Al-Fatihah itulah kata-kata munajat, dengan dialah kita berbicara dengan Allah SWT.
Apabila kita membaca Al-Fatihah, maka hendaklah hati kita mendahului lidah. Yakni, hendaklah lebih dahulu hati mengingat makna, dan kemudian baharulah lidah mengucapkan bacaan. Jika tak dapat demikian, hendaklah lisan menjadi guru bagi hati. Yakni, hendaklah hati mengingat makna sesudah lidah membaca Lafadh. Sebaiknya janganlah hendaknya lidah bergerak, kalau hati dalam keadaan lalai untuk memahaminya.
1. Apabila kita membaca “Alhamdulillahirabbil’alamiin”, maka hendaklah kita ingat, bahwa segala puji yang baik yang kesemuanya membawa kepada kebenaran, adalah milik Allah SWT dan Haq-Nya. Karena Allah SWT-lah yang menjadikan alam dan mengatur, mengurus segala urusan-urusan alam. Dan hendaklah kita berhenti sejenak di akhir ayat, untuk menanti penjawaban Allah SWT yaitu “Hamidani ‘Abdi” (Hambaku telah Menyanjung-ku).
2. Apabila kita membaca “Ar-Rahmairrahim”. Maka hendaklah kita ingat, bahwa Allah SWT senantiasa memberi rahmat kepada Makhluk-Nya. Dan hendaklah kita ingat kehalusan Allah SWT yang membangkitkan kita kepada mengharap-Nya. Dan hendaklah kita berhenti sejenak pula, buat menanti penjawaban Allah SWT yaitu “Atsna Alaiya ‘Abdie” (Hamba-Ku telah menyanjung-Ku).
3. Apabila kita membaca “Malikiyaumiddiin”. Maka hendaklah kita ingat bahwasanya Allah SWT sendiri yang memegang segala urusan dihari membuat perhitungan terhadap segala amalan yang memberi pembalasan dan ganjaran. Hendaklah kita ingat, bahwa tak ada pada hari itu yang dapat diharap selain Allah SWT. Sendiri-Nya. Dan hendaklah kita berhenti sejenak di akhir ayat ini. Untuk menanti penjawaban Allah SWT, yaitu: “Majjadaniy ‘Abdie”. (Hamba-Ku telah meng-agungkan-Ku).
Orang yang arif, sangat senang menyambut penjawaban Allah SWT yang indah ini. Demi Allah sekiranya bukan karena jiwa telah ditutup kegelapan syahwat, terbanglah rasanya orang-orang yang membaca tiga yat ini, lantaran gembira menyambut penjawaban Allah SWT yang tiga itu.
Dalam hati orang yang ‘Arif, setelah membaca “Alhamdulillah Hirabbil ‘Alamiin, Ar-Rahmannirrahiim, Malikiyaumiddin” terpatrilah nama-nama Allah SWT yang menjadi pokok “Asma Ul Husna”, yaitu Allah, Ar-Rahman dan Ar-Rahim”.
Di waktu lidahnya menyebut “Allah”, terlihatlah oleh hatinya akan Allah SWT, yang disembah. Yang di maksud, yang ditakuti, dan yang haq menerima ibadat.
Diwaktu lidahnya menyebut “Rabbil ’Alamiin:. Tergambarlah dihatinya, bahwasanya Allah SWT itu Qayyum, Mengurus Segala Sesuatu. Qa’mun Bin Nafsih, yang berdiri sendirinya.
Diwaktu lidahnya menyebut “Malkiyaumiddin”. Jiwanya mempersaksikan kebesaran-kebesaran yang hanya ada pada Raja yang haq lagi nyata. Raja Haq lagi nyata itu tentulah “Hayyun” yang senantiasa hidup. “Qayyum” yang mengurus segala sesuatu dengan sendirinya. “Sami ‘Un” yang mendengar. “Bashirun” yang melihat. “Mutakallimun” yang mempunyai pembicaraan. “Amirun” yang memerintah. Yang mengirim segala rupa perintah-Nya meredhai hamba-hamba-Nya yang patut di-Ridhai. Serta memberikan pahala. Dan memarahi hamba-hamba yang patut di marahi serta memberikan siksa. dan Allah SWT-lah pemilik tempat bahagia (surga). Dan tempat siksa (neraka).
Kalimat “Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamiin” adalah kalimat yang berisi pujaan dan pujian yang dihadapkan manusia kepada Allah SWT. Allah SWT memilih satu yang paling Allah senangi. Yakni kalimat “Alhamdulillah” yang di jawab langsung dalam kita bermunajat kepada-Nya. Karena Dia-lah “Rabbil ‘Alamiin” Pengatur seluruh alam. Pemelihara segalanya, Pengawas secara keseluruhannya. “Rabbil ‘Alamiin” pemberi hidup segala yang hidup. Pemberi ilham dan wahyu bagi segala Nabi, Rasul dan penemuan-penemuan baru, penggerak hati “Muqallibul Qulub” dalam berbagai kebajikan hidup. Rabbil ‘Alamiin” sumber segala kekuatan dan daya dan lainnya.
