Perbedaan Pendapat Seputar Waktu-waktu Sholat

Batas akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Abu Tsaur, Dawud) :
bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (salah satu riwayat dari Abu Hanifah) :
bayangan benda dua kali bendanya, dan saat ini merupakan awal sholat ashar.
Pendapat III (riwayat yang lain dari Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dalam sholat lima waktu. Sholat zhuhur hari pertama dilakukan ketika zawal matahari. Sholat zhuhur hari kedua dilakukan ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Jibril berkata : Waktu sholat adalah antara keduanya (antara waktu yang ditunjukkkan pada hari I dan waktu yang ditunjukkan pada hari II).
Hadits pendapat II dan III :
Lama kalian hidup terhadap umat-umat sebelum kalian ialah sebagaimana antara sholat ashar dan terbenamnya matahari. Ahli Taurat telah diberi Taurat, lalu mereka mengamalkannya sampai tengah hari sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian ahli Injil diberi Injil, lalu mereka mengamalkannya sampai datang waktu sholat ashar sehingga tidak mampu lagi. Maka mereka pun diberi pahala masing-masing satu qirath. Kemudian kita diberi Al-Qur’an, maka kita mengamalkannya sampai terbenamnya matahari. Maka kita pun diberi pahala masing-masing dua qirath. Ahli kitab pun berkata,”Duhai Tuhan kami, Engkau memberi mereka (umat Muhammad) masing-masing dua qirath sementara engkau beri kami masing-masing satu qirath saja, padahal amal kami lebih banyak? Maka Allah berkata,”Apakah Aku pernah zhalim dalam mengganjar perbuatan kalian? Mereka pun menjawab,”Tidak”. Lalu Allah berfirman,”Demikianlah fadhilah-Ku Aku berikan kepada siapa yang Aku kehendaki”.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu muwassa’ untuk sholat zhuhur ialah ketika bayangan benda sama dengan bendanya.

Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik) :
di awal waktu bagi yang sholat sendirian, dan sedikit mengakhirkannya dari awal waktu bagi yang sholat berjama’ah di masjid.
Pendapat II (Syafi’I, riwayat lain dari Malik) :
di awal waktu kecuali jika panas sangat terik.
Pendapat III :
di awal waktu secara muthlaq, baik itu sendirian atau berjamaah, di saat dingin ataupun panas terik.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu yang lebih disukai untuk sholat zhuhur adalah ta’jiil (di awal waktu) kecuali jika siang sangat terik maka yang lebih disukai adalah ibraad (menunggu setelah agak reda panasnya). Waktu ibraad inipun bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan.

Batas waktu antara zhuhur dan ashar
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Dawud, Jama’ah) :
akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar, yakni pada saat bayangan benda sama dengan bendanya, tanpa ada waktu musytarak untuk dua sholat.
Pendapat II (Malik) :
sda dengan waktu musytarak pada akhir zhuhur dan awal ashar selama kira-kira empat raka’at.
Pendapat III (Abu Hanifah) :
akhir waktu zhuhur adalah saat bayangan benda sama dengan bendanya. Tetapi awal waktu ashar bukan saat itu melainkan ketika bayangan benda dua kali bendanya.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu zhuhur dengan sendirinya adalah awal waktu ashar.

Akhir waktu ashar
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (salah satu riwayat Malik, Syafi’i) :
ketika bayangan benda sama dengan bendanya.
Pendapat II (riwayat yang lain dari Malik, Ahmad) :
ketika matahari menjadi kuning.
Pendapat III (zhahiriyah) :
satu raka’at sebelum terbenamnya matahari
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu jawaz untuk sholat ashar adalah terbenamnya matahari. Hanya saja waktu ikhtiyar (menurut Imam Nawawi) adalah sampai ketika bayangan benda dua kali bendanya. Adapun waktu yang tidak makruh adalah sampai matahari menjadi kuning. Jika kita melakukan sholat ashar sesudah matahari menjadi kuning tanpa ada udzur, maka hukumnya adalah makruh meskipun itu boleh.
Khusus pada hari yang mendung, sangat ditekankan untuk ta’jiil (menyegerakan) sholat ashar diawal waktu. Kemudian secara umum, sholat ashar ini hendaknya benar-benar dijaga karena ia adalah sholat wustha, yang telah disebut secara khusus untuk dijaga.

Apakah terdapat waktu muwassa’ bagi sholat maghrib?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (riwayat paling populer dari Malik dan Syafi’i) : tidak ada waktu muwassa’ untuk sholat maghrib.
Pendapat II (Abu Hanifah, Ahmad, Abu Tsaur, Dawud, diriwayatkan pula dari Malik dan Syafi’i) : terdapat waktu muwassa’ yakni antara terbenamnya matahari dan hilangnya syafaq (mega merah).
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan antar hadits
Hadits I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari pertama maupun kedua Jibril melakukan sholat maghrib pada waktu yang sama.
Hadits II :
Hadits Abdullah ibn ‘Umar : Nabi bersabda,”Waktu sholat maghrib adalah selama syafaq belum menghilang”. [yang seperti ini terdapat pula pada hadits Buraidah Al-Aslamiy]
Komentar :
Hadits Buraidah lebih utama karena diucapkan pada masa madaniyah dalam rangka menjawab sahabat yang sedang bertanya. Sedangkan hadits Jibril mengimami Nabi diucapkan pada masa makkiyah.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Waktu muwassa’ untuk sholat maghrib adalah sampai hilangnya syafaq merah, hanya saja yang lebih utama adalah ta’jiil (menyegerakan) di awal waktu sebagaimana dinyatakan dalam hadits Jibril mengimami Nabi bahwa sholat maghrib pada dua hari yang berbeda dilaksanakan pada waktu yang sama yakni ketika matahari telah terbenam.

