Adakah Bid’ah Hasanah


أبو أوفى السلفي
Seri-4
——————————————————————————————————————-
Sampailah kita pada pembahasan terakhir tentang ‘Adakah Bid’ah Hasanah [?] ‘ dan diakhir pembahasan ana lengkapi dengan kesimpulan tentang Bid’ah hasanah.. silahkan pembaca menyimak, mudah-mudahan bermanfaat..
Syubhat Keenam :
Perkataan Al ‘Izz bin Abdisalam tentang bid’ah bahwa:
” Bid’ah itu terbagi kepada bid’ah wajib, bid’ah yang haram, bid’ah yang sunnah, bid’ah yang makhruh dan bid’ah yang mubah. Dan cara untuk mengetahui hal tersebut, maka bid’ah dikembalikan kepada kaidah-kaidah Syariat. Maka jika bid’ah tersebut masuk ke dalam kaidah yang wajib, maka itulah yang dinamakan dengan bid’ah wajibah, apabila ia masuk ke dalam kaidah yang haram, maka itulah bid’ah muharramah. Jika ia masuk ke dalam kaidah sunnah, maka itulah bid’ah mandubah dan jika ia masuk dalam kaidah mubah, maka itulah bid’ah yang mubah.” (Al I’tisham 1/246)
Bantahan :
Pertama : Kita tidak dibenarkan untuk menantangkan perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dengan perkataan orang lain siapapun dia. Perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah Hujjah terhadap perkataan siapa saja dan bukan sebaliknya bahwa perkataan Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam dibantah oleh perkataan selainnya
Kedua : Berkata Imam Asy Syathiby : ” Sesungguhnya pembagian tersebut adalah pembagian yang diada-adakan, tidak ada satupun dalil syar’I yng mendukungnya, bahkan pembagian itu sendiri saling bertolak belakang, sebab hakikat bid’ah adalah jika sesuatu itu tidak memiliki dalil yang syar’I, tidak berupa dalil dari nash-nash syar’I, dan juga tidak terdapat dalam kaidah-kaidahnya. Sebab seandainya disana terdapat dalil syari tentang wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya, niscaya tidak mungkin bid’ah itu ada, dan niscaya amalan tersebut masuk ke dalam amalan-amalan secara umum yang diperintahkan, atau yang diberikan pilihan. Karena itu maka mengumpulkan beberapa hal tersebut sebagai suatu bid’ah dan antara keberadaan dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya, atau sunnahnya atau bolehnya maka semua itu merupakan pengumpulan antara dua hal yang saling menafikan.” (Al I’tisham 1/246)
Ketiga : Bahwasanya bid’ah yang dimaksudkan oleh Al ‘Izz bin Abdisalam adalah bidah menurut pengetian bahasa bukan menurut pengertian Syar’i hal yang menunjukkan hal tersebut adalah contoh-contoh yang dipaparkan terhadap pembagian bid’ah tersebut :
Bid’ah wajib beliau contohkan dengan menekuni ilmu nahwu yang dengannya firman Allah Azza Wa Jalla dan sabda Rasul-Nya Alaihi Sholatu Wa Sallam dipahami. Apakah menekuni ilmu nahwu itu merupakan bid’ah ? ataukah ia termasuk ke dalam kaidah yang mengatakan :
مالايتّم الواجب الاّبه فهو واجب
“Sesuatu yang tidak akan sempurna suatu kewajiban kecuali dengan adanya sesuatu tersebut, maka sesuatu itu hukumnya wajib.”
Bid’ah Sunnah beliau contohkan dengan sholat tarawih dan pembangunan sekolah-sekolah. Sholat tarawih telah ada contoh perbuatan dari Nabi, sebagaimana telah dibahas dimuka (Perkataan Umar tentang Sholat Tarawih-Abu Aufa) sedangkan pembangunan sekolah-sekolah adalah wasilah untuk menuntut ilmu dan keutamaan ilmu serta mengajarkannya tidak dapat kita pungkiri.
