Makna Ikhlas

Makna Ikhlas
——————————————————————————————————————-
Pertama, dia memang ingin bertaqarrub kepada selain Allah di dalam ibadahnya ini dan mendapatkan pujian semua makhluk atas perbuatannya tersebut. Maka, ini menggugurkan amalan dan termasuk syirik. Di dalam hadits yang shahih dari Abu Hurairah -rodhiallahu’anhu- bahwasanya Nabi – sholallaahu alaihi wa salam- bersabda, “Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم قال الله تبارك وتعالى أنا أغنى الشركاء عن الشرك من عمل عملا أشرك فيه معي غيري تركته وشركه
“Aku adalah Dzat Yang Paling tidak butuh kepada persekutuan para sekutu; barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukanKu dengan sesuatu selainKu, maka Aku akan meninggalkannya beserta kesyirikan yang diperbuatnya.” (Shahih Muslim, kitab az-Zuhud (2985).
Kedua, dia bermaksud melalui ibadahnya untuk meraih tujuan duniawi seperti kepemimpinan, kehormatan dan harta, bukan untuk tujuan bertaqarrub kepada Allah; maka amalan orang seperti ini akan gugur dan tidak dapat mendekatkan dirinya kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-. Dalam hal ini, Allah -subhanahu wa ta’ala- berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لا يُبْخَسُونَ (١٥) أُولَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (١٦)
“Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka itu di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (Hud:15-16)
Perbedaan antara klasifikasi kedua ini dan pertama; bahwa dalam klasifikasi pertama, orang tadi bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah. Sedangkan pada klasifikasi ini, dia tidak bermaksud agar dirinya dipuji atas ibadahnya tersebut sebagai ahli ibadah kepada Allah bahkan dia malah tidak peduli atas pujian orang terhadap dirinya.
Ketiga, dia bermaksud untuk bertaqarrub kepada Allah -subhanahu wa ta’ala-, di samping tujuan duniawi yang merupakan konsekuensi logis dari adanya ibadah tersebut, seperti dia memiliki niat dari thaharah yang dilakukannya -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyegarkan badan dan menghilangkan kotoran yang menempel padanya; dia berhaji -di samping niat beribadah kepada Allah- untuk menyaksikan lokasi-lokasi syiar haji (al-Masya’ir) dan bertemu para jama’ah haji; maka hal ini akan mengurangi pahala ikhlas akan tetapi jika yang lebih dominan adalah niat beribadahnya, berarti pahala lengkap yang seharusnya diraih akan terlewatkan. Meskipun demikian, hal ini tidak berpengaruh bila pada akhirnya melakukan dosa. Hal ini berdasarkan firman Allah -subhanahu wa ta’ala- mengenai para jamaah haji,
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلا مِنْ رَبِّكُمْ َ (١٩٨)
“Tidak ada dosa bagimu mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Rabbmu.” (Al-Baqarah: 198)
Jika yang dominan adalah niat selain ibadah, maka dia tidak mendapatkan pahala akhirat, yang didapatnya hanyalah pahala apa yang dihasilkannya di dunia itu. Saya khawatir malah dia berdosa karena hal itu, sebab dia telah menjadikan ibadah yang semestinya merupakan tujuan yang paling tinggi, sebagai sarana untuk meraih kehidupan duniawi yang hina. Maka, dia tidak ubahnya seperti orang yang dimaksud di dalam firmanNya,
وَمِنْهُمْ مَنْ يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِنْ لَمْ يُعْطَوْا مِنْهَا إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ (٥٨)
“Dan di antara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) zakat; jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya, dengan serta merta mereka menjadi marah.” (At-Taubah: 58)
Di dalam Sunan Abu Daud dari Abu Hurairah -rodliallaahu’ahnu- disebutkan bahwa ada seorang laki-laki berkata, ‘wahai Rasulullah, (bagaimana bila-penj.) seorang laki-laki ingin berjihad di jalan Allah sementara dia juga mencari kehidupan duniawi?” Rasulullah -sholallaahu alaihi wa salam- bersabda, “Dia tidak mendapatkan pahala.” Orang tadi mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan Nabi -sholallaahu alaihi wa salam- tetap menjawab sama, “Dia tidak mendapatkan pahala.” (Sunan Abu Daud, kitab al Jihad(2516); Musnad Ahmad, Juz II, hal. 290, 366 tetapi di dalam sanadnya terdapat Yazid bin Mukriz, seorang yang tidak diketahui identitasnya (majhul); lihat juga anotasi dari Syaikh Ahmad Syakir terhadap Musnad Ahmad, no. 7887.)
Demikian pula hadits yang terdapat di dalam kitab ash-Shahihain dari Umar bin al- Khaththab -rodliallahu’anhu- bahwasanya Nabi -sholallahu alaihi wassallam’ bersabda,
مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa yang hijrahnya karena ingin meraih kehidupan duniawi atau untuk mendapatkan wanita yang akan dinikahinya; maka hijrahnya hanya mendapatkan tujuan dari hijrahnya tersebut”. (Shahih al-Bukhari, kitab Bad’u al-Wahyi (1); Shahih Muslim, kitab al-Imarah (1907).)
Jika persentasenya sama saja, tidak ada yang lebih dominan antara niat beribadah dan non ibadah; maka hal ini masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, pendapat yang lebih persis untuk kasus seperti ini adalah sama juga; tidak mendapatkan pahala sebagaimana orang yang beramal karena Allah dan karena selainNya juga. Perbedaan antara jenis ini dan jenis sebelumnya (jenis kedua), bahwa tujuan yang bukan untuk beribadah pada jenis sebelumnya terjadi secara otomatis. Jadi, keinginannya tercapai melalui perbuatannya tersebut secara otomatis seakan-akan yang dia inginkan adalah konsekuensi logis dari pekerjaan yang bersifat duniawi itu.
Jika ada yang mengatakan, “Apa standarisasi pada jenis ini sehingga bisa dikatakan bahwa tujuannya yang lebih dominan adalah beribadah atau bukan beribadah?”
Jawabannya, standarisasinya bahwa dia tidak memperhatikan hal selain ibadah, maka baik hal itu tercapai atau tidak tercapai, telah mengindikasikan bahwa yang lebih dominan padanya adalah niat untuk beribadah, demikian pula sebaliknya. Yang jelas, perkara yang merupakan ucapan hati amatlah serius dan begitu urgen sekali. Indikasinya, bisa jadi hal itu dapat membuat seorang hamba mencapai tangga ash-Shiddiqin, dan sebaliknya bisa pula mengembalikannya ke derajat yang paling bawah sekali.
Sebagian ulama Salaf berkata, “Tidak pernah diriku berjuang melawan sesuatu melebihi perjuangannya melawan (perbuatan) ikhlas.”
Kita memohon kepada Allah untuk kami dan anda semua agar dianugerahi niat yang ikhlas dan lurus di dalam beramal.
Rujukan:
Kumpulan Fatwa dan Risalah dari Syaikh Ibnu Utsaimin, Juz 1, hal. 98-100. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, hal. 155-158, Penerbit Darul Haq

