KETERANGAN RUKUN-RUKUN SHALAT

Shalat itu mempunyai beberapa unsur fardhu (rukun) yang dari pada unsur-unsur itulah tersusun hakikat shalat. Maka apabila tertinggal atau ditinggalkan sesuatu fardhunya, tiada lengkaplah hakikatnya dan menjadilah shalat itu tiada dipandang oleh syara’

Rukun shalat pertama: Niat
Jumhur ulama menjadikan niat sesuatu rukun dari shalat dan suatu rukun dari segala rupa amalan ta’at. hakikat niat itu ialah: Iradat yang berharap ke arah pekerjaan untuk mencari keredhaan Allah dan mengikuti hukumnya.
Niat itu adalah semata-mata amalan hati, lidah tak turut campur, karenanya, melafadzkan niat itu tidak disyari’atkan

Al-Imam Ibnul Qaiyum dalam Ighatsatul Lahfan berkata: ”Niat adalah kasad (maksud) dan ‘azam (cita-cita) mengerjakan sesuatu. Tempatnya adalah dalam hati, dan tidak ada hubungannya dengan lidah, karma tidak ada dicontohkan oleh Nabi SAW dan sahabat-sahabatnya tentang lafadz niat dan tak ada pula yang dapat menerangkan adanya yang demikian, sewaktu memulai shalat”

Niat adalah kasad (maksud) mengerjakan sesuatu maka tiap-tiap orang yang ber’azam atau berkeinginan hatinya kepada sesuatu dihukumlah telah meniatkannya (telah meniatkannya sesuatu pekerjaan tersebut)

“Tak dapat terlepas ‘azam dan kasad hati dari niat orang yang duduk hendak berwudhu’ dihukum telah berniat wudhu”, orang yang berdiri untuk shalat dihukum telah berniat shalat. Seseorang manusia dalam keadaan sadar tak dapat mengerjakan sesuatu tanpa niat. “Niat adalah seuatu urusan yang harus ada bagi segala perbuatan yang disengaja”

Dalil yang memfardhukan niat itu ialah hadits Umar R.A, bahwa sanya Rasulullah SAW bersabda:

INNAMAL A’MALU BINNIATI, WA INNAMA LIQULLIM RI’IM MANAWA
ARTINYA: “SESUNGGUHNYA SEGALA AMALAN ITU MENURUT NIAT, DAN SESUNGGUHNYA BAGI TIAP-TIAP MANUSIA APA YANG IA NIATKAN” (H.R Bukhari Muslim)

Hadits ini memberi pengertian bahwa sesuatu amal yang tidak disertai niat tidak dipandang syra’. setengah ulama menetapkan, bahwa niat itu bukan rukun, hanya syarat. (Biyadatul Mujtahid Ibnu Rusyd)

Menurut penyelidikan para ahli tahqiq, bahwa jiwa shalat dan yang mensahkannya ialah; Ikhlas, bukan semata-mata bersungguh-sungguh mengerjakannya walaupun bersengaja itu diperlukan juga untuk meng-iktibarkan sesuatu pekerjaan

Kedua: Berdiri dalam Shalat Fardhu
Berdiri dalam shalat fardhu adalah wajib, diwajibkan oleh ayat Al-Qur’an, As-Sunnah dan Al-Ijma’, atas orang yang sanggup berdiri dalam shalat. Apabila kita tidak sanggup beriri dalam shalat fardhu, dibolehkan kita bershalat menurut kesanggupan kita. Berfirtman Allah SWT:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Artinya: “Peliharalah segala shalatmu, &  peliharalah shalat wusthaa. Dan Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk”. (Q.S Al-Baqarah 2:238)

Imran Ibnu Hussain R.A berkata:

KANATBI BAWASIRU FASA ALTUNNABIYYA S.A.W  ‘ANISHSHALATI FAQALA: SHALLI QA IMUN FA INLAM TASTATHI’U FAQAID FAINLAM TASTATHI’U FA’ALA JANBI
ARTINYA: “AKU BERPENYAKIT BAWASIR, MAKA AKU BERTANYA KEPADA NABI SAW TENTANG KEADAAN SHALAT, LALU BERKATA: BERSHALATLAH DENGAN BERDIRI, JIKA ENGKAU TIDAK SANGGUP BERDIRI, MAKA KERJAKANLAH DALAM KEADAAN DUDUK, JIKA TIDAK SANGGUP MENGERJAKAN DENGAN DUDUK, MAKA KERJAKANLAH SAMBIL BERBARING DIATAS LAMBUNG” (H.R Bukhari dalam Sahihnya)

