Menyiapkan Wanita Ideal Pra Nikah

Allah berfirman dalam al-Qur'an: "Hai manusia sekalian, bertakwalah kepada tuhan-Mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu". (QS. An-Nisa: 1)

Setiap manusia pasti menginginkan keluarganya menjadi keluarga yang baik, hal ini bukan mimpi dari umat Islam saja, melainkan semua orang selain muslimpun telah lama bermimpi untuk membangun atau memiliki keluarga yang bahagia. Tapi sayang, nilai kebahagiaan yang hakiki itu hanya dimiliki oleh manusia yang mengamalkan syari'at Islam melalui jasad dan hatinya.

Untuk menuju nilai kebahagian yang hakiki (di dunia dan akhirat), hendaknya bagi wanita dan pria yang ingin melangsungkan pernikahan haruslah mempersiapkan diri mereka masing-masing dengan ilmu dan perubahan. Sehingga mereka tidak salah mengambil langkah untuk berjalan menelusuri kehidupan baru yang ada di depan mata.

Pernikahan adalah proses menyatukan dua individu yang masih asing dalam kehidupan mereka, maka bila pernikahan ini tidak disertai dengan ilmu dan rasa kasih sayang yang dibangun atas pondasi Islam, tak heran bila keluarga ini nantinya akan menghalami broken home seperti yang telah terjadi belakangan ini. Untuk itu, hendaknya para pemuda dan pemudi yang ingin membangun komunitas baru dalam masyarakat haruslah melaksanakannya dengan metode yang telah disyari'atkan Islam semenjak awal pernikahan.

Khitbah dan pernak-perniknya
Imam Nawawi dalam bukunya Al-Majmû' Syarhul Muhadzzab menyatakan bahwa khitbah itu merupakan ungkapan hasrat untuk menikahi seorang wanita tertentu.
Apabila wanita tersebut dan keluarganya menyetujuinya, maka khitbah lelaki tersebut dianggap sah.

Khitbah merupakan suatu hal yang disyariatkan oleh Islam, karena khitbah ini memiliki hikmah yang sangat berarti untuk kelangsungan bahtera rumah tangga yang bahagia. Sebagaimana kita ketahui bahwa khitbah adalah salah satu mukaddimah sebelum penyelenggaraan nikah, maka khitbah tersebut berfungsi sebagai sarana bagi calon kedua mempelai untuk mengetahui karakter kepribadian masing-masing. Sehingga nantinya tidak timbul rasa penyesalan yang dapat meruntuhkan bangunan keluarga yang kokoh.

Khitbah ini dapat dicapai dengan dua cara yang masyhur dalam Islam, yaitu dengan cara sharâhah (berterus terang) dan bitta'rîdh (bahasa kiasan). Cara khitbah yang pertama bisa berupa ungkapan,"saya ingin menjadikanmu sebagai istriku". Contoh cara yang kedua yaitu, "saya sekarang sedang mencari pendamping hidup seperti dirimu".

Lalu bagaimana dengan khitbah yang terdahului sebelumnya dengan khitbah orang lain? Dalam hal ini Islam sangat bijaksana dalam keputusannya. Apabilah khâtib yang kedua telah mengetahui bahwa wanita tersebut telah dikhitbah dan mendapat persetujuannya, maka hukum khitbah yang kedua adalah haram. Namun apabila khâtib yang kedua belum mengetahuinya atau khitbah yang pertama mengalami pembatalan, maka hukumnya makruh menurut mazhab Hanafi dan boleh bagi kebanyakan ulama.

Mengenai hal ini, Rasulullah Saw. bersabda:
لا يبع أحدكم علي بيع أخيه ولا يخطب علي خطبة أخيه الا أن يأذن له (رواه أحمد و مسلم)
Artinya:"Janganlah kamu menjual atas jualan saudaranya, dan janganlah kamu meminang atas pinangan saudaranya, kecuali ia memang mengijinkannya". (HR. Ahmad dan Muslim)

Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa bentuk larangannya adalah pengharaman. Dan hikmah yang terkandung di dalamnya antara lain dapat menjauhkan diri dari kemungkinan pertikaian antara sesama muslim.