Doa Berkenaan dengan Masjid




Hisnul Muslim
——————————————————————————————————————-
Doa Pergi ke Masjid
اَللَّهُمَّ اجْعَلْ فِيْ قَلْبِيْ نُوْرًا، وَفِيْ لِسَانِيْ نُوْرًا، وَفِيْ سَمْعِيْ نُوْرًا، وَفِيْ بَصَرِيْ نُوْرًا، وَمِنْ فَوْقِيْ نُوْرًا، وَمِنْ تَحْتِيْ نُوْرًا، وَعَنْ يَمِيْنِيْ نُوْرًا، وَعَنْ شَمَالِيْ نُوْرًا، وَمِنْ أَمَامِيْ نُوْرًا، وَمِنْ خَلْفِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ نَفْسِيْ نُوْرًا، وَأَعْظِمْ لِيْ نُوْرًا، وَعَظِّمْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ لِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْنِيْ نُوْرًا، اَللَّهُمَّ أَعْطِنِيْ نُوْرًا، وَاجْعَلْ فِيْ عَصَبِيْ نُوْرًا، وَفِيْ لَحْمِيْ نُوْرًا، وَفِيْ دَمِيْ نُوْرًا، وَفِيْ شَعْرِيْ نُوْرًا، وَفِيْ بَشَرِيْ نُوْرًا. [اَللَّهُمَّ اجْعَلْ لِيْ نُوْرًا فِيْ قَبْرِيْ … ونُوْرًا فِيْ عِظَامِيْ ] [وَزِدْنِيْ نُوْرًا، وَزِدْنِيْ نُوْرًا، وَزِدْنِيْ نُوْرًا] [وَهَبْ لِيْ نُوْرًا عَلَى نُوْرٍ].
“Ya Allah ciptakanlah cahaya di hatiku, cahaya di lidahku, cahaya di pendengaranku, cahaya di penglihatan-ku, cahaya dari atasku, cahaya dari bawahku, cahaya di sebelah kananku, cahaya di sebelah kiriku, cahaya dari depanku, dan cahaya dari belakangku. Ciptakanlah cahaya dalam diriku, per-besarlah cahaya untukku, agungkanlah cahaya untukku, berilah cahaya untuk-ku, dan jadikanlah aku sebagai cahaya. Ya Allah, berilah cahaya kepadaku, ciptakan cahaya pada urat sarafku, cahaya dalam dagingku, cahaya dalam darahku, cahaya di rambutku, dan cahaya di kulitku” 1 [Ya Allah, ciptakan-lah cahaya untukku dalam kuburku … dan cahaya dalam tulangku”], 2 [“Tam-bahkanlah cahaya untukku, tambahkan-lah cahaya untukku, tambahkanlah cahaya untukku”], 3 [“dan karuniakan-lah bagiku cahaya di atas cahaya”] 4

Doa Masuk Masjid
أَعُوْذُ بِاللهِ الْعَظِيْمِ، وَبِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ، وَسُلْطَانِهِ الْقَدِيْمِ، مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، [بِسْمِ اللهِ، وَالصَّلاَةُ][وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ] اَللَّهُمَّ افْتَحْ لِيْ أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, dengan wajahNya Yang Mulia dan kekuasaanNya yang abadi, dari setan yang terkutuk .5 Dengan nama Allah dan semoga shalawat 6 dan salam tercurahkan kepada Rasulullah 7 Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmatMu untukku.” 8

Doa Keluar Masjid
بِسْمِ اللهِ وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ، اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ، اَللَّهُمَّ اعْصِمْنِيْ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
“Dengan nama Allah, semoga sha-lawat dan salam terlimpahkan kepada Rasulullah. Ya Allah, sesungguhnya aku minta kepadaMu dari karuniaMu.9 Ya Allah, peliharalah aku dari godaan setan yang terkutuk”.10
———–
Footnote :
1. Hal ini semuanya disebutkan dalam Al-Bukhari 11/116 no.6316, dan Muslim 1/526, 529, 530, no. 763.
2. HR. At-Tirmidzi no.3419, 5/483.
3. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad, no. 695, hal.258. Al-Albani menyatakan isnadnya shahih, dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad, no. 536.
4. Disebutkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, dengan menisbatkannya kepada Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab Ad-Du’a. Lihat Fathul Bari 11/118. Katanya: “Dari berbagai macam riwayat, maka terkumpullah sebanyak dua puluh lima pekerti”.
5. HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ no.4591.
6. HR. Ibnu As-Sunni no.88, dinyatakan Al-Albani “hasan”.
7. HR. Abu Dawud, lihat Shahih Al-Jami’ 1/528.
8. HR. Muslim 1/494. Dalam Sunan Ibnu Majah, dari hadits Fathimah “Allahummagh fir li dzunubi waftahli abwaba rahmatik”, Al-Albani menshahihkannya karena beberapa shahid. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/128-129.
9. HR Muslim 1/494 no 713
10. Tambahan: Allaahumma’shimni minasy syai-thaanir rajim, adalah riwayat Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 129.