Ketiga: Takbiratul Ikhram

Nabi SAW bersabda:
MIFTAHUSHSHALLATITHTHAHURU WATAHRIMUHA TAKBIRU WATAHLILUHATTASLIMU
ARTINYA: “ANAK KUNCI SHALAT ADALAH SUCI, DAN TAHRIMNYA IALAH TAKBIR DAN TAHLINYA ADALAH SALAM” (H.R SyafiiI, Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majjah, At-Tarmudzi, dari Ali)

Takbiratul Ikhram ini harus diucapkan dengan lafadz “Allahu Akbar” bedasarkan hadits Abu Humaid R.A yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, yaitu:

Kanannabiyyu S.A.W Idza qaama ilashshalatigh tadala qa iman warafa’a yadayhi tsumma qala: Allahu Akbar
Artinya: “Adalah Nabi SAW, apabila telah berdiri untuk shalat, beliau berdiri lurus dan mengangkat tangannya, kemudian mengucapkan Allahu Akbar”  (Al-Muntaqa 1:360)

            Disunnahkan mengangkat kedua tangan sewaktu takbiratul ikhram sehingga kedua telapak tangan menyamai kedua pundak dan ujung jari menyamai kedua telinga. Mengangkat kedua tangan sewaktu takbiratul ikhram adalah hal yang telah disepakati oleh para ulama salaf dan khalaf

Keempat: Membaca Al-Fatihah
Banyak hadits yang diterima dari Nabi S.A.W yang menunjuk kepada fardhu dibacanya Al-Fatihah dalam shalat. Membaca Al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat, pokok pegangan kita dalam ibadah ialah Ittiba’ mengikuti cara Nabi SAW dalam shalat. Sebagaimana hadits Ubadah Ibnu Shamit menerangkan bahwa Nabi SAW bersabda:

LA SHALATA LIMAN LAM YAQRA’ BIFATIHATILKITAB
ARTINYA: “TIDAK ADA SHALAT BAGI ORANG YANG TIDAK MEMBACA AL-FATIHAH DIDALAMNYA” (H.R Bukhari 576, Muslim 394)

            Mengenai Basmallah dipermulaan Al-Fatihah maka ada yang menjadikannya satu ayat dalam Al-Fatihah, ada yang menjadikannya satu ayat yang berdiri sendiri; boleh dibaca permulaan Al-Fatihah akan dipandang baik, tetapi tiada sunnat dijaharkan. Dan ada yang berpendapat bahwa membaca Basmallah itu Makhru’ baik sir maupun jahar dalam shalat fardhu tidak dalam shalat sunnat.

            Maka apabila kita kumpulkan pendapat yang pertama dengan yang kedua, timbulah satu pengertian, bahwa Nabi SAW kadang-kadang menjaharkan Basmallah dan terkadang-kadang tidak. Nabi SAW lebih banyak tidak menjaharkannya, Sekiranya Nabi SAW tetap menjaharkannya, tentulah para Khulafa u Rasyidin mengetahuinya.

            Kita harus mensirkan bacaan Basmallah tersebut, karena Nabi SAW juga melakukan hal yang demikian, dalilnya adalah hadits ‘Aisyah, ummul mukminin R.A, ia berkata: “Rasulullah SAAW bisanya memulai shalat dengan takbir dan baca’an Alhamdulillahirabbil Alamin” (H.R Ahmad, Muslim, Abu Daud)

            Juga hadits Annas R.A ia berkata: “Aku pernah shalat di belakang Nabi SAW, Abu bakar, umar dan Utsman. Maka mereka semua biasa membuka shalat dengan bacaan Alhamdulillahirabbil Alamin” sementara dalam riwayat Muslim berbunyi “Mereka semua tidak menjaharkan, Bismillahirrahmanirrahim” (H.R Bukhari 743 dan Muslim 399)

Kelima: Rukuk
Rukuk ini di Ijma’i kefardhuannya mengingat firman Allah SWT dan sabda Rasullullah SAW (Q.S Al-Baqarah 2:43) Abu Humaid A.S Saidi R.A telah menceritakan hadits berikut:

Bahwa ia pernah berkata kepada segolongan sahabat Nabi SAW “Aku adalah orang yang paling hafal tentang shalat Rasulluah SAW, aku pernah melihatnya apabila bertakbir, maka ia menjadikan kedua tanggannya sejajar dengan kedua pundaknya. Apabila rukuk maka ia menekankan kedua tangannya pada kedua lututnya, kemudian meluruskan punggungnya. (H.R Kamsah kecuali Muslim) Dalam Al-Qur’an Allah SWT Berfirman:
الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا
Artinya: “Rukuklah Kamu” (Al-Hajj 22:77)