“Ar-Rahmanirrahim”
Ar-Rahman dan Ar-Rahim adalah dua nama dari beberapa nama Allah SWT. Disamping sebagai nama lain dari Allah SWT, keduanya juga merupakan dua dari sekian banyak sifat-sifatNya. Yang dengannya Allah SWT di puji dan di agungkan dan kepada-Nya-lah kita mohon di berikan Rahmat.
Rahmat Allah SWT di dunia dapat diperoleh baik oleh orang-orang yang ta’at maupun yang biasa melakukan maksiat. Maupun kafir. Adapun Rahmat Allah SWT di akhirat nanti akan di peruntukkan khusus bagi orang-orang mukmin saja. Yaitu orang-orang yang bertaqwa, orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada Al-Qur’an, yaitu orang-orang yang mengikuti Sunnah Rasul.
“Malikiyaumiddin”
Malik artinya: Pemilik atau Penguasa, baik di dunia maupun di akhirat
Artinya: “Allah SWT menganugerahkan kerajaan didunia kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha luas anugerah-Nya. Lagi Maha mengetahui” (Q.S Al-Baqarah 2:247)
Artinya: “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya lah segala kerajaan dan Dia Maha kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S Al-Mulk 67:1)
Allah SWT mengkhususkan diri-Nya bahwa Dia Lah zat yang merajai pada hari kiamat nanti. Karena pada hari itu Allah SWT menggantikan langit dan bumi dengan langit dan bumi yang lain sebagaimana Firmannya dalam Qur’an Surat Ibrahim Ayat 48.
Artinya: “(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.S Ibrahim 14:48)
4. Apabila kita membaca “Iyyakana’budu Wa Iyya Kanasta’in”, maka hendaklah kita ingat pada saat itu, bahwa kita berkomunikasi dengan Allah SWT yang Maha Besar. Untuk menghambakan diri Kepada-Nya. Yaitu: Shalat, Ibadah yang kita lakukan semata-mata hanya untuk mencari keredha’an-Nya. Mengharapkan ampunan-Nya, kemudian kita mohonkan pertolongan kepada-Nya. Agar kita di beri kemampuan untuk menjalani hidup ini di jalan yang di ridhai-Nya. Mohon di jauhkan dari Bahaya tipu daya setan, baik dari kalangan jin maupun dari Manusia. Kemudian berlindung kepada-nya dari Adzab kubur dan Adzab neraka jahannam, yang di sediakan bagi makhluk-Nya dari bangsa Jin dan Manusia yang mengingkari Ayat-ayat-Nya.
Dan hendaklah kita berhenti di Akhir Ayat, untuk menanti penjawaban Allah SWT yaitu “HADZA BAINI WA BAINA ‘ABDI, WALI ‘ABDI MASA-ALA”. “Inilah dia antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-ku apa yang dia minta”
Tuhan jelaskan kepada manusia melalui Rasul-Rasul-Nya, yaitu jalan-jalan yang di ridhai-Nya. Dalam berbagai kitab-kitab-Nya. Kitab-kitab itu di turunkan dalam Taurat, Zabur, Injil, Shuhuf-Shuhuf (Lembaran yang di turunkan kepada Nabi Ibrahim) di kumpunlkan dalam Al-Qur’an. Segala makna Al-Qur’an di kumpulkan dalam surat-surat Al-Mufashshal. Segala makna surat-surat Al-Mufashshal di kumpulkan dalam Al-Fatihah. Segala makna-makna Al-Fatihah, di kumpulkan dalam “IYYAKA NA’ BUDU WA IYYA KANASTA’IEN”.
5. Apabila kita membaca “IHDINASHSHIRATHAL MUSTAQIEM”, maka hendaklah kita ingat bahwa kita memohon, agar di berikan jalan yang benar, baik berkenaan dengan ilmu, maupun yang berkenaan dengan Amal. Dan hendaklah kita merasai, bahwa kita sangat mengharapkan, permohonan kita itu, terkabulkan, kaena, tidak akan kita temukan jalan lurus, kalau bukan karena Allah SWT yang menunjuki kita, kepada Jalan yang di ridhainya. Jalan meraih kesuksesan dalam kehidupan, kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat kelak.