Wanita idaman muslim sejati
Sebagaimana tujuan nikah itu sendiri sangat suci dan mulia, hendaknya ketika mengkhitbah seorang wanita atau calon pendamping yang akan menemani kita dalam menghadapi pahit manis kehidupan melalui seleksi yang baik. Memang banyak sekali standar tipologi wanita idaman seorang pria, tapi sebaiknya perkara tersebut benar-benar mewakili dari karakter pilihan seorang muslim sejati. Rasulullah Saw pernah bersabda:
تنكح المرأة لأربع : لمالها و لحسبها و لجمالها و لدينها فاظفر بذات الدين تربت يداك (متفق عليه)
Artinya : "Wanita itu dinikahi atas empat perkara : Sebab hartanya, garis keturunannya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah yang teguh agamanya!"

Dalam hadits lain Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah kamu menikahi wanita dikarenakan kecantikannya, karena ia bisa saja pudar. Dan janganlah dikarenakan hartanya, karena ia bisa saja lenyap. Maka nikahilah mereka dikarenakan agamanya, walaupun ia hitam legam jika berpegang teguh pada agama itu yang lebih utama." (HR. Ibnu Majah, Bazar dan Baihaqi)

Pada suatu hari Rasulullah Saw ditanya perihal ciri-ciri wanita terbaik untuk dinikahi. Beliau menjawab, apabila dipandang ia sangat menyenangkan, apabila diperintah ia selalu menaatinya, dan tidak pernah berbuat sesuatu yang dibenci pada diri dan hartanya. Dari sini semua dapat kita simpulkan bahwa Rasulullah Saw sangat memperhatikan sekali maslahat umat dan nilai etika moral yang tinggi.

Sebab apabila seorang muslim salah melangkah dan memilih pasangan hidupnya, maka ancaman terberat yang akan hadir adalah tendesi dan dekadensi moral masyarakat sekitarnya. Masyarakat akan terbiasa mendengar pertengkaran dua pasang sejoli yang terikat dengan akad yang sah, mereka juga terpaksa harus menerima kehadiran satu elemen masyarakat baru yang tidak amanah bagi diri, keluarga apalagi masyarakat tempat ia tinggal. Ditambah lagi bahwa ia akan melahirkan anak-anak yang tidak bisa menjamin ketentraman dan kenyamanan yang selama ini sudah terbina.

Para ulama Hambali, Sayfi'i dan lainnya meletakkan beberapa alasan mengapa wanita itu pantas untuk dipinang ;
Berpegang teguh pada agamanya
Memiliki nasab yang banyak
Masih memiliki dara perawan
Berasal dari keluarga yang beragama baik dan qana'ah
Berasal dari keturunan yang baik-baik dan memiliki karakter asli yang baik pula.
Memiliki paras wajah yang cantik. Karena ia dapat menentramkan diri suaminya, menundukkan pandangannya, melengkapi kebahagiaannya.
Sebaiknya tidak memiliki hubungan keluarga yang dekat
Menikahi seorang wanita saja jika sudah dapat membahagiakannya.

Khitbah yang halal
Sebagaimana khitbah berperan sebagai kunci pintu pernikahan, maka apabila hukum menikahi wanita tersebut haram, maka secara otomatis hukum khitbahnyapun berubah menjadi haram. Begitu juga sebaliknya, jika menikahi wanita tersebut halal hukumnya, maka sudut pandang syari'at untuk mengkhitbahnyapun menjadi halal pula. Untuk kehalalan mengkhitbah seorang wanita terdapat dua syarat :
Pertama, asal hukum menikahinya tidaklah haram.
Kedua, Tidak ada khitbah sebelumnya dari orang lain.