Adakah Bid’ah Hasanah


أبو أوفى السلفي
Seri-4
——————————————————————————————————————-
Sampailah kita pada pembahasan terakhir tentang ‘Adakah Bid’ah Hasanah [?] ‘ dan diakhir pembahasan ana lengkapi dengan kesimpulan tentang Bid’ah hasanah.. silahkan pembaca menyimak, mudah-mudahan bermanfaat..
Syubhat Keenam :
Perkataan Al ‘Izz bin Abdisalam tentang bid’ah bahwa:
” Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah, bid’ah yang makhruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah dikembalikan kepada kaidah-kaidah Syariat. Maka jika bid’ah tersebut masuk ke dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk ke dalam kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk ke dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bid’ah yang mubah.” (Al I’tisham 1/246)
Bantahan :
Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya
Kedua : Berkata Imam Asy Syathiby : ” Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang diada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’I yng mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’I, tidak berupa dalil dari nash-nash syar’I, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syari tentang wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk ke dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan.” (Al I’tisham 1/246)
Ketiga : Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al ‘Izz bin Abdisalam adalah bidah menurut pengetian bahasa bukan menurut pengertian Syar’i hal yang menunjukkan hal tersebut adalah contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian bid’ah tersebut :
Bid’ah wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah Azza Wa Jalla dan sabda Rasul-Nya Alaihi Sholatu Wa Sallam dipahami. Apakah menekuni ilmu nahwu itu merupakan bid’ah ? ataukah ia termasuk ke dalam kaidah yang mengatakan :
مالايتّم الواجب الاّبه فهو واجب
“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya wajib.”
Bid’ah Sunnah beliau contohkan dengan sholat tarawih dan pembangunan sekolah-sekolah. Sholat tarawih telah ada contoh perbuatan dari Nabi, sebagaimana telah dibahas dimuka (Perkataan Umar tentang Sholat Tarawih-Abu Aufa) sedangkan pembangunan sekolah-sekolah adalah wasilah untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita pungkiri.
Bid’ah Mubah beliau contohkan dengan kelezatan-kelezatan dan hal itu bukanlah merupakan bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebihan), maka ia termasuk kepada hal yang diharamkan, yang masuk ke dalam suatu bentuk kemaksiatan bukan termasuk bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah (silahkan lihat di http://www.almanhaj.or.id/content/1203/slash/0 – Abu Aufa)
Keempat : Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al ‘Izz bi Abdisalam Rahimahullah bahwa beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal tersebut serta mentahdzir dari bahaya bid’ah. Beberapa contohnya :
Syahibuddin Abu Syaamah-Murid Al ‘Izz- berkata : Beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khatib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh para khatib dengan pukulan pedang diatas mimbar dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban) dan beliau melarang keduanya.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 46 no 15 Cet Daarul Baaz)
Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat subuh dan ashar, maka beliaupun berkata : “Bersalam-salaman setelah sholat subuh dan ashar adalah merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat bertemu dan berjabat tangan dengannya sebelum sholat, sebab bersalam-salaman disyariatkan oleh agama ketika baru bertemu. Dan adalah nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam biasanya setelah sholat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari sholatnya.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
” Dan tidaklah disukai (disunnahkan) mengangkat kedua tangan ketika berdoa, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam mengangkat kedua tangannya, dan tidak ada orang yang mengusap kedua tangannya kewajahnya setelah berdoa melainkan orang yang jahil.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
Dan sebagainya………
Kesimpulan tentang Bid’ah Hasanah
Berikut adalah beberapa kesimpulan tentang bid’ah Hasanah :
Pertama : Bahwasanya dali-dalil tentang celaan terhadap bid’ah sangat banyak, dan semuanya datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat didalamnya pengecualian sedikitpun dan tidak pula terdapat didalamnya sesuatu yang menghendaki bahwa dalam bid’ah itu ada yang bid’ah hasanah dan ada pula yang merupakan bid’ah syayiah dan tidak terdapat pula perkataan : “Setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna dengannya. Seandainya ada bid’ah yang dipandang oleh syara’ sebagai bid’ah hasanah niscaya akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits.. namun tidak ada, maka hal ini menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yang seorangpun tidak dapat menyelisihi tuntutannya. [Al I'tishaam 1/187]
Kedua : Bahwasanya telah ditetapkan dalam ushul ilmiyah bahwa setiap kaidah kulliyah atau dalil syar’i kulliyah jika terulang pada banyak tempat dan waktu berbeda-beda serta bermacam-macam kondisi dan belum dihubungkan dengan sutu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut tetap pada apa yang dikehendaki oleh lafadznya yang bersifat umum dan mutlaq. [Al I'tishaam 1/187]
Ketiga : Salafus Shalih dari para Sahabat, Tabiin dan orang-orang shalih setelahnya mereka telah sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid’ah orang-orang yang melakukan bid’ah. Mereka tidak pernah berhenti dan tidak pernah memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut, sehingga ijma’ tersebut –sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan ijma’ yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid’ah itu seluruhnya buruk dan tak ada satupun yang baik. [Al I'tishaam 1/188]
Keempat : Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah dengan sendirinya menghendaki demikian [keburukan-Abu Aufa], sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap pembuat syariat dan membuat syariat baru, dan setiap apa yang terkumpul didahal hal seperti ini mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk dan ada diantaranya sesuatu yang dipuji dan dicela, sebab akal sehat dan dali syariat tidak ingin menganggapnya baik [Al I'tishaam 1/188]
Kelima : Bahwasanya perkataan tentang bid’ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid’ah terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak suatu bid’ah apapun, sebuah setiap ahlul bid’ah itu pasti akan menganggap baik bid’ah yang dilakukannya. Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid’ah mereka itu ‘bid’ah hasanah’ demikian pula Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij dll. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Keenam : Apakah Standar untuk mengatakan bahwa bid’ah itu baik [?] dan siapakah yang menjadi rujukannya [?] Jika dikatakan bahwasanya standartnya adalah kesesuaian dengan Syariat, maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syariat itu bukanlah bid’ah. Dan jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masalah tersebut dan akal yang mana yang diterima hukumnya [?]
Ketujuh : Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid’ah : “Jika penambahan dalam agama itu dibolehkan atas nama bid’ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi sesuatu dari agama ini juga dianggap baik dengan mengatasnamakan bid’ah hasanah tersebut. Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan dihilangkan disebabkan penambahan dan pengurangan tersebut dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan. [Tahdziirul Muslimiin 'Anil Ibtida' Fiddiin oleh Ahmad bin Hajar Ali Buthamy hal 76]
Kedelapan : Bahwasanya perkataan tentang adanya bid’ah hasanah akan membawa kepada penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok, mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan bid’ah hasanah dan dengan perkataan tersebut bid’ah-bid’ah akan menjadi banyak dan semakin bertambah dalam ibadah-ibadah yang disyariatkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup semua pintu-pintu bid’ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai penyimpangan.
Kesembilan : Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri beliau Alaihi Sholatu Wa Sallam kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu. Dengan Kemampuan dan kehendak tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan demikian orang tersebut akan tahu bahwasanya perkataan beliau adalah perkataan yang paling ‘baliiqh’ (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan agama ini [Majmuu'ul Fataawaa 17/129]
Maraji :
Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”

