Syarat sama dengan rukun, dalam hal ketergantungan sesuatu kepada keduanya. Tapi berbeda dalam dua hal:
1. Syarat dari sesuatu adalah bagian eksternal dari sesuatu tersebut, sedangkan rukun adalah bagian internal darinya.
2. Syarat mengiringinya suatu pekerjaan dari awal hingga akhir, sedangkan rukun dikerjakan satu persatu.
2. Syarat mengiringinya suatu pekerjaan dari awal hingga akhir, sedangkan rukun dikerjakan satu persatu.
1.) Masuk Waktu
Shalat Fardhu tidak sah jika dikerjakan sebelum masuk waktunya. Dalinya Firman Allah SWT:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Artinya: Sesungguhnya saalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S An-Nisa 4:103)
Shalat sebaiknya dilakukan pada awal waktu. Hal ini ditunjukan oleh perintah-perintah umum Dalam Al-Qur’anulkarim, mengenai kesegeraan melakukan Kebaikan, seperti firman Allah SWT:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Q.S Ali ‘Imran 3:133)
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ
Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. (Q.S Al-Baqarah 2:148)
Dan Firman Allah SWT:
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
Artinya: Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu (Q.S Al-Hadidi 57:21)
Orang yang tidur, hingga habis waktu shalat, boleh mengerjakan shalat itu ketika terbangun. Begitu juga jika dia lupa, maka dia boleh mengerjakannya ketika ingat.
Dasarnya hadits Anas bin Malik R.A, Rasullullah SAW bersabda:
“JIKA SESEORANG DIANTARA KAMU TERTIDUR, SEHINGGA TIDAK MENGERJAKAN SHALAT, ATAU LUPA, MAKA HENDAKLAH DIA MENGERJAKANNYA KETIKA INGAT, SEBAB ALLAH SWT BERFIRMAN”
وَأَقِمِ الصَّلاةَ لِذِكْرِي
Maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. (Q.S At-Thaha 20:14) (H.R Muslim No. 684)
Buraidah R.A berkata, Rasullullah SAW bersabda:
MAN TARAKA SHALATAL ‘ASHRI FAQAD HABTHA ’AMALUHU
ARTINYA: “ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT ASHAR, PAHALA AMALNYA DIHAPUS” (H.R Bukhari No. 528 dan An-Nasa’I dalam Al-Mujtaba No. 474)
2.) Menutup Aurat
Maksudnya, menutup anggota badan yang tidak pantas terlihat. Bedasarkan firman Allah SWT:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (Q.S Al-A’raf 7:31)
Aurat wanita yang sudah baligh didalam shalat. seluruh badan wanita adalah aurat didalam shalat. Kecuali muka, kedua telapak tangan dan kedua kakinya. Bedasarkan hadits Ummu Salamah R.A:
Dia bertanya kepada Nabi SAW, bolehkan wanita shalat dengan berbaju kurung tanpa memakai kain?