Rukuk adalah salah satu rukun dan hal-hal yang wajib dalam shalat, bedasarkan sabda Nabi SAW:
SUMMAR KA’U HATTA TATMA INNA RAKI’A
ARTINYA: “KEMUDIAN RUKULAH SAMPAI KAMU TUMAKMINAH DALAM RUKUK” (H.R Bukhari 757 dan Muslim 397)

            “BELIAU SAW APABILA HENDAK RUKUK BIASA MENGUCAPKAN “ALLAHU AKBAR” SAMBIL MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA, KEMUDIAN BARU RUKUK, ABU HUMAID R.A MENCERITAKAN KEPADA PARA SAHABATNYA, SETELAH NABI SAW RUKUK, KEMUDIAN BELIAU MELURUSKAN PUNGGUNGNYA DAN APABILA BELIAU RUKUK, MAKA BELIAU BIASA MERATAKAN PUNGGUNGNYA, SEHINNGGA APABILA PUNGGUNGNYA DILETAKAN AIR DIATASNYA, NISCAYA AIR TERSEBUT AKAN TETAP DIATASNYA, YAKNI BELIAU MELURUSKAN PUNGGUNGNYA DENGAN KEPALANYA” (H.R Bukhari Dalam Bab Istiwa Uzh Zhahr Fir Ruku 789)

Keenam: Bangkit dari Rukuk (I’tidal)
Apabila Nabi SAW bangkit dari rukuk, lalu beliau mengucapkan do’a “Sami Allahuliman Hamidah” maka ia mengisinya dengan do’a sebagaimana hadits menyebutkan:

WAKANANNABIYYU S.A.W IDZA QALA SAMI’ALLAHULIMAN HAMIDAH QALA: ALLAHUMMA RABBANA WALAKAL HAMDU.
ARTINYA: “ADALAH NABI SAW APABILA TELAH MENGUCAPKAN SSAMI ALLAHULIMAN HAMIDAH (SEMOGA ALLAH MEMPERKENANKAN ORANG-ORANG YANG MEMUJINYA), MAKA IA MENGUCAPKAN RABBANA WALAKAL HAMDU (YA RABB, KAMI BAGI ENGKAU SEGALA PUJI) (H.R Bukhari 796)

Bangkit dari Rukuk (I’tidal) adalah termasuk salah satu rukun shalat bedasarkan sabda Nabi SAW:

TSUMMARFA’ HATTA TA’TADILA QA IMA
ARTINYA: “KEMUDIAN BANGKITLAH SAMPAI LURUS DALAM BERDIRINYA” (H.R Bukhari 757, Muslim 397)

            Diantara ajaran sunnah beliau SAW, adalah tuma’minah saatbangkit dari rukuk. Diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad, Apabila Rasulullah SAW telah mengucapkan Sami Allahuliman Hamidah, maka beliau berdiri (agak lama), hingga kami berkata (dalam hati) beliau telah ragu-ragu. Yakni mereka menduga bahwa Nabi SAW telah lupa.

            Bagi Imam dan yang shalat sendirian, mengucapkan “Sami Allahuliman Hamidah” adapun bagi Makmum ia tidak perlu mengucapkan kalimat tersebut. Bagi imam, orang yang shalat sendirian (munfarid) maupun makmum membaca “Rabbana wa lakalhamdu” juga doa-doa lain yang diriwayatkan dengan shahih dalam As-sunnah ketika dalam posisi ini.

            Dalam bukunya Shifatu Shalatin Nabi S.A.W, karangan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz R.H menyebutkan dalam teksnya sebagaiberikut: Disunnahkan bagi setiap orang shalat untuk meletakan kedua tangannya diatas dada seperti yang dilakukannya saat berdiri sebelum rukuk, bedasarkan hadits Nabi SAW yang menunjukan hal itu yaitu hadits Wa’il Ibnu Hujr.

            Alasan Lain, karena pada asalnya dalam shalat adalah meletakan tangan kanan di atas tangan kiri di dada sebagaimana yang telah kita bahas mengenai posisi berdiri, bedasarkan Hadits Wa’il Ibnu Hujr yang berbunyi: “Aku pernah shalat bersama Nabi SAW, maka beliau meletakan tangan kanan diatas tangan kiri di dadanya” (H.R Muslim 401, Ibnu Khuzaimah 479)