Bid’ah Mubah beliau contohkan dengan kelezatan-kelezatan dan hal itu bukanlah merupakan bid’ah menurut agama, bahkan jika ia sampai kepada derajat israf (berlebihan), maka ia termasuk kepada hal yang diharamkan, yang masuk ke dalam suatu bentuk kemaksiatan bukan termasuk bid’ah. Dan ada perbedaan antara kemaksiatan dan bid’ah (silahkan lihat di http://www.almanhaj.or.id/content/1203/slash/0 – Abu Aufa)
Keempat : Bahwasanya telah ada riwayat mengenai Al ‘Izz bi Abdisalam Rahimahullah bahwa beliau adalah orang yang dikenal sebagai pemberantas bid’ah dan orang yang sangat melarang hal tersebut serta mentahdzir dari bahaya bid’ah. Beberapa contohnya :
Syahibuddin Abu Syaamah-Murid Al ‘Izz- berkata : Beliau adalah orang yang paling berhak menjadi khatib dan imam, beliau telah menyingkirkan banyak bid’ah yang pernah dilakukan oleh para khatib dengan pukulan pedang diatas mimbar dan lain-lain, beliau pernah mengungkapkan kebathilan dua shalat pada pertengahan bulan Sya’ban (Nishfu Sya’ban) dan beliau melarang keduanya.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 46 no 15 Cet Daarul Baaz)
Bahwasanya beliau pernah ditanya tentang bersalam-salaman setelah selesai shalat subuh dan ashar, maka beliaupun berkata : “Bersalam-salaman setelah sholat subuh dan ashar adalah merupakan salah satu dari bid’ah, kecuali bagi orang yang baru datang yang belum sempat bertemu dan berjabat tangan dengannya sebelum sholat, sebab bersalam-salaman disyariatkan oleh agama ketika baru bertemu. Dan adalah nabi Alaihi Sholatu Wa Sallam biasanya setelah sholat berdzikir dengan dzikir-dzikir yang syar’i dan beristighfar 3x kemudian bubar dari sholatnya.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
” Dan tidaklah disukai (disunnahkan) mengangkat kedua tangan ketika berdoa, kecuali pada tempat-tempat yang padanya Rasulullah Alaihi Sholatu Wa Sallam mengangkat kedua tangannya, dan tidak ada orang yang mengusap kedua tangannya kewajahnya setelah berdoa melainkan orang yang jahil.” (Fataawaa Al ‘Izz Ibnu Abdissalaam hal 47 no 15 Cet Daarul Baaz)
Dan sebagainya………
Kesimpulan tentang Bid’ah Hasanah
Berikut adalah beberapa kesimpulan tentang bid’ah Hasanah :
Pertama : Bahwasanya dali-dalil tentang celaan terhadap bid’ah sangat banyak, dan semuanya datang dalam bentuk mutlaq (umum), tidak terdapat didalamnya pengecualian sedikitpun dan tidak pula terdapat didalamnya sesuatu yang menghendaki bahwa dalam bid’ah itu ada yang bid’ah hasanah dan ada pula yang merupakan bid’ah syayiah dan tidak terdapat pula perkataan : “Setiap bid’ah itu sesat”, kecuali yang begini dan begini, dan tidak pula perkataan yang semakna dengannya. Seandainya ada bid’ah yang dipandang oleh syara’ sebagai bid’ah hasanah niscaya akan disebutkan dalam suatu ayat ataupun dalam hadits.. namun tidak ada, maka hal ini menunjukkan bahwa dalil-dalil tersebut secara keseluruhan pada hakikatnya bersifat umum dan menyeluruh yang seorangpun tidak dapat menyelisihi tuntutannya. [Al I'tishaam 1/187]
Kedua : Bahwasanya telah ditetapkan dalam ushul ilmiyah bahwa setiap kaidah kulliyah atau dalil syar’i kulliyah jika terulang pada banyak tempat dan waktu berbeda-beda serta bermacam-macam kondisi dan belum dihubungkan dengan sutu qarinah atau pengkhususan, maka dalil tersebut tetap pada apa yang dikehendaki oleh lafadznya yang bersifat umum dan mutlaq. [Al I'tishaam 1/187]
Ketiga : Salafus Shalih dari para Sahabat, Tabiin dan orang-orang shalih setelahnya mereka telah sepakat mencela, menjelekkan dan lari dari bid’ah orang-orang yang melakukan bid’ah. Mereka tidak pernah berhenti dan tidak pernah memberikan pengecualian terhadap masalah tersebut, sehingga ijma’ tersebut –sesuai dengan penelitian dan pengkajian yang mendalam- merupakan ijma’ yang kuat yang menunjukkan secara jelas bahwasanya bid’ah itu seluruhnya buruk dan tak ada satupun yang baik. [Al I'tishaam 1/188]