Beliau bersabda:
IDZA KANAD DIR’U SABIGHAN YUGHATHTHI TZUHURA QADA MAYHA
ARTINYA: “JIKA BAJU KURUNG ITU PANJANG MENUTUPI KEDUA KAKINYA” (H.R Abu Daud No. 640 dan Al-Hakim No. 115)
Dari ‘Aisyah R.A, Nabi SAW bersabda:
LA YAQBALULLAHU SHALATA HA IDHIN ILLA BIKHIMARIN
ARTINYA: “ALLAH TIDAK MENERIMA SHALAT WANITA YANG TELAH HAID KECUALI DIA BERKERUDUNG” (H.R Lima Imam Hadits Kecuali An-Nasa’i)
Menutup aurat dapat dilakukan dengan segala sesuatu yang menghalangi aurat dari pandangan mata. Dan tidak menggambarkan warna kulit. batasan aurat berbeda-beda sesuai dengan kondisi seseorang, sebagai berikut:
Aurat lelaki yang sudah baligh dan anak lelaki yang sudah Mumayyiz
Aurat dari pusar sampai lutut bedasarkan hadits ‘Ali R.A. Rasullullah SAW bersabda:
LA TUBRIZ FAJIDZAKA WALA TANZHURANNA ILA FAJIDZI HAYYI WALA MAYYITI
ARTINYA: “WAHAI ALI, JANGAN KAU TAMPAKAN PAHAMU, DAN JANGANLAH ENGKAU MELIHAT PAHA ORANG YANG MASIH HIDUP ATAU SUDAH MATI” (H.R Abu Daud No. 314)
Laki-laki wajib menutupi kedua pundaknya atau salah satunya, sebab abu hurairah R.A berkata:
Rasullullah SAW bersabda:
LA YUSHALLI AHADUKUM FIYSYSYAWBIL WA HIDI LAYSA ‘ALA ‘ATIQAYHI SYAY-UN
ARTINYA: “SESEORANG DIANTARA KAMU TIDAK BOLEH SHALAT DALAM SATU BAJU, YANG DIBAGIAN KEDUA PUNDAKNYA TIDAK TERDAPAT APA-APA” (H.R Bukhari No. 352 dan Muslim No. 516)
Ketika shalat makhruh hukumnya memakai baju yang menutupi telapak tangan dan telapak kaki. Dan haram memakai baju yang belahannya memperlihatkan aurat. Dalam hadits riwayat Ibnu Umar R.A diterangkan:
“Rasullullah SAW melarang memaki satu baju tanpa apapun selainnya seperti yang dilakukan orang yahudi.” (H.R Ahmat 2/148 dan Abu Daud No. 635)
Makruh juga shalat dengan menggunakan pakaian yang menyerupai orang kafir atau orang fasik, bedasarkan hadits Abdullah bin Umar R.A.
Nabi SAW bersabda:
MANTASYABBAHA BIQAWMIN FAHUWA MINHUM
ARTINYA: “ORANG YANG MENYERUPAI SESUATU KAUM, MAKA DIA ADALAH SALAH SEORANG DIANTARA MEREKA” (H.R Ahmad 2/50 dan Abu Daud No. 4031)
Dari Abu Dzar R.A nabi SAW bersabda:
TSALA TSATUN LAYUKALLIMU HUMULLAHU YAU MALQIYAMAH AL MANNA NULLADZI LAYU’THI SYAY AN ILLA MANNAHU WAL MUNAFIQU SIL’ATAHU BIL HALIFIL FAJIRI WAL MUSBILU IZARAH
ARTINYA: TIGA KELOMPOK MANUSIA YANG TIDAK AKAN DIAJAK BICARA OLEH ALLAH PADA HARI KIAMAT: “ORANG YANG SELALU MENYEBUT-NYEBUT PEMBERIANNYA KEPADA ORANG LAIN, ORANG YANG MENJUAL BARANG DAGANGANNYA DENGAN SUMPAH PALSU, DAN ORANG YANG MENG-ISBAL KAINNYA” (H.R Muslim 1/102 No. 106)
Abdullah bin Mas’ud R.A berkata, aku mendengar Rasullullah SAW bersabda:
MAN ASBALA IZARAHUFI SHALATIHI KHUYALA-A FALAISA MINALLAHI FI HILLI WALA HARAM
ARTINYA: “ORANG YANG MENGISBAL KAINNYA KETIKA SHALAT, KARENA KESOMBONGAN, MAKA ALLAH TIDAK AKAN MENGAMPUNI DOSANYA, DAN TIDAK AKAN MENCEGAHNYA TERJERUMUS KEDALAM PERBUATAN BURUK” (H.R Abu Daud No. 637 dan An-Nasa’I, Al-Kubra 5-483 dan 9689)
Dijelaskan oleh hadits riwayat Ahmad dari Amr bin Zurarah Al-Anshari, Aku berjalan sambil mengisbal kain. lalu, nabi SAW menyusulku sambil memegang ubun-ubunya dan bersabda:
ALLAHUMMA ‘ABDA KABNI ‘ABDI KABNI AMATIKA
ARTINYA: “YA ALLAH, INI HAMBAMU, ANAK HAMBAMU, ANAK HAMBA PEREMPUANMU”