            Beliau SAW tidak memberikan  batasan dalam meletakan kedua tangan, pada hal ketika kita kupas secara mendetail tentang tata cara shalat beliau SAW, dimana beliau menyebutkan selalu meletakan kedua tangan pada seluruh gerakan shalat, sementara pada posisi setelah bangkit dari rukuk, tidak disebutkan yang dibatasinya, maka seakan-akan, Wallahualam, posisinya kembali seperti asalnya saat berdiri, yakni tangan kanan diletakan diatas tangan kiri di dada. Karena kalau tidak, pasti para perawi hadits telah menyebutkan kepada kita cara meletakan tangan yang kontradiktif dengan cara yang pertama. Sebagaimana mereka telah menuklilkan kepada kita sisa gerakan-gerakan tangan maupun yang lainnya dalam shalat. Padahal kita semua mengetahui akan keseriusan para sahabat dalam mentransfer, baik setiap hal-hal yang kecil maupun yang besar, mengenai shalat beliau SAW. Wallahualam.

Ketujuh: Sujud
Sujud termasuk salah satu rukun shalat karena beliau SAW biasa mengucapkan “Allahu Akbar” ketika hendak turun untuk bersujud. (H.R Bukhari dari hadits Abu Hurairah R.A)

Beliau telah memerintahkan kepada orang yang tidak beres shalatnya dengan sabdanya:

SUMMASJUD HATTA TATMA INNA SAJIDA
ARTINYA: “KEMUDIAN BERSUJUDLAH, SEHINGGA KAMU TAMKMINAH (TENANG) DALAM SUJUD” (H.R Bukhari 757, Muslim 397)

Sujud ini difrmankan dalam Al-Qur’an dan disabdakan didalam hadits:

Wail Ibnu Hujr R.A telah menceritakan hadits berikut:

KANAN NABIYYU S.A.W IDZA SAJADA YADHA’LI RUKBATAINI QABLA YADAYHI WA IDZA NAHA DHA RAFA’A YADAYHI QABLA RUKBATAIHI

ARTINYA: “ADALAH NABI SAW, APABILA SUJUD MAKA IA MELETAKKAN KEDUA LUTUTNYA LEBIH DAHULU DARI PADA KEDUA TANGANNYA. DAN APABILA BANGKIT, MAKA IA MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA TERLEBIH DAHULU DARI PADA KEDUA LUTUTNYA (H.R Ash-Shabus sunan)

Firman Allah SWT:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud" (Q.S Al-Fath 26:29)

Sahabat Anas R.A telah menceritakan, bahwa Nabi SAW pernah bersabda:
                                               
I’TADILU FASUJUDI WALA YABSUTH AHADUKUM DZIKRA’ATHINBISATHAL KALBI
ARTINYA: PERTENGAHANLAH KALIAN DALAM BERSUJUD DAN JANGANLAH SESEORANG DIANTARA KALIAN MENGGELARKAN (KE TANAH) KEDUA LENGANNYA BAGAIKAN ANJING YANG MENGGELARKAN (KEDUA KAKI DEPANNYA) (H.R Khamsah)

Sahabat Ali R.A telah menceritakan hadist berikut:

NAHANI HIBBI RASULLULLAH S.A.W ANAQRA AL QUR’ANA RAKI’AN AWSAJIDAN
ARTINYA: KEKASIHKU RASULULLAH SAW TELAH MELARANG AKU MEMBACA AL-QUR’AN DALAM KEADAAN RUKUK DAN SUJUD (H.R Khamsah kecuali Bukhari)

Larangan dalam hadits ini menunjukan hukum haram. Sahabat Abu Hurairah R.A menceritakan, Bahwa Nabi SAW bersabda:

AQRABU MAYAKUNUL ‘ABDU MIRRABBIHI WAHUA SAJIDUN FA AKTSIRU DU’A
ARTINYA: “TEMPAT YANG PALING DEKAT BAGI SESEORANG HAMBA KEPADA RABB-NYA ADALAH SEWAKTU IA DALAM KEADAAN SUJUD, KARENA ITU PERBANYAKLAH KALIAN BERDO’A” (H.R Muslim, Abu Daud)

            Apabila beliau SAW bersujud, maka beliau biasa merekatkan jari-jari tangannya, dan menghadapkan semua ujung jaijari tangannya kearah kiblat. Diriwayatkan pula, beliau SAW biasa merekatkan dua tumitnya, menegakan kedua kakinya (ujung jari kaki beliau) dan beliau memerintahkan untuk melakukan pekerjaan tersebut. (H.R At-Tharmudzi, Al-Hakim dan Al-Bayhaqi)

Dan beliau biasa merenggangkan semua jari kaki kakinya ketika sujud, beliau SAW bersabda:

