, tentulah tidak durhaka orang yang meninggalkan shalat berjama’ah yang tidak wajib ia kerjakan. Dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 102, Allah SWT menyuruh kita berjama’ah dalam keadaan khauf (takut) karna suasana peperangan, dalam perjalanan ataupun waktu sakit. Shalat tetap harus dikerjakan pada waktunya yang ditentukan.

Jika negri telah aman dan tiap-tiap mereka telah tetap dinegrinya masing masing, hendaklah mereka melakasanakan shalat dengan sempurna pada waktunya yang ditentukan, yaitu lima kali sehari semalam. Friman Allah SWT:

اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيمُوا الصَّلاةَ إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا فَإِذَا

Artinya: apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S An-Nisa’ 4:103)

Adapun hadits yang menyatakan kebolehan tidak menghadiri jama’ah shalat bagi orang-orang yang ada keudzurannya, menunjukan kepada tidak boleh sekali-kali yang demikian bagi yang tidak udzur, kalau udzur dengan tidak udzur disamakan, tentulah tak ada arti dibolehkan, ketiadaan menghadiri jama’ah, bagi orang yag ada udzur.

Dan dikuatkan pula kefardhuan menghadiri jama’ah oleh nabi SAW:

Man Sami’an Nida A Falam Yujib Fala Shalatalahu
Artinya: “Barang siapa mendengarkan seruan adzan, dan tidak ia memenuhinya, maka tak ada shalat baginya” (H.R Ibnu Mundzier dari Ibnu Abbas)