Aku berkata Ya Rasullullah, betisku kecil, beliau bersabda:
YA ‘AMRU INNALLAHA ‘AZZA WA JALLA QAD AHSANA KULLI SYAI IN KALQAHU YA ‘AMRU
ARTINYA: “WAHAI AMR, ALLAH TELAH MENCIPTAKAN SEGALA SESUATU DALAM BENTUK YANG TERBAIK”
Lalu beliau meletakan empat jari tangan kanannya, dibawah lututku, dan bersabda:
YA ‘AMRU HADZA MAW DHI’UL IZAR
ARTINYA: “WAHAI AMR INILAH LETAK UJUNG KAIN”
Lihat musnad Ahmad 29/321 No. 1782 (Shahih)
Dari Abu hurairah R.A nabi SAW bersabda:
MA ‘ASFALA MINALKA’BAINI MINAL IZARI FAFINNAR
ARTINYA: “ORANG YANG MENGENAKAN PAKAIAN YANG MELEBIHI KEDUA MATA KAKINYA, AKAN BERADA DI NERAKA” (H.R Bukhari No. 5/2182 dan No. 5450)
Ketika shalat di masjid, orang disunnahkan mengenakan baju terbaik, ini adalah konsekuensi dari Firman Allah SWT:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid. (Q.S Al-A’raf 7:31)
Dan Sabda Rasulullah SAW:
INNALLAHA JAMILUN YUHIBBUL JAMALA
“SESUNGGUHNYA ALLAH ITU MAHA INDAH, DAN MENYUKAI KEINDAHAN” (H.R Ahmad 1/399, Muslim No. 91, Abu Daud No. 4092 dan At-Tarmidzi No. 1999)
3.) Menghindari Najis
Orang yang hendak mengerjakan shalat, harus mensucikan badan, baju dan tempat shalatnya dari najis, dan tidak terkena najis ketika shalat. Hal ini ditunjukan oleh dalil-dalil dari Al-Qur’an, dan Sunnah.
dari Al-Qur’an, Firman Allah SWT:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
Artinya: dan pakaianmu bersihkanlah. (Q.S Al-Muddatstsir 74:4)
Maksudnya adalah: cucilah bajumu dengan air dan sucikanlah dari najis.
Sedangkan dalil dari Sunnah, Abu Sa’id Al-Khudri R.A berkata:
Rasullullah SAW shalat bersama para sahabat, tiba-tiba beliau menanggalkan dan meletakan sandalnya di sebelah kirinya. Sesudah shalat beliau bersabda: “Mengapa Kalian menanggalkan sandal?” Para sahabat berkata, Kami melihatmu menanggalkan sandal, maka kamipun menanggalkan sandal.
Rasullullah SAW bersabda:
INNA JIBRILA ATANI FA AKHBARA ANNA FIHIMA QADZARA
ARTINYA: “TADI JIBRIL A.S MENDATANGIKU, DAN MENGABARI BAHWA DISANDALKU ADA KOTORAN” (H.R Ahmad 3/20 dan Abu Daud No. 650)
Orang yang tahu dan ingat bahwa dibadan, baju, atau tempat shalatnya ada najis, dan mampu menghilangkannya, tapi dia tidak menghilangkannya, maka shalatnya tidak sah, Tapi jika dia tahu, lalu lupa, lalu shalat, dan seusai shalat barulah dia ingat, maka shalatnya sah.
Orang diperbolehkan shalat sambil mengemban Anak kecil yang diragukan, apakah telah terkena najis atau tidak. Dalilnya, hadits Abu Qatadah R.A:
“Rasullullah SAW Jika beliau sujud, beliau meletakkannya dan jika berdiri, beliau mengembannya kembali” (H.R Muttafaqun’alaih No. 494 dan 543)
4.) Kewajiban menyempurnakan Wudhu’
Membersihkan diri dari hadats kecil dengan Wudhu’ dan dari hadats besar dengan mandi, ataupun dengan penggantinya yaitu tayamum apabila tak dapat berwudhu’ dan mandi
Syarat-syarat ini ditunjukan oleh Kitabullah, Sunnah Rasul dan Ijma’ para Mujtahidin. Tidak ada khilaf di antara ummat Islam dalam menetapkan Syarat ini, Al-Qur’anulkarim telah mewajibkan Thaharah untuk masuk kedalam shalat dalam Suratul Al-Maidah ayat 6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.
