Adakah Bid’ah Hasanah


أبو أوفى السلفي
Seri-3
——————————————————————————————————————-
Masih ingin tahu syubhat lain seputar bid’ah hasanah…. ikuti bahasan berikut :
Syubhat Keempat :
Ada sebuah riwayat yang oleh sebagian orang dipergunakan untuk melegalkan istilah bid’ah hasanah, yaitu :
Dari Ghudaif bin Al Harits berkata :” Abdul Malik bin Marwan menulis surat kepadaku. Dalam suratnya beliau berkata kepadaku : “Wahai Abu Asma’, Sesungguhnya kami telah mengumpulkan manusia untuk memasyarakatkan dua perkara.” Ghudaif bertanya : “Apa itu ?” Beliau menjawab : “Yakni mengangkat tangan diatas mimbar pada hari jum’at dan menceritakan kisah-kisah pada setiap selesai sholat subuh dan ashar.” Maka Ghudaif berkata : “Ketahuilah bahwa kedua hal tersebut merupakan bid’ah yang terbaik menurutku namun aku tidak dapat menyambut perintah Anda untuk memasyarakatkan kedua budaya tersebut.” Ibnu Marwan bertanya :” Mangapa demikian ?” Jawab Ghudaif “Sebab Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda :
ما أحد ث قوم بدعة إلاّ رفع مثلها من السنّة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar dengannya pula.”
[Lihat Tahdziibul Kamaal 33/108]
Bantahan :
Pertama : Bahwasanya riwayat diatas adalah Dho’if karena dalam sanadnya terdapat dua cacat, yaitu :
a.Ada perawi bernama Abu Bakar bin Abdullah bin Abi Maryam, Ia Dho’if, dilemahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma;in, Abu Zur’ah, Abu Hatim, Nasa’i dan Daruquthni (At Taqrib no 7974). Ibnu Hajar berkata dalam At Taqriib : Dia Dho’if.
b.Ada perawi yang bernama Baqiyyah bin Al Walid dan dia telah melakukan tadlis dengan riwayat ‘an-anah. Ibnu Hajar berkata : “Ia banyak meriwayatkan hadits dengan tadlis daripada perawi yang dhaif dan majhul (Asadul Ghaabah 4/340)
Kedua : Seandainya riwayat tersebut shahih, maka sesungguhnya tidak boleh sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam dikonfrontasikan dengan perkataan seorang manusipun siapapun dia.
Ketiga : Bahwasanya Ghudaif bin Al-Harits ini diperselisihkan statusnya sebagai sahabat. Sebagian ulama menghitungnya dalam kelompok sahabat dan yang lain menghitungnya dalam kelompok tabi’in (Fathul Baary 13/254)
Keempat : Ghudaif Al Harits menolak penerimaan terhadap bid’ah tersebut, beliau membantah bidah hasanah tersebut dimana beliau tidak mau memasyarakatkannya dan diakhir riwayat beliau membawakan sabda Nabi :
ما أحد ث قوم بدعة إلاّ رفع مثلها من السنّة
“Tidaklah suatu kaum melakukan suatu bid’ah melainkan akan dihilangkan satu sunnah yang setar dengannya pula.”
Oleh karena itu jika sekiranya bidah tersebut adalah bid’ah hasanah maka tidak mungkin dengan keberadaannya akan menghilangkan suatu sunnah yang semisalnya.

Syubhat Kelima :
Perkataan Imam Syafi’i Rahimahullah :
البدعة بدعتان بدعة محمودة وبدعة مذمومة فما وافق السنة فهو محمود وما خالف السنة فهو مذموم