Adakah Bid’ah Hasanah


أبو أوفى السلفي
Seri-3
——————————————————————————————————————-
Masih ingin tahu syubhat lain seputar bid’ah hasanah…. ikuti bahasan berikut :
Syubhat Keempat :
Ada sebuah riwayat yang oleh sebagian orang dipergunakan untuk melegalkan istilah bid’ah hasanah, yaitu :
Dari Ghudaif bin Al Harits berkata :” Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepadaku. Dalam suratnya beliau berkata kepadaku : “Wahai Abu Asma’, Sesungguhnya kami telah mengumpulkan manusia untuk memasyarakatkan dua perkara.” Ghudaif bertanya : “Apa itu ?” Beliau menjawab : “Yakni mengangkat tangan diatas mimbar pada hari jum’at dan menceritakan kisah-kisah pada setiap selesai sholat subuh dan ashar.” Maka Ghudaif berkata : “Ketahuilah bahwa kedua hal tersebut merupakan bid’ah yang terbaik menurutku namun aku tidak dapat menyambut perintah Anda untuk memasyarakatkan kedua budaya tersebut.” Ibnu Marwan bertanya :” Mangapa demikian ?” Jawab Ghudaif “Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
ما أحد ث قوم بدعة إلاّ رفع مثلها من السنّة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar dengannya pula.”
[Lihat Tahdziibul Kamaal 33/108]
Bantahan :
Pertama : Bahwasanya riwayat diatas adalah Dho’if karena dalam sanadnya terdapat dua cacat, yaitu :
a.Ada perawi bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, Ia Dho’if, dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma;in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Nasa’i dan Daruquthni (At Taqrib no 7974). Ibnu Hajar berkata dalam At Taqriib : Dia Dho’if.
b.Ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al Walid dan dia telah melakukan tadlis dengan riwayat ‘an-anah. Ibnu Hajar berkata : “Ia banyak meriwayatkan hadits dengan tadlis daripada perawi yang dhaif dan majhul (Asadul Ghaabah 4/340)
Kedua : Seandainya riwayat tersebut shahih, maka sesungguhnya tidak boleh sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusipun siapapun dia.
Ketiga : Bahwasanya Ghudaif bin Al-Harits ini diperselisihkan statusnya sebagai sahabat. Sebagian ulama menghitungnya dalam kelompok sahabat dan yang lain menghitungnya dalam kelompok tabi’in (Fathul Baary 13/254)
Keempat : Ghudaif Al Harits menolak penerimaan terhadap bid’ah tersebut, beliau membantah bidah hasanah tersebut dimana beliau tidak mau memasyarakatkannya dan diakhir riwayat beliau membawakan sabda Nabi :
ما أحد ث قوم بدعة إلاّ رفع مثلها من السنّة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar dengannya pula.”
Oleh karena itu jika sekiranya bidah tersebut adalah bid’ah hasanah maka tidak mungkin dengan keberadaannya akan menghilangkan suatu sunnah yang semisalnya.

Syubhat Kelima :
Perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah :
البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم

“Bidaah itu ada dua , yaitu bid’aah yang di puji dan bidaah yang keji. Sesuatu yang menyamai sunnah, maka ia adalah bidaah yang di puji, dan yang menyalahi sunnah, maka ia adalah bidaah yang keji (Manaaqibus Syaafi’I oleh Al Baihaqi 1/468)
المحدثات ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يحالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
“Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama’ (ijma’), maka ini adalah bid’ah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal baru/diada-adakan) yang tidak tercela.” [Ibid, dan Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267].
Bantahan :
Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya. Abdullah bin Abbas berkata :
ليس أحد الا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي صلى الله عليه وسلم
‘Tidak ada seorangpun melainkan perkataannya dapat ditolak dan diterima kecuali perkataan Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam ” (Jaami’ul Ulum Wal Hikam 6/28)
Kedua : Jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah mahmudah itu adalah makna secara bahasa bukan menurut Syara’ dengan dalil bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah tentu ia akan bertentangan dengan Al Qur’aan dan Sunnah. Karena Imam Syafi’i telah membatasi kata bid’ah mammudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ………
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu ………..”(Al Maidah :3)
Dan juga bertentangan dengan Sabda Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam:
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab berkata :
والمراد بها –أي المحدثات- ما أحدث وليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة. وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث لا على مثال يسمى بدعة، سواء كان محمودا أو مذموما
“Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan dalam istilah syari’at disebut bid’ah. Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syari’at, tidak disebut bid’ah. Dengan demikian bid’ah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, baik hal itu terpuji atau tercela.” [Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, 267].
Ketiga : Bahwasanya yang diketahui dari Imam Syafi’i Rahimahullah bahwasanya beliau adalah orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang sebuah masalah. Beliau berkata : “Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam maka bertanyalah sipenanya : “Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits tersebut ? Maka Imam Syafi’I pun terperanjat dan bergetar seraya berkata :
يا هذا أى أرض تقلنى وأى سماء تظلنى إذا رويت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثا فلم أقل به نعم على السمع والبصر
“Aduhai bumi yang mana yang akan kupijak dan langit manalagi yang akan menaungiku jika aku riwayatkan dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam suatu hadits lalu tidak aku berfatwa dengannya, tentu akan aku junjung sabda beliau. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ 10/34)
Ditempat yang lain beliau berkata :
“Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan mengikutinya. Apapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku. 1)
“Seluruh Kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” 2)
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam , peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.” 3)
“Bila suatu hadits Shahih, itulah Madzhabku.” 4)
“Kalian 5) lebih tahu tentang Hadits, dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu Shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.”
“Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam menurut kalangan ahlul hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”6)
“Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.” 7)
“Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” 8)
“Setiap hadits yang datang dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.” 9)
1. HR Hakim dengan sanad bersambung kepada imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir (XV/1/3). I’lam Al-Muwaqqi’in ( II/363-364), Al-Iqazh hal 100)
2. Ibnul Qayyim (II/361) dan Al Filani hal 68
3. Harawi dalam kitab Dzamm al-kalam (III/47/1), Al-Khatib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’i (VIII/2) dan lain-lain
4. Nawawi dalam Al-Majmu’ Sya’rani (I/57)
5. Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hlm 94-95. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX-106) dan lain-lain.
6. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al Filani hlm 104
7. Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’i hlm 93
8. Ibid
9. Ibid

Maraji :
1. Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”
2. Mukaddimah Shifat Sholat Nabi oleh Syaikh Albani