UMMIRTU AN ASJUDA ‘ALA SAB’ATI A’ZUM: ‘ALAL JAB’ATI WA SYARA BIYADIHI ‘ALA ANFIHI WALYADAYNI, WARRUKBATAYNI WA ATHRAFIL QADAMAYNI, WA LA NAKFITATSTSIYABA WASYSYA’ARA
ARTINYA: “AKU DIPERINTAHKAN UNTUK BERSUJUD DIATAS TUJUH TULANG, YAKNI PADA KENING, DAN BELIAU MENUNJUK DENGAN TANGANNYA KEHIDUNGNYA, DUA TANGAN, DUA LUTUT, DAN SEMUA JARI-JARI TELAPAK KAKI, KAMI TIDAK MENGUMPULKAN PAKAIAN DAN RAMBUT” (H.R Bukhari 812, 809, Muslim 940)

Kedelapan: Duduk diantara Dua Sujud
Duduk diantara dua sujud yaitu mengangkat kepala dari sujud pertama, bertakbir saat peralihan posisi, duduk tegak sambil mengiftirasy-kan kaki kiri, mengangkat kaki kanan menekuk jari-jari kearah kiblat, menghamparkan kedua tangan di kedua paha, dan membaca do’a “Rabbighfirli” “Ya Tuhanku, Ampunilah Aku” sepuluh kaki, tiga kali dan minimal satu kali (H.R An-Nasa’I dan Ibnu Majjah dari Huzaifah R.A)

            Lama masa rukuk, sujud, I’tidal dan duduk diantara kedua sujudnya sebagian diantaranya hampir sama dengan yang lainnya. Serta Thuma’ninah didalamnya.

Thawus telah menceritakan hadits berikut:

QULNA LIBNI ‘ABBASIN FIL IQ’AA I’ALAL QADAMAYNI QALA: HIYASSUNNATU FAQULNA: INNALANA RA U JAFA ANBIRRAJULI QALA: BALHIYA SUNNATU NABIYYIKUM S.A.W

ARTINYA: KAMI BERTANYA PADA SAHABAT IBNU ABBAS TENTANG DUDUK IQ’AA DIATAS KEDUA TELAPAK KAKI, MAKA IA MENJAWAB, “CARA DUDUK SEPERTI ITU MERUPAKAN SUNNAH” LALU KAMI BERTANYA, “SESUGGUHNYA KAMI MEMANDANG CARA DUDUK DEMIKIAN MERUPAKAN SIKAP KASAR SESEORANG LELAKI” SAHABAT IBNU ABBAS MENJAWAB, “BAHKAN HAL ITU MERUPAKAN SUNNAH NABI KALIAN” (H.R Tharmudzi, Muslim dan Abu Daud)

Keterangan:

Al-Iq’aa, ialah menegakan kedua telapak kaki lalu duduk diatasnya. Hal ini disunnahkan dalam duduk diantara kedua sujud. Dan ada jenis Iq’aa lainnya yang dimakruhkan yaitu duduk diatas kedua pantat disertai dengan dengan menegakan kedua kaki dan meletakan kedua tangan diatas tanah, cara duduk ini adalah seperti duduknya anjing. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Ali R.A:

YA ‘ALIYYU UHIBBU LAKA MA UHIBBU LINAFSIY WA AKRA U LAKA MA AKRA U LINAFSIY LATAQA’ BAINNSSAJDA TAYNI
ARTINYA: “HAI ALI, AKU SUKA MEMBERIKAN HAL-HAL KEPADAMU YANG AKU SUKAI UNTUK DIRIKU SENDIRI, DAN AKU MEMBENCI UNTUK MEMBERIKAN KEPADAMU HAL-HAL YANG AKU SENDIRI BENCI KEPADANYA, JANGANLAH ENGKAU DUDUK IQ’AA (SEPERTI DUDUKNYA ANJING) DIANTARA KEDUA SUJUD”

Al-Barra R.A telah menceritakan hadits berikut:

“NABI SAW RUKUK DAN SUJUD DAN APABILA IA BANGKIT DARI RUKUK DAN (DUDUK) DIANTARA KEDUA SUJUD, LAMANYA SALING BERDEKATAN HAMPIR SAMA” (H.R Khamsah)

Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’id bin Al-Harits R.A ia berkata

“ABU SA’ID SHALAT MENGIMAMI KAMI. MAKA IA MENGERASKAN TAKBIR KETIKA MENGANGKAT KEPALANYA DARI SUJUD (H.R Bukhari 825).