Agar hidup itu menjadi indah, dan aman, ikutilah peraturan dan ketentuan Allah SWT. Pasti akan selamat hidup menurut sewajarnya. Manusia beribadah kepada Allah SWT itu wajar, manusia menghambakan diri kepada Alam itu tidak wajar. Kalau kita bodoh belajar, itu wajar. Tetapi bodoh sok pintar, itu tidak wajar. Kalau kita salah di ingatkan orang itu wajar, tetapi kita sudah salah, di beri tahu orang, kita malah marah-marah, itu tidak wajar. Sesuatu itu dalam kehidupan kalau tidak dalam kewajaran, akan membuat batin kita menjadi resah, untuk itulah kita mohon di beri petunjuk ke jalan yang wajar, yaitu jalan yang lurus menuju keridhaan-Nya. Tuhan mewajibkan kita untuk mengulang-ulang permohonan itu di setiap kita melakukan shalat. Dan hendaklah di akhir ayat yang kita baca berhenti sejenak. Untuk menanti pula penjawaban dari Allah SWT yaitu: “HADZA LI ‘ABDIE WA LI ‘ABDIE MASA-ALA”. “hal ini untuk hamba-Ku dan baginya apa yang ia minta”. Kemudian kita memulai membaca ayat berikutnya.
6. Apabila kita membaca “SHIRATHALLADZI NA’AN ‘AM TA’ALAYHIM”, maka hendaklah kita ingat, bahwa jalan yang kita mohonkan itu, ialah jalan yang telah di berikan kepada orang-orang yang Allah SWT telah berikan nikmat atas mereka. Yaitu orang-orang yang mengikuti kepercayaan yang sama dengan kepercayaan nabi-nabi dan rasul-Nya.
Manusia yang menerima dan beriman dengan risalah yang di bawa nabi-nabi dan rasul-rasul itulah manusia yang paling beruntung dan paling baik. Sedang manusia yang tak percaya nabi-nabi dan rasul-rasul itulah manusia yang paling merugi atau paling celaka di akhirat nanti.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Q.S Al-Bayyinah 98:6)
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.” (Q.S Al-Bayyinah 98:7)
Yang dikatakan orang-orang kafir itu bukanlah orang-orang yang tak percaya Tuhan saja. Tetapi setiap orang-orang yang mendustakan atau tidak mempercayai salah satu nabi dan rasul. Atau mendustakan tidak percaya salah satu kitab-kitab yang di turunkan kepada nabi-nabi dan Rasul-rasul itu, juga termasuk kafir.
Adapun orang-orang yang mendapat petunjuk kepada jalan yang benar, ialah orang-orang yang beriman. Yaitu beriman kepada Allah, beriman kepada Rasulnya, dan membuktikan iman yang telah di akuinya itu dengan perbuatan dan sikap hidup. Yaitu beusaha untuk menegakkan kebenaran di muka bumi ini. Dan di jiwai dengan mendirikan shalat, serta tulus ikhlas di segala hubungan, baik hubungan dengan Allah (Hablunminallah) ataupun hubungan sesama manusia (Hablunminannas). Mereka itulah sebaik-baik makhluk, mereka telah mengisi kehidupannya dengan hal-hal yang bernilai, tidak melakukan perbuatan yang sia-sia.
7. Apabila kita membaca “GHAIRIL MAGHDhU BI ‘ALAIHIM WALADHDHALLIN”, maka hedaklah kita ingat, bahwa kita memohon kepada Allah SWT, agar di jauhkan kita dari jalan-jalan orang yang di murkai-Nya. Lantaran mereka mengutamakan ke bathilan, yaitu siapa saja yang menolak, menyangkal, atau menentang ajaran yang di ajarkan oleh para nabi dan rasul. Dan kitab-kitab suci yang diturunkan kepada Mereka.
Di dalam Al-Qur’an di jelaskan perihal orang-orang yang di marahi (di murkai) ialah golongan orang-orang yahudi dan dengan orang-orang yang sesat ialah golongan nasrani. Firman-Nya
Artinya: “Alangkah buruknya (perbuatan) mereka yang menjual dirinya sendiri dengan kekafiran kepada apa yang telah diturunkan Allah, karena dengki bahwa Allah menurunkan karunia-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Karena itu mereka mendapat murka sesudah (mendapat) kemurkaan. Dan untuk orang-orang kafir siksaan yang menghinakan.” (Q.S Al-Baqarah 2:90)
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Thurmudzi dari ‘Ady bin Hatim, Nabi SAW bersabda:
‘AL YAHUDU MAGHDHUUBUN ‘ALAIHIM WAN NASHARA DHAALLUUN
Artinya: “Golongan yahudi di marahi atas mereka (Maghdhuub’alaihim) dan golongan Nasrani sesat (Dhaalluun)”.
Sebab itu dalam Ayat 5,6 dan 7 dari surat Al-Fatihah, di ajarkan agar kita selalu bermohon kepada Allah SWT, agar selalu di tunjuki jalan yang lurus, jalan orang yang mendapat nikmat, bukan jalan orang-orang yang di marahi Allah SWT, atau orang-orang yang sesat itu. Dan hendaklah kita berhenti sejenak di akhir ayat ini, yakni An ‘Amta’alaihim dan di akhir Waladhdhallin, untuk menanti penjawaban Allah SWT, yaitu “HADZA LI ‘ABDIE WA LI ‘ABDIE MASA-ALA”, “Ini bagi hamba-Ku dan bagi hamba-Ku apa yang ia minta.”