Bersabda Nabi SAW:
LA YAQBALULLAHU SHALATA MAN AHDATSA HATTA YATAWADHDHA A
ARTINYA: “ALLAH TIADA MENERIMA SHALAT ORANG YANG TELAH BERHADATS, HINGGA IA BERWUDHU” (H.R Abu Daud dan Tharmudzi dari Abu Hurairah R.A)
LAYAQBALULLAH SHALATAN BIGHAIRI THAHURI WALA SHADAQATAN MIN GHUULU LIN
ARTINYA: “ALLAH TIADA MENERIMA SHALAT DENGAN TIDAK BERSUCI DAN TIADA MENERIMA SADAQAH YANG DIBERI DARI HARTA YANG DISEMBUNYIKAN DARI RAMPASAN PERANG” (H.R Muslim dan Tharmudzi dari Ibnu Umar R.A Taisierul Washul, Jilid 2, Hal. 231)
Berfirman Allah SWT:
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (Q.S Al-Baqarah 2:222)
5.) Menghadap Kiblat, Yaitu Ka’bah
Bedasarkan Firman Allah SWT:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُمَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya: Hadapkanlah mukamu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (Q.S Al-Baqarah 2:144)
Jika seseorang tidak dapat menghadap kewujud kiblat yang diterangkan ayat ini, maka ia harus menghadap kearahnya, bedasarkan sabda Nabi SAW:
MA BAINAL MASYRIQI WAL MAGHRIBI QIBLATU
ARTINYA: “ARAH DIANTARA TIMUR DAN BARAT ADALAH KIBLAT” (H.R Tharmudzi No. 344 dan Ibnu Majjah No. 1011)
Jika seseorang tidak dapat menghadap kiblat karena uzur, seperti orang sakit, maka kewajiban ini gugur. Dalilnya, shalat tetap diwajibkan oleh Allah SWT. Pada saat perang yang sengit sekalipun, baik dikerjakan sambil berjalan kaki ataupun berkendaraan, padahal pada kondisi itu, orang akan sulit terus-menerus menghadap kiblat.
Dalil lainnya, hal ini termasuk kedalam Firman Allah SWT:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya: Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu
Dan Sabda Nabi SAW:
IDZA AMARTUKUM BI AMRIN FALTUWMINHU MAS TATHA’TUM
ARTINYA: “JIKA AKU MEMERINTAHKAN SESUATU KEPADAMU, MAKA KERJAKANLAH SEMAMPUMU” (H.R Bukhari No. 6858 dan Muslim No. 1337)
Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, bahwa Ibnu ‘Umar ditanya tentang tata cara shalat khauf (shalat dalam keadaan terancam bahaya) Ibnu ‘Umar berkata:
“Jika ancaman yang ada sangat besar, maka mereka shalat sambil berjalan dan berdiri di atas kaki mereka, atau sambil berkendaraan, baik menghadap kiblat atau tidak”
Malik berkata, Nafi’ berkata:
“Menurutku, Ibnu ‘Umar pasti menceritakan hal itu sesuai dengan yang diajarkan Nabi SAW” (H.R Bukhari No. 4261)
SHALLAINA MA’AN NABIYY SAW SITTA TA’ASYARA SYAH RAN AW SAB’ATA ‘ASYARA SYAHRAN NAHWA BAITIL MAQDISITSUMMA SHURIFNA NAHWAL KA’BAH
ARTINYA: UJARNYA: “KAMI TELAH BERSHALAT BESERTA NABI SAW 16 ATAU 17 BULAN LAMANYA, MENGHADAP KE BAITUL MAQDIS, KEMUDIAN KAMI DIPERINTAHKAN MENGHADAP KE ARAH KA’BAH (Fiqhus Sunnah 1:235)
Shalat sunnah diatas kendaraan tanpa menghadap kiblat juga dibolehkan Ibnu ‘Umar R.A meriwayatkan:
“Nabi SAW bertasbih (shalat sunnah) dan shalat witir diatas tunggangannya kea rah mana saja. Tapi beliau tidak shalat fardhu diatasnya” (H.R Muttafaq’alaih No. 1047 dan No. 700)
Ketika memulai shalat, sebaiknya seseorang menghadap kiblat jika mungkin. Setelah itu, dia boleh mengarah kemana saja, Anas bin Malik R.A berkata:
“Jika Rasullullah SAW hendak shalat sunnah diatas tunggangannya, maka beliau menghadap kiblat, bertakbir untuk shalat, lalu melepaskan tunggangannya dan terus shalat kemana saja binatang itu mengarah” (H.R Ahmad, 3/20 Dan Abu Daud No. 1225)
6.) Niat
Secara etimologis, niat berarti maksud, kehendak, dan keinginan. Secara terminologis, niat berarti kehendak hati untuk melakukan sesuatu.