Adakah Bid’ah Hasanah


أبو أوفى السلفي
Seri-2
——————————————————————————————————————-
Yuk kita lanjutin lagi bahasan tentang ‘Bid’ah Hasanah’…..
Syubhat Kedua:
Pemahaman terhadap Hadits :
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
“Siapa yang melakukan satu sunnah hasanah dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan siapa yang melakukan satu sunnah sayyiah dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan dosa orang-orang yang mengamalkan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim)
Sebagian orang memahami kata سنة حسنة sebagai bid’ah hasanah. betulkah [?]
Bantahan :
1. Bahwasanya Makna
من سن adalah ” Barangsiapa yang melakukan suatu amalan sebagai penerapan suatu dari syariat yang ada, bukan orang yang melakukan suatu amalan sebagai penetapan suatu syari’at yang baru “. Karena itu maka yang dimaksud oleh hadits tersebut adalah beramal sesuai sunnah Nabawiyah yang ada. Yang menunjukkan hal ini adalah asbabun nuzul hadits itu sendiri :
عن المنذر بن جرير عن أبيه قال كنا عند رسول الله صلى الله عليه وسلم في صدر النهار قال فجاءه قوم حفاة عراة مجتابي النمار أو العباء متقلدي السيوف عامتهم من مضر بل كلهم من مضر فتمعر وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم لما رأى بهم من الفاقة فدخل ثم خرج فأمر بلالا فأذن وأقام فصلى ثم خطب فقال { يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة } { إن الله كان عليكم رقيبا } والآية التي في الحشر { اتقوا الله ولتنظر نفس ما قدمت لغد واتقوا الله } تصدق رجل من ديناره من درهمه من ثوبه من صاع بره من صاع تمره حتى قال ولو بشق تمرة قال فجاء رجل من الأنصار بصرة كادت كفه تعجز عنها بل قد عجزت قال ثم تتابع الناس حتى رأيت كومين من طعام وثياب حتى رأيت وجه رسول الله صلى الله عليه وسلم يتهلل كأنه مذهبة فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيء
Dari Mundzir bin Jarir dari ayahnya ia berkata : Adalah kami di sisi Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pada permulaan siang. Lalu datang kepadanya kaum bertelanjang kaki dan berpakaian kain bergaris atau mantel dengan pedang terhunus. Pada umumnya mereka adalah dari Kabilah Mudlar, bahkan semuanya dari Kabilah Mudlar. Maka berubahlah wajah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam kasihan/iba melihat keadaan mereka yang miskin. Lalu beliau masuk rumah kemudian keluar dan memerintahkan Bilal untuk adzan dan iqamat. Lalu beliau shalat, kemudian berkhutbah seraya bersabda :
”Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada rabbmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisaa’ : 1).
”Bertaqwalah kamu sekalian kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat) dan bertaqwalah kepada Allah” (QS. Al-Hasyr : 18).
Hendaklah seseorang mensedekahkan dinarnya, dirhamnya, bajunya, satu sha’ gandumnya, satu sha’ kurmanya, (hingga beliau mengatakan), dan walaupun hanya sepotong kurma”.
Ia (perawi) berkata,”Maka seseorang dari kaum Anshar datang membawa karung yang berat, hampir tangannya tidak kuat, bahkan akhirnya tidak kuat. Kemudian manusia saling bergantian bersedekah hingga saya melihat dua tumpukan makanan dan baju, dan saya melihat wajah Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berseri-seri seakan-akan emas yang disepuh. Lalu Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Barangsiapa mempelopori dalam Islam perbuatan yang baik, maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukan setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa mempelopori dalam Islam perbuatan yang buruk, maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukan setelahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka”
(HR. Muslim nomor 1017)
2. Bahwasanya orang yang mengatakan من سن في الإسلام سنة حسنة adalah Rasululllah Alaihi Sholatu Wa Sallam, beliau juga yang mengatakan كل بدعة ضلال. Tidak mungkin akan muncul dari mulut beliau perkataan yang mendustakan perkataan yang lain dari beliau sendiri.
3. Bahwasanya Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam mengatakan من سن (Barangsiapa yang menerapkan Sunnah pertama kali) dan beliau tidak mengatakan من ابتدع (Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru dalam agama) dan beliau mengatakan في الإسلام (dalam Islam), sedangkan bid’ah itu bukan dari Islam. Beliau mengatakan حسنة (yang baik) sedangkan bid’ah bukan merupakan sesuatu yang baik
Syubhat Ketiga :
Ada Sebuah Atsar yang sering dijadikan hujjah akan adanya bid’ah hasanah yaitu :
ماراه المسلمون حسنّا فهو عند الله حسن
‘Apa saja yang dipandang baik menurut kaum muslimin, maka baik pula menurut pandangan Allah.” (Al Furuusiyyah oleh Ibnul Qayyim hal 167)
Bantahan :
1. Bahwasanya tidak benar kalau atsar tersebut sampai kepada Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam, itu hanyalah perkataan Abdullah bin Mas’ud yang mauquf dari Ibnu Mas’ud saja.
Ibnul Qayyim berkata : “Sesungguhnya atsar ini bukanlah dari sabda Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, hanya orang-orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits sajalah yang menyandarkan perkataan tersebut kepada beliau Atsar itu hanya merupakan pandangan Ibnu Mas’ud” (Kasyful Khafaa’ oleh Al Ajaluuny 2/245).
Berkata Syaikh Albany : “Ia tidak punya dasar riwayat secara marfu, riwayat itu hanyalah mauquf kepada Ibnu Mas’ud” ( As Silsilah Ad Dha’iifah no 553)
2. Bahwasanya huruf ال pada perkataan المسلمون berfungsi sebagai Al ‘Ahd (yang harus kembali kepada sosok yang jelas), dan dalam hal ini kembali kepada Sahabat sendiri, merekalah yang dimaksud oleh atasar tersebut sebagai Al Muslimun, sebagaimana yang bisa dipahami dari alur kalimat atsar tersebut yang berbunyi :
إن الله تعالى نظر فِي قلوب العباد, فوجد قلب مُحَمَّد خيْر قلوب العباد, فاصطفاه لنفسه, وابتعثه فوجد قلوب أصحابهrبرسالته, ثُمَّ نظر فِي قلوب العباد بعد قلب مُحَمَّد خير قلوب العباد, فجعلهم وزراء نبيه, يقاتلون على دينه, فما رآه الْمُسلمون حسناً فهو عند الله حسن, وما رأوه سيئاً فهو عند الله سيء
Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu:“Sesungguhnya Allah Ta’ala melihat hati para hamba-Nya dan Ia mendapatkan hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam yang paling baik, maka Ia memilihnya untuk diri-Nya dan Ia mengutusnya dengan risalah-Nya. Kemudian Ia melihat hati para hamba-Nya setelah melihat hati Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka Ia mendapatkan hati para sahabat adalah yang paling baik. Maka Ia menjadikan mereka (para sahabat) sebagai pendamping nabi-Nya untuk menampakkan agama-Nya.Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik di sisi Allah, dan apa yang dipandang buruk oleh mereka, maka buruk di sisi Allah” (Dikeluarkan oleh: Ahmad dalam Musnad-nya 1/379; At-Thiyalis dalam Musnad-nya no. 246. Di-hasan-kan oleh Al-Albani dan di-Shahih-kan oleh Al-Haakim dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
Dengan demikian maka jelaslah bahwa yang dimaksud dengan ‘kaum muslimin” dalam atsar tersebut adalah para sahabat. Dan sebagai tambahan penjelasan adalah bahwa Imam Al Hakim memasukkan atsar tersebut pada bab Marifatus Shahabah dalam kitab beliau Al Mustadraknya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Abdillah Al Hakim memahami bahwa yang dimaksud dengan kaum muslimin pada atsar tersebut adalah para sahabat.
Kalau memang demikian, maka telah diketahui bahwa para sahabat seluruhnya telah bersepakat mencela dan memandang buruk setiap bid’ah. Dan tidak pernah diriwayatkan dari salah seorangpun dari mereka menganggap baik salah satu bid’ah tersebut.
3. Kalaulah huruf ال pada perkataan المسلمون bukanlah Alif Laam Al ‘Ahd maka akan berfungsi sebagai ‘Istighraaq’ yakni meliputi keseluruhan kaum muslimin, maka yang dimaksud adalah ijma para ulama dan ijma adalah hujjah. Dan telah diketahui bahwa tidak ada satupun bid’ah yang telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai bid’ah hasanah. Walhamdulillah
4. Bagaimana mereka berdalil dengan atsar sahabat yang mulia ini tentang adanya bid’ah hasanah padahal beliau adalah seorang yang paling tegas melarang dan memperingatkan tentang bid’ah
اتّبعوا ولا تبتد عوا فقد كفيتم
Berittiba’lah kamu kepada rasulullah dan janganlah berbuat bid’ah sesungguhnya kamu telah dicukupkan (HR Ahmad)

Maraji’ :
1. Al Ibdaa’ fii Kamaalis Syar’i Wakhatharil Ibtidaa’ oleh Syaikh Utsaimin
2. Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”