Keempat : Bahwasanya hal-hal yang berkaitan dengan bid’ah dengan sendirinya menghendaki demikian [keburukan-Abu Aufa], sebab ini merupakan bahagian dari bab penentangan terhadap pembuat syariat dan membuat syariat baru, dan setiap apa yang terkumpul didahal hal seperti ini mustahil akan terbagi menjadi baik dan buruk dan ada diantaranya sesuatu yang dipuji dan dicela, sebab akal sehat dan dali syariat tidak ingin menganggapnya baik [Al I'tishaam 1/188]
Kelima : Bahwasanya perkataan tentang bid’ah hasanah membuka peluang bagi perbuatan bid’ah terhadap pelakunya, dan tidak mungkin bersamaan dengan hal itu orang tersebut akan menolak suatu bid’ah apapun, sebuah setiap ahlul bid’ah itu pasti akan menganggap baik bid’ah yang dilakukannya. Sehingga orang-orang Rafidhah akan mengatakan bahwa bid’ah mereka itu ‘bid’ah hasanah’ demikian pula Mu’tazilah, Jahmiyah, Khawarij dll. Karena itulah maka wajib bagi kita untuk membantah mereka semua dengan hadits yang artinya : “Setiap bid’ah itu sesat”
Keenam : Apakah Standar untuk mengatakan bahwa bid’ah itu baik [?] dan siapakah yang menjadi rujukannya [?] Jika dikatakan bahwasanya standartnya adalah kesesuaian dengan Syariat, maka kita katakan bahwa pada asalnya apa yang sesuai dengan syariat itu bukanlah bid’ah. Dan jika dikatakan bahwa yang menjadi rujukan adalah akal, maka kita katakan bahwa akal itu berbeda-beda dan bertingkat-tingkat. Kalau begitu apa yang menjadi rujukan dalam masalah tersebut dan akal yang mana yang diterima hukumnya [?]
Ketujuh : Dikatakan kepada orang yang menganggap baik bid’ah : “Jika penambahan dalam agama itu dibolehkan atas nama bid’ah hasanah, maka orang yang menghapus atau mengurangi sesuatu dari agama ini juga dianggap baik dengan mengatasnamakan bid’ah hasanah tersebut. Dan tidak ada bedanya antara dua hal tersebut, sebab bid’ah itu terkadang berupa perbuatan atas sesuatu atau meninggalkan sesuatu, sehingga nantinya agama ini akan dihilangkan disebabkan penambahan dan pengurangan tersebut dan cukuplah hal ini dikatakan sebagai suatu kesesatan. [Tahdziirul Muslimiin 'Anil Ibtida' Fiddiin oleh Ahmad bin Hajar Ali Buthamy hal 76]
Kedelapan : Bahwasanya perkataan tentang adanya bid’ah hasanah akan membawa kepada penyimpangan dan pengrusakan terhadap agama, sebab setiap kali datang suatu kelompok, mereka akan menambah-nambah ibadah dalam agama dan mereka akan menamakannya dengan bid’ah hasanah dan dengan perkataan tersebut bid’ah-bid’ah akan menjadi banyak dan semakin bertambah dalam ibadah-ibadah yang disyariatkan, sehingga agama ini akan berubah dan akan rusak sebagaimana rusaknya agama-agama terdahulu. Karena itu wajib bagi kita untuk menutup semua pintu-pintu bid’ah sebagai usaha pemeliharaan terhadap agama dari berbagai penyimpangan.
Kesembilan : Barangsiapa yang mengetahui bahwasanya Rasul Alaihi Sholatu Wa Sallam adalah orang yang paling tahu tentang kebenaran dan orang yang paling fasih dalam berbicara dan menjelaskan sesuatu, maka dia akan tahu pula bahwasanya sungguh telah terkumpul pada diri beliau Alaihi Sholatu Wa Sallam kesempurnaan pengetahuan terhadap kebenaran, bahwa beliau memiliki kemampuan yang sempurna untuk menjelaskan kebenaran dan kesempurnaan kehendak untuk itu. Dan bersamaan dengan kesempurnaan ilmu. Dengan Kemampuan dan kehendak tersebut maka wajib adanya apa yang diinginkan/dituntut dalam bentuk yang paling sempurna. Dengan demikian orang tersebut akan tahu bahwasanya perkataan beliau adalah perkataan yang paling ‘baliiqh’ (jelas), paling lengkap dan merupakan penjelas yang paling agung terhadap urusan agama ini [Majmuu'ul Fataawaa 17/129]
Maraji :
Al Luma’ fil Rudd ‘Alaa Muhassiny Al Bida’ oleh Abdul Ayyum bin Muhammad As Sahibany yang telah diterjemahkan menjadi buku “Mengapa menolak bid’ah hasanah”