Seperti apakah hakikat manusia itu

Manusia adalah hamba Allah (’abdullah) dan khalifah di muka bumi. Sebagai hamba Allah, manusia berkewajiban untuk beribadah kepada-Nya. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia berkewajiban untuk memakmurkan bumi, melakukan perbaikan (ishlah) diatasnya, dan tidak malah membuat kerusakan diatasnya. Manusia adalah salah satu dari dua tsaqalaani, yaitu dua makhluq yang dibebani dengan syariat dan harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya : jin dan manusia. Dua makhluq ini berbeda dengan segenap makhluq yang lain yang tidak harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jin dan manusia memiliki pilihan untuk taat atau ingkar, sedangkan makhluq Allah yang lain tidak memiliki pilihan karena pilihan mereka hanya satu : taat kepada Allah. Langit dan bumi seluruhnya tunduk dan patuh kepada Allah secara sukarela, dengan cara mereka sendiri-sendiri. Sedangkan jin dan manusia ada yang taat dan ada pula yang ingkar. Dahulu kala Allah telah menawarkan amanah kekhalifahan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, dan semua menolaknya, akan tetapi manusia mau menerimanya. Oleh karena itu, manusia telah diberikan oleh Allah berbagai potensi untuk bisa mengemban tugas dan amanahnya tersebut. Jika seorang manusia sangat taat kepada Allah, derajatnya bisa lebih tinggi daripada malaikat, karena malaikat memang diciptakan untuk taat semata sementara manusia taat karena pilihannya. Akan tetapi jika seorang manusia ingkar kepada Allah, derajatnya bisa lebih rendah daripada binatang, karena binatang tidak memiliki akal pikiran sementara manusia memiliki akal pikiran.
Adam as, sebagi manusia pertama, diciptakan oleh Allah dari tanah. Kemudian Allah meniupkan ruh kedalam jasad tersebut sehingga terciptalah Adam sebagai manusia yang sempurna. Dahulu, ketika umat manusia masih dalam bentuk ruh, Allah telah mengikat perjanjian dengan manusia. Allah berkata,”Bukankah Aku adalah Rabb kalian?” Manusia menjawab,”Ya, kami menyaksikannya” (QS Al-A’raf : 172). Inilah perjanjian tauhid antara manusia dan Rabb-nya. Inilah fithrah manusia, yang masih dia bawa ketika ia baru dilahirkan.
Manusia memiliki ruh dan jasad. Jadi, manusia memiliki ’unsur langit’ (yaitu ruh) sekaligus ’unsur bumi’ (yaitu jasad). Ruh cenderung menarik manusia kepada Penciptanya, sedangkan jasad cenderung menarik manusia kepada kecenderungan hewani. Kedua kecenderungan itu harus diseimbangkan.
Manusia mengalami lima fase perjalanan kehidupan : alam azali (sewaktu masih berupa ruh), alam rahim (ketika berada dalam kandungan ibunya), alam dunia, alam barzakh (alam kubur), dan alam akhirat yang kekal. Demikianlah. Manusia dahulunya mati (sebelum dilahirkan), kemudian dihidupkan (di dunia ini), kemudian dimatikan lagi (di alam kubur), dan nanti akan dihidupkan lagi selama-lamanya (di akhirat) sampai dengan waktu yang Allah kehendaki. Manusia dihidupkan di dunia ini untuk diuji : mana yang mukmin dan mana yang kafir, mana yang taat dan mana yang ingkar. Dan masa ujian ini amatlah pendek, sehingga manusia harus benar-benar cermat dalam memanfaatkan setiap detik waktu dalam kehidupannya di dunia ini. Dunia ini adalah masa menanam bagi manusia, sedangkan akhirat adalah masa menuai.
Wallahu a’lam bish shawab.