Adakah Bid’ah Hasanah

Adakah Bid’ah Hasanah
بقلم : أبو عائشة الجوزاء
Seri-1
——————————————————————————————————————-
Setelah kita mengenal bid’ah ada baiknya kita mengetahui juga beberapa syubhat tentang bid’ah sehingga pemahaman kita tentang bid’ah menjadi lebih sempurna. Kali ini kita akan membahas tentang syubhat “Bid’ah Hasanah” yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk melegalkan perbuatan bid’ah mereka. Ana menganggap penting masalah ini karena syubhat ini telah menyebar dan telah ‘mengecoh’ sebagian awam dari kaum muslimin, sehingga seringkali ketika kita membantah sebuah amalan bid’ah serta merta mereka mengatakan ” Inikan Bid’ah Hasanah.. ” Benarkah perkataan mereka [?] mari kita telaah lebih jauh…[ أبو أوفى السلفي ]
Syubhat Pertama : perkataannya ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Bantahan :
Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim sebagai berikut :
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى في المسجد ذات ليلة فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما أصبح قال قد رأيت الذي صنعتم فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم قال وذلك في رمضان
Dari ‘Aisyah (ia berkata) : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar shalat di masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau yang di hari selanjutnya bertambah banyaklah orang (yang shalat bermakmum) di belakang beliau. Di malam ketiga atau keempat, mereka (para shahabat) berkumpul namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar kepada mereka (untuk shalat tarawih berjama’ah sebagaimana malam-malam sebelumnya). Di pagi harinya, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Sungguh aku telah melihat semangat kalian, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat tarawih tadi malam) bersamamu kecuali aku takut (ibadah) ini akan diwajibkan bagi kalian”. (Perawi) berkata : “Hal itu terjadi di bulan Ramadlan” (HR. Muslim nomor 761).
Dan silakan simak pula hadits yang lain :
إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له قيام ليلة
“Sesungguhnya seseorang yang mengerjakan shalat bersama imam (untuk shalat tarawih berjama’ah) hingga selesai, maka dihitung baginya shalat sepanjang malam” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 2/72-73, Nasa’I 1/237, dan lainnya; dengan sanad shahih. Ini merupakan lafadh Abu Dawud).
Dengan adanya 2 riwayat di atas, apakah kita mengatakan bahwa ‘Umar melakukan bid’ah ? Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
“Dan setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka”

Sekali lagi, “hal baru” apa yang dilakukan oleh ‘Umar sehingga disebut bid’ah lagi sesat ? Tentu ini bukan dalil adanya bid’ah hasanah, karena dalam hadits di atas telah disebut dengan “kullu” (setiap) yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh maknanya umum. Tidak ada pengecualian.
Adapun ucapan Umar : “Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”. Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :
“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan :
“Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”.
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan :
“Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Artinya : Katakanlah : “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf : 9]
Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti, berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut (Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24).
Kesimpulan : Kata “bid’ah” yang diucapkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu adalah dalam pengertian bahasa. Bukan dalam pengertian syari’at.
Allaahu a’lam