Duduk diantara dua sujud termasuk salah satu rukun shalat. Dan beliau SAW biasa mengangkat kepalanya dari sujud sambil bertakbir (H.R Bukhari). Beliau SAW juga memerintahkan seperti itu kepada orang yang tidak beres shalatnya, dengan sabdanya:

TSUMMAR FA’HATTA TATHMA INNA JALISA
ARTINYA: “KEMUDIAN ANGKAT KEPALAMU, SAMPAI ENGKAU MENJADI TENANG KETIKA DUDUK” (H.R Bukhari 757, 793, Muslim 397, Abu Daud 851)

Kesembilan: Duduk yang Terakhir
Telah dikenal dalam petunjuk Nabi SAW bahwasanya beliau duduk dalam raka’at yang terakhir
Siti Aisyah R.A telah menceritakan hadits berikut:

Rasullullah SAW selalu membuka shalatnya dengan Takbiratul Ikhram, dan memulai bacaanya dengan Alhamdulillahirabil ‘Alamin (Al-Fatihah) dan apabila ia rukuk tidak mengangkat kepalanya dan tidak pula menundukannya. Tetapi pertengahan diantara keduanya. Dan apabila mengangkat kepalanya dari rukuk ia tidak segera sujud sebelumtegak lurus berdiri (I’tidal) dan adalah apabila ia mengangkat kepalanya dari sujud ia segera sujud lagi sebelum duduk dengan tegak pada setiap dua rakaat, ia selalu mengungkapkan At-Tahiyyat. Apabila duduk maka ia menggelarkan telapak kaki kirinya dan menegakan telapak kaki kanannya. Dan ia selalu melarang duduk seperti setan, dan menggelarkan kedua tangan seperti hewan buas. Dan adalah ia selalu mengakhiri shalatnya dengan membaca salam (H.R Abu Daud dan Imam Muslim)

Keterangan:

Duduk seperti cara setan ialah cara duduk Iq’aa yang dilarang dalam hadits sebelumnya. Sahabat Ibnu Umar R.A telah menceritakan hadits berikut:

KANANNABIYYU S.A.W IDZA JALASA FISHSHALATI WADHA’A KAFFAHUL YAMNA ‘ALA FAJIDZIHIL YAMNA WAQABADHA ASHABI’AHU KALLAHA WA ASYA RABI ISHBA’IHIL TIYTALIL IBHAMA WAWADHA’A KAFFAHUL YUSRA ALA FAJIDZI HIL YUSRA

ARTINYA: NABI SAW APABILA DUDUK DALAM SHALATNYA, MAKA IA MELETAKAN TELAPAK TANGAN KANANNYA DIATAS PAHA KENANNYA SERAYA MENGGENGGAMKAN SEMUA JARI-JARINYA DAN MENGISARATKAN DENGAN JARI YANG MENGIRINGI JEMPOLNYA (TELUNJUK) SERTA MELETAKAN TELAPAK TANGAN KIRI DIATAS PAHA KIRINYA. (H.R Khamsah Kecuali Bukhari)

Ammar Ibnu Yasir R.A telah menceritakan dari Nabi SAW, bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

INNARRAJULLA LAYAN SHARIFU AYMINSHALATIHI WAMAKUTIBALAHU ILLA ‘USYRUHA TUS’UHA TSUMNUHA SUB’UHA SUDSUHA KHUMSUHA RUB’UHA TSULTSUHA NISFUHA.

ARTINYA: SESUNGGUHNYA SEORANG LELAKI BENAR-BENAR TELAH RAMPUNG (DARI SHALATNYA), TETAPI TIDAK DITULISKAN (PAHALA) (BAGINYA KECUALI HANYA SEPERSEPULUHNYA, SEPERSEMBILANNYA, SEPERDELAPANNYA, SEPERTUJUHNYA, SEPERENAMNYA, SEPERLIMANYA, SEPEREMPATNYA, SEPERTIGANYA ATAU SEPARONYA. (H.R Abu Daud)

Kesepuluh: Membaca Tasyahud (Tahiyat)

Lafadh tasyahud yang paling shahih sanadnya ialah Tasyahud Ibnu Mas’ud, karena Ashhabnya (Para tabi’in yang belajar kepadanya) tidak berselisihan satu sama lain dalam meriwayatkannya. Sedang riwayat yang lain diperselisihi oleh sahabat-sahabat perawinya.

Apa bila kita telah selesai dari sujud, maka hendklah kita bangun seraya bertakbir dengan tidak mengangkat tangan. Dan lalu duduk untuk membaca Tahiyat (Tasyahud))

Tasyahud (Tahiyat) yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Ibnu Mas’ud R.A dari Nabi SAW:

ATTAHIYATULLAH, WASHSHALAWATU WATHTHAYYIBATU, ASSALAMU’ALAIKA AYYUHANNABIYYU WARAHMATULLAHI WABARKATU, ASSALAMU ‘ALAINA WA’ALA ‘IBADILLA HISHSHALIHIN. ASYHADUANLA ILLAHA ILLALLAH WA ASYHADUANNA MUHAMMADAD ABDUHU WARASULUHU.