Memandang sang pinangan
Walaupun sang pinangan bakal menjadi istri, tapi syari'at masih memberi batasan-batasan dalam hal melihatnya, karena pinangan bukanlah rekomendasi untuk memberikan keringanan bagi mereka dalam berbuat dari yang sewajarnya. Seperti pemahaman yang menyimpang di tengah-tengah masyarakat kita sekarang,
mereka menganggap bahwa pinangan bisa dijadikan alasan untuk berjalan berduaan tanpa muhrim, saling berjabat tangan dan menggenggamnya, bahkan perilaku yang seharusnya tidak boleh terjadi sebelum ijabqabul nikah sudah terjadi sebelumnya. Supaya tidak menyesal kemudian katanya, makanya perkenalan itu harus lebih serius. Lucu memang, syari'at dipermainkan karena hawa nafsu yang sesaat. Apakah perkenalan serius itu haruslah diwujudkan dengan membantah syari'at? Atau apakah perkenalan itu baru dianggap serius bila calon istri sudah mengandung sebelum nikah? Seperti yang telah terjadi beberapa tahun ini, ini namanya menuai duluan sebelum masa panennya.

Dalam Islam, seorang pria itu hanya diperbolehkan untuk melihat wanita yang bukan muhrimnya hanya sebatas wajah dan dua telapak tangannya. Karena penglihatan merupakan sumber fitnah yang paling utama. Dari banyaknya kecenderungan berbuat maksiat itu berawal dari penglihatan semata, serta ia dapat membangunkan syahwat yang sedang tidur. Maka wajar bila ada sya'ir yang berkata :
”Ada lintah jatuh ke kali, dari mata jatuh ke hati"

Oleh sebab itu, Al-Qur'an sendiri memberikan pernyataan tegas mengenai penglihatan ini :
قل للمؤمنين يغضوا من أبصارهم و يحفظوا فروجهم ذالك أزكي لهم ...(النور : 24-30)
Artinya : "Katakanlah bagi orang-orang mukmin untuk menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya,itulah yang lebih suci bagi mereka"

Dalam suatu hadits Rasulullah Saw bersabda dengan Imam Ali bin Abi Thalib, "Wahai Ali, janganlah kamu mengikuti penglihatan demi penglihatan, karena sesengguhnya yang pertama itu bagimu, dan yang terakhir bukanlah bagimu. (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi)

Dan masih banyak lagi hadits yang berkenaan tentang anjuran bagi seorang muslim untuk selalu untuk menjinakkan pandangannya yang tidak mungkin ditulis semua dalam tulisan singkat ini, tapi esensinya sangat urgen dalam menjaga hati dan ketaatan pada Allah 'Aza Wajalla. Namun ini bukanlah harga mati, artinya Islam masih memberikan lisence untuk memandang wanita yang bukan muhrimnya bila ada sesuatu hajat yang ingin ditunaikan, seperti dalam kasus jual beli, penyewaan, menuntut ilmu, berobat dan peminangan (khitbah). Oleh sebab itu syari'at membenarkan dua jalan untuk mengetahui karakter calon wanita idaman tersebut.

Pertama, dengan pendelegasian wanita yang dipercaya untuk melihat dan meneliti karakternya. Hal ini pernah dilakukan Rasul ketika masa khitbah, saat itu Rasulullah mendelegasikannya kepada Ummu Sulaim untuk melihat otot tumit belakang seorang wanita serta mencium aroma salah satu anggota tubuh wanita, atau gigi yang tampak di permukaan mulut. Adapun maksud untuk melihat otot tumit belakang adalah untuk meneliti kerajinan dan kecantikan sepasang kakinya, sedangkan mencium aromanya untuk mengetahui kebersihannya.

Hak untuk mendelegasian ini berlaku juga bagi wanita yang dikhitbah, wanita tersebut boleh mengutus seorang pria untuk menilai karakter dan jati diri orang yang meminangnya. Sehingga usaha ini dapat menarik hatinya untuk menerima kehadiran calon suaminya pada jenjang pernikahan kelak.

Kedua, Melihat langsung sang pinangan. Dengan melihat langsung kedua calon mempelai dapat mengetahui kepribadian masing-masing. Seperti dengan melihat wajahnya dapat menggambarkan kecantikan, melihat telapak tangan dapat menggambarkan kesuburan serta melihat tinggi badan dapat mengetahui tinggi pendek tubuhnya.

Ada beberapa hadits yang merupakan labelisasi halal untuk melihat sang pinangan, diantaranya :
روي جابر عن رسول الله صلي الله عليه و سلم قال : (( اذا خطب أحدكم المرأة, فان استطاع أن ينظر منها الي ما يدعوه الي نكاحها, فليفعل ))
Artinya : Diriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah Saw. berkata, "Jika salah seorang kamu hendak meminang wanita, maka selagi ia bisa melihatnya (pinangan untuk menarik hatinya dalam menikahinya, maka lakukanlah"!