Mari Mengenal Bid’ah


——————————————————————————————————————-
Banyak orang yang berkerut keningnya ketika pertama kali mendengar kata ini. Bermacam reaksi muncul dari seseorang ketika diingatkan tentang masalah ini. Ada yang menerimanya dan memperbaiki amalan ibadahnya dengan hidayah taufik dari Allah Ta’ala. Ada pula yang terlalu cepat menutup diri untuk memahaminya sehingga lebih sering berkata, “Ah… bisanya cuma membid’ah-bid’ahkan.” Adapula yang memang sudah tidak asing dengan kata ini, tapi ternyata memiliki pemahaman yang salah dalam memaknainya. Ketahuilah saudaraku! Pembahasan tentang bid’ah bukanlah milik golongan tertentu. Bahkan setiap muslim harus mempelajarinya dan mewaspadainya dan tidak menutup diri dari pembahasan ini. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Sama seperti pembahasan tentang kata sunnah pada artikel yang lalu, maka sungguh pembahasan ini sangat (sangat) penting, karena jika tidak memahaminya atau bahkan salah memaknainya, maka dapat mengakibatkan kesalahan dalam beramal dan beribadah. Semoga Allah memberikan kelapangan dalam dada-dada kita, untuk menerima kebenaran yang diajarkan oleh Rasulullah shollallahu’alaihi wa sallam.
Makna Bid’ah Secara Bahasa
Makna bid’ah secara bahasa adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Penggunaan kata bi’dah secara bahasa ini di antaranya ada dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Katakanlah (hai Muhammad), ‘Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Al Ahqaf : 9)
Dan juga firman-Nya,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Dialah Allah Pencipta langit dan bumi.” (Al-Baqoroh [2]: 117)
Makna Bid’ah Secara Istilah
Berdasarkan definisi yang diberikan oleh Imam Syathibi, makna bid’ah secara istilah adalah suatu cara baru dalam agama yang menandingi syari’at dimana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah.
Dari definisi ini, kita perlu memperjelasnya menjadi beberapa poin.
Pertama, ’suatu cara baru dalam agama’. Hal ini berarti cara atau jalan baru tersebut disandarkan kepada agama. Adapun cara baru yang tidak dinisbatkan kepada agama maka itu bukan termasuk bid’ah. (akan dibahas lebih rinci di bawah).
Kedua, ‘menandingi syari’at’. Maksudnya amalan bid’ah mempersyaratkan amalan tertentu yang menyerupai syari’at, sehingga ada beban yang harus dipenuhi. Seperti misalnya puasa mutih, yasinan setiap hari kamis (malam jum’at), puasa nisyfu sya’ban dan lain-lain, Perlu diperhatikan pula bahwa pada umumnya, setiap bid’ah juga memiliki dalil. Namun, janganlah terjebak dengan dalil yang diberikan, karena ada dua kemungkinan dari dalil yang diberikan. Pertama, dalil tersebut bersifat umum namun digunakan dalam amalan khusus. Kedua, bisa jadi dalil yang digunakan adalah palsu. Oleh karena itu, wahai saudariku, menuntut ilmu agama sangat penting melebihi kebutuhan kita terhadap makan dan minum. Ilmu agama dibutuhkan di setiap tarikan nafas kita karena dalil dibutuhkan untuk setiap ibadah yang kita lakukan. Merupakan kesalahan ketika kita melakukan ibadah terlebih dahulu baru mencari-cari dalil. Inilah yang membuat pengambilan dalil tersebut menjadi tidak tepat karena sekedar mencari pembenaran pada amalan yang sebenarnya bukan termasuk syari’at.
Ketiga, ‘tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah’. Artinya, setiap bid’ah merupakan tindakan berlebih-lebihan dalam agama, sehingga dengan adanya bid’ah tersebut maka beban seorang muslim (mukallaf) akan bertambah. Salah satu contohnya mengkhususkan puasa nisyfu sya’ban, padahal puasa ini tidak disyari’atkan dalam Islam. Sungguh merugi bukan? Kita berlindung kepada Allah dari segala perbuatan sia-sia.
Mewaspadai Bid’ah
Dari definisi yang telah disebutkan menunjukkan bid’ah tidak lain merupakan perbuatan yang bertujuan menandingi syari’at. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيناً
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maaidah [5]: 3)
Maka tidak perlu lagi bagi seseorang untuk membuat cara baru dalam agama atau mencari ibadah-ibadah lain yang itu adalah kesia-siaan. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
منْ عمِل عملا ليس عليه اَمرنا فهو ردّ
“Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka tertolak.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مِنه فهوردٌّ
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam urusan agama yang tidak ada sumbernya maka tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadits ini, ada tiga unsur yang membuat sesuatu dapat dikatakan sebagai bid’ah.
Pertama, mengada-adakan. Ini diambil dari lafadz man ahdatsa (من أحدث). Akan tetapi membuat sesuatu yang baru bisa terjadi dalam perkara dunia ataupun agama. Maka diperlukan unsur yang kedua.
Kedua, perkara baru tersebut disandarkan pada agama. Ini diambil dari lafadz fii amrina (في أمرنا). Unsur kedua ini perlu dilengkapi unsur ketiga. Karena jika tidak, akan timbul pertanyaan atau keraguan, “Apakah semua perkara baru dalam agama tercela?”
Ketiga, perkara tersebut bukan bagian dari agama. Ini diambil dari lafadz ma laisa minhu (ما ليس مِنه). Artinya, tidak ada dalil yang sah bahwa hal tersebut pernah ada.
Setiap Bid’ah Adalah Sesat
Ketahuilah saudariku. Setiap bid’ah adalah sesat. Hal ini berdasarkan keumuman sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
و شرّ الأمور محدثاتها، و كلَّ محدثة بدعة
“Dan seburuk-buruk perkara adalah sesuatu yang diada-adakan adalah bid’ah.” (HR. Muslim no. 867)
Dan sabda nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam,
قإنّ كلَّ محدثة بدعة و كلّ بدعة ضلالة
“Karena setiap perkara yang baru (yang diada-adakan) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
Adapun pembagian yang ada pada bid’ah, maka tetap menunjukkan kesesatan bid’ah tersebut. Maka pembagian bid’ah menjadi bid’ah sayyi’ah dan bid’ah hasanah adalah sebuah kesalahan sebagaimana penulis jelaskan sebab-sebabnya dalam artikel sebelumnya.
Imam Syathibi rahimahullah menjelaskan dalam kitabnya pembagian bid’ah (yang tetap menetapkan kesesatan seluruh bid’ah) yang dapat memperjelas kerancuan yang ada di masyarakat. Yang pertama adalah bid’ah hakiki yang perkaranya lebih jelas (kecuali bagi orang-orang yang taklid dan tidak mau belajar) karena bid’ah hakiki tidak memiliki sandaran dalil syar’i sama sekali. Semisal menentukan kecocokan seeorang untuk menjadi suami atau istri dengan tanggal lahir atau melakukan ritual-ritual khusus dalam acara pernikahan yang tidak ada landasannya dalam syari’at sama sekali. Adapun jika berkaitan dengan bid’ah idhofi maka sebagian orang mulai rancu dan bertanya-tanya. Misalnya, bid’ah dzikir berjama’ah, atau tahlilan. Banyak orang terburu-buru dengan mengatakan, “Masa dzikir dilarang sih?” atau “Kok membaca Al Qur’an dilarang?” Maka kita perlu (sekali lagi) memahami lebih dalam tentang bid’ah ini.
Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil. Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. (Majalah Al-Furqon edisi 12 tahun V). Maka jelas yang dilarang bukanlah dzikir atau membaca Al-Qur’an untuk contoh dalam masalah ini. Akan tetapi, kebid’ahan tersebut terletak pada tata cara, sifat atau perincian pada ibadah tersebut yang tidak ada contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan melafadzkan dzikir bersama-sama dipimpin satu imam atau membaca Al-Qur’an untuk orang mati. Semuanya ini adalah cara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Catatan penting dalam masalah ini adalah dalam perkara ibadah (yaitu apa-apa yang kita niatkan untuk mendekatkan diri kita pada Allah Subhanahu wa Ta’ala), kita harus memenuhi dua syarat, yaitu ikhlas hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sesuai dengan yang dicontohkan dan diperintahkan Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Demikianlah saudaraku, sedikit pengantar untuk memahami tentang kata bid’ah dan bahayanya. Pembahasan tentang bid’ah memiliki lingkup yang sangat luas – yang dengan keterbatasan penulis – tidak dapat dituangkan seluruhnya dalam tulisan kali ini. Untuk memperdalam pembahasan, silakan melihat kembali kitab-kitab yang penulis jadikan rujukan. Semoga Allah Ta’ala mempermudah kita dalam memahami pembahasan ini dan menerimanya dengan lapang dada serta menjadikan kita orang-orang yang berusaha kuat menjauhi perkara baru dalam agama. Aamiin ya mujibas saailin.
Maraji’:
Majalah Al Furqon edisi 12 tahun V/rajab 1427
Kajian kitab Ushulus Sunnah karya Imam Ahmad oleh Ustadz Aris Munandar
Ringkasan Al I’tisham – terj –, Syaikh Abdul Qadir As Saqqaf, Media Hidayah, Cet I, thn 2003