Tadabbur Al Quran

Allah berfirman,
Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna, sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Al-Imran; 92)

Imam Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya bahwa Abu Thalhah adalah salah satu sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar di Madinah yang kaya raya. Dan, dari sekian item kekayaan yang menjadi pavoritnya adalah sebuah kebun kurma Bairaha, yang letaknya tidak jauh dari Masjid Nabawi. Karena begitu akrabnya, Rasulullah, acapkali memasuki kebun itu untuk melepaskan penat, meminum air dan menikmati kurma segarnya.

Namun kata Anas, ”Ketika ayat ini turun (lan tanaalul birra dst), Abu Thalhah segera menghampiri Rasulullah, ”Wahai Rasulullah, aku baru saja mendengar bahwa Allah telah menurunkan firmanNya, ”Lan tanaalu dst”. Dan, seperti yang engkau ketahui wahai Rasul, saya pemilik kebun Baeraha yang sangat saya cintai. Karena itu, saat ini juga, saya menyerahkannya kepadamu sebagai shadaqah dariku, moga-moga ia menjadi investasi terbaik saya di sisi Allah. Salurkanlah ia kemana saja dan kepada siapa saja yang engkau kehendaki, sesuai arahan Allah kepadamu.”

Mendengar hal itu, Rasulullah mendekatinya, ”Masya Allah, hartamu itu sangat bernilai tinggi dan menguntungkan wahai sahabatku, dan Aku telah mendengarkan keingananmu untuk menginfakannya di jalan Allah. Namun, Aku tetap berpandangan bahwa engkau tetap membagi-bagikannya kepada kaum kerabatmu terlebih dahulu sebelum kepada yang lain.”
Tidak lama setelah itu, Abu Talhah segera beranjak pergi untuk membagi-bagikan kekayaannya kepada kerabatnya termasuk kepada anak pamannya.” (Al-Bukhari, Muslim dan Imam Ahmad)

Saudaraku, itulah bedanya kita dengan para sahabat. Kalau sudah Allah dan RasulNya yang meminta, selalu tidak ada jarak antara perintah dan respon. Dan, respon itu hanya bisa ada kalau volume keimanan terus meninggi. Biasanya kalau sudah begitu, Allah pun tidak terlalu banyak pertimbangan untuk memenuhi harapan dan mengabulkan pinta-pinta mereka. Karena memang seperti itulah hidup mengajarkan kita, bahwa siapa banyak memberi, akan banyak menuai. Siapa yang berbuat satu kebaikan, sesungguhnya setelah itu ribuan kebaikan akan datang menghampirinya. Dan Allah mengingatkan, kebaikan itu bukan untuk siapa-siapa tapi untuk pelakunya, in ahsantum ahsantum lianfusikum.
Tapi itulah manusia. Terlau banyak meminta tapi jarang memberi, sedikit bekerja tapi terlalu banyak mengambil manfaat. Mungkin karena zamannya sudah beda, Abu Thalhah di masa Nabi dan kita di masa pemerintahan SBY. Tapi pandangan seperti ini, tidak ada benarnya sama sekali. Karena ihsan itu adalah lintas zaman. Pada setiap zaman, ada saja orang-orang yang mau berpikir bagaimana ia mengguyurkan sebanyak mungkin manfaat kepada orang lain, bukan menunggu diberi. Zaman akan selalu menghadirkan orang-orang baik yang akan memperindah sejarah.

Ala kullli haal, Abu Thalhah telah mengukir sejarah indahnya, menempatkan dirinya sebagai the real enterpeneuer, ia begitu menyadari bahwa hartanya bukan untuk dirinya dan keluarganya semata, tapi juga untuk agamanya. Semestinya, kita juga harus berpikir seperti itu. Karena kebaikan ini pulalah, Abu Thalhah mulia di dunia, mulia di akhirat.

Ada juga hal value menarik dari cerita ini bahwa memberi itu haruslah yang terbaik, bukan karena sisa, atau bukan karena daripada-daripada; daripada ntar basih, daripada ngga kepake, daripada penuh-penuhin lemari dan seterusnya. Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam Fikhul islam wa adillatuhu menjelaskan adab-adab memberi, dan salah satunya di antara adab itu adalah harus yang terbaik dan berangkat dari kebaikan hati. Karena harta yang diberikan atas dasar kebaikan hati, yakinlah ia juga akan sampai di hati orang-orang yang menerimanya. Wallahu a’lam bi shawab