Walaupun objek penglihatan merupakan simbolisasi realitas, tapi perlu kiranya dilakukan untuk berhati-hati dahulu sebelum melangkah pada jenjang setelahnya. Tidak ada gunanya lagi penyesalan setelah semuanya berlalu. Selektifitas ini dibutuhkan untuk membangun keluarga yang sakinah mawaddah warahmah, apalagi tujuan mulianya untuk mebangun komunitas kecil yang taat pada Allah dengan melahirkan anak-anak yang shaleh dengan bersama-sama mengembangkan dakwah.

Apabila kelak keluarga yang diimpikan untuk menjadi surga kecil kehidupan malah menjelma menjadi neraka kecil yang penuh dengan hasad, pertengkaran, gunjingan, kemunafikan dan lainnya, maka komunitas kecil ini dapat menggeser tatanan masyarakat yang selama ini berjalan normal. Dan pada gilirannya statusnya berubah menjadi parasit masyarakat, bak benalu yang menumpang di pohon mangga dan sangat merugikan yang ditumpanginya. Berarti benar apa yang dislogankan oleh para dokter : The preventive is better than medicine (mencegah itu lebih baik daripada mengobati). Maksudnya, selagi masih bisa menjalankan langkah preventif kenapa harus menantang resiko yang bakal datang.

Para ulama berpendapat bahwa yang dibolehkan untuk dilihat adalah sebatas wajah dan kedua telapak tangannya. Karena wajah merupakan simbol kecantikan atau sebaliknya, sedangkan telapak tangan adalah simbol kesuburan wanita. Imam Abu Hanifah membolehkan untuk melihat telapak kakinya.

Dalam meminang wanita diharapkan bagi seorang pria untuk tetap konsisten dan konsekwen, sehingga ia tidak dengan mudahnya untuk memutus ikatan khitbah yang sudah terjalin dengan wanita tersebut. Walaupun khitbah bukanlah akad nikah, tapi ia adalah seutas janji untuk mengarah pada itu. Maka bila ada keinginan untuk memutusnya haruslah ditempuh dengan alasan yang logis, agar silaturahmi antar keluarga tetap langgeng dan menjaga marwah si wanita.

Apabila khitbah tidak bisa dipertahankan lagi dan harus dihentikan (diputus), jika si pria sudah memberikan mahar kepadanya dalam masa khitbah, ia berhak untuk dikembalikan kembali padanya walaupun keadaannya sudah rusak atau cacat. Lantas bagaimana jika ia memberikan sesuatu kepada wanita itu dalam bentuk hadiah?

Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Seperti mazhab Hanafi berpendapat bahwa hadiah tersebut termasuk dari jenis hibah yang tak harus dikembalikan bagi si wanita bila benda tersebut dinyatakan rusak atau cacat, sedangkan mazhab Maliki berpendapat jika usulan putus tersebut berasal dari pria maka tidak harus dikembalikan, dan mazhab Hambali berpendapat bahwa hadiah tersebut berhak untuk dimiliki kembali oleh si pria, sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat bahwa hadiah tersebut boleh dimilikinya kembali, karena bila hadiah yang dimaksud atas dasar pernikahan maka boleh dikembalikan jika masih utuh atau menggantinya jika rusak.

Dari pendapat yang diatas, sepertinya penulis lebih setuju dengan pernyataan bahwa tidak harus dikembalikannya hadiah tersebut, sebab hadiah yang sudah diberikan kepada orang lain itu tidak wajar bila diminta kembali, dan hadiah merupakan alat silaturahmi yang melekatkan rasa ukhuwah sesama muslim, sehingga walaupun jalinan khitbah sudah terputus namun silaturahmi tetap terjaga.

Nikah
Secara etimologi jawâz (nikah) berarti: menghimpun atau mengumpulkan. Sedangkan menurut terminologi ia berarti: sebuah akad yang menghalalkan untuk melakukan hubungan intim dengan wanita, baik itu berupa ciuman, hubungan suami isteri dan sebagainya, dan wanita tersebut bukanlah termasuk dari muhrimnya.