Niat sangat menentukan diterima atau ditolaknya suatu perbuatan. ‘Abdullah bin Mubarak berkata:
“Banyak perbuatan kecil menjadi besar karena niatnya, dan banyak perbuatan besar menjadi kecil karena Niatnya”
’Umar bin Al-Khaththab R.A berkata, Aku mendengar Nabi SAW bersabda:
INNAMALA’MALU BIN NIAT WA INNAMA LIKULLIM RI’IMMANAWA
ARTINYA: “SESUNGGUHNYA SEMUA AMAL PERBUATAN ITU TERGANTUNG PADA NIATNYA, DAN SESUNGGUHNYA TIAP-TIAP ORANG ITU HANYALAH MEMPEROLEH APA YANG TELAH DINIATKANNYA” (Mutafaqq’alaih No. 1 dan 1908)
Mayoritas ulama berpendapat bahwa niat adalah salah satu syarat shalat
Mayoritas ulama mazhab Asy-Syafi’iyah berpendapat bahwa niat adalah Rukun shalat.
Niat didalam shalat ada tiga (macam): Niat Fi’il, yaitu berniat melakukan shalat. Niat Ta’yun, yaitu menentukan shalat Fardhu atau sunnah, Ada’ (dilakukan pada waktunya) atau Qadha (dilakukan diluar waktunya), Qashar (melakukan shalat empat rakaat dalam dua rakaat) atau tidak Jama’ (menggabungkan satu shalat dengan shalat lain) atau tidak. Niat Tamyiz, yaitu membedakan shalat yang dilakukan, apakah Zuhur, Ashar atau lainnya.
Jika ketika bertakbiratul Ikhram seseorang musafir berniat melaksanakan shalat Fardhu, dan dia tidak berniat meng Qasharkan shalat itu, Kemudian di tengah-tengah shalat dia berniat meng Qasharkannya, maka shalatnya sah.
Untuk shalat jama’ tidak disyariatkan niat. Dalilnya, ketika Nabi SAW hendak mengerjakan shalat jama’ dan qashar bersama sahabat-sahabatnya, beliau tidak menyuruh seseorangpun diantara mereka untuk berniat Jama’ dan Qashar. Beliau berangkat dari Madinah ke Mekkah setelah Mengerjakan shalat dua rakaat tanpa menjama’nya.
Kemudian beliau shalat Zhuhur bersama para sahabat di Arafah. Tanpa memberitahu mereka bahwa setelah Zuhur beliau hendak mengerjakan shalat Ashar. Lalu, beliau langsung mengerjakan shalat Ashar, padahal para sahabat tidak berniat menjama’. Ini adalah Jama’ Taqdim (mengerjakan dua shalat pada waktu shalat yang pertama)
Niat dilakukan bersama-sama dengan melakukan takbiratul Ikhram. Artinya, ketika bertakbir, orang yang shalat menyadari apa yang akan di laksanakannya dan tidak melenakan shalatnya. Dia harus merenungi takbir dan merasakan keagungan Zat yang disembahnya, agar dia meraih kekhusyukan yang dipuji oleh Allah SWT.
Dalam Firmannya:
الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ۞ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. (Q.S Al-Mukminun 23:1-2)