Awal waktu sholat isya’
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Malik, Syafi’I, Jama’ah) :
saat hilangnya mega merah (al-hamrah).
Pendapat II (Abu Hanifah) :
saat hilangnya mega putih (al-bayadh) yang muncul sesudah mega merah.
Sebab perbedaan pendapat :
Isytirak (kerancuan) tentang makna kata al-syafaq
Pendapat Sayyid Sabiq :
Awal waktu sholat ‘isya adalah hilangnya syafaq merah.

Akhir waktu sholat isya’
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Syafi’I, Abu Hanifah, riwayat paling populer dari Malik) :
sampai akhir sepertiga malam
Pendapat II (riwayat lain dari Malik) :
sampai tengah malam (nishful lail)
Pendapat III (Dawud) :
sampai terbitnya fajar
Sebab perbedaan pendapat :
Perbedaan antar hadits
Hadits pendukung pendapat I :
Hadits Jibril mengimami Nabi dimana pada hari kedua melakukan sholat isya pada sepertiga malam (tsulutsul lail).
Hadits pendukung pendapat II :
Hadits Anas : Nabi saw mengakhirkan sholat isya’ sampai tengah malam.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah : Nabi saw bersabda,”Kalau tidak akan memberatkan umatku, akan aku akhirkan sholat malam sampai tengah malam.
Hadits pendukung pendapat III :
Hadits Abu Qatadah : Bukanlah ceroboh itu tidur, melainkan menunda-nunda sholat sampai masuk waktu sholat yang lainnya. [Hadits ini turun setelah hadits Jibril mengimami Nabi]
Pendapat Abu Hanifah [bahwa akhir waktu sholat isya’ adalah terbitnya fajar]
Pendapat Sayyid Sabiq :
Akhir waktu ikhtiyar sholat ‘isya adalah tengah malam (nishful lail). Adapun akhir waktu jawaz idhtiraar adalah terbitnya fajar shadiq (awal waktu sholat shubuh).
Waktu yang lebih utama untuk sholat ‘isya adalah ta’khiir (mengakhirkan) pada tengah malam.

Tidur sebelum ‘isya dan bercakap-cakap sesudahnya
Pendapat Sayyid Sabiq :
Tidur sebelum ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan kehilangan waktu mustahab untuk sholat ‘isya atau luput dari sholat jama’ah. Tetapi jika ada yang akan membangunkan, maka tidak apa-apa tidur sebelum ‘isya.
Bercakap-cakap sesudah ‘isya adalah makruh karena dikhawatirkan akan membuang-buang waktu dan membuat kita kehilangan kesempatan untuk bangun sholat malam. Tetapi jika percakapan itu adalah percakapan yang baik maka tidak apa-apa.

Waktu-waktu yang dilarang untuk sholat
Apakah boleh sholat pada saat zawal (istiwa’) matahari?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali.
Pendapat II (Hanafiyah) :
tidak boleh sama sekali kecuali sholat jenazah.
Pendapat III (Syafi’i) :
tidak boleh kecuali sholat sunnah dengan sebab khusus dan sholat sunnah pada hari Jum’at.
Pendapat IV (Hanabilah) :
tidak boleh kecuali sholat tahiyyatul masjid pada hari Jum’at.
Pendapat V (Malik) :
boleh secara mutlaq.
Sebab perbedaan pendapat :
Pertentangan dalil
Dalil bagi pendapat I :
Hadits ‘Uqbah ibn ‘Aamir
Dalil bagi pendapat III dan IV :
Hadits Ibnu Syihab dari Tsa’labah ibn Abi Malik
Dalil bagi pendapat V :
Amalan penduduk Madinah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dalam masalah ini.

Apakah boleh sholat sesudah sholat ashar?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I :
tidak boleh sama sekali
Pendapat II (jumhur) :
tidak boleh kecuali untuk mengqadha’
Pendapat III :
boleh secara mutlaq
Pendapat IV (Syafi’i) :
boleh sholat (termasuk sholat sunnah) dengan sebab khusus
Pendapat V (Abu Hanifah, Malik) :
makruh
Pendapat VI (Hanabilah) :
haram melakukan sholat tathawwu’ meskipun dengan sebab khusus, kecuali sholat dua raka’at thawaf.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan antar hadits
Pendapat I : berdasarkan hadits Abu Hurairah
Pendapat II : berdasarkan hadits Ummu Salamah
Pendapat III : berdasarkan hadits ‘Aisyah
Pendapat Sayyid Sabiq :
Sayyid Sabiq tidak melakukan tarjih tetapi sekedar memaparkan perbedaan pendapat dimana jumhur berpendapat bahwa boleh mengqadha sholat yang terlewat atau luput pada waktu sesudah sholat ashar dan sholat shubuh.

Apakah boleh sholat tathawwu’ ketika iqamat dikumandangkan?
(Maksudnya: beranjak melakukan sholat tathawwu’ sementara iqamat sudah dikumandangkan)
Pendapat Sayyid Sabiq :
Hukumnya makruh berdasarkan hadits-hadits yang kuat.

Sholat apa yang tidak boleh dilakukan pada waktu-waktu yang terlarang untuk sholat?
Perbedaan pendapat :
Pendapat I (Hanafiyah) :
sholat apa saja, baik itu fardhu, sunnah, ataupun nafilah.
Pendapat II :
sholat yang tidak wajib, baik sholat sunnah ataupun nafilah.
Pendapat III :
sholat nafilah saja.
Sebab perbedaan pendapat :
pertentangan dalam hal ‘aamm dan khaashsh.
Pendapat Sayyid Sabiq :
Masalah ini tidak muncul sebagai sub bab tersendiri dalam sistematika Sayyid Sabiq (Fiqhus Sunnah).