Nikah termasuk dari bagian agama yang tak dapat dipisahkan dari diri seorang muslim yang mengaku pengikut Rasulullah Saw. Literatur Islam banyak yang berisi anjuran bagi seorang muslim untuk melangsungkan pernikahan bila sudah sanggup untuk itu, karena nikah bisa menjadikan manusia itu lebih terhormat dan terhindar dari maksiat, juga ia berperan sebagai mesin umat yang meproduksi aset umat yang unggul dalam kwalitas dan kuantitas. Maka wajar bila dikatakan bahwa nikah termasuk ibadah yang menggenapkan separuh agama kita.

Bebarapa dalil yang mensyari'atkan pernikahan adalah
(( فا نكحوا ما طا ب لكم من النساء مثني و ثلاث و رباع )) < النساء 3
Artinya: "Maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi dua orang tiga, dan empat ...) (Q.S. An-Nisa 3)

(( يا معشر الشباب, من استطاع منكم الباءة فلبتجوز, فانه أغض للبصر و أحصن للفرج, و من لم يستطع فعليه با الصيام, فانه له وجاء))
Artinya: "Wahai para pemuda sekalian, bagi siapa diantara kamu yang sanggup untuk ba'ah (menikah) maka segerakanlah, karena sesungguhnya ia menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa yang belum sanggup maka baginya untuk berpuasa...) (H.R. Bukhari Muslim)

Di samping itu, para ulama muslim sepakat bahwa nikah adalah suatu syari'at yang dibebankan bagi seluruh umat Islam, oleh karenanya Islam menjadikannya sebagai ibadah bagi yang melaksanakannya, sampai-sampai semua buku fikih yang memuat hukum Islam selalu meletakkan bab nikah ini dalam satu bab khusus selain bab thaharah (bersuci), Ibadah, Mu'amalah (hubungan antara manusia) dan jinayat (kriminalitas).

Hikmah pernikahan
Karena posisi nikah ini sangat mulia dalam Islam, tentu wajar pula ia jua menyimpan sejuta rahasia dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Nikah merupakan sarana untuk menjauhkan manusia baik lelaki ataupun wanita untuk terjerumus pada kubangan maksiat. Nikah ini juga berfungsi nntuk melanjutkan estafet kehidupan manusia, sehingga mereka bisa meninggalkan generasinya melalui reproduksi atau melahirkan keturunan, sehingga keturunan mereka bisa bertahan dan berkelanjutan.

Selain itu, nikah ini juga mengandung hikmah yang menyiratkan maslahat yang jauh lebih mulia. Yaitu bila keluarga yang dibangun kelak menjadi keluarga sakinah dan shalihah, maka keluarga tersebut dapat dijadikan pelengkap masyarakat yang madani, bahkan ia bisa menjadi keluarga teladan yang berstatus qudwah bagi seluruh tetangganya bahkan masyarakat sekitarnya. Nikah ini juga merupakan "lem perekat" silaturahmi antar sesama muslim, atau keluarga. Dan ia juga adalah nilai stimulus dalam menolong sesama muslim, karena nikah telah membantu untuk menumbuhkan sikap tolong-menolong antara dua sejoli dalam mengemban beban hidup dan sejuta teka-teki hidup yang kompleks melalui bibit kasih sayang dan curahan kebahagiaan.