ARTINYA: “SEGALA KEHORMATAN ITU KEPUNYAAN ITU ALLAH, JUGA SEGALA IBADAT DAN SEGALA YANG BAIK-BAIK, SELAMAT SEJAHTERA ATASMU WAHAI NABI DAN ALLAH SERTA BERKATNYA. SELAMAT SEJAHTERA ATAS KAMI DAN SEMUA HAMBA ALLAH YANG SHALEH, AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN YANG PANTAS DISEMBAH MELAINKAN ALLAH DAN AKU BERSAKSI BAHWA MUHAMMAD ADALAH HAMBA DAN UTUSAN ALLAH”

Kemudian diperintahkan untuk membaca do’a yang dikehendaki.

Hadits diatas menerangkan tentang keharusan membaca bacaan tasyahud (tahiyat) didalam shalat baik ketika tasyahud awal maupun tasyahud akhir. Namun yang menjadi rukun shalat adalah pada tasyahud akhir. Sedang bacaannya sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW diatas.

Dan hendaklah kita isyaratkan keesaan Allah (kita angkatkan telunjuk) dikala membaca “Illallah” dengan niat yang terpaku dihati kita. Mengesakan Allah dan mengikhlaskan amal karuniaNya dan bagiNya. Dilakukan yang demikian adalah untuk mengumpulkan tauhid perbuatan, tauhid perkataan dan tauhid I’tiqad, dan hendaklah digerakan telunjuk disetiap berdo’a menyeru Allah.

Setelah selesai tasyahud, sempurnakanlah hak yang semestinya bagi duduk ini, kita boleh bangkit untuk rakaat yang ketiga.

Kesebelas: Bershalawat Kepada Nabi SAW
Diriwayatkan dari Abu Humaid As-Sa’idi RA dia telah berkata:

Para sahabat telah berkata: “Wahai Rasullullah, bagaimanakah caranya untuk kami mengucapkan shalawat kepadamu?” Beliau kemudian bersabda: “Bacalah: Allahumma Shalli’ala Muhammad Wa’ala Azwajihi Wadzurriyyatihi, Kama Shallaita Ala Ali Ibrahim, Wabarik’ala Muhammad Wa’ala Azwajihi Wa Dzurriyyatihi, Kama Barakta’ala Ali Ibrahim Innaka Hamidummajid

Artinya: “Ya Allah, berikanlah kesejahteraan kepada Muhammad dan kepada Istri-istri serta anak turunannya sebagaimana engkau telah mencurahkan kesejahteraan kepada Keluarga Ibrahim, dan berikanlah keberkatan kepada Muhammad dan kepada Istri-istri serta anak turunannya sebagaimana engkau telah mencurahkan keberkatan kepada keluarga ibrahim. Seseungguhnya engkau maha terpuji lagi maha mulia”

Hadits diatas menerangkan tentang bacaan shalawat kepada Nabi SAW, khususnya pada tasyahud akhir, menjadi rukun shalat yang tidak boleh ditinggalkan. Apabila ditinggalkan (tidak membaca shalawat pada tasyahud akhir) maka shalatnya tidak sah (H.R Mutaqa’alaih)

Keduabelas: Salam
‘Itban R.A telah menceritakan hadits berikut:

SHALLAYNA MA’ANNABIYYU S.A.W FASALLAMNA HIYNA SALLAMA
ARTINYA: “KAMI SHALAT BERSAMA DENGAN NABI S.A.W DAN KAMI MEMBACA SALAM MANAKALA BELIAU BERSALAM” (H.R Bukhari)

Nabi SAW shalat & bersalam sekali kehadapan wajahnya. Dalam hadits yang di riwayatkan Imam Ibnu Majah:
Shallannabiyyu S.A.W Bitaslimatin Wahidatin Tilqa A Wajhihi.


Hadits ini membrkan pengertian bahwa bacaan salam yang dilakukannya dua kali dan hadits yang berikutnya menjelaskan makna yang terkandung didalamnya. Karena itu barang siapa yang merasa cukup hanya dengan sekali salam, berarti ia menjadikannya dikedepan wajahnya, dan barang siapa yang bersalam dua kali berarti ia menjadikan salam yang pertama disebelah kanannya sedangkan salam yang kedua disebelah kirinya.

