Adakah Bid’ah Hasanah

Adakah Bid’ah Hasanah
بقلم : أبو عائشة الجوزاء
Seri-1
——————————————————————————————————————-
Setelah kita mengenal bid’ah ada baiknya kita mengetahui juga beberapa syubhat tentang bid’ah sehingga pemahaman kita tentang bid’ah menjadi lebih sempurna. Kali ini kita akan membahas tentang syubhat “Bid’ah Hasanah” yang dilontarkan oleh sebagian orang untuk melegalkan perbuatan bid’ah mereka. Ana menganggap penting masalah ini karena syubhat ini telah menyebar dan telah ‘mengecoh’ sebagian awam dari kaum muslimin, sehingga seringkali ketika kita membantah sebuah amalan bid’ah serta merta mereka mengatakan ” Inikan Bid’ah Hasanah.. ” Benarkah perkataan mereka [?] mari kita telaah lebih jauh…[ أبو أوفى السلفي ]
Syubhat Pertama : perkataannya ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Bantahan :
Perhatikan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radliyallaahu ‘anha dalam Shahih Muslim sebagai berikut :
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى في المسجد ذات ليلة فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فلما أصبح قال قد رأيت الذي صنعتم فلم يمنعني من الخروج إليكم إلا أني خشيت أن تفرض عليكم قال وذلك في رمضان
Dari ‘Aisyah (ia berkata) : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar shalat di masjid pada suatu malam. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau yang di hari selanjutnya bertambah banyaklah orang (yang shalat bermakmum) di belakang beliau. Di malam ketiga atau keempat, mereka (para shahabat) berkumpul namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak keluar kepada mereka (untuk shalat tarawih berjama’ah sebagaimana malam-malam sebelumnya). Di pagi harinya, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : Sungguh aku telah melihat semangat kalian, dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat tarawih tadi malam) bersamamu kecuali aku takut (ibadah) ini akan diwajibkan bagi kalian”. (Perawi) berkata : “Hal itu terjadi di bulan Ramadlan” (HR. Muslim nomor 761).
Dan silakan simak pula hadits yang lain :
إن الرجل إذا صلى مع الإمام حتى ينصرف حسب له قيام ليلة
“Sesungguhnya seseorang yang mengerjakan shalat bersama imam (untuk shalat tarawih berjama’ah) hingga selesai, maka dihitung baginya shalat sepanjang malam” (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/90/2, Abu Dawud 1/217, Tirmidzi 2/72-73, Nasa’I 1/237, dan lainnya; dengan sanad shahih. Ini merupakan lafadh Abu Dawud).
Dengan adanya 2 riwayat di atas, apakah kita mengatakan bahwa ‘Umar melakukan bid’ah ? Padahal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وكل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
“Dan setiap hal yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan di neraka”

Sekali lagi, “hal baru” apa yang dilakukan oleh ‘Umar sehingga disebut bid’ah lagi sesat ? Tentu ini bukan dalil adanya bid’ah hasanah, karena dalam hadits di atas telah disebut dengan “kullu” (setiap) yang di dalam ilmu Ushul-Fiqh maknanya umum. Tidak ada pengecualian.
Adapun ucapan Umar : “Sebaik-baik bid’ah, adalah yang seperti ini”, yang beliau maksudkan bukanlah bid’ah dalam pengertian istilah; yang berarti : Mengada-ada dalam menjalankan ibadah tanpa tuntunan (dari Nabi). Sebagaimana yang kita tahu, beliau tidak pernah melakukan sedikitpun. Bahkan sebaliknya, beliau menghidupkan banyak sekali dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun yang beliau maksudkan dengan bid’ah adalah dalam salah satu pengertiannya menurut bahasa. Yaitu suatu kejadian yang baru yang belumlah dikenal sebelum beliau perkenalkan. Dan tidak diragukan lagi, bahwa tarawih berjama’ah belumlah dikenal dan belum diamalkan semenjak zaman khalifah Abu Bakar dan juga di awal-awal kekhalifahan Umar sendiri Radhiyallahu anhuma –sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya-. Dalam pengertian begini, ia memang bid’ah. Namun dalam kacamata pengertian bahwa ia sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia adalah sunnah, bukannya bid’ah. Hanya dengan alasan itulah beliau memberikan tambahan kata “baik”. Pengertian seperti inilah yang dipegang oleh para ulama ahli tahqiq (peneliti) dalam menafsirkan ucapan Umar tadi. Abdul Wahhab As-Subki dalam “Isyraqul Mashabiih Fi Shalati At-Tarawih” yang berupa kumpulan fatwa (I : 168) menyatakan :