Hukum Nikah
Dalam tulisan singkat ini, penulis ingin merincikan secara singkat hukum nikah melalui optik kondisi dan situasi.
Wajib. Dalam hal ini hukumnya menjadi wajib, sebab jika ia tidak disegerakan dikhawatirkan dapat menjerumuskan pada perzinahan, bahkan orang tersebut tidak mampu untuk menghindarkan dirinya dari maksiat walaupun sudah berpuasa atau ibadah lainnya. Karena seluruh umat Islam wajib untuk menjaga dirinya dari ancaman maksiat yang sewaktu-waktu dapat hadir. Perkara ini didukung oleh kaedah ushul fikih "mâlâ yatimmu bihil wâjibu fahual wâjib" (segala suatu kewajiban yang tak dapat terlaksana tanpanya maka hukumnya adalah wajib), hal ini berlaku jika orang tersebut sudah sanggup untuk memberikan nafkah lahiriyah dan bathiniyah kepada istrinya nanti.
Haram. Nikah ini menjadi haram hukumnya jika dipastikan ia dapat membahayakan posisi sang isteri atau menzhaliminya, serta tidak dapat berbuat adil jika nikahnya dalam bentuk poligami. Karena ada kaedah ushul fikih "Apabila sudah berkumpul suatu hal yang haram dan halal, maka yang haram dimenangkan atas yang halal", perkara ini berlaku sebab segala bentuk kezhaliman hukumnya haram dalam agama Islam. Maka bila keadaan ini terjadi pada diri seorang muslim hendaknya ia tetap bersabar dan memohon perlindungan dan permohonan kepada Allah Swt. Dalam al-Qur'an Allah Swt berfirman, "Dan orang-orang yang tak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunianya." (QS. An-Nur : 33)
Makruh. Nikah menjadi makruh hukumnya jika orang tersebut dikhawatirkan akan terjerat dalam kesulitan rumah tangga kalau ia menikah, tapi kekhawatiran di sini belum sampai pada level keyakinan. Kesulitan itu bisa berupa dalam menafkahi keluarga, hubungan yang tak harmonis dan kesulitan dalam hubungan suami istri. Mazhab Hanafi berpendapat perkara ini termasuk dari tahrimiyah tanzîhiyah jika ditilik dari kadar kekhawatiran. Sedangkan mazhab Syafi'i menjadikannya makruh seandainya penyakitnya itu bakal dialaminya selamanya, dan mereka juga berpendapat senada ketika menyikapi nikah yang dilalui melalui hasil pinangan yang terdahului dengan pinangan orang lain yang sudah mendapat jawaban, juga nikah yang mengandung syarat di luar maknanya ketika dalam akad, serta nikah yang masih samar-samar, yaitu menikahi wanita yang belum jelas agamnya atau yang lainnya.
Sunnah. Para ulama fikih selain mazhab Syafi'i berpendapat bahwa nikah itu dianggap sunnah jika walaupun orang tersebut belum menikah tapi tidak dikhawatirkan ia akan terjerumus pada perzinahan yang nista, dan tidak dikhawatirkan juga akan menzhalimi istrinya. Kondisi ini kebanyakan dialami oleh manusia normal.

Rukun Nikah
Menurut mazhab Hanafi bahwa rukun nikah itu berupa Ijabkabul saja. sedangkan jumhur ulama berpendapat bahwa rukunnya ada empat (Ijabkabul, mempelai wanita, mempelai pria dan seorang wali). Namun sebahagian ulama meletakkan rukunnya menjadi lima (dua mempelai wanita dan pria, ijabkabul, wali, saksi dan mahar). Perbedaan ini terjadi sebab beberapa ulama lainnya menjadikan mahar, saksi dan izin wali termasuk dari syarat nikah bukannya rukun.

Dalam melafazkan shighah nikah haruskah berbahasa Arab? Para ulama sepakat bahwa bagi orang muslim yang tidak bisa sama sekali berbahasa Arab dibolehkan untuk melafazkannya dalam bahasa yang ia pahami. Namun bila ia sanggup untuk mengungkapkannya dalam bahasa Arab maka ia harus mengenakannya menurut mazhab Hanbali, sedangkan mazhab Syafi'i berpendapat ia tetap boleh untuk menggunakan bahasa lain yang dipahaminya. Karena inti lafaz tersebut terletak pada maknanya bukan bentuk bahasa yang digunakan.

Lalu bagaimana dengan shigah yang diungkapkan dengan isyarat (tulisan)? Para ulama sepakat bahwa nikah tersebut tetap sah jika ia memang tidak bisa untuk mengungkapkannya dengan lafaz yang jelas, tapi bila ia sanggup untuk itu maka ia diharuskan untuk melafazkannya.