Sahabat Abu Hurairah R.A telah menceritakan Nabi SAW pernah bersabda:

HADZFUSSALAMI SUNNATUN
ARTINYA: “MEMPERPENDEK BACAAN SALAM ADALAH SUNNAH” (H.R Abu Daud dan Tharmudzi)

Ketiga Belas: Tertib

Tertib berarti berurutan menurut tuntunan yang dicontohkan Rasullullah SAW. Misalnya kita dilarang mencotok-cotokan rukuk dan sujud. Nabi SAW bersabda:

BAHWASANYA RASULLULLAH SAW MELIHAT SEORANG LELAKI YANG TIDAK MENYEMPURNAKAN RUKUKNYA DAN MENCOTOK-COTOKAN DALAM SUJUDNYA, SEDANG IA LAGI BERSHALAT. MAKA BERKATALAH RASULLULLAH SAW “SEKIRANYA ORANG INI MATI DALAM KEADAAN BEGINI, MATILAH IA DILUAR AGAMA MUHAMMAD” KEMUDIAN NABI SAW BERKATA “PERUMPAMAAN ORANG YANG TIDAK MENYEMPURNAKAN RUKUK DAN MENCOTOK-COTOKAN DALAM SUJUDNYA, ADALAH SEUMPAMA ORANG LAPAR MEMAKAN SEBIJI ATAU DUA KURMA, TIADA MENGENYANGKANKANNYA (TIADA MEMBERI FAEDAH APA-APA BAGINYA)” (H.R Abu Ya’la (Sanadhasan), Abu Khuzaimah dan Ath-Thabaraby dari Abu Abdullah Al-Asy’asyi,At-Targhibi)

Rasullullah juga melarang menoleh kekiri kekanan sebagaimana dikatakan Aisyah RA:

SAYA TELAH BERTANYA KEPADA RASULULLAH SAW PERIHAL BERPALING-PALING DALAM SHALAT. MAKA RASULULLAH SAW MENJAWAB ”ITU SUATU SAMBARAN DARI SYETAN YANG IA SAMBARKAN DARI SHALAT HAMBA ALLAH SWT.” (H.R Bukhari, Abu Daud, An-Nasi’I dan Abu Khuzaimah At-Targhib 1:333)

Orang yang berpaling dalam shalatnya dikala bermunajat dengan Allah SWT adalah setamsil Orang yang dipanggil raja dan diperintahkan berdiri di hadapannya untuk mendengarkan tugas, lalu raja berkata-kata, orang itu berpaling-paling tidak tetap menghadap kehadapan raja. Tidak memahamkan perintah raja, tentulah orang itu tidak megertti pembicaraan yang dihadapkan kepadanya.

Adapun hikmah dilarang berpaling-paling dalam shalat, ialah karena berpaling-paling itu mengurangkan khusyu’ dan tidak mungkin menghadirkan hati kepada Allah SWT yang kita bermunajat dengan-Nya. Sebagaimana Firmannya:
۞ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلاتِهِمْ خَاشِعُونَ ۞ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ

Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya (Q.S Al-Mu’minun 23:1-2)

Yakni orang yang melaksankan shalat dengan khusyuk, yaitu melakukan sesuatu dengan tenang (Thuma’minah). Memahami apa-apa yang diucapkannya

Rasullullah SAW melihat seorang lelaki mempermainkan tangan sedang shalat, maka Rasullullah SAW bersabda:

LAU KHASYA’A QALBU HADZARRUJULI LAKHASYA’AT JAWARIHUHU
ARTINYA: “SEKIRANYA KHUSYU’ JIWA ORNG INI TENTULAH KHSYU’ SEGALA ANGGOTA-ANGGOTANYA” (H.R Al-Hakim, At-Tharmudzi dari Abu Hurairah R.A)

Barang siapa memelihara benar-benar akan shalat yang lima, rukuknya, sujudnya, waktunya, serta meyakini bahwa shalat itu dari pada Allah, masuklah ia kesurga atau wajiblah baginya surga, atau Nabi SAW berkata: “haramlah ia atas api neraka” (H.R Ahmad dari Handhalah Al-Kitab dengan Hasan)

Hidits ini menunjukankepada kefardhuan menyempurnakan segala rukun shalat dan segala sesuatu yang bersangkutan dengannya

Kewajiban Thuma’minah dalam tiap-tiap rukun. Bersabda Nabi SAW:


LA TAJZI U SHALATURRAJULIHATTA YUQIMA ZHAHRA U FIRRUKU’I WASUJUD

ARTINYA: “TIDAK SAH SHALAT SESEORANG, HINGGA IA TEGAKKAN (TETAPKAN) PUNGGUNGNYA DALAM RUKUK DAN SUJUD” (H.R Ahmad, Abu Daud dari Abu Mazid Al-Badry At-Targhib 1:298)