“Bidaah itu ada dua , yaitu bid’aah yang di puji dan bidaah yang keji. Sesuatu yang menyamai sunnah, maka ia adalah bidaah yang di puji, dan yang menyalahi sunnah, maka ia adalah bidaah yang keji (Manaaqibus Syaafi’I oleh Al Baihaqi 1/468)
المحدثات ضربان: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال وما أحدث من الخير لا يحالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
“Perkara yang diada-adakan itu terbagi menjadi dua macam: (pertama) Perkara yang diada-adakan yang bertentangan dengan Al Qur’an, atau as sunnah, atau kesepakatan ulama’ (ijma’), maka ini adalah bid’ah dholalah (sesat), dan (kedua): kebaikan yang diada-adakan yang tidak bertentangan dengan salah satu dari dasar-dasar tersebut, maka ini adalah muhdatsah (suatu hal baru/diada-adakan) yang tidak tercela.” [Ibid, dan Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, oleh Ibnu Rajab Al Hambali 267].
Bantahan :
Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya. Abdullah bin Abbas berkata :
ليس أحد الا ويؤخذ من رأيه ويترك ؛ ما خلا النبي صلى الله عليه وسلم
‘Tidak ada seorangpun melainkan perkataannya dapat ditolak dan diterima kecuali perkataan Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam ” (Jaami’ul Ulum Wal Hikam 6/28)
Kedua : Jika kita memperhatikan perkataan Imam Syafi’i dengan seksama, maka tidak diragukan lagi bahwa yang beliau maksudkan dengan bid’ah mahmudah itu adalah makna secara bahasa bukan menurut Syara’ dengan dalil bahwa setiap bid’ah yang terjadi dalam agama maka sudah tentu ia akan bertentangan dengan Al Qur’aan dan Sunnah. Karena Imam Syafi’i telah membatasi kata bid’ah mammudah dengan sesuatu yang tidak menyelisihi Al Kitab dan As Sunnah. Sedangkan setiap bid’ah yang terjadi terhadap agama pasti menyelisihi firman Allah Ta’ala :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ ………
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu ………..”(Al Maidah :3)
Dan juga bertentangan dengan Sabda Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam:
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”. (Bukhari dan Muslim)
Ibnu Rajab berkata :
والمراد بها –أي المحدثات- ما أحدث وليس له أصل في الشرع، ويسمى في عرف الشرع بدعة. وما كان له أصل يدل عليه الشرع فليس ببدعة، فالبدعة في عرف الشرع مذمومة، بخلاف اللغة، فإن كل شيء أحدث لا على مثال يسمى بدعة، سواء كان محمودا أو مذموما
“Dan yang dimaksud dengannya (Al Muhdatsah/perkara yang diada-adakan) ialah setiap perkara yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya dalam syari’at, dan dalam istilah syari’at disebut bid’ah. Dan setiap perkara yang memiliki dasar dalam syari’at, tidak disebut bid’ah. Dengan demikian bid’ah dalam pengertian syariat pasti tercela. Beda halnya dengan pengertian bahasa karena setiap hal yang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya disebut bid’ah, baik hal itu terpuji atau tercela.” [Imam Ibnu Rajab Al Hambali dalam kitabnya Jami’ Al Ulum wa Al Hikam, 267].
Ketiga : Bahwasanya yang diketahui dari Imam Syafi’i Rahimahullah bahwasanya beliau adalah orang yang sangat tinggi semangatnya dalam mengikuti Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan sangat marah terhadap orang yang menolak hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam, sebagaimana yang disebutkan dari beliau ketika beliau ditanya tentang sebuah masalah. Beliau berkata : “Telah diriwayatkan dalam masalah ini begini dan begini dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam maka bertanyalah sipenanya : “Wahai Abu Abdillah apakah kamu mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh hadits tersebut ? Maka Imam Syafi’I pun terperanjat dan bergetar seraya berkata :
يا هذا أى أرض تقلنى وأى سماء تظلنى إذا رويت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثا فلم أقل به نعم على السمع والبصر
“Aduhai bumi yang mana yang akan kupijak dan langit manalagi yang akan menaungiku jika aku riwayatkan dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam suatu hadits lalu tidak aku berfatwa dengannya, tentu akan aku junjung sabda beliau. (Siyaru A’laamin Nubalaa’ 10/34)
Ditempat yang lain beliau berkata :
“Setiap orang harus bermadzhab kepada Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dan mengikutinya. Apapun pendapat yang aku katakan atau sesuatu yang aku katakan itu berasal dari Rasulullah tetapi ternyata berlawanan dengan pendapatku, apa yang disabdakan oleh Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam itulah yang menjadi pendapatku. 1)
“Seluruh Kaum muslim telah sepakat bahwa orang yang secara jelas mengetahui suatu hadits dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam tidak halal meninggalkannya guna mengikuti pendapat seseorang.” 2)
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan Hadits Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam , peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku itu.” 3)
“Bila suatu hadits Shahih, itulah Madzhabku.” 4)
“Kalian 5) lebih tahu tentang Hadits, dan para perawinya daripada aku. Apabila suatu hadits itu Shahih, beritahukanlah kepadaku biar dimanapun orangnya, apakah di Kuffah, Bashrah atau Syam, sampai aku pergi menemuinya.”
“Bila suatu masalah ada haditsnya yang sah dari Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam menurut kalangan ahlul hadits, tetapi pendapatku menyalahinya, pasti aku akan mencabutnya, baik selama aku hidup maupun setelah aku mati.”6)
“Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.” 7)
“Setiap perkataanku bila berlainan dengan riwayat yang shahih dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam, hadits Nabi lebih utama dan kalian jangan bertaqlid kepadaku.” 8)
“Setiap hadits yang datang dari Nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam berarti itulah pendapatku, sekalipun kalian tidak mendengarnya sendiri dari aku.” 9)
1. HR Hakim dengan sanad bersambung kepada imam Syafi’i, seperti tersebut dalam kitab Tarikh Damsyiq, karya Ibnu Asakir (XV/1/3). I’lam Al-Muwaqqi’in ( II/363-364), Al-Iqazh hal 100)
2. Ibnul Qayyim (II/361) dan Al Filani hal 68
3. Harawi dalam kitab Dzamm al-kalam (III/47/1), Al-Khatib dalam Ihtijaj Bi Asy-Syafi’i (VIII/2) dan lain-lain
4. Nawawi dalam Al-Majmu’ Sya’rani (I/57)
5. Ucapan ini ditujukan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam kitab Adabu Asy-Syafi’i hlm 94-95. Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah (IX-106) dan lain-lain.
6. Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (IX/107), Al Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam Al-I’lam (II/363) dan Al Filani hlm 104
7. Ibnu Abi Hatim dalam Adabu Asy-Syafi’i hlm 93
8. Ibid
9. Ibid

Maraji :
1. Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”
2. Mukaddimah Shifat Sholat Nabi oleh Syaikh Albani