Izin Wanita
Sebagaimana disinggung di atas bahwa pernikahan merupakan akad yang didasari atas adanya keridhoan belah pihak. Tapi bagaimana jika mempelai wanitanya tidak setuju jika pria yang ingin menikahinya bakal menjadi pendampingnya seumur hidup? Para ulama menyerukan agar wali wanita tersebut membatalkan pernikahannya dan mencari pria lain yang lebih dikehendakinya menjadi suami. Hal ini berlaku pada setiap wanita baik janda maupun perawan.

Ibnu Abbas Ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah Saw yang berbunyi, “seorang janda itu lebih berhak atas dirinya dari walinya, dan wanita perawan itu diminta izin darinya, dan diamnya merupakan izinnya.” (HR. jama’ah selain Bukhari)

Imam Syaukani dalam bukunya Nailul Authar menyatakan bahwa nikah yang tidak didasari oleh keridhoan mempelai wanita maka hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga diperkuat oleh pendapat Auzha’I, Tsauri, Atarah, mazhab Hanafi, dan seperti yang diceritakan Tirmidzi dari beberapa ilmuwan.

Imam Malik, Syafi’I, Laits, Ibnu Laily, Ahmad dan Ishak memiliki pendapat yang berbeda, mereka menyatakan bahwa seorang ayah boleh menikahi putrinya walaupun tanpa seizin dirinya, mereka mengacu pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Nasai, “wanita perawan itu di bawah pengawasan bapaknya”. Imam Ibnu Qayyim dalam memandang hadits tersebut tetap menganggap bahwa wanita perawan sekalipun tidak boleh dipaksa untuk menikah, karena Islam sangat memperhatikan maslahat manusia.

Tapi jika wanita tersebut belum sampai pada taraf baligh, maka diperbolehkan bagi bapaknya atau kakeknya untuk menikahkannya pada orang lain. Sama halnya ketika Abu Bakar menikahkan puterinya Aisyah pada Nabi Muhammad Saw ketika berumur enam tahun.

Walimatul ‘Urs
Dalam agama Islam disunnahkan untuk menyiarkan resepsi pernikahan yang akan dilangsungkan agar orang lain mengetahui peristiwa sejarah tersebut, dan pernikahan tersebut tidak menjadi resepsi rahasia yang akan menimbulkan fitnah di kemudian hari. Di samping itu, penyiaran akad nikah merupakan simbol kebahagian yang layak untuk diketahui oleh para kerabat dan masyarakat.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “syiarkanlah pernikahan ini dan rayakanlah dengan disertai rebana di dalam mesjid.” Hadis riwayat Ahmad, dan dihasankan oleh Tirmidzi. Dari sini, seyogyanyalah bagi umat Islam untuk merayakan akad nikah tersebut dengan semampunya yang tidak bercampur dengan suatu yang haram. Seperti, hiburan yang mengundang maksiat dan pembaziran makanan yang keterlaluan. Dan hendaklah ketika perayaan akad tersebut tetap dijaga adat-adat Islami yang disyariatkan.

Menikahi Wanita Ahli Kitab
Menikah antar agama belakangan ini menjadi trend dan lumrah dalam tubuh masyarakat, lantas bagaimanakah Islam menyikapi hal ini? Sebelum kita berbicara lebih lanjut mari kita bedakan wanita ahlu kitab dengan wanita musyrik.

Wanita musyrik adalah wanita yang tidak memiliki agama yang mewajibkan baginya untuk memegang prinsip menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, agamanya merupakan sandaran dari bisikan syaithan yang penuh dengan kemunafikan dan kesesatan (bukan agama samawi). Sedangkan wanita ahli kitab adalah wanita yang masih beriman kepada Allah, Nabi-Nabi, serta agama yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tapi, perbedaan yang paling kompleks adalah mereka tidak mengimani kenabian Muhammad Saw. dikarenakan ketidaktahuan mereka.

Pada dasarnya menikahi ahli kitab itu halal hukumnya bagi umat Islam, hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur`an surat Al-Maidah, “pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-kitab halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka (dihalalkan wanita-wanita yang menjaga kehormatan) diantara wanita-waniota yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak pula menjadikannya gundik-gundik.

Walaupun demikian, para ulama masih berbeda pendapat mengenai keabsahan menikahi ahli kitab zaman sekarang. Seperti Ibnu Umar ketika ditanya tentang hukum menikahi wanita nasrani atau yahudi, ia menyatakan hukumnya adalah haram.