“Ibnu Abdil Barr berkata : “Dalam hal itu Umar tidak sedikitpun membuat-buat sesuatu melainkan sekedar menjalani apa yang disunnahkan, disukai dan diridhai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dimana yang menghalangi beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan secara kontinyu semata-mata karena takut dianggap wajib atas umatnya. Sedangkan beliau adalah orang yang pengasih lagi pemurah terhadap umatnya. Tatkala Umar mengetahui alasan itu dari Rasulullah, sementara ia mengerti bahwa amalan-amalan yang wajib tidak akan bertambah ataupun berkurang lagi sesudah kematian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; maka beliaupun mulai menghidupkannya dan menyuruh manusia untuk melakukannya. Kejadian itu berlangsung pada tahun 14 H. Itu adalah keutamaan yang Allah simpan lalu diperuntukkan bagi beliau Radhiyallahu ‘anhu. Yang mana Abu Bakar sekalipun tidak pernah terinspirasi untuk melakukannya. Meskipun, beliau lebih utama dan lebih segera melakukan kebaikan –secara umum- daripada Umar Radhiyallahu ‘anhuma. Akan tetapi masing-masing dari keduanya dianugerahi Allah keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki yang lainnya”. As-Subki menyatakan :
“Kalau melakukan tarawih berjama’ah itu tidaklah memiliki tuntunan, tentu ia termasuk bid’ah yang tercela ; sebagaimana shalat sunnah hajat di malam Nishfu Sya’ban, atau di Jum’at pertama bulan Rajab. Itu harus diingkari dan jelas kebatilannya (yakni kebatilan pendapat yang mengingkari bolehnya shalat tarawih berjama’ah). Dan kebatilan perkara tersebut merupakan pengertian yang sudah baku dalam pandangan Islam”.
Al-Allamah Ibnu Hajar Al-Haitami didalam fatwa yang ditulisnya menyatakan :
“Mengeluarkan orang-orang Yahudi dari semenanjung jazirah Arab, dan memerangi Turki (Konstantinopel, pent) adalah perbuatan yang dilakukan berdasarkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak termasuk katagori bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan di masa hidup beliau. Sedangkan ucapan Umar berkenaan dengan tarawih : “Sebaik-baiknya bid’ah…” yang dimaksud adalah bid’ah secara bahasa. Yaitu sesuatu yang diperbuat tanpa contoh sebeumnya ; sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنْ الرُّسُلِ
“Artinya : Katakanlah : “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara raul-rasul…” [Al-Ahqaf : 9]
Jadi yang dimaksud bukanlah bid’ah secara istilah. Karena bid’ah secara istilah menurut syari’at adalah sesat, sebagaimana yang ditegaskan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun sebagian ulama yang membaginya menjadi bid’ah yang baik dan tidak baik, sesungguhnya yang mereka bagi hanyalah bid’ah menurut bahasa. Sedangkan orang yang mengatakan setiap bid’ah itu sesat maksudnya adalah bid’ah menurut istilah. Bukankah kita mengetahui bahwa para shahabat Radhiyallahu ‘anhum dan juga para tabi’in yang mengikuti mereka dengan kebaikan juga menyalahi adzan pada selain shalat yang lima waktu, misalnya shalat dua Hari Ied, padahal tidak ada larangannya (secara khusus). Mereka juga menganggap makruh mencium dua rukun Syami (di Masjidil Haram), atau shalat seusai sa’i antara Shafa dan Marwah yang dikiaskan dengan shalat seusai berthawaf. Demikian juga halnya segala yang ditinggalkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara itu mungkin dilakukan, maka meninggalkan amalan itu menjadi sunnah ; sementara mengamalkannya menjadi bid’ah yang tercela. Maka seperti : Mengusir orang-orang Yahudi dari tanah Arab dan mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf, tidaklah masuk dalam konteks pembicaraan kita tentang “yang mungkin” dikerjakan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dimasa hidupnya. Segala yang ditinggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena adanya penghalang seperti shalat tarawih berjama’ah misalnya ; maka apabila ada kemungkinan yang pasti, berarti hilanglah penghalang yang ada tersebut (Lihat Al-Ibda Fi Mudhaaril ibtida hal. 22-24).
Kesimpulan : Kata “bid’ah” yang diucapkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu adalah dalam pengertian bahasa. Bukan dalam pengertian syari’at.
Allaahu a’lam