Pernyataan ini dibantah oleh Imam Qurtubi dengan mengatakan bahwa pernyataan di atas telah keluar dari pernyataan mayoritas ulama. Karena para sahabat dan tabiin dulu masih memegang prinsip penghalalan dalam optik masalah ini. Hingga khalifah Utsman sendiri pernah menikahi wanita nashrani yang bernama Naillah binti furafashah yang akhirnya masuk Islam di tangan beliau.

Walaupun hukumnya halal, namun mereka menganggap perkara ini termasuk dari hukumnya makruh. Sebab, tidak bisa dipastikan satu hari nanti akan timbul fitnah baru bagi agama Islam, bahkan sebagian ulama mengharamkan untuk menikahi harbiyah.

Ibnu Abbas sepakat dengan pengharaman tersebut sambil membacakan surat at-Taubah ayat 29 ketika ditanya posisinya dalam menanggapi hal ini.

Menikahi Pria non muslim
Konsensus ulama menyatakan bahwa wanita muslim haram hukumnya untuk menikah kepada pria non muslim. Allah berfirman mengenai hal ini dalam surat al-Mumtahanah ayat 10, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka pada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orangh-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…)

Dalam ayat ini Allah Swt menyerukan pada kaum muslimin untuk melacak sebab-musabab hijrahnya beberapa wanita Mekah ke Madinah, sekiranya mereka hijrah disebabkan mencari keridhoan Allah dan cintanya pada Allah dan Rasulnya Muhammad Saw serta menjaga diri mereka dari fitnah yang keji, maka tidak patutlah bagi mereka untuk kembali pada suaminya yang masih belum masuk Islam. Ayat yang kita singgung di atas merupakan dasar hukum pengharaman menikahi pria non muslim.

Beberapa hikmah yang dapat dipetik dari sikap Islam tersebut adalah penjagaan Islam seputar maslahat agama dan keturunan wanita muslim tersebut. walaupun pria tersebut sudah terkenal sebagai sosok yang bertanggungjawab namun belum bisa dijadikan landasan utama, sebab sejak semula ia belum pernah menghargai agama si wanita serta hukum-hukumnya. Dan pria merupakan pemimpin bagi keluarganya termasuk istrinya, maka bagaimana sang istri hendak bertanya tentang hukum Islam sedangkan suaminya tidak faham sama sekali mengenai hal itu. Dan dalam pendidikan anak sang wanita akan lebih kesulitan untuk mengarahkan mereka pada agama dan akhlak Islami yang diyakininya.

Penutup
Pernikahan adalah ikatan suci dua insan yang dirajut dengan perjanjian yang sangat agung (mitsâqan ghalîzan). Seyogianyalah bagi setiap Muslim untuk mempersiapkan dirinya sebelum melangkah dari garis ‘start’ kehidupan baru yang akan dilaluinya bersama sang istri tercinta. Lika-liku perjalanan yang bakal dilalui belum bisa ditebak sampai kapan akan berakhir, tapi yang pasti ia harus dilalui juga walaupun sampai peringkat kesuksesan ke berapa kelak. Merupakan istri yang sangat diidamkan setiap pria jika ia mampu untuk mengurangi atau membantu pendampingnya dalam mengemban amanah kehidupan bersama-sama, bukannya malah menambah problem baru yang butuh penyelesaian segera.

Kreteria Islam adalah kreteria yang paling sesuai bagi calon seorang suami dalam mencari pasangan hidupnya, maka hendaknya sejak dini wanita muslim sudah membenahi dirinya untuk menjadi wanita dan istri shalehah yang melahirkan para mujahid-mujahid muda Islam, serta menumbuhkan kedamaian bagi siapa saja yang melihatnya, menentramkan hati suaminya, menjadi kebanggaan bagi masyarakat dan agamanya, menjadi panutan para tetangganya dan menjadi perhiasan dunia yang sangat indah. Seakan-akan dunia ini kurang sempurna keindahannya tanpa dirinya yang mulia. Dialah wanita idaman yang dicari-cari setiap orang sampai saat ini. Siapakah dia kini? Wallahu A'lam